35 | Perempuan Milik Damar
Disarankan baca part 9 & 33 sebelum baca part ini.
***
"Pergi kamu! Berani kamu ke sini setelah semua yang terjadi? Nggak tahu diri! Pergi!"
"Ma."
"Masuk kamar, Damar! Mama berulang kali wanti-wanti kamu untuk tidak berhubungan lagi dengan anak sialan ini! Kenapa kamu nggak dengerin Mama?!"
"Sudahlah, Ma. Kematian Papa bukan salahnya."
"Salah dia! Darah orang itu mengalir kental dalam darahnya. Gara-gara dia, kau kehilangan Ayahmu! Jika bukan karena dia, Ayahmu masih bersama kita hingga saat ini. Dan kamu masih berani bertemu dengan anak dari pembunuh itu? Kamu harusnya menjaga diri agar tidak terbunuh olehnya, Damar!"
"Mama!"
"Masuk kamar atau kamu nggak Mama izinin keluar rumah lagi!"
Teriakan wanita pucat tersebut melesak tajam dalam telinga remaja lelaki yang duduk di bawah sofa ruang tamu, pada lantai yang dingin dengan kertas hvs berserakan di depannya.
Dia sudah menyangka ini akan terjadi, tetapi masih berani bertandang ke rumah ini tanpa memikirkan konsekuensi yang akan ia terima. Dia pikir, dia sudah terbiasa, tetapi rasanya masih tetap sama.
Pahit.
"Maaf jika kedatangan saya merusak suasana hati Tante. Saya ke sini karena guru kami menempatkan saya dan Damar dalam project kelas yang sama," terang Daniyal dengan intonasi tenang. Tak lupa, ia memberi senyum sungkan pada saudari Ibunya yang menolak keras membalas senyumnya.
"Keluar!" Wanita itu lagi-lagi meneriakinya.
Bukan hal baru. Dia sudah terbiasa diperlakukan layaknya penjahat oleh orang yang ia panggil sebagai tantenya ini.
"Gue balik." Daniyal menatap Damar yang memasang wajah tak enak hati. Dia tahu, Damar juga tidak menginginkan ini terjadi, tetapi situasi mereka sudah telanjur kacau sejak dulu.
"Keluar, sialan, keluar!"
Seolah belum cukup memaki, wanita itu tahu-tahu menarik paksa lengan kanan Daniyal dan menuntunnya menuju pintu keluar rumah. Ia menyeret keponakannya bagai kantong sampah menjijikkan.
"Jangan begini, Ma!" Damar bergerak gesit mengendalikan Ibunya. Dia sekuat tenaga memeluk perut sang Ibu. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Ia ikut terseret akibat perbedaan kekuatan di antara mereka. Ibunya yang bertubuh lebih besar, amat mudah mengalahkannya.
"Gara-gara kalian saya kehilangan Zefran! Kalian bunuh suami saya! Kalian yang menghancurkan hidup saya dan Damar!"
"Maaf, Tante." Daniyal meminta pengampunan atas hal yang tidak ia lakukan. Dua kata tersebut telah beribu kali ia ucapkan. Awalnya selalu disusul dengan rentetan permohohan lain, tapi sekarang tak lagi sebab ia telah kehilangan keberanian untuk mengemis maaf dari tantenya. Dia harus sadar diri.
Ketika tiba di pintu depan, ia langsung didorong sekuat tenaga. Beruntung, ia mampu mengendalikan keseimbangan diri agar tidak tersungkur begitu saja.
"Maaf katamu?" Tantenya menatap Daniyal dengan tatapan yang menguarkan amarah besar. Ia seolah hendak membunuh Daniyal hanya dengan tatapan tersebut. "Saya maafkan jika kau gantikan suami saya di kuburnya. Kau dan Ibumu tak akan pernah mendapatkan pengampunan saya bahkan hingga saya mati sekali pun! Kalian hanya akan hidup dalam penyesalan karena telah membuat hidup saya menderita! Mati saja sialan!"
Pintu seketika ditutup amat keras hingga menimbulkan bunyi menggelegar, memekakkan telinga. Daniyal menatapnya dengan pandangan terluka. Ia tidak sedih karena makian atau kutukan yang ia terima, melainkan karena ia merasa getir lantaran tantenya sampai seperti itu membencinya.
Ia lantas meninggalkan teras rumah sang tante dengan langkah terseret.
Mungkin, belum hari ini dia dimaafkan. Mungkin juga, tantenya masih ingin berpuas diri bersenandung lirik berisi kutukan dari lagu yang berjudul 'Anak Pembunuh'. Agaknya, Daniyal harus kembali memupuk sabar sebab 'Anak Pembunuh' adalah fakta yang memang benar adanya. Sulit diubah atau ditarik izin peredaran lagunya.
Anak pembunuh.
Kata-kata tersebut tertanam kuat dalam benak Daniyal, setiap hari menakutinya bak mimpi buruk tak berujung.
Sejak dulu, selain Ibunya, ia begitu mendamba kasih sayang dari saudara kandung Ibunya itu. Saat Daniyal berumur tujuh tahun, ia bingung mengapa setiap kali tantenya melihatnya, ia selalu menerima tatapan yang amat mengerikan sampai-sampai dia bersembunyi di balik tubuh Pak Iksan.
Lalu, ketika berumur sepuluh tahun, ia mulai mendapatkan ucapan menyakitkan dari sang tante. Anak pembunuh adalah kata favoritnya. Dan ketika berumur lima belas tahun, akhirnya Daniyal sadar tentang kesalahan seperti apa yang telah ia perbuat sampai tantenya bisa semarah itu.
Mustahil ia tak marah di saat Ayahnya membunuh Ayah Damar, suami dari tantenya. Daniyal sama sekali tak mengira dosa yang ia tanggung begitu besar.
Kata Pak Iksan, ia harus lebih mengakrabkan diri dengan Damar supaya sang tante akan menyukainya, lalu menyayanginya, sama seperti Damar yang menerima banyak cinta dari tantenya. Namun, kenyataan yang Daniyal alami tidak begitu. Alih-alih disayang, dia malah mendapatkan berbagai kata makian serta kutukan.
Apa Pak Iksan telah berbohong? Daniyal juga tak tahu.
Hanya saja, bukan berarti dia menjauhi Damar setelah semua yang terjadi. Damar adalah satu-satunya sepupu yang ia miliki. Dia yakin, masa depan bisa berubah jika dia berusaha keras untuk meluluhkan hati tantenya melalui Damar.
Itulah mengapa, Daniyal selalu menjaga hubungan baik dengannya. Daniyal beruntung sebab Damar tak membencinya.
Awalnya ia pikir begitu.
Daniyal tidak menyangka Damar membenci secara diam-diam. Sepupu yang ia hormati, ternyata juga mengutuk eksistensinya yang hidup bebas di dunia, sementara ia harus kehilangan Ayah karena ulah orang tua Daniyal.
"Itu si Daniyal makin nempel aja, Mar. Lo kasih makan apa dia ampe ngekor mulu kek anak itik?"
"Ama Damar mah, paling dicekokin miras."
"Gue takut liat dia muncul tiba-tiba pas lo di dekat kita. Bahkan sekarang pun, gue ngeri dia mendadak muncul kayak selingkuhan Bapak gue."
"Rusak otak tuh anak. Obsess kok ama sepupu sendiri? Mana laki lagi. Tolol!"
Lima remaja lelaki yang biasa menggunakan toilet rusak sekolah sebagai tempat merokok oleh mereka, tampak bersandar pada dinding yang telah dikotori oleh gambar-gambar tak senonoh yang memvisualisasikan kelamin pria dan wanita tersebut.
Mereka asik menghisap nikotin seraya membicarakan topik yang selalu menarik untuk dibahas.
"Biarin. Damar juga suka kok diposesifin."
Tawa seketika menyembur dari remaja-remaja itu, tetapi reaksi mereka amat berbeda dari Damar yang berjongkok sambil membuka ponsel miliknya. Ia sedang memperhatikan foto seorang gadis yang akhir-akhir ini telah menyita perhatiannya.
Wajah cantik yang tampak menggoda, serta tubuh seksi yang selalu membuat suhu tubuhnya panas dan kepala pening, Damar pastikan akan menduduki wajahnya suatu saat nanti. Dalam arti harfiah. Dia harus mendapatkan gadis ini agar mereka dapat bermain-main sesuka hati.
"Diam tanda setuju. Jangan-jangan, temen kita punya kelainan. Ngeri anjirr."
Suara satire itu lagi-lagi terdengar. Damar langsung memasukkan ponsel ke saku celana. Ia segera menyundut sisa rokok pada lantai toilet.
"Lah, mo ke mana lo? Jangan main pergi gitu aja dong. Kita lagi ngomongin Daniyal, lho. Kesayangan lo itu~"
Damar mendengkus. "Seandainya membunuh adalah hal wajar, tuh anak udah gue habisin sejak awal."
Balasan sadis Damar langsung membuat teman-temannya terdiam. Damar berkata ingin membunuh begitu enteng. Ia tak seperti biasanya yang cenderung diam saat diprovokasi.
"Alasan Daniyal ngikutin gue, itu karena dia hanya ingin dimaafkan. Bocah tolol gak tahu malu. Masih aja punya nyali setelah apa yang dilakukan Ayahnya. Anjing lebih punya harga diri dibanding manusia bodoh kayak dia," kata Damar dingin menusuk. "Nanti aja gue pikirin gimana cara buat nyingkirin Daniyal, tapi sekarang, gue harus siap-siap nyamperin cewek gue. Udah dua hari gak main-main ke kelab, biar sekalian kosongin kantong sperm."
"Ngaku-ngaku! Mana mau dia ama PK busuk kek lo!" seru salah satu teman Damar, ikut mencairkan suasana mengerikan yang baru saja Damar bangun.
"Tobat peak. Emak lo punya mimpi besar setelah sekolahin lo. Disekolahin biar pinter, bukan malah dungu gini. Jangan bikin kecewa emak lo. Kena HIV tahu rasa." Suara berbeda ikut menimpali. "Eh tapi gue ikut dah. Malam ini kelab mana lagi?"
Orang-orang itu sama sekali tak menyangka ada sepasang telinga yang sejak tadi menguping pembicaraan mereka.
Daniyal berdiri bisu di luar bangunan toilet. Ia tiba beberapa menit lalu saat salah seorang teman Damar menyebutnya sebagai anak itik yang gemar mengekori Damar. Seandainya ia tak disuruh guru untuk mencari Damar, dia pasti tak tahu akan fakta besar yang disembunyikan sepupunya.
Ia telah mendengar semuanya, lalu mulai mengambil langkah pelan menjauhi toilet rusak tersebut.
Jadi, beginilah akhir yang harus ia hadapi. Satu-satunya orang yang dapat menjadi tiket untuk memperbaiki hubungan antara dia dan sang tante, sekarang juga ikut mengutuk eksistensinya.
Amarah Damar tampak begitu besar sampai berhasrat ingin menghabisi nyawanya juga.
Sekarang, dia harus bagaimana? Apa dia perlu menyalahkan takdir? Daniyal mengembuskan napas pelan-pelan, coba merenggangkan sesak di dada. Sungguh, ini melelahkan. Bukan hidup seperti ini yang ia mau. Entah di rumah, atau di luar rumah, ia sukar mereguk ketenangan.
Ia langsung teringat kata-kata Damar tadi. Kelab, sepupunya itu akan pergi ke tempat tersebut untuk merusak diri. Bagaimana jika tantenya tahu akan kelakuan anaknya yang liar? Seperti apa reaksinya saat tahu putra yang amat ia kasihi ternyata adalah seorang bajingan?
Benar. Sejak dulu, Daniyal sudah menahan diri untuk tak menegur Damar karena takut dia tersinggung. Dan mungkin, jika Ibunya sendiri tahu akan perbuatannya, mungkin Damar bisa sepenuhnya berhenti merusak diri.
Berangkat dari hal itulah, Daniyal mengikuti Damar secara diam-diam. Akses masuk ke dalam kelab memang tak mudah. Namun, ia punya uang untuk membereskan rintangan yang menghadang.
Maka di sinilah Daniyal sekarang, berada pada sudut kelab dengan masker dan topi hitam yang ia kenakan sejak turun dari rumah Handini. Tak lupa, ia juga berbekalkan ponsel berteknologi khusus untuk meningkatkan kualitas foto pada tempat-tempat minim cahaya.
Damar berada tak jauh darinya, duduk pada salah satu sofa yang tersedia. Daniyal juga mendapati teman-teman sepupunya yang mulai kehilangan kesadaran setelah beberapa kali menyesap gelas berisikan cairan kuning nan bening. Yang mana itu lucu bagi Daniyal. Mereka berlagak seperti orang dewasa yang piawai mengendalikan alkohol, padahal dalam kenyataannya, mereka hanyalah remaja tanggung yang kebelet ingin dewasa.
Perhatian Daniyal langsung teralihkan saat gerombolan perempuan melewati tempat Damar dan teman-temannya duduk. Damar terlihat beranjak, lalu mengikuti gerombolan perempuan itu. Atau lebih tepatnya, mengekori perempuan berpakaian dress hitam pendek dengan make up paling menor.
Alih-alih terlihat cantik, dia malah tampak seperti badut bagi Daniyal. Melihatnya saja membuat bulu kuduk meremang. Gaya berdandan yang aneh. Seperti teman-teman Handini dan Rosita.
Damar mengajak perempuan itu berdansa. Entah rayuan seperti apa yang ia beri sampai perempuan yang awalnya enggan menanggapi Damar itu, tahu-tahu menerima ajakan menari darinya.
Daniyal terus memperhatikan mereka. Ia diam-diam merekam pemandangan di depannya, tak hanya melalui ponsel yang ia sejajarkan dengan paha agar tak tampak seperti sedang merekam, tetapi juga ia simpan dalam memori otak sendiri.
Sorotan lampu kelab acap kali menerpa wajah perempuan tersebut. Dan kali ini, Daniyal rasa ia telah salah menilai. Tawa lepas yang terurai dari perempuan itu kala menari di lantai dansa, membuatnya tampak menawan di bawah kerlap lampu kelab. Daniyal bertaruh, di balik wajah menor itu, ada iras jelita yang tersembunyi di dalamnya.
Tunggu, mengapa dia malah memikirkan hal bodoh? Ia pun segera menyatukan fokus. Tempat buruk seperti ini memang rentan membuat pikiran berkeliaran pada hal-hal yang tak seharusnya dipikirkan.
Baru beberapa detik dia mengalihkan pandangan, Daniyal mendapati dua orang yang ia perhatikan sudah berdiri amat berdempetan. Perempuan itu mengalungkan tangan di bahu Damar, sementara Damar mengaitkan dua lengannya pada pinggang ramping itu.
Tebak apa yang terjadi?
Mereka mendekatkan wajah. Sangat-sangat dekat sehingga Daniyal menyimpulkan bahwa mereka sedang berciuman.
Agaknya, tugas Daniyal sudah cukup. Yang penting ia telah mendapatkan banyak bukti untuk dilaporkan pada sang tante. Ini harus segera dilaporkan agar Damar tak semakin liar.
Ia kasihan pada tantenya yang harus melihat semua perbuatan anaknya, tapi apa boleh buat? Lebih cepat, lebih baik. Damar perlu disadarkan.
Daniyal tahu dia terlalu mencampuri urusan orang lain. Julukan tukang cepu akan dia terima dengan senang hati. Selama itu mampu membuat Damar berhenti mencelakai diri, dan membuat tantenya sadar bahwa sang putra perlu didisiplinkan agar tak berpotensi besar membuatnya sakit hati, maka julukan apa pun, siap Daniyal tanggung.
Saat ia telah berada di dalam mobil yang terparkir pada parkiran kelab, Daniyal langsung memeriksa bukti dokumentasi yang telah ia kumpulkan secara saksama.
Ia cukup lama berdiam diri di situ sampai akhirnya tidak sengaja melihat ke arah pintu masuk kelab. Parkiran memang menghadap langsung pada area fasad kelab. Ia yang hendak menyalakan mobil, seketika urung kala mendapati Damar keluar seraya memapah perempuan yang ia ajak berdansa tadi, melangkah ke sisi samping kelab. Pada bagian yang tak begitu banyak mendapatkan cahaya lampu sekitar.
Dari gerak-geriknya, perempuan itu sudah sangat mabuk. Ke mana mereka akan pergi?
Ini bukan urusan Daniyal. Lagi pula, tugasnya sudah selesai. Namun, mengapa ia malah mendapati dirinya tergesa keluar mobil dan berlari sekuat tenaga ke arah kelab? Dengan nada lantang, dia menitahkan security yang ia bayar tadi untuk merebut perempuan yang hendak Damar bawa agar segera kembali ke sini. Daniyal juga menjelaskan ke arah mana Damar pergi dan menyebutkan ciri-ciri singkat dari perempuan yang dibawa kabur oleh sang sapupu.
Sialnya, security itu baru mau pergi usai Daniyal menyebutkan nominal yang akan ia terima jika mengerjakan perintahnya.
Daniyal menunggu gusar pada pintu masuk kelab. Ia merasa aneh karena panik sendiri. Yang jelas, ia tak akan tenang sebelum perempuan itu kembali.
Selang lima menit kemudian, security kembali dengan menggotong perempuan yang Daniyal pintakan untuk dicari bak karung goni yang disampirkan pada bahu.
"Dia mabuk berat," lapor security itu.
"Cowok tadi ke mana?" tanya Daniyal cepat.
"Tuh, di belakang kelab. Gue bikin pingsan karena ngelawan pas mau rebut nih cewek."
Daniyal mengepalkan tangan. Bagus, dia malah menyusakan diri. Sekarang, dia mesti membawa Damar pulang berkat tindakan spontanitasnya.
"Upah gue," tuntut security tersebut. Dan sesuai perjanjian, Daniyal lekas memberikan bayarannya.
"Nih, cewek lo."
Tanpa disangka, perempuan yang awalnya dibopong oleh pria bertubuh kekar di hadapan Daniyal itu, langsung diserahkan kepadanya. Andai ia tak kuat, mungkin kepala perempuan ini pecah karena membentur lantai usai diserahkan secara kasar oleh security itu.
"Ini cewek emang selalu ke sini. Dan cowok tadi juga lumayan sering datang juga. Kenapa? Mereka selingkuh? Kalau gitu, lo telat ngegrebek. Lamban banget jadi cowok. Mereka mungkin sering make out di belakang lo. Bahkan, bisa jadi malah udah tidur bareng."
"Bukan pacar gue," sanggah Daniyal kontan. "Dia ke sini selalu bareng siapa?"
"Ada temen-temennya, tapi dari tadi mereka udah pada balik."
Alhasil, Daniyal berdiri bingung. Ke mana dia harus mengembalikan perempuan ini?
Dia menatap wajah perempuan yang bersolek menor itu dari dekat. Aroma pekat alkohol terkuar kuat darinya.
"Biarin tidur di dalam. Besok juga sadar, terus pulang sendiri. Ngapain ngurusin cewek yang gak bisa jaga diri. Nyusahin."
Usulan itu tak Daniyal indahkan. Dia malah membawa perempuan buruan Damar ke mobilnya. Ketika sudah membaringkannya pada kursi penumpang belakang, dan Daniyal juga telah duduk di balik kemudi, di situlah Daniyal sadar bahwa dia sudah melakukan tindakan paling menyusahkan dari yang pernah ia lakukan seumur hidup.
Mengurusi orang mabuk adalah hal baru baginya. Bahkan, Rosita yang pemabuk pun ada yang terbiasa mengurusi. Daniyal mana mau merepotkan diri. Ia menatap gamang roda kemudi, membiarkan pikirannya berkelana demi menemukan solusi untuk terbebas dari kekacauan ini.
Apa dia lempar ke jalanan saja?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro