37 | Go Get Your Man, Girl!
Elka pikir, dia sudah terbiasa menerima berita buruk di hidupnya. Bukan cuma sekali dua kali dia dibuat tersungkur oleh keburukan-keburukan yang gemar menggerayangi kehidupannya. Lalu karena terbiasa, dia akhirnya membentuk coping mechanism dengan cara melakukan cut off atas semua hal yang membuatnya menderita.
Akan tetapi untuk kali ini, harus bagaimana dia melupakan perasaan yang baru saja beri pupuk dan hendak ia rawat baik-baik usai ia menyadari perasaannya terhadap pria yang telah mengumumkan perpisahan di antara mereka pada khalayak ramai itu?
Elka menatap tak fokus layar MacBook di depannya. Berulang kali dia menyatukan fokus, berulang kali pula perhatiannya berceceran. Ia kepalkan tangannya yang bergetar di atas papan tombol.
"Mbak, waktunya pulang. Masih ada yang lo kerjain?"
Jahira yang entah sejak kapan sudah berada di dekat Elka, mengusap pelan tangan perempuan yang ia yakini tengah terguncang ini. Setelah mengetahui berita menggemparkan tersebut, Elka kembali melanjutkan pekerjaannya, dia memilih apatis terhadap pemberitaan di luar sana mengenai dirinya dan Daniyal. Elka bersikap terlalu tenang.
Jahira sebenarnya sudah bersiap menenangkan perempuan itu bila ia menangis, tetapi bayangannya tak terjadi. Elka menunjukkan sikap terkendali. Walau sebenarnya, itu tampak hanya dibuat-buat demi menyembunyikan pergolakan emosinya sendiri. Lihat dia sekarang, luka yang tergores dari sotot matanya, menjadi bukti kekacauan Elka.
Dia berusaha keras untuk terlihat profesional, tapi kenyataannya tidak begitu. Dia seperti orang linglung.
"Oh, udah waktunya pulang?" Elka menarik tangannya dari usapan Jahira, kemudian ia satukan di atas paha sambil menautkannya. Berusaha meredam tremor. Ia paksakan seulas senyum pada gadis di sampingnya. "Duluan aja, Ra. Gue lembur hari ini."
"Mbak."
"Iya, Jahira. Lo balik aja." Elka menggigit bagian dalam bibirnya. "Gue ... gue gak bisa langsung pulang, Ra. Gue ... butuh ngalihin fokus. Jadi, please? Gue ingin sendiri dulu."
"Mbak Elka." Suara Jahira mulai bergetar kala menyebut nama Elka. Kerapuhan perempuan di depannya terlihat begitu jelas hingga membuat hati Jahira nyeri. "Mana mungkin gue ninggalin lo sendirian. Not in this state."
"Bisa, Ra. This is ain't my first rodeo. I can totally handle this. Gue hanya butuh waktu sendiri supaya bisa tenangin diri dulu."
"Mbak Elka, gue mau nangis."
"Jangan. Bukan tugas lo untuk sedih. Memang udah gini kok takdirnya." Elka pandangi wajah Jahira dengan sorot kosong. "Tolong, Ra, tinggalin gue, ya? Hari ini saja. Janji, besok, gue gak bakal kayak orang linglung lagi."
"Nggak, Mbak Elka. Lo gak bisa sendirian sekarang. Setidaknya biarin gue anterin lo sampai rumah. Gue gak mau lo nyetir sendiri. Please?" pinta Jahira memohon. "Atau kalau memang lo mau tetap di sini, at least gue temenin. Gue janji nggak bakal rusuh. Gue diem, sampai semua urusan lo selesai. Gu-gue duduk di sana. Atau ... atau gue duduk di luar saja? Nanti bilang, ya, kalau lo mau pulang."
Elka menelan ludah susah payah. Ia hela napasnya pelan-pelan demi menenangkan diri serta hati yang bergejolak kuat di dalam sana.
"Oke," balasnya dengan hati yang berat. "Kita pulang saja."
Dia enggan membuat Jahira repot karena problematikanya. Selain Glori, dia sangat tidak menginginkan orang lain ikut kerepotan karena masalah yang ia hadapi. Bukan berarti dia berniat merepotkan Glori lagi, hanya saja sejak dulu, Glori adalah satu-satunya orang yang terus membuat Elka merasa aman kendatipun masalahnya sebesar dan setinggi gunung Himalaya. Ia terlalu dependen pada Glori.
Tak butuh waktu lama bagi Jahira langsung mengepak semua barang bawaan Elka ke dalam tas kerja perempuan itu. Elka biarkan Jahira berbuat sesuka hati. Ia juga membiarkan pandangan karyawan lain menghujaminya dengan sorot kasihan kala dia beranjak dari meja kerja dan keluar dari divisi.
Mengapa orang-orang itu masih bertahan di sini padahal biasanya mereka adalah tipe karyawan yang selalu pulang tenggo? Apakah menyaksikan orang yang baru saja diputuskan memang semenyenangkan itu sampai mereka betah berlama-lama memperhatikan setiap gerak-gerik Elka?
Ketika tiba di lantai bawah, situasi yang sama juga Elka dapatkan. Banyak pasang mata menatapnya dengan tatapan prihatin. Cara mereka menatap Elka seolah dia baru saja dipecundangi.
Elka abaikan itu semua. Dia hanya memberi senyum kecil sebagai bentuk formalitas kepada mereka yang sudah repot-repot menunjukkan rasa kasihan terhadapnya.
"Yang sabar, ya, Bu, Elka. Saya kaget pas baca berita itu."
Suara yang muncul dengan sangat tiba-tiba itu, menghentikan langkah Elka kala dirinya hampir menyentuh pintu keluar gedung. Jahira juga ikut berhenti. Tatapan keduanya langsung teralih pada sosok perempuan bergincu merah menyala yang berdiri di belakang Elka.
"Saya harap, Bu Elka baik-baik saja. Saya ikut sedih."
"Ikut sedih my ass. Heh! Gue tahu niat buruk lo. Bilang aja lo siap jadi biang gosip. Jauh-jauh dari Mbak Elka!" Jahira sigap menjadi tameng demi melindungi Elka dari manusia problematik seperti Laras. Muncul tiba-tiba seperti jailangkung, lalu menambah beban pikiran Elka, tak akan Jahira biarkan itu bertahan lama.
"Diiih gak ada yang ngajak situ ngomong. Emang salah ikut sedih? Ini bentuk empati gue sebagai manusia yang punya perasaan. Jangan seudzon jadi orang," timpal Laras sinis. Ia kembali menatap Elka sembari memberi senyum tak enak. "Saya serius gak ada maksud lain. Saya beneran sedih, lho, ini."
"Iya."
Elka bingung harus menjawab apa, jadi dia beri saja tanggapan singkat. Dikasihani karena diputuskan, ini situasi baru baginya.
"Ayo, Mbak." Jahira menarik tangan Elka agar segera meninggalkan wanita ular yang lancang menghentikan mereka. "Dasar sundal gak tahu diri. Berani banget dia nunjukin muka sengaknya. Belum aja giginya gue rontokin. Mulutnya gue sobek-sobek. Kepalanya gue bikin bocor!"
"Ra."
"Kesel banget gue, Mbak."
Jahira baru saja membawa mobil Elka meninggalkan gedung Wisma Lateef saat Elka menerima telepon dari seseorang yang sudah beberapa minggu ini lost contact dengannya.
Glori.
Tanpa menunggu lama, ia langsung menerima panggilan tersebut.
"Elka, gue ... mau ketemu." Tanpa salam pembuka, Glori segera menyampaikan niatannya dengan suara sarat akan kegugupan. "Lo ke tempat gue. Boleh?"
"Oke."
"Ka. Gue baca berita. Banyak banget yang udah gue baca. Termasuk berita pagi ini. Lo ... lo nggak mungkin baik-baik saja."
Elka sudahi sambungan telepon secara sepihak. Dia enggan dikasihani lagi. Glori bisa melakukannya nanti, saat dia sudah kembali pandai mengendalikan diri. Sekarang, rasanya ganjalan besar di hati Elka terlalu menyesakkan untuk membuatnya mampu merespon baik rasa iba orang lain. Yang ada, dia marah bila dikasihani terus menerus.
"Ra, gue harus ke tempat Glori."
"Oke. Gue antar sampai situ."
"Maaf ngerepotin."
"Ngerepotin apa coba? Sebutin alamatnya."
Jahira mengganti rute perjalanan ke tempat yang baru saja disebutkan Elka. Mereka tak saling bicara setelah itu. Jahira sangat mengerti kondisi Elka yang tengah terguncang.
Dia bingung, apa yang membuat dua orang itu putus? Padahal pagi tadi, Elka masih memasang raut tersipu kala Jahira menggodanya. Rasanya mustahil mereka putus tanpa sebab. Kira-kira hal apa yang mendasari Daniyal memutuskan kekasih yang terlihat begitu ia cintai ini?
"Thanks," ucap Elka saat mereka tiba di depan pagar rumah Glori. "Pulangnya gimana, Ra? Bawa saja mobil gue."
"Gak gini juga kali galaunya. Ampe mobil dikasih cuma-cuma," canda Jahira, coba mencairkan suasana sendu yang masih saja awet melingkupi mereka. "Nggak usah pusingin gue. Anaknya Bu Halimah udah gede kok ini. Bisa cari kendaraan sendiri buat pulang."
"Gak apa-apa, Ra. Bawa aja. Gue nginap di sini."
"Serius mobil lo dikasih percuma gini? Gak takut gue rusakin? Gue orangnya maruk, lho. Bisa saja, besok pagi ini mobil udah terpajang di marketplace buat gue tukar tambah ama G-Wagon."
Senyum Elka terpancing keluar. Meski hanya dalam beberapa detik saja sebab setelahnya, wajahnya kembali diliputi bayang kesedihan. Ekspresinya sungguh menyesakkan untuk dipandangi. Perpisahan mereka bagai membawa kabur rona kehidupan di wajah Elka.
"Kertas yang remuk bisa didaur ulang. Pecahan keramik dapat direkatkan kembali, orang Jepang menyebutnya Kintsugi. Ada kalanya, kita sering beranggapan bahwa sesuatu yang rusak, sulit untuk digunakan kembali dengan sebagaimana mestinya. Fokus kita selalunya terpaku pada masalah yang ada di depan mata. Itu seolah membutakan kita pada resolusi yang mampu membuat kita begitu mudah melalui problematika yang sedang kita hadapi."
Jahira menatap Elka sembari menyunggingkan senyum simpul. Tangisnya sengaja ia bendung agar tak kurang ajar merebak keluar. Elka sudah cukup sedih, dia tak perlu menerima kesedihan lain yang Jahira tambahkan.
"Kalau memang ini bukan akhir yang lo inginkan, lo bisa mengonfrontasi Pak Daniyal, Mbak. Buat dia mempertanyakan keputusannya, kenapa dia tega mutusin lo di saat Elka Dyatmika hanya ada satu-satunya di dunia."
"Entah mengapa, gue merasa fase sialan ini gak akan lama. Laki-laki pemikir dan penuh perhitungan kayak Pak Daniyal, mustahil bakal lepasin lo gitu aja. Jangan khawatir, gue siap bantu kalau misalnya lo butuh back up team untuk gaet Pak Daniyal sampai dia kembali ke pelukan lo."
Elka balas menatap Jahira dengan sebersit pengharapan, tetapi ia tak sepenuhnya menumpukan asa pada gadis itu sebab ia tahu, pria yang sukses meremukkan hatinya untuk kedua kalinya itu, adalah manusia misterius yang punya banyak kompleksitas pikiran. Dia begitu sulit ditebak, terlalu rumit dimengerti.
Jahira berakhir dengan membawa mobil Elka sebab ia kalah kukuh dari Elka yang memaksanya untuk pulang dengan mobilnya.
Sebelum masuk ke rumah Glori, Elka mengecek ponsel. Ada setitik asa di hatinya. Beberapa pesan atau satu saja panggilan dari Daniyal, sangat ia harapkan.
Apakah boleh dia mengharapkan penjelasan dari lelaki itu tentang semua yang telah terjadi?
Namun, nihil. Daniyal berhenti mengirimkan pesan, seakan intensnya komunikasi mereka kemarin tidak pernah terjadi. Bagai bunga tidur yang kedatangannya hanya sementara.
"Elka."
Seorang pria berbadan kekar dengan kulit sawo matang, menyambut kedatangan Elka ketika ia baru saja melintasi pintu rumah Glori yang dijaga ketat oleh dua orang pria berpakaian serba hitam.
Kipli--suami Glori.
Ini tidak seperti biasanya. Saat memasuki gerbang tadi, seandainya Elka tak menyebut bahwa dia adalah teman Glori, pasti ia tak diizinkan masuk.
Security yang biasanya berjaga juga tidak terlihat, jadi Elka tak bisa masuk begitu saja.
"Banyak yang jaga. Kenapa, Mas?" tanya Elka saat mereka masuk ke dalam rumah.
"Kemarin sempat ada masalah, jadi penjagaan rumah kami perketat."
"Masalah apa?"
Kipli tidak langsung menjawab, melainkan menatap Elka sekilas. "Biar Glori yang menjelaskan."
Suami dari sahabat Elka itu menuntun langkah mereka menuju ruangan yang tak lain adalah kamar tidur pasangan tersebut. Di depan kamar juga terdapat dua orang berbadan kekar yang berdiri tegap.
Belum juga pintu terkuak sempurna, mata Elka langsung menangkap sosok wanita yang duduk bersandar pada kepala ranjang sambil memperhatikan ponsel dalam genggamanya. Perban putih yang terlilit sempurna di kepala wanita tersebut, seketika membuat jantung Elka berdentum kuat.
Suara pintu yang terbuka, akhirnya membuat perhatian wanita itu teralihkan. Dan saat mendapati sahabat yang berminggu-minggu tak ia jumpai, tanpa bersua sedikit pun, membuat senyumnya terpasang sempurna.
"Hi," sapa wanita itu. "Kangen, Ka."
Elka bergegas ke arah Glori yang terlihat rapuh. Dia seperti telah mengalami kecelakaan besar. Tidak hanya di kepala yang terlilit perban, tapi juga luka yang mulai mengering pada area leher dan tangan kanannya, tampak mengerikan untuk dipandangi.
"Apa ini, Glori? Lo ... lo kenapa?" tanya Elka dengan suara bergetar. Napasnya bagai tertahan di kerongkongan. Hatinya sakit melihat kondisi sahabat yang sudah ia anggap sebagai saudaranya ini sangat mengenaskan.
"Sini, Ka. Duduk samping gue." Glori menepuk ruang kosong di sampingnya. Sejurus kemudian, dia menatap sang suami. "Kamu tidur gih. Itu muka udah kayak corpse. Aku mau quality time bareng Elka dulu."
"Aku jaga di depan kamar."
"Aku lagi bareng Elka lho ini. Elka, bukan tukang jagal yang kemarin masuk rumah orang sembarangan. Udah, ya, Sayang, pokoknya kamu tidur."
Kening Eka nyaris bertemu usai mendengar kata-kata ambigu Glori.
"Saya titip istri saya, Elka," pinta Kipli pada Elka yang masih menerka-nerka kejadian apa yang sudah menimpa sahabatnya.
"Ka, beneran putus?" Glori langsung bertanya pada Elka setelah suaminya meninggalkan ruangan. "Hubungan kalian baru seumur jagung, lho. Daniyal yang bikin pernyataan, tapi apa memang benar begitu? Apa tadi alasannya ... ah, udah gak menemukan kecocokan lagi he said? That's nonsense!"
"Kita gak lagi bicarain itu, Ri." Elka menggeleng pelan. "Gue butuh penjelasan tentang penyebab kondisi lo sekarang. Ada apa in, Glori? Dan kenapa lo gak bisa dihubungi dari kemarin-kemarin? Gue juga salah karena gak ngecek ke sini."
Elka jadi teringat malam berselimut hujan yang membuatnya nyaris meregang nyawa. Saat itu dia sedang menuju ke rumah Glori, tetapi terhenti di tengah jalan. Seandainya Daniyal tidak berada di situ, mungkin situasinya akan sangat pelik bagi Elka.
Sial. Di saat seperti ini dia lagi-lagi memikirkan pria itu.
Glori menipiskan bibir. "Dari mana, ya, gue jelasinnya? Rumah gue kemalingan, Ka. Dan dalangnya bukan orang lain. Melainkan Pak Opan."
Glori menyebutkan nama Satpam rumahnya. Pantas saja Elka tak mendapati keberadaan lelaki paruh baya itu di pos jaga.
"Di waktu kejadian, gue emang baru sampai rumah setelah nginep seminggu di tempatnya Ibu mertua yang lagi sakit. Pulangnya sendirian karena Mas Kipli jemput anak-anak di rumah ortu gue. Dan posisinya Bu Lasmin sama art lain, juga lagi gak di rumah. Mereka emang gue kasih libur. Yang jaga di sini cuma Pak Opan. Nah, pas mau masuk kamar, gue kaget lihat gagang pintu kamar udah rusak aja. Ditambah, gue juga denger suara-suara ribut dari dalam."
Elka mendengarkan penjelasan Glori dengan saksama.
"Gak tahunya, kamar gue lagi diacak-acak maling. Mereka ada dua orang, pake topeng. Masing-masing juga bawa sajam. Kaget dong gue, makanya langsung teriak sambil maki-maki mereka. Eh, habis itu gue langsung dihantam. Pala gue dipukul pake gagang pisau panjang. Udah berusaha ngelawan, Ka, tapi karena emang cuma sendirian, gue akhirnya kalah."
"Ini kepala gak cuma dipukul, tapi juga dihantamin ke lantai. Untung tengkorak gue sekeras baja, jadi gak pecah" Glori tertawa kecil, seolah hal yang menimpanya cukup menyenangkan untuk dibahas. "Perih doang, sih, soalnya kulit di jidat sempat robek. Dan gak tahu gimana kejadian selanjutnya, bangun-bangun gue udah di bangsal rumah sakit dengan kondisi kepala perih dan leher ama tangan luka-luka."
"Kenapa gak ada yang bilang sama gue? Kenapa Mas Kipli gak hubungin gue? Bu Lasmin?" cecar Elka tak sabaran.
"Mas Kipli udah gak kepikiran nelepon lo. Sementara Bu Lasmin sibuk jagain gue setelah tahu insiden itu. Pas bangun, gue juga sempat bilang sama mereka untuk jangan ada yang kasih tahu lo dulu. Biar nanti setelah pulang rumah sakit, gue sendiri yang bakal hubungin lo."
"Berarti ini baru aja pulang?"
"Iya. Jangan khawatir, udah agak mendingan kok sekarang. Tinggal pemulihan luka-luka. Ini perban di kepala sengaja masih dipasang, soalnya Mas Kipli gak ngebolehin dilepas sampai gue benar-benar pulih. Lebay dia, padahal robek dikit doang."
"Pelakunya gimana?"
"Lagi di rumah sakit, dijaga ketat ama polisi. Mas Kipli gak bilang alasan pelaku-pelaku itu dirawat, cuma yang jelas, gue tahu itu perbuatan dia. Oh iya, setelah diselidiki, otak utama dari penjarahan itu gak lain adalah Pak Opan. Dia yang ajak komplotannya buat datang ke sini. Kecewa banget gue, Ka. Beliau udah gue anggap keluarga, eh, gak tahunya malah berbuat begitu."
Elka menarik napas secara teratur. Jantungnya masih berdetak kencang di dalam sana.
"Ka, berita tentang lo yang mau dibunuh sama Rosita Laila, itu gak kalah gila. Semua berita tentang kalian, baru gue baca hari ini karena pas di rumah sakit, Mas Kipli gak ngebolehin gue megang hp. Yang ada malah disuruh nonton netflix mulu. Gue benar-benar ketinggalan info. Andai fisik gue nggak selemah ini, itu nenek peot udah gue tembak kepalanya. Biar pecah sekalian."
Glori bergerak hati-hati mendekati Elka, lalu mengusap kepala Elka pelan.
"Heh pensil Inul, apa gunanya gue ngajarin lo teknik colok mata kalau di situasi begitu lo berpasrah diri kayak orang gak makan tiga hari pas lagi dijambak? Minimal ini kepala cantik, lo jedukin ke dia, abis itu lo gigit kening keriputnya ampe robek."
Tanpa Elka duga, Glori menjambak pelan rambutnya dengan kekesalan yang terpancar kuat dari mata wanita itu. Pelototan gemas Glori sontak membuat Elka terkekeh.
"Di mana harga diri lo, Elka Dyatmika? Masa kalah kuat dari nenek-nenek pedo? Gue jadi lo udah malu banget, sih. Mana ampe diberitain media nasional lagi."
"Rosita nyerang tiba-tiba. Gue bukan The Flash yang punya refleks tingkat tinggi untuk ngelawan secara kontan," jelas Elka. "Yang penting sekarang dia gak bisa ngapa-ngapain lagi. Kasus dia dikawal ketat sama kepolisian. Hamdan Lateef sampai turun tangan, bahkan sampai gaet Jeffery Wuranto juga."
"Iya, pas liat dua kombo itu, hati gue langsung tenang. Bagus deh. Gue masih punya waktu buat pulihin energi. Biar nanti kalau pun Rosita bebas dalam keadaan hidup, itu nenek pedo bakal gue tembak mati."
Elka tahu-tahu merebahkan diri. Dia letakkan tangannya di bawah kepala, lalu tubuhnya meringkuk menghadap sang sahabat. Ia pejamkan matanya sembari mengatur ritme napasnya agar menjadi lebih tenang.
"Gue nginep di sini, ya," gumam Elka. "Di rumah cuma ada Sus Ami. Gue udah bilang kalau malam ini gak pulang. Nginep di tempat lo."
Tangan Glori yang telah beralih mengusap rambut Elka sontak terhenti.
"Maksudnya? Rafael di mana?"
"Liburan."
"Liburan tanpa kalian? Kok bisa gitu? Dia bareng siapa, Ka?" cecar Glori khawatir.
"Daniyal."
Satu kata bernada lemah dari Elka, sukses membungkam Glori.
"Ri, apa gue memang sebodoh itu?" bisik Elka. Matanya masih terpejam, meresapi kehampaan yang kini bertakhta di hatinya. "Mengharap cinta dari orang yang sama dari yang pernah hancurin hati gue, itu dungu, 'kan?"
Elka menggigit bibir dalamnya.
"Awalnya, gue pikir gue adalah perempuan yang nggak gampang digoyahkan. Sejemawa itu gue, Ri. Setelah semua kegilaan hidup yang gue alami, harusnya itu jadi pembelajaran telak supaya gue gak sembarangan berharap pada makhluk kompleks bernama Daniyal Lateef. Gue sadar itu salah, tapi tetap ngeyel ngikutin kata hati."
Elka terkekeh. Menertawai takdir yang bertransformasi menjadi kapsul getir yang singgah di tengah kerongkonganya. Sekalipun menenggak air berliter-liter, rasanya kapsul pahit itu betah mengganjal lehernya, tak membiarkan ketenangan menghampiri Elka.
"Glori, gue harus gimana?" lirih Elka dengan sanubari remuk tak berbentuk. "Hati gue murah banget, ya? Mau-mau saja membuka ruang untuk ditempati oleh perasaan semu yang gak memberi ujung manis untuk gue. Kasih gue putunjuk, Ri. Harus bagaimana sekarang? Gue telanjur menaruh harapan besar dari hubungan kami."
Sekelebat ingatan tentang awal mula dia dan Daniyal bersepakat menjalin hubungan, seketika terlintas di otak Elka.
Benar, sejak awal, hubungan ini hanya berasaskan kerja sama. Daniyal hanya menjanjikan keamanan bagi Elka. Dia tak pernah mengumbar sumpah seumur hidup untuk hubungan mereka.
Lagi, Elka terkekeh singkat. Dia lupa bahwa dia sedang terjebak dalam situasi stockholm syndrome.
"Betapa bodohnya gue, Ri. Naif banget. Mungkin, gue memang harus nyerah. Dengan kompleksitas ini, nggak ada Elka dan Daniyal dalam bayangan masa depan kami. Dia terlalu abu-abu untuk dipahami, terlalu kelam untuk didekati. Dan dari situ, semestinya gue sadar bahwa kecocokan kami begitu nihil."
"Pikiran lo ke mana-mana, Ka. Belum juga coba, malah nyerah duluan. Ini yang katanya cinta? Meh. Kalau suka, ya, pertahankan. Mental pencundang jangan dipelihara dong. Selama lo belum bergerak, lo gak bisa nyerah gitu aja. Daniyal punya hati kok. Hati manusia itu mudah dibolak-balik. Nggak sekompleks hutang negara kita. Selama lo usaha terus untuk jebak dia supaya kembali lagi ke selangka-eh, maksudnya ke pelukan lo, lo jangan sesumbar itu untuk bilang menyerah."
Elka tetap menutup mata. Perkataan Glori melesak masuk ke telinganya, ia dengarkan hingga tuntas.
"Cowok tajir banyak, ganteng apa lagi, tapi Daniyal Lateef hanya ada satu-satunya di dunia. Lo nyerah dapetin dia, ada betina lain yang bakal gaet doi. Lo biarin keputusasaan mengacaukan otak lo, maka itu adalah akhirnya. Gak ada jalan untuk kembali. Periodt."
Tepukan pelan Elka dapatkan di pipi kirinya. Itu membuat mata perempuan tersebut langsung terbuka.
"Mau Daniyal dipepet cewek lain?"
Elka diam beberapa saat, lalu kepalanya menggeleng kecil.
"So?"
Ponsel Elka yang terletak di dalam tasnya berdering. Itu segera menyita fokus keduanya. Ia lantas bangkit demi menerima panggilan tersebut.
"Ya, Sus Ami?" tanya Elka selepas menempelkan ponsel ke telinga kiri.
"Buk, barusan Pak Daniyal nelepon saya. Katanya mereka udah di bandara. Baru saja landing."
Tubuh Elka bagai dialiri kejutan listrik kala mendengar informasi dari Sus Ami.
"Rafael katanya mau langsung di antar ke sini."
Elka mendadak turun dari ranjang sambil meraih kembali tas kerjanya yang ia letakkan sembarangan.
"Kunci mobil. Pinjem." Elka arahkan tangan kanannya pada Glori. "Pinjem mobil lo, Ri. Daniyal mau ke rumah, nganter Rafael. Mereka udah di Jakarta."
Pancaran antusiasme di wajah Elka tak pelak membuat Glori tersenyum geli.
"Puber pas mau kepala tiga, that's wild," godanya. "Go get your man, gurl!"
***
Guys, mungkin kalian mulai bertanya-tanya kapan cerita ini akan berakhir, karena aku sadar banget hingga saat ini, dua tokoh sentralku masih kayak Tom and Jerry😋 Well, sedikit kujelaskan, arti dari judul cerita ini, which is Sonder, adalah menyadari bahwa semua orang di sekitar kita, bahkan orang asing sekali pun, menjalani kehidupan yang sama kompleksnya dengan kehidupan yang kita jalani sekarang.
Nah, berangkat dari konsep itulah, aku bermaksud mengupas konflik hidup Elka dan Daniyal, bersama tokoh lain dalam Sonder secara satu persatu, biar gak ada yg ngegajel. Supaya clear sampai ke akar-akar. Fyi, masih ada satu konfik besar yang belum terselesaikan, bisa tebak itu tentang apa?
Yang teliti pasti tahu😚 That's why, saat ini fokusku adalah mengurai konflik tokoh-tokohku, dengan diiringi perkembangan romansa antara Daniyal dan Elka yang jatohnya malah slowburn romance wkwkwk. Sorryyy, i'm not a fan of insta-love💔
Kuharap kalian berbesar hati untuk menunggu kisah final mereka. Kupastikan Sonder hanya akan berhenti pada bab 60an atau bisa jadi lebih pendek dari itu☺😘
Peluk hangat,
Dara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro