41 | Dia Menipumu!
"Kamu puas sekarang?"
"Belum. Kamu belum menerima tawaranku."
"Kamu pikir kita sedang bertransaksi?"
"Transaksi sehidup semati? Iya."
Daniyal yang sudah kembali ke ruang tamu dengan pakaian santainya, duduk pada sofa tunggal di samping sofa panjang yang Elka tempati.
Dia pandai sekali membuat Elka gugup. Wajah rupawan yang mampu memberikan efek lemah pada hatinya ini, benar-benar pahatan apik yang menjadi pembebas rasa capek Elka setelah bergerumul dengan segudang pekerjaan.
Daniyal itu tampan, tapi jangan mengharapkan hal manis ketika dia membuka bibir seksinya untuk berbicara.
"Kamu selalu begini? Bersikap tidak tahu malu?"
"Sungguh, Daniyal? Kamu lupa setidak tahu malu apa aku tujuh tahun lalu? Indeed, I'm shameless," imbuh Elka lugas. "Dan, ayolah, kamu juga harusnya sadar diri, Pencuri."
Daniyal mengangkat satu alisnya.
"Seenaknya melabeliku tak tahu malu, padahal kamu sendiri diam-diam mencuri ciuman dari wanita yang sedang tertidur," cibir Elka meloloskan dengkusan sinis. "Kamu pikir itu normal? Your sin is greater than mine, Mr. Thief. Sikap tenangmu tidak merubah fakta bahwa kamu telah melakukan tindakan buruk. Enak saja kamu menganggap perkara yang satu itu selesai."
"Dosa yang kita nikmati bersama, maksudmu?" Daniyal mengedik. "Kamu sendiri tidak tidur saat itu, lalu mengapa tidak menunjukkan perlawanan dan malah menunggu ciuman itu selesai? Tenang saja, aku tidak akan menyudutkanmu. Ciumanku memang memabukkan, tak heran kamu lupa diri."
Niat hati ingin menyerang, Elka malah menerima bidasan balik. Dia akui dia salah, tapi tetap saja, Daniyal juga sama berdosanya! Tipe manusia seperti Daniyal adalah orang yang sebenarnya ingin sekali ia hindari. Memiliki tanda NPD dan manipulator ulung. Namun, mengapa perasaannya malah mengakar kian kuat?! Mencengkeram hati serta akalnya supaya terus mendamba lelaki ini?
"Kamu menggunakan susuk?"
Pertanyaan aneh Elka, sontak mendapatkan kekehan rendah nan pelan dari Daniyal. "Ya, ya. Anggap sesukamu saja."
Menyudutkan Daniyal agaknya sia-sia. Dia hanya akan membuat Elka pening dengan balasannya yang menjengkelkan. Maka Elka putuskan untuk beranjak ke lain topik.
"Mengapa kau menyembunyikan fakta bahwa Handini adalah Ibu angkatmu? Dan beliau adalah istri pamanmu?"
Ini berita mengejutkan baginya. Selama menjadi karyawan HL Group, tak pernah tersiar kabar bahwa Hamdan Lateef sudah berkeluarga. Dia memang pribadi tertutup, bahkan acap kali disebut sebagai jejaka tua oleh Laras dan komplotannya.
Kapan terakhir kali Elka membaca profil diri bos besarnya itu? Rasanya sudah lama sekali. Yang jelas, saat itu Hamdan Lateef tak menyertakan status hubungannya. Memang tidak ada kewajiban hukum yang mengharuskan pemimpin perusahaan untuk mengungkapkan status romansanya, sebab peran pentingnya adalah memastikan ekosistem bisnisnya berada dalam taraf terbaik. Mungkin itulah yang membuat Hamdan tak membeberkan siapa istrinya.
Sungguh, ini berita besar.
Dan lagi, Handini Laroka yang merupakan anak dari orang ternama di Indonesia, taipan penguasa dunia kesehatan, bagaimana mungkin tidak mengumumkan pernikahan mereka? Apakah tren pernikahan di kalangan atas telah bergeser menjadi lebih privat? Sebab setahu Elka, tokoh-tokoh pemegang kuasa di negara ini, acap kali menghelat kenduri besar-besaran dalam pernikahan keturunan mereka.
Pernikahan tak ubahnya adalah ajang untuk menunjukan harta serta kekuasaan demi menjaga gengsi supaya kehormatan mereka terjaga sempurna.
Tapi mengapa Handini Laroka dan Hamdan Lateef berbeda? Apa mungkin, ini masih ada hubungannya dengan prinsip patriarki yang begitu dikultuskan oleh Ayah Handini? Masalah para taipan memang memusingkan.
"Kapan mereka menikah?" tanya Elka penasaran.
"Bukan urusanmu."
Elka lantas berdecak. "Jawab saja, dan aku akan diam."
Daniyal melirik Elka yang memasang raut penasaran. Rasa keingintahuan perempuan ini terpancar kuat dari wajahnya.
"Penggosip," cemooh Daniyal.
Perempuan yang mendapat teguran dari Daniyal itu, serta merta memasang tampang masam. Bibirnya maju satu senti, sedang hidungnya mengkerut.
"Aku begini karena tidak ingin salah paham lagi. Mengejarmu sudah cukup sulit, tapi setidaknya aku yakin kamu tidak sedang menjalin hubungan dengan orang lain karena jujur saja, itu melelahkan. Bertarung dengan wanita lain, sementara pria yang kucintai apatis terhadapku, bukankah itu terdengar menyedihkan?" keluh Elka.
"Asal kamu tahu saja, aku tidak berniat merusak hubungan romansa orang lain. Namun, tolong garis bawahi. Itu, hanya berlaku untuk hubungan normal saja. Artinya, bila dirimu terlibat dalam hubungan yang kusangkakan kamu miliki dengan Ibu Handini, maka siap-siap saja hubungan kalian hancur di tanganku. Ide gila Rosita Laila tentang hubungan dengan konsep pedofilia yang menyangkut kalian berdua, itu sangat menjijikan."
"Kamu sungguh mencintaiku?"
Elka mengangguk yakin meski tengah merengut. Mengorek kisah kelam Daniyal ketika masih berada di bawah kuasa Rosita Laila memang yang terburuk. Ia ingin mengupat.
Elka kemudian duduk dalam posisi tegak. Untuk ukuran pekerja kantoran yang baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai budak korporat, wajah Elka masih tampak menawan walau tadi sempat Daniyal acak-acak.
"Bukankah itu bodoh? Kamu masih mencintaiku meski sudah kusakiti?" Suara Daniyal melesak tajam, bagai memberi irisan panjang di hati Elka.
"Perasaan bukan sesuatu yang timbul begitu saja, lalu dilupakan jika kita ingin melupakannya, atau membencinya. Itu hal abstrak, Daniyal. Ada proses panjang sebelum perasaan itu terbentuk sempurna, dan mungkin ada proses panjang pula untuk menyingkirkan perasaan tersebut dari hati kita, tapi aku memilih untuk menjadi si keras kepala yang akan mempertahankan perasaan itu."
Elka menjawab tegas.
"Anggap aku dungu karena masih mencintaimu setelah semua hal yang kamu lakukan kepadaku, tapi jangan remehkan perasaanku. Kamu mengacak-acak hidup yang berusaha kutata rapi pasca kejadian kelam yang pernah kualami. Kamu sendiri tahu, aku baik-baik saja sebelum kedatanganmu."
"Tapi kemudian, kamu merecoki hidupku yang setenang permukaan telaga. Setiap hari menempeliku, memberikan kedekatan yang seharusnya tak pernah ada, menjanjikan keselamatan bagiku, dan berusaha menjadi sosok Ayah yang sempurna untuk Rafael. Lalu kamu berharap aku berlagak layaknya robot tanpa perasaan setelah semua hal yang kamu lakukan?"
"Aku manusia, Daniyal," desis Elka lirih. "Hatiku berfungsi dengan baik."
Daniyal mendadak diam. Elka kira, dia akan langsung melayangkan penolakan kontan lagi.
Lalu tanpa sengaja, ia melihat tangan pria itu mencengkeram lengan sofa yang berbahan beludru. Cengekraman tersebut otomatis menimbulkan corak jelas. Perlahan, tatapan Elka mulai merambat ke atas. Tertuju pada wajah pria di sampingnya.
"È ancora troppo presto," gumam Daniyal tiba-tiba.
"Huh?"
Respon misterius Daniyal membuat Elka kebingungan.
"What do you mea--"
"Terima kasih, Daniyal. Kau sudah menahan Elka pergi."
Perkataan itu sontak menyela ucapan Elka.
Handini telah kembali ke ruang tamu bersama suaminya. Membuat Elka langsung merapatkan bibir saat pria di samping Putri Laroka itu menatapnya diam tanpa ekspresi.
Daniyal juga menengadahkan kepala. Saat mendapati sosok yang datang bersama Handini, dia lantas mendengkus.
"Buburnya sudah abis? Beri tahu tahu saya jika kau membutuhkan asisten untuk menyuapi tua bangka ini, Handini," sarkas Daniyal.
"Diam kau!" hardik suami Handini seraya menggeplak kepala keponakannya.
Hamdan Lateef tampaknya memiliki hubungan yang akur dengan Daniyal. Interaksi tanpa cangung mereka, cukup meyakinkan Elka bahwa keduanya memiliki hubungan emosional yang dekat.
Ia masih bingung mengapa Gabri berkata bahwa Hamdan Lateef tak acuh terhadap keponakannya sendiri. Padahal pemandangan di depannya jelas menunjukkan sisi berbeda dari penjelasan Gabri.
"Yuk, kita makan malam dulu," ajak Handini. Dia tahu-tahu melangkah pada Elka, kemudian mengajaknya berdiri sembari mengamit tangan mantan kekasih Daniyal itu.
Mendapatkan perlakuan khusus dari wanita yang sempat ia kutuk, membuat Elka merasakan penyesalan kontan. Dia sebaiknya pulang saja. Tatapan suami Handini juga menjadi alasan besarnya untuk segera hengkang dari sini.
Pasalnya, dia bak penjahat yang sedang menerima tatapan penghakiman. Elka bergidik dibuatnya.
Dia ingin pulang!
Lagi pula, sekarang Daniyal berada dalam keadaan aman. Tak ada yang perlu ia khawatirkan sebab semuanya berjalan dengan semestinya. Dia masih punya hari esok untuk memenangkan hati pria angkuh ini.
"Oh, um, saya ... sebenarnya berniat pulang," kata Elka terbata. Dia hanya mengarahkan fokus pada Handini yang menatapnya dengan sorot mengayomi, jauh berbeda dari tatapan suaminya yang mengerikan. "Maaf sudah bertandang tanpa pemberitahuan awal."
"Kok udah mau pulang saja? Saya senang sekali kamu datang. Jangan dulu, ya? Kita ngobrol dulu. Cerita-cerita banyak hal dan menuntaskan apa yang sebelumnya tak sempat terucap," tutur Handini begitu lembut.
Didikan seperti apa yang Handini terima sampai gerak-gerik serta tutur katanya tertata sangat apik? Dia bak putri kerajaan yang sejak kecil telah menguasai pelajaran mengenai etiket dan tata krama.
Berbeda dari Elka yang tumbuh besar dengan dihujami kutukan kematian.
"Saya akan sangat sedih jika kamu pergi begitu saja. Kenapa? Apa ada yang membuatmu tidak nyaman?"
Suami Anda! Tatapan tajamnya mengganggu! Jerit Elka dalam hati. Ia memulas senyum simpul. "Tidak ada, semua baik-baik saja, Bu. Hanya saja, saya memang belum bisa berlama-lama di sini karena anak saya mungkin telah menunggu kepulangan saya di rumah."
"Jangan memaksa, Handini," ujar Daniyal.
Elka kira dia akan ditolong oleh pria itu. Harapannya telah membumbung tinggi, tetapi kemudian dipatahkan dalam waktu sedetik.
"Kamu terlalu lalai membiarkan orang asing masuk ke sini," sambung Daniyal menyilangkan kaki dan meletakkan dua tangannya pada lengan sofa. Dia menatap tanpa minat pada perempuan yang berdiri canggung di samping istri pamannya. Singa betina yang tadinya ganas, kini menciut bak putri malu.
"Daniyal," tegur Handini. "Jangan dengarkan dia, Elka."
"Makan malam di sini saja." Hamdan seketika menimpali perkataan sang istri. "Luangkan waktu sepuluh menit untuk menyantap masakan Istri saya."
Bagaimana mungkin Elka bisa menolak jika sudah ditodong begini? Ia terpaksa menerima permintaan pasutri tersebut demi menghargai mereka meski hatinya sakit karena lagi-lagi, ia mendapatkan penolakan Daniyal yang bertubi.
"Terima kasih!" seru Handini antusias. Dia langsung mengajak Elka pergi ke ruang makan.
Handini memperlakukan Elka bak tamu kehormatan. Dia memperhatikan menu yang disukai oleh tamunya sambil sesekali berbicara mengenai pekerjaan Elka dan Daniyal di kantor. Untuk urusan yang satu itu, Hamdan lebih banyak mengambil inisiasi obrolan.
"Lusa jadwal shooting kalian?"
"Iya, Pak."
"Kesiapan tim bagaimana?"
Elka menatap Daniyal sekilas, berharap dibantu, tapi yang ditatap malah asik dengan dunianya sendiri. Pria itu paling ahli bersikap menjengkelkan. Dia terus menguji kesabaran Elka.
Bukankah sudah tugas ketua divisi untuk menjelaskan hal ini? Terlebih Daniyal dan Hamdan sangat dekat. Bisa-bisanya Daniyal belum melaporkan hal tersebut pada Presiden Komisaris HL Group yang notabene adalah pamannya sendiri.
"Kami sedang mengupayakan segala persiapan shooting, Pak. Mulai dari persiapan teknis, kru, maupun talent. Kami pastikan semuanya aman sebelum hari pelaksanaan shooting. Dan sejauh ini, tidak ada permasalahan yang timbul. Semua berjalan sesuai rencana yang telah kami sepakati bersama," terang Elka usai susah payah menelan ayam panggang dan salad segar yang ia kunyah dalam sekali suap.
"Kau termasuk dalam talent-nya?"
"Iya, Pak."
Hamdan menjeling pada keponakannya.
"Saya dengar, itu ide Daniyal."
"Maaf?"
"Mengajakmu beradu peran. Itu idenya."
"Ah, iya. Benar."
"Iklan itu pasti akan berhasil."
Pujian mendadak yang Hamdan beri, hanya mampu memancing senyum canggung di bibir Elka. Ia rasa, ini adalah pressure yang disengaja agar Elka dan tim dapat menghasilkan profit besar dari iklan yang mereka garap.
"Karena kalian berdua jago memainkan peran pembohong."
Atau tidak. Hamdan agaknya punya maksud lain. Elka terkesiap atas sambungan sinis Hamdan. Dugaannya melenceng jauh.
"Mas," tegur Handini cepat, ia sentuh tangan sang suami yang sedang menggenggam pisau makan. Dia menggeleng pelan. "Jangan."
"Kenapa? Mereka memang pembohong." Hamdan tak mengacuhkan larangan tersebut. "Yang satunya pura-pura mencintai, yang satunya lagi berlagak jual mahal padahal aslinya manipulator ulung yang gemar menjebak."
"Paman." Daniyal yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. Riak wajahnya yang semula tenang, langsung diliputi oleh gurat ketegangan.
Sementara Elka sudah kehilangan minat untuk menguyah. Usai menenggak air, dia satukan tangannya di atas paha. Punggung yang mendadak dingin, ia sandarkan pada kursi rapat-rapat. Dikatai pembohong tepat di depan wajahnya sungguh mengejutkan bagi Elka. Dan sekarang, kegugupan telah mengambil alih dirinya.
"Kau." Hamdan menatap Elka lurus-lurus.
Elka menelan ludahnya gugup. Dia merasa seperti telah berkerut lantaran ditatap seperti terdakwa oleh Hamdan. "Iya, Pak?" jawabnya cepat.
Belum sempat Hamdan melanjutkan ucapannya, kursi makan yang Daniyal duduki terdorong ke belakang sebab pria itu seketika berdiri. Belum cukup sampai di situ, dia tiba-tiba meraih telapak tangan Elka yang sedingin es.
"Pulang," titah Daniyal tegas.
Elka menengadah, memandangi wajah Daniyal yang telah digerayangi oleh keruh kekesalan.
"Jangan berani beranjak sebelum saya beri izin!" sergah Hamdan keras. "Duduk, Daniyal."
"Pulang sekarang, Elka."
Daniyal kian mendesak.
"Apa lagi yang kamu tunggu? Pergi dari sini!" Suara Daniyal naik satu oktaf. Ia bagai dikejar sesuatu yang tak Elka pahami apa itu.
"Daniyal!" Hamdan memukul meja makan hingga menimbulkan getar kuat serta bunyi nan nyaring. Elka sampai terperanjat dibuatnya. Ia bahkan belum pulih dari teriakan Daniyal barusan, dan sekarang Hamdan malah melakukan tindakan yang semakin memacu adrenalinnya. Elka balas menggenggam tangan Daniyal kuat-kuat.
Apa ini hanya perasaan Elka saja, atau tangan besar yang sedang ia genggam juga tak kalah dingin? Dan mengapa situasinya menjadi sangat kacau? Benak Elka diliputi kebingungan.
Karena tak mendapatkan tanggapan dari Daniyal, Hamdan beralih menghujami Elka dengan tatapan paling tajam.
"Kau sungguh tidak menyukai keponakan saya, 'kan? Kamu hanya berpura-pura menyukainya, bukan?" tanya Hamdan mengintimidasi. Dia paku tatapannya pada perempuan yang berwajah pucat di samping Daniyal. "Jawab!"
"Saya menyukainya!" seru Elka spontan. "Sungguh. Saya suka Daniyal."
"Sialan," desis Daniyal.
Tahu-tahu, Elka sudah berada dalam gendongan Daniyal. Ia diangkat dengan gaya bridal style. Setelahnya, pria itu segera beranjak dari meja makan. Lebih tepatnya berlari.
"Kau sudah dijebak! Jangan menyukai orang sepertinya. Dia penipu! Saya jamin kau sudah diperdaya olehnya. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam perangkap yang dia buat, atau kau akan menyesal seumur hidup!" teriak Hamdan dari arah belakang. Kepala Elka langsung tertoleh, matanya terbelalak usai mendengar teriakan tersebut.
"Daniyal itu pembohong. Tipu dayanya kuat. Saya amat menyarankanmu untuk melupakannya. Cari pria yang lebih waras dari Daniyal! Kamu pantas mendapatkan yang terbaik, Elka. Dan tentu bukan Daniyal orangnya! Sungguh, dia pemangsa ulung. Keponakan saya ini, dia akan melegalkan cara kotor untuk mendapatkan apa yang dia mau."
Suara Hamdan mulai sayup terdengar karena Daniyal berlari cepat untuk keluar dari ruang makan.
"Termasuk kamu!"
Dua kata yang Hamdan ucapkan masih sempat terdengar sebelum Daniyal keluar dari dalam rumah.
"Apa maksud perkataan Pak Hamdan? Jebakan apa yang beliau katakan?" berondong Elka. Ia menatap wajah kaku Daniyal dari dekat, dua tangannya melingkari leher pria itu yang terasa tegang.
Sayangnya, Daniyal tak membuka mulutnya secara cuma-cuma. Dia mendiami Elka sampai mereka tiba pada Civic putih yang terparkir di depan rumah Handini. Elka lantas diturunkan.
"Pulang, dan jangan pernah berpikir untuk kembali ke sini. Apa yang kau lihat dan dengar di dalam sana ...." Daniyal menjeda ucapannya. Telunjuk kanannya terangkat ke arah rumah Handini. " .... lupakan itu semua."
"Lupakan, katamu? Bagaimana mungkin aku melupakan apa yang baru saja terjadi?!" sentak Elka enggan takluk. "Aku mendengar jelas perkataan Pak Hamdan. Dengan lantangnya beliau berkata bahwa kamu akan melegalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang kamu mau."
Elka menatap nyalang Daniyal.
"Termasuk aku!"
Tinju Daniyal terkepal. Dibalasnya tatapan Elka dengan sorot dingin.
"Katakan Daniyal, apa maksudnya? Apa maksud Pak Hamdan?"
"Tidak ada maksud apa pun." Daniyal membuka pintu mobil. Ia pun mendorong Elka pelan untuk masuk. "Lupakan yang sudah kamu dengar."
"Saya punya banyak kenalan pria baik-baik, Elka! Akan saya kenalkan asalkan kamu tinggalkan manusia manipulatif ini! Dengar baik-baik, walau Daniyal adalah keponakan saya, saya tidak akan membiarkannya menjebakmu. Kamu tidak tahu saja apa yang sudah dia lakukan kepadamu selama ini! Dia pria menyeramkan! Saya memiliki banyak bukti kegilaannya!"
"Mas! Kita sudah membicarakan hal ini sebelumnya!"
Baik Elka dan Daniyal sama-sama terperanjat oleh suara tersebut. Hamdan Lateef ternyata menyusul sampai ke sini bersama Handini yang berusaha menariknya agar kembali masuk. Masih dengan narasi yang sama, dia menjelekkan Daniyal tanpa pandang bulu.
Karena hal itulah Daniyal memaki panik, lalu bergegas masuk ke dalam mobil. Berbeda dengan Elka yang malah berniat keluar.
"Kamu tidak berniat menjawabku? Biar kucaritahu sendiri," desis Elka sebelum kemudian membuka pintu mobil.
Nahas, Daniyal sudah lebih dulu bergerak. Dia menekan tombol central locking system sehingga pintu mobil terkunci dari segala penjuru. Ia lantas menyalakan start engine button dan sesegera mungkin menjalankan mobil.
Sial, benar-benar sial.
"Kamu menyembunyikan sesuatu dariku!" pekik Elka bersama lonjakan amarahnya yang menggelegak. "Jawab, Daniyal!"
"Hamdan Lateef sedang melantur."
"Di bagian mananya beliau melantur? Ucapannya terdengar valid. Asal kamu tahu saja, caramu menghindar malah membuatku yakin bahwa kamu memang sedang menyembunyikan sesuatu."
Daniyal kembali mengunci bibir rapat-rapat. Ia fokus membawa mobil Elka menjauhi rumah yang tak akan dia datangi hingga beberapa minggu ke depan. Sial, dia kecolongan!
Hamdan Lateef, tua bangka itu benar-benar lancang. Lihat saja nanti, akan ia balas perbuatannya. Andai Daniyal sadar lebih awal bagaimana tabiat pamannya yang bermulut besar, dia usir paksa saja Elka tadi sebelum menerima tawaran makan malam Handini.
"Jawab aku!" Elka mencengkeram lengan atas pria di sampingnya.
"Diamlah," perintah Daniyal tajam.
"Lihat siapa yang panik," kekeh Elka sinis. "Jadi selain pencuri, kamu juga gemar berbohong. Memang bukan hal mengejutkan."
Elka memulai provokasinya.
"Akan kugali sampai tuntas apa maksud Pak Hamdan. Tentang kamu yang katanya sedang menjebakku, dan perbuatan apa saja yang sudah kamu lakukan di belakangku."
Ancaman Elka terus berlanjut, tanpa ia sadari wajah pria yang sedang ia konfrontasi sudah sekeras batu. Bahkan cengkeramannya pada kemudi, seolah mampu mematahkan roda kendali mobil tersebut.
"Bukti yang beliau sembunyikan, aku akan menagihnya tanpa tersisa satu pu--"
Mobil seketika terhenti. Ban berdecit nyaring, sementara tubuh Elka nyaris terdorong ke depan jika tak ada tangan kokoh yang mencegahnya terpental.
Mata wanita itu membelalak sebab di detik setelahnya, ia merasa lehernya dicengkeram, lalu tarikan pelan membuat kepalanya tertoleh pada pria di sampingnya.
Saat itu juga, sesuatu yang lembut mengambil alih kuasa bibirnya yang semula melontarkan kalimat-kalimat ancaman.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro