Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

40 | Elka dan Handini

Pedal gas mobil terus dinjak Elka kala ia membuntuti Daniyal yang mungkin sudah menyadari bahwa dirinya tengah diikuti. Pasalnya, pria itu tak mengendorkan laju mobilnya.

Dengan fokus tinggi, Elka berusaha memacu Civicnya sambil sesekali memperhatikan situasi lalu lintas sekitar.

Sudah ia katakan, menyerah tidak termasuk dalam opsi yang harus dia pilih. Maka bila Daniyal berniat kembali pada wanita p*dofil itu, dia tak akan membiarkannya. Daniyal boleh saja keras kepala, tapi kebebalan Elka Dyatmika bukan hal remeh yang bisa ia singkirkan begitu saja.

Ponsel Elka tahu-tahu berdering. Niat hati ingin meliriknya sekilas, seketika pupus saat mendapati siapa yang menelepon. Tawa cemoohan ia lepaskan dari sela bibirnya. Panggilan pun segera bersambut.

"You crazy woman, pelankan laju mobilmu!"

"Selain di kantor, hakmu untuk memerintahku tidak berlaku di sini," jawab Elka menolak patuh. "How's it feel to be stalked? Taste your own medicine, you jerk!"

Elka langsung memutus panggilan mereka. Bibirnya tahu-tahu melengkung layaknya busur panah. Mungkin karena ia terhibur oleh rasa frustrasi Daniyal, atau bisa jadi, karena ia senang pria itu mengkhawatirkannya.

Elka mendesis gemas. Apa dia begitu naif? Berlagak bak perempuan tak tahu malu yang tidak memedulikan penolakan dan dengan bodohnya malah mengejar pria yang menolaknya? Benar. Dia salah. Mungkin pandangan orang lain juga serupa. Hujatan adalah konsekuensi yang harus siap ia terima.

Hanya saja, sudah sejak lama Elka mati rasa pada penilaian orang lain. Dia yang bodoh, itu adalah urusannya. Kalaupun nanti hatinya tetap sakit, berarti takdirnya memang buruk. Luka hatinya pasti tetap kering, meski butuh waktu yang tidak sebentar. Namun, jika ia tidak mengambil kesempatan, memilih menjadi pecundang naif, Elka yakin, di kemudian hari ia hanya akan diliputi oleh perasaan gundah--sarat akan penyesalan karena menolak memperjuangkan perasaannya sendiri. Ambivalensi. Dia terjebak dalam posisi itu sekarang.

Tapi sekali ini saja, beri dia kesempatan untuk mengambil langkah ekstrem.

Untuk yang terakhir kalinya.

Mobil Daniyal perlahan mulai melamban saat ia berbelok ke arah pertigaan yang jalannya cukup kecil. Elka terus mengikutinya. Hingga kemudian, mobil pria tersebut berhenti pada rumah yang memiliki pagar besi menjulang tinggi berwarna hitam. Tiap bagian tengah pagar terdapat logo yang bertuliskan HL berlapis warna emas.

Handini Laroka.

Rumah besar di balik pagar, pasti adalah rumah wanita itu.

Daniyal keluar dari dalam mobil usai membanting kasar pintu mobilnya, lalu melangkah tegas menuju Elka. Wajahnya mengerikan. Dia terlihat marah.

Dengan senang hati, Elka juga memutuskan keluar mobil. Ia akui dirinya takut, tapi sekarang bukan waktunya berperan layaknya tikus lemah.

"Mengapa kau begitu keras kepala?!"

"Kau yang mengajariku," sahut Elka tenang.

Daniyal memejamkan mata frustrasi. "Pergi, Elka."

"Dulu, apa kau pergi setelah kuminta pergi?" Elka bersedekap. "Seingatku, kau tetap menempel di sisiku layaknya lintah."

"Konteksnya jelas berbeda. Sekarang kita hanya murni rekan kerja."

"Dulu kita juga rekan kerja. Apanya yang berbeda?" Bahu Elka terangkat tak acuh.

"Jangan berlagak apatis. Kamu sendiri yang memohon untuk kulepaskan. Hanya karena perasaanmu berubah, bukan berarti aku harus menyambutnya dengan tangan terbuka."

Tangan Elka yang sedang bersedekap, masing-masing terkepal geram. "Apa yang membuatmu begitu kukuh menola--"

"Daniyal?"

Suara selembut sutra tahu-tahu menghentikan perdebatan Elka dan Daniyal. Tatapan keduanya sontak teralih pada sosok wanita setengah abad yang melengok dari dalam pagar rumah yang sedikit terkuak.

Dia wanita yang sama dari yang dulu Elka lihat di rumah Rosita. Wajah cantik yang membuat hati Elka terasa sesak. Bahkan sekarang, perasaannya bercampur dengan ketidakberdayaan saat mendapati Daniyal menatap Handini begitu lekat. Dia jelas kalah dari segi kekuasaan, pun materi, bila disandingkan dengan Handini.

Mendadak saja, Elka merasa kerdil.

"Pergi, Elka," desis Daniyal geram. Dia masih memaku tatapan pada Handini Laroka yang menatap penuh minat pada Elka. Sial. Apa yang kini tersusun di otaknya tidak boleh terjadi.

Dia lantas mencengkeram lengan kiri Elka. "Masuk mobil."

"Aku pergi jika kau juga pergi!" balas Elka usai mengokohkan tekad. Menyerah? Yang benar saja. Akan ia hadapi Handini dengan tangan terbuka. Ia bertahan dalam posisinya meski tarikan Daniyal cukup kencang.

"Ajak Elka masuk, Daniyal," titah Handini tiba-tiba. Dia kemudian mendekati mereka, lebih tepatnya menuju pada Elka yang sudah memasang kuda-kuda siaga. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Jaga-jaga bila Handini berniat menyerang.

Namun, bukannya menjambak atau memukul, Handini malah mengamit lengan kanan Elka. Dia juga memukul pelan tangan Daniyal yang masih menguasai sisi lain lengan Elka.

"Ayo masuk," ajaknya ramah. "Daniyal tidak bilang kalau kamu juga akan datang."

"Aku tidak mengajaknya," bantah Daniyal kontan.

"Ayo masuk, Elka." Handini seakan menulikan telinga. Dia tetap menarik lembut lengan Elka untuk masuk ke dalam pekarangan rumahnya.

"Handini." Daniyal memperingati wanita yang tengah menuntun Elka tersebut.

"Kau juga masuk, Daniyal," sahut Handini kalem.

Daniyal mengetatkan rahang. Handini, dia tidak bisa diperintah begitu saja sebab di rumah ini, Daniyal hampir tidak bisa berlaku semaunya. Menyerah, Daniyal akhirnya mengekori dua wanita yang mulai menjauh tersebut.

Pembawaan diri Handini yang setenang sepoi angin malam, terkesan bagai ancaman tersendiri bagi Elka. Dia seharusnya tak masuk ke sini, tapi intuisinya kukuh memaksanya untuk bertahan. Ini kesempatan besar untuk menyingkap tabir tentang siapa Handini Laroka yang sebenarnya, dan sedalam apa hubungannya dengan Daniyal.

"Saya senang kamu datang," ucap Handini. "Sudah lama saya ingin bertemu langsung denganmu, tapi Daniyal tak mengizinkan."

Elka beralih menatap Daniyal yang baru saja melewati mereka. Dia bersikap seolah eksistensi Elka tak terlihat.

Bajingan menyebalkan! Maki Elka dalam hati.

"Duduk dulu, ya, saya mau ke belakang. Kamu ingin minum apa?"

"Terima kasih, tapi Ibu tidak perlu repot-repot," sergah Elka cepat. Dia ke sini bukan ingin duduk cantik pada sofa super lebar ini dan menyesap teh dari cangkir berlapis emas milik Handini. "Boleh kita bicara, Bu?"

Handini tampak menimbang. Dengan senyum kecil yang membingkai birainya, ia pun mengangguk setuju. "Sure," balasnya sembari mendaratkan bokong di samping Elka. "Mau ngobrolin apa?"

"Ibu adalah teman Rosita Laila."

"Benar."

Elka memilin tangannya di atas paha. Sikap tenang Handini mengantarkan gelenyar tak nyaman di hatinya.

"Ibu tahu pasti apa hobinya."

"Mengoleksi anak-anak. Dia pelaku ped*filia."

"Menurut Ibu, itu wajar?"

Handini menegakkan tubuh, tatapannya mengarah ke depan.

"Saya tahu Rosita sejak dikenalkan oleh salah seorang teman. Awalnya, kami hanya teman arisan. Saya orang baru dalam lingkup pertemanan mereka." Handini mulai mengulik awal mula dirinya mengenal Rosita Laila. "Rosita orang yang sulit didekati. Dia hanya berteman dengan mereka yang setara dengannya, lalu mulai melakukan kerja sama untuk memajukan segala bidang usaha yang ia miliki. Dia wanita yang penuh akan ambisi."

Handini kemudian berhenti. Ia hela napasnya pelan.

"Suatu ketika, giliran Rosita yang menjadi tuan rumah dari arisan kami. Kala itu, umur saya dua puluh enam tahun. Saya tidak mengira dia akan melakukan tindakan itu. Teman saya yang sudah lama mengenalnya, sekilas pernah berkata bahwa Rosita memiliki hobi aneh," jelasnya dengan raut tak terbaca. "Dia gemar menjadikan anak-anak sebagai boneka untuk ... kau tahu apa maksud saya, tapi saya enggan ambil pusing pada kelainan orientasi seksualnya karena jujur saja, hidup saya terlalu melelahkan jika harus memikirkan masalah orang lain. Hobi Rosita memang menjijikkan, tapi itu masalah dia. Benar, saya juga salah. Sama menjijikkannya dengan Rosita karena membiarkan dia berlaku demikian."

Pengakuan Handini yang terdengar jelas bercampur sesal, membuat tatapan Elka tersorot lamat-lamat kepadanya. Antara ucapan dan suara Handini, sama-sama mengandung ketidakselarasan, yang mana menurut Elka, itu agak ganjil. Handini seperti tidak berdaya karena membiarkan Rosita berlaku semaunya.

"Saya pikir hari itu, kami hanya akan melakukan arisan, atau membicarakan bisnis seperti biasanya, tapi perkiraan saya melenceng jauh."

Wajah Handini tampak masam. Setiap detiknya, Elka memperhatikan perubahan ekspresi dalam wajah yang masih saja kencang meski umurnya nyaris setengah abad ini.

"Dia menjajakan cucunya sendiri kepada kami. Mungkin, saya satu-satunya yang terkejut waktu itu. Melihat Rosita tanpa beban menjajakan sang cucu, saya tidak bisa berkata-kata dibuatnya. Rosita sakit jiwa. Sehingga akhirnya, satu keputusan singkat yang saya beri, membuat cucunya resmi menjadi milik saya."

"Ibu ... membeli Daniyal?"

Handini tersenyum kecil, ia balas tatapan menghakimi Elka dengan sorot getir. "Ya."

"Mengapa?"

"Karena saya sedang dituntun takdir," ucap Handini ambigu. Kemudian, tatapannya sedikit terangkat, bak sedang menerawang ke masa lampau. "Jauh sebelum saya mengenal Rosita, saya sudah lebih dulu mengenal Angeline Lateef. Kawan lama saya sewaktu bersekolah di Appleby College."

Handini menyebutkan salah satu sekolah bergengsi di Kanada. Elka mengernyit tipis.

"Dia gadis periang yang berteman dengan siapa saja. Dia ramah, dan selalu percaya diri. Karakternya begitu kuat sehingga banyak yang menghargainya. Sosoknya yang seperti mentari, membuat saya kerap mendamba ingin menjadi cahaya sepertinya. Kami memang tak cukup akrab, karena pribadi saya yang tertutup. Dia terlalu murni untuk berbaur dengan saya yang sejak awal telah larung dalam laut dalam."

Metafora yang Handini ucapkan, kian memancing kerut bingung di dahi Elka.

"Dulu, saya bukan sosok yang selalu tampil percaya diri. Menjadi anak dari Stephanus Laroka, bukan berarti saya punya banyak kemudahan hidup. Tergolong dalam kaum marjinal di keluarga, adalah takdir saya sejak awal. Alasannya sederhana. Patriarki. Eksistensi saya acap kali terlupa hanya karena saya perempuan."

"Ayah saya menjunjung tinggi patriarki. Dia punya empat Kakak lelaki saya untuk memenuhi semua ambisinya. Sementara saya, sama sekali tak masuk dalam pilihannya untuk urusan bisnis keluarga. Dipecundangi oleh Ayah sendiri. Dan itu amat menyakiti hati saya. Saya enggan kalah."

"Berangkat dari hal itu, saya coba bangkit perlahan. Menopang diri saya, meskipun dengan tekad yang telah babak belur. Saya selalu melakukan hal ekstra agar nilai diri saya bisa setara dengan keempat Kakak saya. Meskipun caranya tidak sepenuhnya benar. Contohnya dengan mengikuti arisan yang juga beranggotakan Rosita Laila di dalamnya. Arisan neraka yang digemari oleh manusia-manusia tanpa moral."

Penjelasan panjang Handini perlahan mulai mengupas keingintahuan Elka.

"Saya yang bersekolah bisnis di Kanada, itu karena bantuan Ibu saya. Tidak seperti Stephanus Laroka yang menganggap saya sebagai boneka yang hanya pantas dipajang pada lemari kaca, Ibu saya selalu memberi dukungan agar saya tak patah semangat karena terbiasa menjadi nomor kesekian di keluarga kami."

"Lalu semuanya mulai membaik usai saya bertemu Angeline. Rasanya saya menjadi sosok yang lebih hidup hanya dengan melihatnya saja. Teringin saya menjadi dirinya, sehingga perlahan, saya coba belajar darinya. Sosoknya yang dikelilingi oleh nilai positif, membakar tekad saya untuk berubah, menempa diri supaya menjadi versi terbaik diri saya. Ah, cukup penjelasan mengenai siapa saya yang sebenarnya. Itu membosankan untuk didengar."

Handini terkekeh miris. Berusaha menjadikan dirinya setara dengan Angeline, nyatanya memang berlebihan. Sampai kapan pun itu, ia tak akan bisa sama dengan idolanya.

"Suatu ketika, saya tiba-tiba mendengar kabar bahwa Angeline terpaksa pulang ke Indonesia akibat kondisi kesehatan Ayahnya semakin mengkhawatirkan. Kami pun terpisah jauh. Dia idola saya, Elka. Dan kau tahu, kehilangan sosok idola dalam hidup kita, rasanya menyesakkan. Walau kami tak cukup akrab, saya tetap sedih setelah dia pergi. Dia adalah role model saya. Sangat wajar bagi saya untuk merasa sedih."

Tarikan napas panjang Handini loloskan dari bibirnya.

"Terlebih lagi, belasan tahun kemudian berita tentang suami Angeline yang tewas akibat kecelakaan, amat mengejutkan saya. Nahasnya, tak lama dari itu, Angeline Lateef juga diberitakan meninggal dunia saat saya masih berada di Kanada. Saya patah hati. Teramat sangat. Walau lama tak bertemu, saya tetap terluka atas berita itu. Saya menyayangkan takdirnya yang pahit."

Raut Handini yang bermuram durja, membawa senyap di antara mereka.

"Apa sekarang, penjelasan saya mulai jelas bagimu?" ujar Handini memasang senyum pedih. "Saya memang tak mengikuti berita tentang keluarga Lateef meskipun saya mengidolakan Angeline. Saya kenal Angeline, sesederhana hanya tertarik pada kepribadiannya saja. Sehingganya, informasi mengenai sosok Rosita Laila, awalnya sempat tak saya ketahui. Siapa sangka, bergabungnya saya dalam arisan itu, sejak awal adalah takdir yang mustahil saya hindari. "

"Setelah lebih jeli mengulik tentang latar belakang hidup Rosita, siapa dirinya yang sebenarnya, saya tak bisa lagi bertahan apatis. Dia yang ternyata adalah simpanan Hairul Lateef yang kemudian diperistri sebelum Hairul tiada, cukup mengejutkan saya. Dia Ibu tiri Angeline. Dan melihat Daniyal yang dijajakan hari itu, saya amat terkejut dibuatnya. Saya pun bisa langsung menebak dia anak siapa. Wajahnya mengingatkan saya pada Angeline muda."

Elka benar-benar dibuat kelu oleh untaian penjelasan Handini yang menurutnya teramat kompleks.

Mengenal Daniyal menuntunnya menyibak tabir baru dari sisi lain kehidupan yang tak pernah ia kira nyata adanya.

Bahkan, mereka yang notabene adalah pemilik kekuasaan--mereka yang dari tampilan luarnya tampak memiliki hidup tenteram nan sempurna, ternyata kehidupannya juga berselimut konflik.

"Nyatanya, saya memang bukan penggemar Angeline yang loyal. Karena bagaimana mungkin saya bisa disebut demikian, sementara saya sama sekali tak tahu bahwa Angeline memiliki seorang Putra yang ditinggalkan bersama Rosita?"

Handini memutar kembali memori tentang dia yang membeli Daniyal dari Rosita. Wanita tamak itu tak berpikir dua kali menyerahkan Daniyal pada Handini saat anggota lama di kelompok arisan mereka berlomba ingin memiliki Daniyal. Nominal besar yang Handini pertaruhkan demi Daniyal, nyaris membuatnya kehilangan segalanya.

Namun, dia tak merasakan kerugian sedikitpun. Dia bisa dengan mudah mendapatkan materi, tetapi buah hati Angeline yang telah mengarungi banyak ketidakberuntungan hidup, layak mengecap kebebasan.

Mendiang Angeline dan suaminya sudah sepantasnya merasakan kedamaian.

Putra mereka, telah aman.

"Anda ... membeli Daniyal untuk menyelamatkannya." Elka berujar lirih usai ia sadar pada muara perkataan Handini. Dia seperti baru saja ditampar keras.

Handini melempar senyum tulus pada Elka. "Kamu boleh menganggapnya begitu."

"Tapi mengapa saat bertemu di rumah Rosita, interaksi Anda dan Daniyal terkesan aneh?"

"Ah." Handini menepuk pelan pahanya. "Saya khawatir Daniyal akan menyakiti dirinya di rumah Rosita. Dia manusia nekat. Apa pun akan dilakukannya agar keinginannya terwujud. Dan Daniyal yang mengamuk, itu bukan sesuatu yang ingin saya saksikan."

Handini meringis. Daniyal itu bebalnya luar biasa. Dia sulit ditegur selama ia menganggap apa yang dilakukannya memang benar.

"Dia sudah merahasiakan pertemuan kalian dengan Rosita, tapi saya memaksa datang setelah Rosita memberikan undangan makan malam saat itu. Jelas Daniyal marah karena saya muncul tiba-tiba. Dia tidak mau rencananya terganggu, apa lagi terdistraksi, tapi saya hanya ingin memastikan kondisinya saja. Sudah beberapa bulan dia tidak pulang ke rumah. Katanya, ia sedang melakukan misi untuk menghancurkan Rosita. Kami bahkan hanya berkabar sesekali saja--saking Daniyal enggan diganggu agar fokusnya tidak pecah."

"Waktu itu, kata-kata Ibu terkesan seperti seorang wanita yang merasa telah kehilangan kekasihnya." Lidah Elka terasa kaku selepas berkata demikian.

Handini malah tergelak. Bukan jenis tawa terbahak. Tawanya mengalun lembut. Wanita ini menguarkan keanggunan yang kental dari dalam dirinya. Menyadarkan Elka bahwa ia harusnya segan pada wanita di sampingnya ini.

"Saya memang begitu. Selalu hiperbolis. Daniyal tinggal bersama saya sejak umur lima belas tahun. Semenjak saya mengambilnya dari Rosita, saya berperan sebagai orang tua yang protektif untuknya."

Kepala Elka dibuat pening oleh fakta-fakta yang sedang dijabarkan Handini. Serunyam ini konflik hidup Daniyal.

"Meski begitu, Daniyal tetap rutin berkunjung ke rumah neneknya. Dia sudah saya larang, tapi Daniyal sukar diatur. Katanya, dia ingin mengumpulkan banyak bukti untuk menghancurkan Rosita Laila yang sudah berulang kali menyiksanya." Handini menggeleng tidak habis pikir atas tingkah nekat Daniyal.

"Rosita mengira saya dan Daniyal memiliki hubungan serupa dari yang dia lakoni bersama bocah tawanannya. Saya biarkan dia berpikir begitu. Rosita tidak tahu saja bagaimana saya berusaha mengendalikan Daniyal yang mengamuk saat pertama kali saya membawanya pulang ke rumah pribadi saya. Butuh waktu dan usaha besar untuk menjinakkan Daniyal. Ketahuilah, Elka, sejak dulu, dia bocah pemarah," ringis Handini. "Saya bersyukur kamu datang. Akhirnya kita bisa one-on-one talk. Ada lagi yang membuatmu penasaran? Bertanyalah."

Diberi kesempatan untuk kembali bertanya, Elka langsung menyambar kesempatan tersebut. "Mengapa Ibu membiarkan Rosita berlaku demikian? Saya dengar, Ibu membuat Rosita kebal hukum."

"Ah, ya." Hati Handini berdesis getir. "Saya sudah telanjur berbaur dengan Rosita. Saya yang melakukan transaksi dengan Rosita, pada dasarnya telah melakukan human trafficking. Saya sama bersalahnya dengan dirinya. Apa yang akan terjadi bila orang-orang tahu saya yang berdarah Laroka, melakukan tindakan keji seperti itu?"

"Ayah saya bagaimana? Citra keluarga yang amat dijaga oleh Ayah saya? Lalu, Ibu saya pasti akan sakit hati. Saya tidak ingin dibuang, Elka. Saya masih mengharapkan kasih sayang mereka kendatipun pada akhirnya, saya tetap saja terbuang. Tindakan saya yang mengadopsi Daniyal, mendatangkan kontroversi besar di keluarga kami."

Handini mengecilkan suara pada akhir kalimatnya. Dia seakan baru saja menelan pil pahit.

"Asal usul Daniyal yang sejak awal tidak terendus publik, membuat identitasnya cacat. Angeline dan suaminya amat menjaga privasi putra mereka sehingga publik tidak tahu menahu mengenai Daniyal. Nahas, usai mereka tiada, di situlah neraka Daniyal dimulai. Rosita yang selama ini sudah begitu apik menyembunyikan Daniyal, lalu Kakak dan Adik Angeline yang apatis terhadapnya, membuat identitas Daniyal sebagai seorang Lateef tak diakui. Dia tidak ubahnya hanyalah manusia tanpa jati diri."

"Bukankah hidup Daniyal terlalu memilukan? Itu yang membuat saya teguh mempertahankannya di sisi saya. Walaupun oleh keluarga, saya dianggap gagal karena mengadopsi anak yang bisa saja membawa ketidakberuntungan bagi keluarga kami. Saya enggan peduli lagi pada penilaian mereka. Yang saya inginkan hanyalah melindungi Daniyal. Dan saya berharap, Angeline tenang di alam sana."

"Maka dari itu, demi keuntungan saya sendiri, saya ikut melindungi Rosita." tutur Handini melanjutkan penjelasan dengan nada bersalah. "Meski pada akhirnya itu sia-sia karena Daniyal sendiri yang sudah mengatur alur balas dendamnya sehingga eksistensi saya yang pernah melindungi Rosita, sama sekali tak terendus oleh para pencari fakta. Selain kamu, Karol, Pak Iksan, dan seseorang yang saya kenal--dia yang diam-diam ternyata melindungi Daniyal dari jauh--tak ada yang tahu mengenai hal ini."

"Jadi, Elka, apa pun yang pernah kamu dengar dari Rosita Laila mengenai saya dan Daniyal, itu dusta. Tak benar adanya. Dia begitu karena mulai khawatir saya menarik diri darinya."

Elka benar-benar dibuat kelu oleh penjelasan wanita di sampingnya. Dia salah selama ini. Alasan Handini membeli Daniyal, tak lain adalah untuk menyelamatkan pria itu.

Mengapa banyak sekali plot twist dalam alur hidup Daniyal?

"Mi, bubur Papi mana? Nungguin kamu dari tadi, tapi nggak balik-balik kamar."

Seorang pria berwajah pucat yang amat familiar bagi Elka, mendadak muncul di ruang tamu.

"Oh. Ada tamu," ujar pria itu menatap Elka sekilas.

Dia lantas segera berbalik. Seolah sebelumnya, dia tak berpijak di tempat ini. Sikapnya berubah cepat. Suara manja yang sebelumnya terdengar darinya, seketika digantikan oleh nada dingin.

Handini tertawa canggung kala menatap Elka.

"Boleh saya tinggal sebentar? Suami saya bisa merajuk kalau tidak disuapi. Maklum, demam lelaki memang merepotkan. Daniyal akan saya suruh ke sini."

Elka sudah cukup terkejut usai mendengar penuturan Handini tadi. Dan setelah melihat pria paruh baya yang baru saja menarik diri tersebut, dia tidak bisa tak lebih terkejut dari ini.

Terlebih lagi, pria itu bisa bersikap manja? Kata manja sangat kontradiktif dengannya. Seingat Elka, dia sosok dingin tak tersentuh. Lalu yang barusan Elka lihat, maksudnya apa?

Plot twist macam apa lagi ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro