Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

42 | Trapped

Elka menepuk kuat pundak Daniyal dengan tangan kanannya, sedang tangan kiri ia gunakan untuk menjambak rambut lebat lelaki yang tak jemu membuat bibirnya membengkak.

"Enough," desis Elka usai birainya lepas dari kuasa lelaki tersebut. Ia lantas menyandarkan kepala lemas pada pundak Daniyal. Napasnya memburu, ia sampai membuka sedikit mulutnya demi meraup udara panas di sekitar.

Dia berjengit kala Daniyal juga menarik tangan lelaki itu dari dalam kemeja satinnya yang sudah begitu kusut. Seliar apa mereka tadi sampai tampilan Elka jadi seberantakan ini?

Setelahnya, dua lengan Daniyal kembali melingkari pinggul Elka, memberikan tarikan pelan sehingga tubuh mereka nyaris tak berjarak andai tidak dipisahkan oleh pakaian yang mereka kenakan.

Usapan lembut Elka rasakan di punggungnya. Ia pejamkan mata demi mereguk kembali ketenangan diri yang telah luluh lantak akibat keintiman yang mereka lakoni sejak satu jam yang lalu. Bahkan, AC mobil pun tak mampu memadamkan hawa panas yang saat ini melingkupi mereka.

"Crazy beast," gumam Elka. "Aku tahu, Daniyal, aku tahu kamu juga tidak ingin kehilanganku. Kita sama. Perasaan kita satu."

Tubuh Elka terasa sangat panas. Dia kegerahan.

"Bagaimana rasanya kalah? Berlagak menolak kehadiranku, tapi perasaanmu berkhianat. Apa yang membuatmu keras kepala menolakku? Lihat sekarang? Kamu kacau. Pertahanan dirimu runtuh."

Elka tatap wajah tampan Daniyal yang terlihat jelas masih memulihkan diri selepas pergumulan mereka.

"Perasaanku bukan urusanmu, you said?" Elka berdecih sinis. "Bibirku saja bikin kamu lost control, itu yang kamu bilang nggak suka aku? Bullshit."

Senyum kecil di bibir Daniyal tersungging jelas. Suara Elka yang mengomelinya terdengar lucu. Dia sandarkan punggungnya pada jok mobil sehingga Elka juga ikut bergerak.

"Move slowly," bisik Daniyal serak.

Elka mengernyit, lalu segera menegakkan kepala. Ia pandangi wajah Daniyal dari jarak yang sedikit jauh.

"Kenapa?" tanyanya. Ia kembali salah fokus pada wajah Daniyal yang memerah. Dan entah mengapa, iras tampan di depannya berkali lipat lebih seksi dari biasanya. Terlebih dengan seringai kecil pria itu yang memanjakan mata, Elka lagi-lagi merasakan sekujur tubuhnya meremang.

Kekehan singkat Daniyal lepaskan. Ia tatap mata Elka dalam. Berusaha mengirimkan sinyal supaya Elka sadar untuk tidak bermain-main dengannya jika tak ingin berakhir meraung, lalu memintanya berhenti menyiksa.

Dan berhasil. Tatapan lapar Daniyal membuat Elka ingin lari sekarang juga. Pria ini berbahaya jika dalam mode seperti ini! Elka merasa seperti dia akan dimakan hidup-hidup. Alhasil, ia mulai beranjak dari pangkuan Daniyal, yang mana malah membuat lenguhan amat rendah terbebas dari bibir pria tersebut.

"Elka," desis Daniyal memejamkan mata kuat-kuat. Rahangnya mengetat sehingga tonjolan urat pada lehernya ikut terlihat.

"Sorry," sesal Elka, tapi setelahnya dia malah terkikik lembut. Pantas Daniyal panas dingin. Tempat yang baru saja ia duduki terasa keras.

Dia berusaha tak menatap ke arah pria itu lagi karena matanya pasti akan langsung tertuju ke satu titik yang tidak seharusnya ia pandangi.

"Perv."

Ledekan Elka memancing dengkusan Daniyal. Tanpa beranjak dari tempatnya duduk, pria itu merentangkan tangan ke deret kursi penumpang, meraih jasnya yang tergantung pada hanger di jendela mobil.

Ketika berhasil meraihnya, jas tersebut ia letakkan di atas paha. Lalu mobil pun mulai dijalankan.

Beruntung, tidak ada yang coba menggrebek mobil setelah terhenti cukup lama pada bahu jalan. Di sini cenderung sepi sebab bukan jalanan besar. Entah Elka harus menyebutnya sebagai keberuntungan atau tidak. Pasalnya dia disiksa oleh Daniyal, sementara di lain sisi ia juga was-was ada yang akan menghampiri mereka.

Namun, yang pasti hatinya penuh akan kepuasan sekarang.

"So ... we share the same feelings. Jangan memberi penyangkalan sebab perbuatanmu barusan berkata sebaliknya," ujar Elka menyandarkan kepala pada jok mobil. Tangannya bersedekap menghadap ke depan. "Mengapa kamu berusaha menjauh padahal kamu juga memiliki ketertarikan padaku? Kamu seperti namamu. Denial."

"Aku tidak suka rencanaku berantakan."

Daniyal langsung memberi jawaban bernada ambigu.

"Sejak kecil, Pak Iksan selalu mengajariku untuk fokus pada rencana yang kami susun bersama. Mengalihkan pikiran, sama saja dengan memunculkan potensi kegagalan."

Elka satukan semua perhatiannya pada Daniyal yang perlahan mulai membuka diri. Jantungnya yang masih berdetak gila-gilaan sejak aktivitas mereka tadi, kini juga disusupi oleh kegugupan karena dia hampir tidak pernah mendengar Daniyal berbicara setenang ini.

Caranya berbicara seakan dia tengah menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Tanpa nada dusta maupun canda yang terlontar.

"Aku terbiasa menyusun banyak rencana dan tidak pernah sekalipun mengingkari rencana yang sudah kususun. Orientasiku selalunya tertuju pada keberhasilan. Dan berkat ketekunan itulah, aku selalu meraih tujuan awalku dengan hasil yang lebih dari memuaskan."

Elka melihat refleksi Daniyal dari pantulan kaca depan mobil. Memang samar terlihat, tapi raut seriusnya tergambar jelas.

"Tapi sekarang, fokusku mulai kabur," kata Daniyal balas menatap Elka dari kaca tersebut. "Berkat seseorang yang tak sabaran."

Tatapan singkat itu berhasil menghantarkan semu merah di pipi Elka.

"Aku tidak bisa menjanjikan momen manis untuk sekarang."

Elka mengangguk mahfum.

"Setidaknya kita memiliki kejelasan. Itu cukup bagiku."

"Kamu akan bosan menunggu."

Elka tekekeh. "Kamu bercanda? Aku sudah membuang harga diri untuk mengejarmu. Ini bukan kali pertama aku bertindak tidak tahu malu. Ingatan tujuh tahun silam juga masih melekat kuat di benakku. Penolakanmu, itu mengerikan, tapi aku sadar perbuatanku dulu memang gegabah. Kamu pantas marah. Penolakanmu sudah sewajarnya."

"Tapi maaf-maaf saja, sekarang aku tidak berniat mundur seperti waktu itu. Jangan kamu kira, 'bosan', akan menjadi akhir yang kulakukan. Tidak setelah semua perjuanganku untuk bisa sampai pada titik ini."

"Setidaknya sudah kuingatkan lebih awal agar kamu tidak menyesal," sela Daniyal.

"Mengapa kamu berbicara seolah kita akan memakan banyak waktu untuk bisa bersama?"

Daniyal tidak menyahuti pertanyaan itu.

"Jika ini berhubungan dengan rencana yang kamu maksudkan, maka aku bersedia menunggu. Sejak awal, jalan kita memang tidak mulus, bukan? Menunggu bukan perkara besar yang akan kuributkan. Meski nantinya membutuhkan banyak waktu sebelum kita bersama, aku tidak akan ke mana-mana. Hanya saja, aku meminta dua hal darimu."

Elka menghadapkan kepala sepenuhnya pada pria yang tengah fokus mengemudi tersebut.

"Jangan menghilang dan jangan berpura-pura," ucap Elka dengan satu tarikan napas. "Kamu boleh berkelana ke mana pun. Kau bebas melakukannya, tapi menghilang tiba-tiba di saat aku telah mengikatkan hatiku kepadamu, itu kejam, Daniyal."

"Mungkin akan terdengar menggelikan. Perempuan membicarakan hal ini, biasanya dianggap si bodoh yang buta akan cinta dan layak mendapatkan cacian, tapi sungguh, aku sudah terbiasa mendengar sumpah serapah. Itu bukan hal yang jarang kudengar," kata Elka bersamaan dengan senyum mirisnya. "Kuberitahu, Daniyal. Kamu ... ibarat kompas bagiku. Jelas bila kompas itu hilang, aku buta arah, cacat, dan diperlukan waktu yang lama untuk mencari jejak lurus supaya hidupku kembali berjalan normal. Kamu tidak tahu semengerikan apa menjadi sosok lemah yang kehilangan arah."

Elka berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar. Dia sudah terlalu banyak menerima pengalaman buruk di masa lalu. Cacian telah menyelimutinya bak hujan deras di malam hari. Dulu, dia tak mampu berharap karena itu adalah bentuk kesia-siaan.

Namun, sekarang, dia ingin membuka kembali ruang hampa hatinya dengan sebuah harapan. Harapan di mana Daniyal hidup di dalamnya, membersamai dia dan Rafael untuk mengarungi arus hidupnya yang seganas ombak di kala badai.

"Di detik aku sadar perasaanku kembali terikat kepadamu, aku sudah bertekad untuk membuatnya tumbuh subur. Aku akan memperjuangkannya." Elka membulatkan tekad. Untuk kesekian kalinya, dia melakukan apa yang dahulu nyaris setiap hari ia lakukan.

Berjuang.

Berjuang untuk mendapatkan belas kasih.

Dia bak kembali ke tubuh anak sepuluh tahun yang gemar mengekori seseorang yang dahulu ia cintai sepenuh hati.

Satu-satunya orang yang ia yakini akan memberinya zirah kokoh yang akan membuatnya menangkis segala hujaman ketidakberuntungan hidup.

Harapannya membumbung tinggi kala itu. Setiap hari, ia arungi untuk meminta belas kasih yang membuatnya merasakan dahaga berkepanjangan atas kasih sayang.

Secara harfiah, ia adalah pengemis.

Dia memohon, memohon dan memohon. Tak jemu melakukannya. Tanpa peduli torehan luka yang menyelubungi tubuh ringkihnya. Baik pada permukaan kulit, pun hati rapuhnya.

Hingga suatu ketika, ia putuskan untuk berhenti. Dia ternyata juga punya limit untuk memaksakan kehendak.

Elka tidak menyalahkan orang itu. Karena ia sadar, dialah penyebab orang tersebut membencinya setengah mati.

Ia adalah awal kehancuran.

Dia manifestasi dari segala ketidakberuntungan.

Dia tidak seharusnya bernapas bebas.

Kutukan itu, Elka ingat betul bagaimana rimanya. Dia hafal setiap penekanan katanya, bagaimana dia mulai menggigil ketakutan, lalu bersembunyi dalam selimut peninggalan orang tuanya.

Dia tak akan pernah lupa.

"Kemudian, jangan berpura-pura," lanjut Elka meninggalkan kisah masa lalunya yang kelam. "Menyembunyikan sakitmu, itu bukan suatu hal yang ingin kulihat darimu. Entahlah, Daniyal. Intuisiku seolah berkata bahwa sosokmu yang keras, sebenarnya memiliki banyak luka yang belum sepenuhnya sembuh. Bahkan masih cukup basah."

"Aku memang bukan sosok ideal untuk menyembuhkan semua luka itu, tapi biarkan aku menjadi tempatmu melebur luka. Aku tidak sedang mengasihanimu--jika itu anggapanmu sekarang. Apa yang kini kukatakan, murni karena aku enggan melihat pria yang kucintai menjadi sosok keras terhadap dirinya sendiri. Kamu berhak mereguk semua kebahagiaan yang ada, lukamu harus sembuh, maka untuk itulah, izinkan aku menjadi sayap barumu yang sebelumnya patah."

"Apa permintaanku terlalu memberatkan?" tanya Elka hati-hati setelah ia mengungkapkan semua permintaannya.

Ia sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Daniyal tak seide dengan ucapannya. Namun, kekhawatiran Elka tak bertahan lama sebab Daniyal memberikan jawaban dengan gelengan singkatnya.

"Jika menunggu adalah keputusanmu, maka lakukanlah," timpal Daniyal. "Cukup pastikan kamu tak akan jenuh."

"Bagaimana untuk dua permintaanku barusan? Kamu sanggup melakukannya?" desak Elka.

Butuh lima denyut nadi bagi Daniyal untuk mengangguk. Ada pertimbangan yang bergejolak dalam benaknya sebelum dia memenuhi permintaan perempuan yang menumpukan harapan besar kepadanya itu.

Rupanya, dia juga tidak sabaran. Dan Elka bertanggung jawab atas ketidaksabaran tersebut.

Napas Elka pun perlahan terembus lega.

"Jangan tarik kembali permintaanmu. Meski nanti kamu memohon untuk dilepaskan, aku tak akan mengindahkannya. Sama sekali tidak. Kukatakan sekali lagi, jangan memimpikan kebebasan karena kamu sendiri yang memintaku merakit kembali sangkar yang kamu rusak. Ini memang belum saatnya, tapi aku tidak punya pilihan lain." Daniyal melanjutkan dengan diiringi intonasi tenang, namun sarat penekanan. "Terima kasih, Elka."

Kendatipun bingung pada ucapan bernada intimidasi Daniyal, Elka putuskan untuk tidak menyelami maknanya sebab hatinya tengah dipenuhi oleh kebahagiaan. Ia enggan merusak momen magis ini.

"Did you know that you have zero survival skills?" lanjut pria tersebut masih mempertahankan rima tenangnya. "Kamu belum mengenal baik diriku."

"Jangan menakutiku," decak Elka. "Bagaimana pun wajah aslimu nanti, akan kuhadapi dengan tangan terbuka. Menyebutnya sebagai konsekuensi, itu bukan hal bijak sebab akulah yang memilihmu. Maka siapa pun dirimu, sepaket dengan kepribadianmu, aku siap menerimanya, Daniyal."

Daniyal membebaskan tawa rendah.

"Oke."

"Oke apa?"

Daniyal menggeleng pelan. Senyum misterius terpasang pada bibir seksi yang telah berkali-kali membuat Elka terbuai pada intimasi kesenangan dalam kurun waktu dua jam yang lalu.

"Berniat singgah ke apartemenku?"

Elka terbelalak kala Daniyal menyentuh tengkuknya.

"Jangan menyetir dengan satu tangan!" jerit perempuan itu panik. "Da-Daniyal."

Rintihan lirih terlolos dari bibir Elka saat ujung telunjuk Daniyal menyentuh belakang telinganya.

"Daniyal," erang Elka sekali lagi. "No."

Bajingan ini tahu bagaimana cara menyenangkan Elka.

"Kamu takut? Baru satu menit yang lalu kamu berkata siap menerimaku dengan tangan terbuka. Maka terimalah aku, sepaket dengan semua hal yang melekat dalam diriku. Termasuk hal yang akan kulakukan kepadamu nanti."

Atmosfer panas yang semula memudar, perlahan mulai terbangun, melingkupi situasi di antara dua insan yang telah mengikatkan diri dalam simpul komitmen tersebut.

"You trapped."

***

Menuju konflik pamungkas

This story will be very toxic. If you dislike content that borders on violating norms, I strongly urge you to leave this story immediately to keep your eyes and mind pure.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro