Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4 | Fu*ked Up!

"Panggung rencananya akan kami taruh di rooftop sebelah utara, menghadap ke selatan. Sedangkan untuk tenant-tenant akan diletakkan di sisi barat. Meskipun belum ada pengumuman resmi, tenant-tenant sudah berlomba mengajukan diri untuk keikutsertaan mereka. Dan karena ini merupakan acara tahunan PI, kami akan meregulasi kembali tata tertib dan keamanan festival secara lebih ketat, mengingat tahun kemarin sempat ricuh akibat ada pengunjung yang menyeludupkan flare."

"Kalau begitu koordinasikan masalah keamanan sama Pak Rico. Personil keamanan ditambah. Pastikan orang-orangnya memang layak direkrut."

"Siap, Bu."

"Good, Jahira. Elka, sudah menghubungi band yang akan mengisi acara?"

Keempat orang yang duduk mengelilingi meja berbentuk lonjong itu beralih menatap Elka. Akan tetapi, orang yang sedang ditatap malah terlihat seperti kehilangan fokus. Elka terpekur menatap MacBook-nya yang sedang menampilkan kandidat nama-nama band yang akan tampil dalam festival musik PI--Felicity Fest.

"Mbak." Jahira mencolek pinggang Elka. "Mbak Elka, ditanyain sama Bu Karlina."

Elka bergumam amat kecil, tetapi sejurus kemudian dia terkesiap. "Ya? Gi-gimana, Bu?"

Serangan panik menggerogoti pangkal kepala hingga ujung jari kaki Elka kala melihat ekspresi bosnya yang memasang tampang masam.

"Stayed up late yesterday, huh? You're really bringing the focus today. Want me to save you with a break?" tanya Karlina, sarat akan nada satire.

Elka menggeleng kuat, jantungnya berdegub cepat. "Maaf, Bu, saya nggak akan mengulangi kesalahan yang sama."

Suasana canggung tak dapat terelakkan. Hanya suara AC yang kini mendominasi meeting room.

Helaan napas panjang diembuskan Karlina. Ia lalu berdiri seraya merapikan Bettina Blouse yang dikenakannya.

"Lepas makan siang, rapatnya kita lanjutkan. Saya nggak akan menoleransi keteledoran apa pun saat rapat berlangsung nanti."

Usai berkata demikian, Karlina meninggalkan ruangan dengan langkah tegas. Entakan heels tujuh sentinya seakan menjadi penanda bahwa ia amat tak suka pada kejadian barusan. Begitulah sosok Karlina yang sudah mengepalai divisi Sales & Marketing sejak sepuluh tahun terakhir. Ia menyeriusi bidang yang dia kerjakan. Bahkan, meski sempat terdengar desas desus adanya posisi lebih tinggi yang ditawarkan pada Karlina, ia secara lugas menolak.

Dedikasinya untuk divisi ini tak main-main. Sehingganya, sekecil apa pun kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya, Karlina tidak akan pandang bulu untuk memberikan peringatan tegas. Bahkan meskipun kesalahan tersebut diperbuat oleh Elka yang notabene tangan kanannya di perusahaan ini.

"Maaf, gue nggak fokus." Elka memecah hening saat sang bos sudah benar-benar meninggalkan ruangan.

Jahira menepuk-nepuk bahu Elka pelan. "You okay, Mbak?"

Elka membalasnya dengan anggukan dan senyum kecil.

"Kita ke luar dulu aja, gimana? Ke PI. Nunggu maksi di Ruang Bersama," usul Yasa mencairkan suasana.

"Sorry, gue nggak gabung dulu. Mau ngurusin sesuatu." Elka memandang teman-temannya dengan tatapan bersalah.

"Beneran nggak papa, Ka?" Javis menatap Elka lurus-lurus. Tadi saja, ia datang telat ke kantor.

'Sangat tidak Elka sekali'.

"Lagi kepikiran sama sesuatu. Bukan perkara besar kok. Cuma, ya, emang butuh waktu sendiri aja biar bisa benahin fokus yang agak kacau."

Elka berbohong. Dia tak mungkin baik-baik saja di saat kendali tubuhnya berantakan setelah bertemu dengan tamu yang berkunjung ke rumahnya pagi tadi. Dia sungguh ingin sendiri saja sekarang.

Javis, Yasa dan Jahira pun mengabulkan permintaannya. Selepas ketiga temannya pergi, Elka mengembuskan napas panjang yang sedari tadi tertahan di kerongkongannya.

Daniyal.

Lelaki itu adalah perwujudan mimpi buruk sesungguhnya. A walking disaster. Mau tidak mau, Elka kembali mengulang ingatan pagi tadi dalam otaknya.

"Pagi, kita bertemu lagi, Elka."

Elka membatu kala melihat sosok yang setengah mati ia hindari, saat ini malah duduk tenang di sofa rumahnya. Daniyal memberi senyum paling ramah dari yang pernah Elka lihat terukir di bibir lelaki ini selama ia mengenalnya.

"Saya yakin kita perlu membicarakan beberapa hal. Tidak akan lama. Jadi, mereka bisa mendengar obrolan kita." Daniyal memandang Sus Ami, hingga kemudian memaku tatapannya pada Rafael selama beberapa saat. Tatapan yang sejurus kemudian teralihkan setelah Elka bersuara.

"Sus, aku nggak bisa antar kalian sekarang. Pesen taksi online saja, ya."

Instingnya mengatakan bahwa situasi mereka tidak begitu baik untuk disaksikan oleh Rafael dan Sus Ami. Karenanya, Elka meminta pengasuh putranya untuk berangkat ke sekolah dengan menggunakan transportasi online. Beruntung Sus Ami langsung paham maksud Elka. Ia segera mengajak Rafael beranjak dari tempat tersebut. Akan tetapi, bocah tujuh enam itu malah menolak, memilih merekatkan diri pada mamanya.

"El nggak mau ninggalin Mama. Om ini jahat." Rafael menarik-narik jas kantor yang Elka kenakan agar sang Mama mencurahkan seluruh perhatian kepadanya. "Ayo pergi, Ma. Tadi Om ini bilang kalau dia mau reb--"

"Tidak akan lama, Elka. Mereka bisa mendengarkannya. Duduklah." Daniyal menyela perkataan Rafael.

Ditekan oleh situasi yang membuatnya dilanda panik, Elka langsung menggendong Rafael menuju teras rumah. Sus Ami juga mengekor di belakang.

"Sayang, Mama nggak akan kenapa-kenapa. Om itu teman Mama. Mama minta maaf karena hari ini belum bisa antar kamu ke sekolah. Mama harus ngobrol sama temen Mama." Elka coba memberikan pengertian pada Rafael. "Udah pesen taksinya, Sus?"

"Sudah, Bu. Mobilnya dikit lagi sampai."

"Tapi El nggak suka Om itu, Ma. El nggak suka." Rafael menggeleng keras.

Meski bingung dengan respon Rafael sebab terang-terangan berkata bahwa ia tak menyukai Daniyal padahal mereka belum lama bertemu, Elka tetap meminta putranya untuk segera pergi ke sekolah tanpa diantar olehnya.

"Mama janji, besok Mama tetep nganter kamu. Hari ini Mama absen dulu, ya, Nak." Melihat taksi berwarna biru mendekat ke arah rumahnya, Elka meminta Rafael bersiap. "Itu mobilnya udah sampai. Ayo, salim dulu sama Mama."

"Maaa," rengek Rafael.

"Iya sayang, nggak apa-apa. Mama will be okay. He's my friend." Elka cepat-cepat menatap Sus Ami sebelum putranya makin menunjukkan gesture penolakan. "Nanti kabarin kalau udah sampai sekolah."

"Siap, Bu."

Mobil yang membawa Rafael dan Sus Ami segera meninggalkan pekarangan rumah. Di saat itulah Elka baru sadar ternyata di depan rumah Opa Iksan, lagi-lagi terparkir mobil mewah yang semalam ia lihat. Mobil milik Daniyal.

Entah apa yang sedang direncanakan oleh pria ini. Elka yakin, itu bukan kabar bagus untuknya.

Akhirnya, dengan langkah berat ia kembali masuk ke rumahnya. Di setiap langkah yang ia ambil, Elka meyakinkan diri bahwa dia akan baik-baik saja. Daniyal pasti datang hanya untuk memastikan 'rahasianya' masih aman di tangan Elka.

Pasti begitu.

"Ada perlu apa datang ke rumah saya?" tanya Elka tanpa berbasa-basi setelah ia duduk di sofa yang berseberangan dengan Daniyal.

Daniyal yang mulanya menatap foto Elka dan Rafael yang tergantung di sisi dinding sebelah kiri pintu masuk, langsung mengalihkan pandangannya pada Elka.

"Tujuh tahun," ujar Daniyal pendek.

Muncul kernyit tipis di dahi Elka.

"Tujuh tahun dan perubahanmu cukup mengejutkan."

Elka mulai tak nyaman hanya dengan mendengar suara Daniyal yang menguarkan nada intimidasi.

"Bisa tolong dipercepat? Saya nggak bisa lama-lama."

"Tujuh tahun membuatmu tampak seperti individu berbeda." Senyum kecil di sudut bibir Daniyal seolah menyimpan belati yang sebentar lagi akan ia tancapkan di kepala Elka. "What happened to the shy Elka I used to know? Sneakily always watching the man she loves like a creep? Oh, my bad--let me rephrase that. Elka isn't a scaredy-cat girl. She's just a tad braver than most women. Keberanian itu membuatnya rela melakukan hal menjijikkan sampai menyatakan cinta di hadapan banyak orang."

Elka sontak berdiri, dadanya bergemuruh. Sialan! Dia sudah menduga ke mana muara percakapan ini!

"Saya tidak tahu apa motif Anda berkunjung ke rumah saya dan repot-repot bernostalgia, tapi asal Anda tahu, semua itu tak lagi berguna. Melanjutkan hidup tanpa menoleh ke belakang adalah hal bijak. Saya tahu kesalahan saya, dan saya belajar darinya. Jadi, hentikan basa-basi Anda. Mengapa repot-repot membahas hal yang tak penting seper--"

"Saya yang menentukan penting tidaknya obrolan kita sekarang. Bukan kamu," sanggah Daniyal enggan menerima segala bentuk penentangan. Sedetik kemudian, dia memasang senyum tipis. Ditatapnya Elka dengan pandangan lurus. "Ain't it just delightful to reunite with the man you're so smitten with?"

Daniyal menyilangkan kaki, lalu meletakkan tangan di atas paha. Semua gerak-geriknya sarat akan arogansi. Elka tak lagi mendapati sosok Daniyal yang dulu selalu berlaku ramah pada semua orang.

"Tapi saya kecewa dan terganggu akan fakta ini. Cinta?" Pria itu berdecih. "Omong kosong. Kamu pandai membual, Elka. Jika seandainya kamu benar-benar mencintai saya, rahimmu tak akan menyimpan benih pria lain. Padahal waktu itu, kamu baru saja menyatakan cinta pada saya. Sefrustrasi itukah kamu karena tidak mendapatkan balasan dari saya sehingga mencari kehangatan di lain tempat?"

"Cukup," desis Elka, wajahnya mengeras. Ia menatap geram pada lelaki yang mulai memunculkan watak aslinya itu.

"Ah, benar juga. Kamu pasti sakit hati karena saya sebut sebagai perempuan rendahan sehingga melampiaskannya dengan mencari pria lain dan tidur bersamanya. Benar, bagaimana pun juga, tabiat perempuan rendahan memang liar. Kesan itu sulit dihilangkan. Jadi ... dengan siapa kamu menjajakan diri?"

"Cukup! Keluar dari rumah saya!" pekik Elka tak terkendali. Ia mengepalkan tangan kuat-kuat.

''Manajemen emosimu sangat buruk. Saya bahkan baru memulai obrolan kita. Bertemu kembali, rasanya cukup menyenangkan. Bukankah kamu tidak hadir dalam reuni itu? Sebagai gantinya, kita bisa bersama-sama mengenang masa lalu kita yang masih menjadi topik panas dalam obrolan mereka kemarin. Bagaimana?" Daniyal terkekeh. "Tapi tenang saja, saya bukan tipikal pemaksa. Kita bisa mengenang masa lalu lewat pertemuan-pertemuan kita di masa yang akan datang. Alasan saya muncul di hadapanmu sekarang, kamu tahu dengan pasti apa penyebabnya."

Kata-kata Daniyal mengalir amat tenang. Namun, bagi Elka ketenangan tersebut bagai genderang penanda datangnya petaka besar. Kini, perasaan gusar menghantuinya. Bahkan di detik ini, bernapas pun terasa sulit bagi Elka.

Daniyal kemudian bangkit, mendekati perempuan di depannya yang berusaha keras menyembunyikan ketakutannya sendiri. Masih dengan senyum ramah yang terpasang di bibir, ia berdiri dengan jarak dua puluh senti dari hadapan Elka. Aroma segar citrus langsung menyapa indra penciuman Elka yang sejak tadi dihidunya samar-samar.

"Ingat, Elka, you're the one who came looking for me, not the other way around. So don't even think about running. It'd be a total waste of time."

Melihat bagaimana murka terpancar jelas dari kedua mata Elka, Daniyal membalasnya dengan tatapan meremehkan.

"And don't you dare try to shift the blame onto me. It's your own incompetence that couldn't keep you hidden. Your naive mindset is the real culprit here."

Usai mengatakan kalimat pamungkasnya, lelaki yang baru saja mendeklarasikan bahwa mulai hari ini Elka berada dalam pengawasanya itu, segera menarik diri. Yang pasti, Elka sudah terjebak sekarang. Dia tak akan bisa lari lagi seperti dahulu.

Mengapa dengan bodohnya ia berpikir Daniyal sudah melupakannya?!

***

Pulang dengan sisa-sisa keletihan dan perasaan tidak puas atas pekerjaan yang dia lakukan hari ini, membuat kepala Elka terasa berat. Meskipun siang tadi rapat tetap dilanjutkan tanpa adanya hambatan, ia masih tak mampu mencegah seburuk apa pengendalian dirinya hari ini.

Dia selalu kehilangan fokus saat berhadapan dengan layar MacBooknya dan secara konstan mengulangi kejadian pagi tadi di otaknya. Keresahan yang berusaha ia hilangkan, nyatanya sulit untuk sirna.

Daniyal! Semua ini terjadi akibat ulahnya!

Saat mobil Elka hendak memasuki garasi, ia melihat keberadaan Izz yang duduk di kursi teras rumah. Kenapa dia duduk di situ? Elka bertanya dalam hati. Biasanya ketika sore menjelang malam seperti sekarang, remaja ini akan menemani Rafael dan Pak Iksan bermain layangan di halaman rumah mereka. Setelah mobil terparkir sempurna, barulah dia menghampiri Izz sembari menyeret langkah.

"Izz, kenapa nggak masuk ke dalam? Nungguin siapa?" tanya Elka sarat nada letih.

Entah mengapa, efek dari tatapan antusias Izz sejak melihat mobilnya masuk ke area rumah, membuat perasaan Elka cemas. Semoga bukan kabar buruk yang akan dia dengar. Lihat, bahkan pada Izz pun dia jadi ikut berprasangka buruk. Agaknya, ia sudah berada dalam batasnya dan butuh tidur sekarang juga.

"Kak Elka udah makan belum? Makan malam?"

Gelengan singkat Elka berikan.

"Saya nggak ada niatan makan malam hari ini. Mau langsung tidur saja. Yuk, Izz, masuk," balas Elka sambil berlalu dari hadapan remaja lelaki tersebut.

Kala otaknya mulai memikirkan kasur, guling dan dinginnya AC kamar yang dapat memanjakan tubuh, Izz malah melemparkan bom yang seketika memporak-porandakan segala khayalan Elka tentang kamar dan tidur.

"Sudah saya duga, pasti Kak Elka belum tahu. Makanya dari tadi saya nunggu Kakak karena nomor Kakak nggak aktif."

"Saya nggak bawa bank daya, hp saya mati. Ada apa, Izz?"

"Mulai hari ini Pak Daniyal akan tinggal di kompleks ini. Tepatnya di samping rumah Kak Elka. Kakak nggak lihat, ya, tadi pas lewat? Rumah sebelah yang kosong akan ditempati beliau hari ini juga. Siang tadi, saya bantu-bantu beberes di situ. Dan malam ini, Pak Daniyal mengundang beberapa tetangga untuk menghadiri makan malam di rumahnya. Bapak, Sus Ami sama Rafael udah di situ sekarang. Yuk, Kak, ke sebelah. Pak Daniyal sendiri yang nyuruh saya buat manggil Kakak. Katanya beliau mau minta maaf secara langsung atas kejadian kemarin di rumah saya. Beliau nggak enak sudah marah-marah di hadapan Kak Elka."

Dari semua rentetan celotehan Izz yang sudah seperti panjang rel kereta itu, kata yang mampu dicerna jelas oleh otak Elka hanyalah 'tetangga dan Daniyal'.

Kombinasi mengerikan yang tak pernah Elka sangka dapat terjadi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro