33 | Gabri as Cupid?
Over The Horizon--ringtone dari alarm pagi yang sengaja Elka download berkat saran Jahira yang katanya manjur untuk membangunkan orang pingsan sekalipun, berhasil menarik Elka dari lelap panjangnya.
Sebenarnya dia baru beberapa hari ini memasang alarm karena alam bawah sadarnya yang biasanya terpecut saat menjelang subuh, akhir-akhir ini tidak berfungsi dengan baik. Sehingganya, ia perlu memasang alarm agar mampu terbangun.
Elka meraih ponselnya yang masih memutar dering berisik itu. Dengan mata setengah terbuka, ia langsung mematikan alarm dalam sekali sentuh, lalu meletakkan ponsel di atas kasur. Ia berdiam diri selama lima detik, kemudian meraup wajahnya agar kantuk segera meninggalkan raganya yang terasa sakit dan perih bagai dikuliti.
Ini bukan metafora semata. Tubuhnya memang nyeri, dari kepala sampai kaki. Saat matanya terbuka sempurna, hal yang pertama ia rasakan adalah ngilu nan menusuk di kepala. Elka sampai berdesis saat ia sadar ada yang tak beres dengan tubuhnya.
Benar, ini pasti efek dari jambakan Rosita, juga perbuatan gilanya yang membenturkan kepala pada jendela mobil. Elka meloloskan lenguhan pendek. Namun, tidak ada waktu untuk mendumal terlebih sekarang masih sangat pagi. Ia harus mengangkat bokong dari ranjang hangatnya sebelum terbuai untuk bersembunyi di balik selimut tebalnya lagi.
Kantor. Dia harus bekerja.
Selepas merapikan pembaringan, ia berjalan lesu ke kamar mandi, menyeret kakinya yang terasa lebih berat dari paus biru.
Kala tangannya menyentuh kenop pintu, Elka mendadak teringat percakapan bersama trio kantor kemarin. Ia terpaku lama memegang kenop pintu kamar mandi. Lalu sekonyong-konyong, dia langsung terjongkok sambil menumpukan kepala pada dua tangannya yang terlipat di atas lutut.
"Cuti," lirihnya dengan perasaan senang membuncah di dada. "Aku cuti. Artinya libur, bebas, tidak terikat dengan segala urusan kantor hari ini."
Kekehan ringan Elka lepaskan. Dia sudah mendelegasikan tugas apa saja yang perlu diambil alih oleh trio kantor selama keabsenannya. Hal sepenting itu, mengapa bisa ia lupakan?
Sekarang, tubuhnya seringan Bee Hummingbird. Sakit disekujur tubuh seakan mulai mereda. Ia melompat-lompat kecil saat masuk ke kamar mandi. Riang di wajahnya kian kental kala membayangkan aktifitas seru yang bisa ia habiskan bersama Rafael hari ini. Terlebih putra tampannya itu sudah mulai pulih. Bukankah selalu menyenangkan menghabiskan waktu bersama keluarga? Terlebih selama ini, dia berlaku layaknya mesin pencetak uang yang gemar memprioritaskan pekerjaan.
Apakah sekarang dia harus mengakui perkataan Opa Iksan yang memvonisnya sebagai Ibu buruk bagi Rafael? Entahlah, sisi lain hatinya mulai setuju dengan pendapat tersebut. Untuk itulah, hari ini dia akan mencurahkan semua perhatian hanya kepada sang putra.
Usai menuntaskan semua rutinitas di kamarnya, Elka segera menemui Rafael. Ia menguak pintu perlahan-lahan, kemudian mendekati ranjang putranya. Seperti dugaan awalnya, bocah itu masih tidur. Kepala Rafael tertoleh ke sisi kanan, sedang tangan kanannya terletak di atas bantal--menghadap langsung pada kepalanya.
Tak tahan, Elka menyerbu Rafael dengan banyak kecupan di wajah bocah itu sambil diiringi senyum terkembang penuh rasa sayang. Rafael hanya menggeliat kecil atas perbuatan yang Ibunya lakukan. Ia pun kian betah memejamkan mata.
"Malah makin tidur dia," gumam Elka saat menjauhkan wajah. Ia terkekeh geli. "Mama ke dapur, ya. Mau masakin sarapan untuk sayangnya Mama. Kamu mau dimasakin apa, Nak? Nasi goreng? Omelet keju? Tapi bosen, ya, menu sarapannya itu mulu. Ya udah, Mama bikinin sup ayam, telur dadar, sama roti gandum panggang favorit kamu. Gimana? Senang, 'kan, kamu?"
Elka seperti orang gila yang berbicara sendiri. Efek cuti apakah memang semembahagiakan ini sampai mood-nya mendadak ceria pagi-pagi begini? Dadanya terasa sesak oleh kebahagiaan, seolah tiap embusan napasnya adalah nyanyian sukacita yang mengharukan.
Karena Rafael sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan bangun, Elka memutuskan turun ke lantai satu. Seperti janjinya pada sang putra, ia akan memasakkan menu sarapan kesukaan Rafael. Terlebih menu-menu itu sangat cocok untuk kondisi Rafael yang masih dalam tahap pemulihan.
Tiba di dapur, ia langsung memeriksa kelengkapan bahan-bahan di kulkas. Celaka! Elka tak menemukan bahan-bahan yang ia perlukan. Dia langsung mengecek apa saja keperluan dapur yang mulai menipis dan bahkan sudah habis.
"Ibu ngapain? Istirahat dulu sana, biar saya yang masak."
Elka mengalihkan kepala pada sosok yang baru saja tiba. Sus Ami datang sambil mengucek matanya.
"Sus, bahan-bahan dapur udah menipis. Kenapa nggak bilang? Saya belanja dulu kalau gitu."
"Belanja di mana, Bu? Supermarket, 'kan, masih tutup pagi-pagi gini."
"Pasar tradisional."
"Aduh, si Ibu mau aja repot-repot ke pasar. Semalam hujan, lho, pasti di sana becek. Udah, kita masak yang simple, Bu. Nasi goreng telur dadar."
"Tapi, Sus, Rafa--"
"Iya, Buk, agak siangan aja belanja kebutuhan dapur. Emangnya fisik Ibu oke? Nggak inget kemarin dijorokin ama si nenek gila? Jangan lakuin aktivitas berat dulu. Mendekam di rumah saja. Kalau mau belanja mah tinggal minta delivery. Atau minta tolong sama Izz."
Elka menipiskan bibir. Kadang Sus Ami selalu sulit dibantah. Dia seperti mendiang Ibunya yang gemar melarangnya melakukan ini dan itu. Tentu saja demi keselamatannya sendiri.
"Oke deh. Agak siangan aja saya perginya."
"Ngeyel terusss," decak Sus Ami mengecimus.
"Mumpung lagi cuti, Sus, pengen ngurus rumah. Terus, saya tetep masak sarapan. Tuh, muka Sus keliatan ngantuk gitu. Balik kamar saja, atau lanjutin tidur di kamar El. Nanti saya bangunin kalau udah waktunya sarapan."
"Kok malah saya yang dimanja gini? Mau itu si El, atau Ibu, demen banget ngajarin saya makan gaji buta."
Elka terkekeh mendengar nada sebal Sus Ami.
"Lanjut tidur, Sus."
Membuka pagi dengan tawa adalah cara terbaik untuk menjaga mood hingga hari berakhir nanti.
Elka percaya itu.
***
"Itu pacarnya Daniyal gak, sih? Yang mau dibunuh neneknya Daniyal."
"Berani dia jalan sendiri. Padahal kemarin mau dibunuh. Hebat-hebat."
"Cantik banget."
"Tinggi juga, ya, dia. Cocok sama Daniyal yang kayak gapura kabupaten."
Elka mendengar obrolan--lebih tepatnya suara-suara bervolume rendah itu dari berbagai sisi tubuhnya. Sebenarnya, ia sudah mendengar suara serupa sejak memilih sayuran segar di etalase. Ada juga yang tak segan menyapanya.
"Ini, Kak, kembaliannya."
"Terima kasih," balas Elka cepat. Ia segera beranjak dari area kasir sembari menenteng tas belanjaannya. Dia juga tak repot-repot memindai siapa saja yang ia lewati atau sekadar memberi senyum keramahan pada mereka.
Bukannya dia angkuh, tetapi mendapatkan perhatian yang kedatangannya tak mampu ia prediksi, itu membuatnya tidak nyaman. Amat tidak nyaman. Ia harus mengakui bahwa sekarang, dirinya mulai membenci spontanitas.
Dia sama sekali tidak mengira orang-orang sudah sejauh ini mengenalinya. Berita kemarin pasti sangat menghebohkan sehingga ia juga mendapatkan banyak sorotan.
Tidak seperti kemarin-kemarin di mana dia masih bisa melangkah bebas ke berbagai tempat tanpa khawatir diperhatikan. Atau mungkin, itu hanya karena dia apatis terhadap sekitar. Elka bergegas masuk ke mobilnya saat tiba di parkiran. Agaknya, hanya rumah yang kini menjadi satu-satunya tempat teraman yang bisa ia tuju.
Mobil Elka sudah mendekati cluster kala Izz tiba-tiba meneleponnya.
"Ya, Izz?"
"Kakak nggak di rumah?"
"Iya, kenapa? Cuma ini udah dalam perjalanan pulang."
"Aduh, jangan balik dulu, Kak!" Izz berseru panik. "Di gerbang cluster ada wartawan nyariin Kakak. Walaupun security udah nyuruh mereka pergi, tapi orang-orang itu tetep kekeh. Mereka gak bakal pergi sebelum ketemu Kakak."
"Nggak apa-apa. Saya tinggal lewat saja."
"Jangan, Kak. Tadi saya udah kontak-kontakan sama salah satu security. Pak Rolan. Dia bilang wartawan-wartawan itu bertanya apakah Elka Dyatmika tinggal di sini apa enggak, terus Pak Rolan bilang kalau nama itu bukan penghuni sini. Cuma mereka gak percaya. Soalnya ada yang ngasih tau mereka kalau Kakak tinggal di sini."
Elka sontak menghentikan mobil sampai-sampai terdengar decit melengking. Siapa yang memberitahu alamat rumahnya? Yang tahu dia tinggal di sini hanya segelintir orang saja. Dan mereka adalah orang-orang yang Elka percaya. Mustahil ada yang tahu selain mereka.
Bagaimana ini? Para pemburu berita bertandang sampai ke situ, satu-satunya tempat teraman bagi Elka. Ia memang berniat menemui wartawan, tapi hanya setelah dia bertemu penyidik. Jadi, sebelum hal tersebut ia lakukan, dirinya enggan terlibat dengan orang-orang dari media massa.
Di tengah kebingungannya, Elka melihat mobil yang sangat familiar baginya baru saja melintas, tetapi beberapa detik setelahnya, mobil itu mendadak berhenti. Kemudian bergerak mundur dan berhenti tepat di depan mobil Elka.
Mobil milik Daniyal.
"Kak?"
Suara tersebut menyentak fokus Elka. Namun, akibat terlalu fokus pada pemandangan di hadapannya, Elka tak merespon seruan Izz.
"Kak Elka."
Tatapan Elka sama sekali tak ia lepaskan dari mobil di depan sana. Mengapa pria itu mendadak muncul? Tunggu, kemarin Daniyal berkata mereka akan ke mabes polri. Tak pelak, Elka mengembuskan napas berat.
"Kak Elka."
"Ya ... Ya?"
"Kakak belum ke sini, 'kan?" tanya Izz memastikan Elka menunda kepulangannya.
Perkiraan Elka meleset. Bukan sosok Daniyal yang keluar dari mobil itu, melainkan Gabri. Pria tersebut berlari kecil mendekati mobil Elka yang berhenti di tepi jalan. Kaca jendela pun diketuk perlahan olehnya.
"Saya matiin dulu, Izz," lapor Elka sebelum menyudahi obrolannya bersama Izz. Ia beralih menurunkan kaja jendela mobil.
"Halo," sapa Gabri sambil memasang tampang semringah. "Masih pagi, tapi kau sudah berwajah masam. Kenapa? Ada apa gerangan wahai kesayangan Daniyal Lateef?"
"Mengapa kau mendadak muncul di sini?" cecar Elka sinis. Dia sendiri pun bingung mengapa ia tiba-tiba marah. "Bagaimana kau tahu keberadaan saya?"
"Wow-wow, jangan marah dulu. Saya tadi memang berniat datang ke rumah kamu, tapi setelah melihat mobilmu, akhirnya saya langsung menepi," jelas Gabri. Ia lantas memicing curiga pada perempuan yang memasang raut galak itu. "Kenapa? Kamu pikir saya melakukan tindakan berupa pelacakan atau semacamnya sehingga saya tahu di mana posisi terkinimu? Oh ayolah, itu terdengar seperti script drama sabun. Terlebih lagi, itu gaya kuno yang terlampau mainstream."
Elka berdecak kesal. "Kau belum menjawab pertanyaan pertama saya."
"Ayo ke mabes polri," jelas Gabri langsung. "Kau sudah mendengar penjelasan Daniyal, 'kan?"
Bibir Elka seketika terkatup. Dugaannya benar. "Sekarang? Saya pikir agak siangan."
"Ya. Sekarang, Nyonya."
"Mobil saya bagaimana?"
Gabri menepuk dua kali atap mobil Elka. "Si putih ini akan menjadi kendaraan kita ke sana."
"Lalu mobil Daniyal?"
"Tinggalkan saja di sini. Daniyal manusia murah hati. Kehilangan satu mobil bukan masalah besar baginya," jawab Gabri enteng. Bahunya terangkat acuh tak acuh. "Sekarang buka mobilmu. Kau tak mungkin membiarkan saya terlihat seperti rampok, bukan?"
"Jawab dengan benar," desis Elka.
"Baiklah-baiklah miss pemarah. Di mobil itu ada Karol. Pacar saya yang akan mengurusi mobil kekasihmu."
Ucapan nyeleh Gabri lagi-lagi memancing kekesalan Elka.
"Open the door, Maam. Kulit sehat saya bisa gosong. Jika itu terjadi, saya akan stres sebab biaya perawatan cukup mahal akhir-akhir ini. Saya tidak ingin kehilangan nilai jual."
"Freak."
Walau kesal, Elka tetap membukakan kunci akses pintu mobilnya.
"Saya sebenarnya mau menawarkan diri untuk mengambil alih kemudi, tapi kamu pasti menolaknya. Jangan khawatir, saya tak akan banyak bertingkah sebab majikan baru saya agak tempramen. Dia bisa mengamuk kalau tahu boneka kesayangannya dibuat kesal," jelas Gabri setelah bergabung bersama Elka di jok depan. "Ayo jalan. Biar saya yang bertugas sebagai navigator."
Elka abaikan keterangan omong kosong pria yang berpakaian serba rapi di sampingnya. Rambutnya yang sedikit panjang, sengaja ia ikat dengan gaya low man bun. Biasanya, Gabri membiarkan rambutnya berantakan. Dia tampak segar dengan style baru ini. Bukan berarti Elka peduli pada perubahan yang terjadi padanya.
Elka segera menjalankan roda empat miliknya setelah melihat mobil di depan sana mulai beranjak.
"Kau sungguh tidak menyukai Daniyal?" celetuk Gabri tiba-tiba. "Sayang sekali kalau tidak. Dari gelagatmu, saya tak menemukan gestur ketertarikan pada majikan saya yang satu itu. Kenapa? Memangnya apa yang salah dengan Daniyal? Atau kamu sedang menyembunyikan perasaanmu sendiri?"
Elka abaikan celotehan Gabri. Dia berusaha meregulasi emosinya yang kacau akibat kejadian beruntun yang ia alami pagi ini.
Membuka pagi dengan tawa adalah cara terbaik untuk menjaga mood hingga hari berakhir nanti. Omong kosong macam apa itu? Elka menertawakan kenaifannya karena sudah berpikir demikian.
"Daniyal itu ... bagaimana, ya? Dia memang gila, tapi selalu menghargai pasangannya. Buktinya dulu saat masih bersama Handini, dia selalu memperlakukan Handini dengan baik. Seandainya umur mereka tak terpaut sejauh itu, mereka adalah pasangan yang cocok."
"Bicara lagi atau kau saya turunkan di sini?"
"Lihat siapa yang cemburu."
Elka mendelik. "Be quiet!"
"Kau benar-benar tak memiliki sedikit pun perasaan pada Daniyal? Saya skeptis akan hal itu. Kalian single, saling tahu watak masing-masing, dan paling penting sama-sama tidak waras. Kenapa tidak pacaran sungguhan? Toh, nggak ada ruginya juga. Percaya sama saya, bila kau menjadi kekasih seorang Daniyal Malik Lateef, maka kehidupanmu terjamin makmur."
Gabri semakin gencar memancing bara amarah di dada Elka. Dia terus berbicara tanpa beban.
"Cuma, ya, kamu harus tahan dengan perilaku anehnya. Saat SMA, dia pernah menjadi penguntit. Orang yang dia untit juga bukan orang lain, melainkan sepupu laki-lakinya sendiri. Kenapa saya bisa tahu? Sebab saya pernah masuk diam-diam ke kamarnya. Itu juga karena dia lalai lupa mengunci kamar. Dan saat itulah yang menjadi awal mula Daniyal membenci saya. Saya dipukuli sampai bibir saya robek."
"Saya tidak tertarik mendengar ceritamu!" seloroh Elka jengkel.
"Ah, kamu hanya ingin mendengar cerita tentang Daniyal saja? Baiklah. Sewaktu saya masuk ke kamarnya, saya menemukan banyak sekali foto-foto sepupunya yang berserakan di meja belajarnya. Jangan kamu pikir karena dia berhubungan dengan Handini, gerak-gerik Daniyal ikut dibatasi. Tidak juga. Malah, dia bebas pergi ke mana pun. Handini bukan wanita posesif."
"Dan walaupun dulu Daniyal sempat tinggal bersama Handini, tidak jarang dia ke rumah Rosita. Dia menjadikan kamar lamanya sebagai tempat bereksperimen. Saya tidak tahu apa motif Daniyal memata-matai sepupunya sendiri. Yang jelas, di kamar itu banyak sekali foto sepupunya. Rata-rata, fotonya agak kurang enak dilihat. Gambaran kehidupan malam yang liar terpotret begitu jelas."
"Diam, Gab--"
"Oh, benar, di meja itu saya juga menemukan foto perempuan berpakaian seksi yang tampak mabuk. Wajahnya tidak terlihat jelas akibat minimnya cahaya saat dipotret. Di foto lain, saya menemukan perempuan itu berciuman dengan sepupu Daniyal. Fotonya cukup buram, tapi saya yakin mereka berciuman. Latar tempatnya seperti berada di kelab karena cahayanya yang temaram. Mengejutkan, bukan? Daniyal sampai ke tahap itu memata-matai sepupunya. Dia masuk ke kelab yang notabene sulit dimasuki oleh anak di bawah umur. Hah, orang kaya brengsek. Dia paham cara kerja uang."
Elka langsung menghentikan mobil.
"Keluar."
"Kau perempuan yang membosankan, Elka."
"Keluar!"
"Baiklah, saya diam sekarang." Gabri melakukan gerakan mengunci di mulutnya, lalu kunci tak kasat mata tersebut segera ia letakkan di saku celana.
Siapa yang tak akan dongkol dengan manusia bebal seperti Gabri? Diminta diam, dia malah terus-menerus berbicara. Apatis terhadap kejengkelan Elka yang sejak tadi memintanya tutup mulut.
Mereka akhirnya tiba di tempat tujuan setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit. Selama itu pula Gabri mematuhi janjinya. Mulutnya ia kunci rapat-rapat sehingga membuat Elka bisa sedikit tenang.
Kerumunan wartawan tampak berkumpul di depan lobi mabes polri. Melihat pemandangan yang baru saja ia lewati, membuat Elka seketika lemas. Bisa dipastikan, hari ini akan menjadi hari yang panjang.
"Kau tahu, Daniyal juga berada di mobil yang Karol kendarai tadi," ungkap Gabri setelah Elka memarkirkan mobil. "Kalian mendadak kaku, seolah sebelumnya tak pernah dekat. Mungkin karena kau dan dia terlalu banyak mengonsumsi garam. Asing, 'kan, jadinya."
Elka menjeling ke arah pria di sampingnya, tetapi wajahnya masih tetap datar.
"Being close was never a thing for us from day one." Entahlah, Elka merasa dia harus meluruskan hal tersebut. Satu dunia pun perlu tahu bahwa dia dan pria pemaksa itu memang tidak memiliki status seperti yang selama ini Daniyal umbar ke publik.
Mereka hanyalah orang asing satu sama lain. Tak lebih tak kurang.
"Begitukah?"
Gabri menatap Elka lurus-lurus, berusaha mencari sedikit saja gurat cinta atau pengharapan di wajah perempuan itu. Barang kali, ia bisa membantu Elka jika memang perempuan ini menyukai Daniyal. Itu perkara mudah bagi Gabri.
Namun, nihil. Ia tak menemukan apa yang dicarinya. Sayang sekali, padahal Gabri berniat menolong Elka dengan tulus. Entahlah, ia merasa mereka cukup cocok menjadi pasangan sungguhan. Chemistry mereka agak sayang dilewatkan begitu saja.
Bagaimana mungkin dua orang itu tak saling tertarik setelah bekerja sama? Terlebih dengan kencan pura-pura mereka, harusnya itu membawa perubahan signifikan terhadap status hubungan keduanya di dunia nyata.
Mustahil mereka tak merasakan sedikit saja getaran cinta. Siapa tahu, keduanya sedang memakai topeng untuk menyembunyikan rasa yang sebenarnya? Gabri yakin itu.
Apa dia perlu bertugas sebagai cupid agar dua pemain poker ini sadar?
Sial, dia terlalu banyak dicecoki drama picisan yang sering ia tonton di televisi dapur rumah Rosita bersama para pembantu. Gabri merutuki kenaifannya yang menggelikan. Untuk apa juga ia mengurusi perkara asmara orang lain?
Daniyal Lateef
Elka Dyatmika
Keduanya tak lebih dari dua manusia berhati batu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro