Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

34 | Are We Cool Now?

Part cukup panjang. Mohon dibaca pelan-pelan. Diresapii dengan fokus yang tinggi. Ada titik terang untuk kalian yang lama banget nunggu kapal dua sejoli ini berlayar😚

***

Elka mengamati tiap rupa yang kini sedang bersamanya di ruang penyidikan. Orang-orang ini adalah mereka yang namanya hanya bisa ia dengar tanpa mampu dia temui.

Dimulai dari pengacara kondang yang digandrungi banyak orang lantaran karakter keras dan vokal dalam menghadirkan keadilan bagi korban yang dibantunya, turut hadir di sini. Jeffery Wuranto. Dia tampak begitu akrab dengan Daniyal.

Tadi sebelum masuk ke ruangan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu, dia memberi arahan pada Daniyal yang akan membuat pelaporan terhadap tindak kejahatan Rosita. Dia seperti seorang ayah yang tampil garang untuk melindungi anaknya.

Selain itu, di ruangan ini ada juga pihak KPAI yang membersamai mereka demi menuntut hak anak-anak yang telah dieksploitasi Rosita.

Lalu, Hamdan Lateef. Jujur saja, Elka sempat grogi saat orang nomor satu HL Group itu memandangnya lebih dari tiga detik tanpa ekspresi, ketika ia tiba bersama Gabri tadi.

Semenjak Daniyal memperkenalkannya sebagai kekasih pada publik, Elka belum pernah berinteraksi langsung dengan pria penuh wibawa tersebut. Tatapan menilai Hamdan agak menyeramkan. Dia memiliki aura yang mampu membuat siapa pun segan terhadapnya.

Beruntung, sekarang Elka sudah merasa tenang karena Daniyal terus bersamanya sejak tadi. Tidak, ia tak bermaksud sedalam itu. Hanya saja, sesuatu yang familiar akan membuat kita tenteram saat berada di tengah-tengah keasingan. Kehadiran pria itu adalah penuntas dahaga Elka atas kekakuan suasana yang terasa mencekik.

Dan rasanya, ia perlu membiasakan diri akan kepasifan Daniyal. Bibir pria itu terkunci amat baik saat berhadapan dengannya. Tak ada lagi lontaran kata-kata menjengkelkan seperti yang biasa ia ucapkan.

Mereka kini duduk berdampingan, menghadap pada penyidik yang sedari tadi menjadi lawan bicara keduanya. Elka samar-samar bisa merasakan hawa hangat yang menguar dari tubuh Daniyal. Ia pun dibuat bertanya-tanya. Apakah pria ini sakit?

Tunggu, apa pedulinya? Batin Elka menolak cemas pada kondisi Daniyal.

Tatapan Elka lantas turun ke arah lutut mereka yang beberapa kali sempat bersentuhan. Ia tahu ini konyol, tapi apakah aliran listrik bisa muncul tanpa sebab? Pasalnya, saat lutut mereka saling beradu, Elka bagai tersengat listrik bertegangan rendah. Konyol, bukan?

Aroma parfum Daniyal lagi-lagi tersapu di hidung Elka, wangi yang sudah sangat familiar baginya. Dior Sauvage. Ia melirik ke arah tangan kokoh pria itu yang terletak di atas paha. Lalu, tatapannya berpindah ke tangan sendiri. Dia pun mendapati perbandingan yang cukup timpang. Tidak heran ia sering kesakitan kala tangan Daniyal bertengger di leher maupun pergelangan tangannya. Tangan lelaki ini berukuran besar, mampu meraup apa pun dalam sekali renggutan.

"Baik, Ibu Elka, terima kasih atas kesaksian Anda. Kami akan memeriksa bukti-bukti yang telah dikumpulkan dan melanjutkan proses penyelidikan. Apakah ada hal lain yang ingin Anda sampaikan?"

Elka langsung mengangkat kepala. Ia kelabakan, takut ketahuan telah memperhatikan pria di sampingnya. Ia merutuki kesalahannya dalam hati.

"Tidak ada, Pak. Saya hanya ingin keadilan ditegakkan," kata Elka usai menelan saliva susah payah.

Daniyal kembali bergerak, menyebabkan lutut mereka lagi-lagi bersentuhan. Refleks, Elka segera merapatkan pahanya.

"Kami akan mengikuti segala prosedur hukum yang berlaku, tetapi kekasih saya sedang dalam keadaan terguncang saat ini. Dia juga tidak dalam kondisi fit untuk beraktifitas lebih di luar ruangan. Sehingganya, saya mengharapkan pengertian Bapak karena dia hanya bisa dihubungi melalui via telepon bila sekiranya Bapak perlu mengonfirmasi hal-hal krusial mengenai kasus ini," pinta Daniyal dengan nada memohon. Dia berlaku layaknya kekasih yang begitu mencintai pasangannya. Acting yang bagus, Elka menilainya sembilan dari sepuluh poin.

"Tentu, kami memahami kondisi Ibu Elka," balas sang penyidik tak kalah pengertian.

Mereka akhirnya keluar dari ruangan penyidik. Usai membahas beberapa hal terkait kasus yang telah dilaporkan, mereka saling berpamitan. Elka masih berdiri di samping Daniyal saat Hamdan Lateef hanya memberi anggukan singkat kepadanya sebelum dia bergegas pergi bersama sekretarisnya. Perpisahan yang canggung bagi Elka.

"Kita pulang bersama."

Perkataan Daniyal langsung membuat Elka menatapnya.

"Kudengar Rafael sakit," imbuh pria itu, tak membiarkan Elka berpikir macam-macam. "Aku hanya akan menjenguk, lalu segera pergi. Berikan kunci mobilmu."

Dengan berat hati, Elka berikan apa yang dipinta kepadanya. Sesudah mendapatkan kunci mobil, lelaki itu sertamerta melangkah pergi, meninggalkan Elka bersama dua kaki tangannya yang juga memberi kesaksian di ruang penyidik tadi.

"Aku harap ada kabar baik setelah ini," celetuk Gabri saat mereka juga beranjak menuju pintu keluar. "Misalnya, berita pertunangan kalian?"

"Kau selalu seperti ini? Berlagak menjadi wingman bagi semua orang?" timpal Elka, gagal menahan nada kesinisan. Gabri dan mulut ajaibnya selalu berhasil membuatnya meradang.

"Kupikir itu tugas mulia," timpal Gabri diplomatis.

Elka tak lagi mendengarkan ocehan pesuruh Daniyal yang gemar berkata sesuka hati tersebut. Dia semakin mempercepat langkah, mengikuti pria yang hari ini berpakaian cukup rapi di depannya. Daniyal memilih warna navy untuk pakaiannya. Dari jas, kaus dalam, serta celana slim fit. Sementara untuk alas kaki, ia mengenakan sneakers abu-abu. Anehnya, Elka jadi menilik pakaiannya sendiri. Rok plisket putih serta turtlenneck cokelat. Ini terlalu casual. Mana ia tahu mereka akan ke mabes. Oke, salahnya juga karena lupa, tapi toh ia cukup sopan.

Secara mengejutkan, pria yang ia ikuti mendadak berhenti ketika langkahnya sedikit lagi mendekati pintu. Daniyal sekonyong-konyong berbalik. Alhasil, Elka juga terpaku di tempat. Ia memasang raut antisipasi sambil mengepalkan tangan di masing-masing sisi tubuh. Mau tak mau, debar gugup terpantik begitu saja lantaran gerakan spontan pria itu.

"Tangan," ucap Daniyal datar.

Elka menatap bingung tangan yang terjulur kearahnya.

"Apa?"

"Berikan tanganmu. Masih banyak wartawan yang menunggu. Mereka berkerumun di luar sana."

"Kakiku berfungsi baik," balas Elka retorik. "Aku bisa melewati mereka tanpa kesusahan."

Penolakan Elka membuat pria itu menatapnya beberapa detik dengan sorot tak terbaca, dan kemudian Daniyal memutuskan kembali beranjak. Tak ada paksaan, juga tanpa bentakan. Dia benar-benar menepati janjinya untuk membuat Elka merasa nyaman selepas kesepakatan mereka berakhir.

Saat mereka melintasi pintu, para wartawan langsung menyerbu ke arah mereka. Membuat Daniyal dan Elka langsung terjebak di tengah-tengah. Dan ternyata, pengacara Daniyal belum pulang. Ia bergabung begitu pintu terbuka. Jeffery Wuranto langsung berdiri di belakang Elka.

Tadi saat masuk ke mabes, wartawan tak sebanyak ini. Elka masih mampu bergerak bebas saat mereka bertanya banyak hal kepadanya. Sekarang, para pencari berita sudah sangat membeludak. Ia terdesak dibuatnya.

Pada akhirnya, dia langsung menyambar lengan Daniyal. Memegangnya erat-erat supaya tak tersungkur oleh desakan dari berbagai sisi tubuhnya.

Daniyal kemudian berhenti, lalu dengan sopan meminta para jurnalis untuk menjaga jarak. Ia berkata akan menjawab semua pertanyaan mereka. Secara ajaib, orang-orang itu langsung patuh. Mereka berhenti mendesak, tetapi langsung mengarahkan perekam suara serta kamera pada Daniyal.

Daniyal menegaskan bahwa Rosita akan diproses sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Jeffery juga ikut menimpali ucapan kliennya untuk memperkuat argumentasi. Sedangkan Elka tak membuka suara. Lebih tepatnya, semua pertanyaan dijawab secara lugas oleh Daniyal, jadi dia tak merasa harus menjawab.

Selang lima menit kemudian, Daniyal menyudahi sesi wawancara, ia tahu-tahu beralih menggenggam tangan Elka. Tautan yang erat, tetapi tak menyiksa. Genggaman yang terasa pas sampai-sampai Elka dibuat salah fokus karena tangannya langsung tenggelam dalam kepalan tangan Daniyal.

Dia bak remaja tanggung yang selalu salah tingkah saat mendapatkan sentuhan tidak terduga dari gebetannya. Padahal sebelum-sebelumnya, mereka sudah sering berpegangan tangan.

Usai mengucapkan terima kasih, mereka melanjutkan langkah menuju parkiran. Bukan langkah yang terburu-buru, ini lebih santai dari sebelumnya. Jeffery juga masih mengekor di belakang mereka.

"Wartawan-wartawan itu mungkin masih akan menggali berita dari kalian. Kau harus siap saat mereka muncul tiba-tiba," ucap Jeffery saat mereka tiba di parkiran. "Tapi jangan khawatir, Daniyal akan melindungimu. Orang-orang itu tak akan berani mengonfrontasi karena mereka harus siap berhadapan dengan buldoser seperti kekasihmu."

Elka tergemap. Ia lantas menatap Jeffrey dengan sedikit sorot kaget. Jadi, pengacara kondang ini mengarahkan kata-kata barusan kepadanya? Mengajaknya mengobrol langsung?

"Terima kasih sudah menerima bocah nakal ini, Elka." Jeffrey tertawa ringan seraya menepuk pelan pundak Elka. Gestur ramah di luar perkiraan. Padahal tadi, keberadaannya seolah tenggelam oleh eksistensi Daniyal. "Saya pergi dulu. Silakan berkabar jika sekiranya kamu ingin mendiskusikan perkara kasus Rosita."

Setelahnya, Jeffery menarik diri dari hadapan mereka. Elka menunggu sampai orang itu pergi dengan mobilnya. Entah dia sedang berhalusinasi, tapi wajah Jeffery Wuranto sangat familiar saat ia tersenyum. Seakan mereka sudah lama saling mengenal.

Analisis Elka tentang Jeffery belum berakhir saat Daniyal tahu-tahu melepas tautan tangan mereka dan bergegas masuk ke mobil. Elka kembali dibuat terkejut atas gerakan cepat tersebut.

Hawa dingin seketika menyapu telapak tangannya yang tadi berada dalam rengkuhan hangat Daniyal. Dia lantas mengepalkan tangan kuat-kuat. Mengapa ia jadi begitu sensitif terhadap sentuhan pria ini?

"Gabri dan Karol, bagaimana?" tanya Elka saat ia bergabung bersama Daniyal.

"Gabri punya janji bersama jurnalis. Karol akan menemaninya."

"Lalu, nenekmu?"

"Dia sudah diamankan oleh pihak berwenang. Tak perlu khawatir. Dia sendirian, mustahil bisa kabur dari penjagaan ketat yang membatasi pergerakannya."

"Handini Laroka ... bagaimana?"

Daniyal fokus membawa mobil untuk keluar dari lahan parkir. Setelah beberapa saat mengunci bibir, dia kembali membuka suara.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Mengapa kau bisa begitu yakin?"

Lagi, Daniyal memilih bungkam. Kemarin juga begini. Dia begitu yakin Handini tak akan berbuat macam-macam. Wajar, 'kan, Elka marah? Ini menyangkut keamanannya.

"Kau ... kau masih berhubungan baik dengan dirinya?" Elka sadari ini gila, tetapi dia tak tahan untuk tidak bertanya. Seperti ada perasaan jengkel di hatinya bila ia membiarkan Daniyal enggan menuntaskan rasa ingin tahunya.

Tentu saja. Ini hanya supaya dia tetap aman. Makanya Elka perlu memastikan hubungan Handini dan Daniyal agar imbas yang akan dia terima dari Handini, masih mampu ia kendalikan kalau-kalau itu terjadi nanti.

Ini tidak seperti dia punya intensi lain.

Iya, bukan? Kamu hanya ingin memastikaan keamananmu sendiri, 'kan? Tekan Elka dalam hati. Ia terus meyakinkan diri bahwa perilakunya sekarang hanya didasari oleh bentuk preventif agar dirinya aman.

"Kau tidak seperti dirimu yang biasanya," ujar pria itu mempertahankan intonasi datar suaranya.

"Kau juga tidak seperti biasanya." Lagi, Elka menimpali tanpa pikir panjang.

"Aku berusaha menepati janji."

"Sejak kapan seorang Daniyal Lateef menjadi begitu patuh?"

"Kau yang meminta."

"Aku harus senang mendengar itu? Setelah semua kegilaan yang kulalui berkat dirimu? Dan, oh, apa aku juga harus memaafkan semua tindakanmu?"

"Itu keputusanmu."

Elka menggemeretakkan gigi. Amarahnya terpantik berkat ucapan enteng lelaki tersebut. Dia sulit menerima situasi ini. Ketenangan Daniyal sama sekali tak membuatnya berlapang dada. Tidak sedikit pun.

"Kau sadar sudah begitu banyak melukaiku?"

"Itu hanya perasaanmu saja."

Elka tercengang oleh pernyataan Daniyal. Mudah sekali dia berkata 'itu hanya perasaanmu saja' di saat Elka menerima tekanan batin serta memar di tubuh.

"Lihat, lihat apa yang sudah kau lakukan kepadaku!" Elka menyingkap kerah turtleneck dan menunjukkan memar di leher jenjangnya. "Kau nyaris membunuhku kemarin, memar ini adalah buktinya!"

"Aku pengemudi. Mataku harus memperhatikan jalan," timpal Daniyal tak acuh. "Duduk di sini agar aku bisa melihat kondisi lehermu."

Pria itu menepuk pelan pahanya sambil melirik Elka sekilas. Seringai tipis tahu-tahu terpasang di bibirnya.

"Have a seat," pinta Daniyal dengan nada rendah yang nakal.

Dan Elka dibuat terperangah. Tak menyangka dia amat mudah terperangkap dalam permainan Daniyal.

"You ... you insane b*stard!"

"Jangan sungkan. Perlu kuingatkan siapa yang kemarin betah berlama-lama kupangku?"

"Daniyal!"

Pria yang berhasil memancing amarah Elka itu seketika menghadirkan tawa renyah yang amat jarang ia lepaskan. Anehnya lagi, gelak ini hanya hadir kala ia bersama perempuan pemarah disampingnya. Rasanya seolah urat tegang di tengkuknya melemas begitu mudah.

Dia lantas melarikan mata pada Elka yang menatap kesal ke luar jendela mobil. Yang mana tindakan tersebut cukup lucu bagi Daniyal. Wajah merengut itu, pantas mendapatkan perhatian lebih.

"Biasanya, kau lebih banyak mengajukan protes saat kita bersama, tapi kali ini, kau cenderung menginisiasi obrolan. Ada apa denganmu?"

Elka mendiami pria tersebut. Ia pejamkan mata demi mencegah pening karena terus menatap ke luar mobil. Tindakan perempuan itu juga disadari oleh Daniyal.

"Oh, selain marah-marah, kau juga bisa merajuk." Daniyal mengangguk mahfum. Sayangnya, lawan bicara Daniyal memilih tetap bergeming. Ia pun mencoba cara lain untuk mengganggu Elka.

"Having a beautiful face is pointless if it's only used for sulking."

"Shut up!"

Respon sinis Elka berhasil menambah bahan bakar Daniyal untuk kian menggodanya. "Kau tersipu. Atau itu hanya perasaanku saja?"

"Orang sepertimu punya perasaan? Lucu sekali."

"Kau anggap apa pengakuan cintaku selama ini? Asal kau tahu, Elka, perasaanku murni untukmu."

"Oh, sungguh? Siapa sangka, ternyata hatimu begitu murni dan tulus," cibir Elka sarkas.

"Hanya kepadamu."

"Manisnya." Elka melayangkan tatapan mencemooh. "Pasti hidupmu berjalan mulus berkat kepiawaian tutur katamu. Tidak heran kau digilai banyak wanita. Sampai wanita berumur senja pun, jatuh hati kepadamu."

"Berbanggalah, dari semua penggemarku, hanya kamu yang berhasil singgah di hatiku."

"Ya, ya, singgah hanya untuk pergi setelah puas menginjaknya." Angguk Elka remeh. Ia sendiri heran mengapa dirinya mau-mau saja meladeni Daniyal layaknya bocah ingusan yang enggan kalah. "Menangislah karena takdir kita tak saling beririsan."

"Kau yang akan kubuat menangis. Bahkan hingga merintih dan memohon. Nanti. Tidak di mobil ini, tapi kurasa di sini juga bukan masalah."

Tangan Elka langsung terkepal kuat. Ia kagum akan pengendalian dirinya yang tak langsung membogem Daniyal.

"Sayang sekali, tipeku bukan pria bipolar." Elka memamerkan senyum manis yang jelas ditujukan untuk mengolok-olok Daniyal. "Menyerahlah, kita tidak ditakdirkan bersama."

"Preferensi tipe bisa diubah. Dan bagi pria pemaksa sepertiku, itu bukan perkara besar. Sebaliknya, aku menganggapnya sebagai tantangan. Takdir yang kau katakan barusan, bagaimana pun caranya akan kupaksakan agar kita terikat erat. Bahkan kuikat menggunakan simpul mati agar kau tetap bersamaku."

Permainan kata ini semakin lama mengacaukan akal sehat Elka. Lebih baik ia sudahi saja sebelum mulutnya kehilangan kontrol. Ia perlu mengantisipasi ketidakselarasan otak dan hatinya yang belakangan sering tak sinkron bila menyangkut Daniyal.

Padahal ia yakin dirinya tidak akan terpengaruh lagi. Namun, kenyataannya, ia gemar mengingkari janji yang ia yakini tak akan mudah dipatahkan. Bodoh. Dia memang bodoh.

Mengetahui Elka lagi-lagi memilih bungkam, Daniyal langsung mengalihkan obrolan ke lain topik.

"Bagaimana keadaan Rafael?"

Daniyal tak tahu pasti apa penyebabnya, tetapi dia perlu mendengar suara perempuan itu lebih lama lagi.

"Agak mendingan," sahut Elka setelah berhasil mengendalikan diri. Dia wanita dewasa, dan wanita dewasa sudah seharusnya pandai membawa diri, serta mengelola emosi.

"Izz menghubungiku dan memberitahu keadaan Rafael. Kau sudah memberitahunya soal liburan kami?"

"Belum, tapi aku bertaruh dengannya. Jika dia sehat, akan kuberi kejutan."

"Dan kejutan yang kau maksud adalah liburan kami."

Elka mengangguk kecil. "Dia pasti antusias begitu mengetahui liburan kalian. Mimpinya adalah memancing di alam terbuka. Tolong ajak dia bersenang-senang selama kalian berlibur."

"Sure, tapi biar aku saja yang memberitahu soal liburan itu."

"Silakan."

Mereka yang mengobrol santai seperti ini, adalah bentuk keajaiban bagi Elka. Ia heran mengapa dirinya seluwes ini berbicara dengan Daniyal tanpa perang saraf. Bahkan, ambiens ketenangan yang kini terbangun di antara mereka, amat timpang dari kegaduhan beberapa saat lalu.

Fenomena aneh.

"Tertarik ikut?" tawar Daniyal. Tidak terdengar memaksa, tapi tak jua mengharapkan penolakan kontan.

Hanya saja, tawaran itu seketika menghadirkan kelu di bibir Elka. Terdengar menarik, akan tetapi dia enggan mengkhianati tekadnya lagi. Elka lafalkan kalimat 'tolong jangan goyah' dalam hati berulang kali sebelum akhirnya menggeleng singkat untuk menjawab tawaran Daniyal.

"Kau yang memberiku cuti, tentu harus kumanfaatkan untuk memanjakan diri."

"If you're with me, you'll be spoiled even more. Why pamper yourself when I'm here to do it for you? Let me cherish you and make every moment special. Kita bertiga. Rafael, aku dan dirimu. Tapi asal kau tahu, Elka, kamu yang akan lebih banyak mendapatkan perhatian dariku karena hanya kamu yang setiap detik ingin kujaga sepanjang waktu." Suara Daniyal begitu lembut kala menyuntikkan kata-kata manis tersebut ke telinga Elka. "It's my joy to see you happy."

"Rafael akan sangat sedih jika dia mendengar kata-katamu barusan. Dia mengira, kau lebih sayang kepadanya."

"Aku dan Rafael pada dasarnya sama. Kami sudah seharusnya melindungimu. Bukannya aku tak percaya pada kemampuanmu dalam melindungi diri, hanya saja, hatimu yang sudah begitu banyak menerima baret luka, aku tidak bisa berlagak apatis dengan tetap mendiamkannya," Daniyal terus memaku pandangan ke arah depan. Dia bersikap amat tenang. "Kamu perempuan tangguh, aku tahu itu, tapi ada aku di sini yang siap menjadi tameng agar lukamu tidak semakin menganga lebar. Kau tak akan percaya ini, tapi kehadiranku tidak lain untuk mengobati lukamu."

"Daniyal Lateef, stop yapping and keep your eyes on the road!" bentak Elka berlagak marah.

Padahal jauh di dasar hati, tersembunyi di balik ego besarnya, ia dibuat amat tersipu.

Celaka, inilah akhir pertahan diri Elka.

Jangan goyah apanya? Dia lagi-lagi mengkhianati hatinya hanya dalam beberapa saat.

Benar, dia adalah si plin-plan paling tolol di sini. Pada akhirnya, dia tetap mengakui kebodohan yang ia lakoni usai kukuhnya penyangkalan yang ia lakukan selama ini.

Hati Elka berdesir hangat ketika ia sadar dirinya tak lagi menyangkal perasaan yang tumbuh subur di hatinya. Jantung yang bertalu membuatnya gelagapan, takut bila dentuman tersebut sampai ke telinga Daniyal. Wajah Elka terasa kebas, sungguh memalukan. Dia harap tak ada rona merah yang bersemu di sana.

Sayang sekali. Walau memalukan untuk mengakuinya, ia telanjur melempar jauh-jauh logika yang sejak dulu terbiasa ia gunakan untuk melindungi hati yang sempat dihancurkan oleh orang yang sama dari yang sekarang kembali mengisi kekosongan hatinya.

Bisa jadi, hati ini juga tak pernah kosong sejak awal.

Sial, ini penyiksaan bagi Elka. Dia malu karena perasaannya masih tetap sama bahkan setelah tujuh tahun terlewati.

"Jadi, kau ikut?"

Kukuhnya ajakan Daniyal, membuat tawa Elka terayun lembut.

"No, thanks."

Mana mau dia ikut usai mengakui perasaannya sendiri? Sekali lagi, ini memalukan bagi Elka. Mengakuinya sama seperti dia berjalan tanpa busana. Karenanya, dia perlu menyembunyikan diri.

Untuk sementara waktu.

"You'll deeply regret this, Elka Dyatmika," timpal Daniyal. Dua sudut bibirnya kembali terangkat, membuat wajahnya tampak begitu menawan kala dipandangi.

"Dalam mimpimu," dengkus Elka mengulum senyum geli. Dia banyak tersenyum sejak tadi. Berkat Daniyal.

Mereka kemudian hanyut dalam hening yang panjang. Kali ini, kesenyapan yang memerangkap keduanya sama sekali tak menyiksa. Terbebas dari ketegangan atau gejolak emosi yang kerap menyala kala mereka bersama.

Embusan napas mereka terlolos tanpa beban sedikitpun. Dua insan itu tampak mengapresiasi kedamaian yang terbangun di antara mereka dengan diiringi perasaan ringan.

Ternyata, begini juga tidak buruk.

"Then, are we cool now?" tanya Daniyal tiba-tiba.

Ia menatap Elka melalui spion tengah mobil. Sorot kelam itu mengamati iras jelita yang juga balas menatap sambil mengembangkan senyum manis di bibir ranumnya.

"I think we're good."

Bukankah manusia itu makhluk ajaib? Pertengkaran penuh emosi, terkadang selalu menyetir akal sehat mereka. Beradu kepala demi menentukan siapa pemenangnya.

Sama seperti Elka dan Daniyal. Mereka menjadikan pertengkaran sebagai ajang untuk adu kapasitas ego. Saling mengalahkan dan tak peduli pada luka yang nantinya timbul. Namun, pada akhirnya mereka memilih untuk saling berkompromi lewat kalimat-kalimat sarkas yang terucap. Bersepakat menanggalkan ego yang sebelumnya mereka junjung tinggi-tinggi.

Manusia itu aneh. Pemikiran mereka bergerak acak hingga sulit diterka sedang tertuju ke mana.

Sekali lagi, Elka menatap ke luar jendela. Tangannya menekan power window switch untuk menurunkan kaca. Ia segera memejamkan mata saat angin menerpa permukaan wajahnya. Kapan terakhir kali dia merasa begitu tenang? Terbebas dari segala gundah gulana seperti sekarang?

Rasanya sudah sangat lama. Dan kedamaian ini ... dia sangat menyukainya.

***

Sonder mendadak banyak yg vote. Kalian tahu cerita ini dari mana, guys?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro