31 | Perpisahan Ini ... Mengapa Terasa Pahit?
Klakson kendaraan terdengar dari berbagai sisi, mengisi telinga Elka yang terjebak dalam kemacetan panjang siang ini. Biasanya, dia akan mengeluhkan kejadian menyebalkan yang sudah menjadi makanan sehari-harinya ini karena macet selalu berhubungan dengan segala konsekuensi negatif.
Terhambatnya mobilitas dapat menyebabkan kekacauan jadwal kerja yang sudah dia susun rapi, lalu kemudian perasaannya memburuk dan diakhiri oleh semangat produktifitasnya yang menukik hingga ke inti bumi.
Namun, bukan efek dari kemacetanlah yang menyebabkan kekalutan Elka. Ini lebih runyam, berpola abstrak, sehingga sulit ditelaah oleh logika. Sejak tadi, ia berusaha menemukan muara dari pergolakan batin yang kini mengganggu pikirannya.
Ke mana dia akan berakhir?
Elka menatap nanar pada tangannya yang bertaut loyo di atas paha, ia bersikap acuh tak acuh pada suasana sekitar. Beberapa kali, ia mendapati dirinya menghela napas cukup intens, mengisi pasokan udara pada paru-parunya yang mendadak sesak.
Aneh, ada kesalahan besar di sini. Semestinya, dia sedang memikirkan pesta seperti apa yang harus ia gelar demi merayakan kebebasannya.
Bukan malah berdiam diri layaknya arca, seakan dunia luar tak lagi menyenangkan untuk dinikmati.
Saat mendengar ponselnya lagi-lagi diberondong oleh panggilan serta pesan bertubi, ia memilih abai. Selain bunyi klakson, Elka jadikan dering ponsel sebagai pengisi kekosongan dalam perjalanan pulang ke rumah. Bersama Karol yang menjadi pengendali kemudi, ia biarkan dirinya dikungkung oleh kehampaan hati yang tak ingin ia akui kebenarannya.
"Bu, sudah sampai."
Perhatian Elka segera teralihkan oleh laporan singkat Karol. Ia mengarahkan tatapan gamang ke arah spion mobil, menatap pantulan Karol yang bersiap mengucapkan salam perpisahan.
Mungkin, ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka juga. Bisa jadi. Elka tak tahu takdir seperti apa yang tengah menuntun langkah hidupnya, tetapi satu hal yang pasti, dia dan wanita ini sudah tak memiliki urusan lagi.
Awalnya ia pikir, Karol akan segera turun, melenggang pergi tanpa menunggu balasan atas pernyataannya. Seperti yang sering terjadi. Namun, tidak kali ini. Masih dengan tatapan yang tertuju pada spion tengah mobil, Elka mendapati Karol menghadapkan kepala pada kaca jendela di sisi kursi kemudi, memandang keluar pada pagar rumahnya yang tertutup sempurna. Bibir Karol terkatup tipis, diiringi oleh pancaran sayu di matanya, yang mana itu aneh bagi Elka.
Elka biarkan dia menunggu, melewati satu menit dengan keheningan hampa. Hingga kemudian, Karol kembali menatap ke depan. Tak ada lagi tatapan sendu yang menggantung di matanya, seakan tersapu habis oleh waktu satu menit yang berlalu tanpa makna nan jelas bagi Elka.
Ada apa dengan Karol? Apa arti tatapan sendu wanita itu saat melihat ke arah rumah? Batin Elka menuntut jawaban dari tingkah asisten Daniyal tersebut.
"Saya pamit," ucap Karol pendek, lalu segera membuka pintu mobil. Dia pergi meninggalkan tanda tanya besar.
Hanya saja, Elka enggan repot-repot memusingkan kepalanya yang sudah disesaki oleh berbagai macam kompleksitas.
Dia pun ikut bergerak keluar, membuka pagar rumah, lalu membawa mobilnya yang sudah selesai diperbaiki memasuki car port. Karol-lah yang mengambil mobil dari bengkel, dikembalikan tanpa lecet sedikit pun. Tampak mengilap, seakan baru dibeli.
"Kak."
Elka sedikit berjengit saat mendengar sapaan tersebut. Tatapannya terangkat spontan dan mendapati kehadiran Izz yang berdiri di sisi kanan mobil.
"Aku baca berita pagi tadi," imbuh lelaki tersebut dengan intonasi segan dan takut. "Kakak baik-baik saja?"
Izz memindai keadaan Elka dari pangkal kepala sampai ujung heels. Dia masih ingat betul isi paragraf pertama dan kedua dari artikel berita yang dibacanya tadi. Syok bukanlah kata yang tepat untuk mendeskripsikan keterkejutan yang ia miliki. Ini lebih dari itu. Jantungnya bertalu gila-gilaan saat berita dari media massa pada mesin pencari ponselnya memberikan notifikasi beruntun.
Selain berita ped*filia yang menjerat nama Rosita Laila, dia berusaha melakukan percobaan pembunuhan pada Elka Dyatmika. Izz juga ingat seperti apa bentuk vas kaca yang hendak dilemparkan pada Kakaknya. Ukurannya yang melebihi wajah Rosita membuat darah Izz mendidih. Benda sialan itu nyaris membuat Elka terluka.
Rosita Laila.
Izz dapat menjamin kehidupan tenang wanita tua problematik itu telah berakhir. Akhirnya, apa yang selama ini dia harapkan terjadi. Perhatian Izz kembali ia pusatkan pada perempuan di depannya.
Wajah Elka muram, semendung awan kelabu di langit. Akibatnnya, kekhawatiran Izz bertambah intens. Dia ingin sekali merongrong perempuan yang tampak kelelahan ini dengan berbagai tanya, menuntut jawaban agar golak cemas di dadanya mereda. Namun, ekspresi lara Elka berhasil menghentikan niatnya.
Walau sejujurnya, senyum dan anggukan kecil yang Elka beri tak memuaskan rasa ingin tahu Izz. Siapa pun yang melihat respon Elka barusan, pasti akan langsung berkata bahwa dia tidak baik-baik saja. Kemudian Elka akan dilabeli sebagai pembohong yang gagal. Balik lagi, apa hak Izz? Mereka hanya tetangga yang kebetulan mengenal baik, tapi tak lebih dari itu. Pada dasarnya, mereka adalah orang asing.
"Nanti kita ngobrol lagi, ya, Izz. Saya mau jagain Rafael," kata Elka usai turun dari mobil.
Kening Izz nyaris menyatu. "El Kenapa, Kak?"
"Sakit. Demam sama batuk-batuk."
"Astaga, saya gak tahu kalau El sakit. Pantas dari kemarin dia gak ke rumah. Sudah dibawa ke rumah sakit, Kak?"
Elka merasa bulu kuduknya meremang. Rumah sakit adalah tempat yang tak akan pernah ia datangi meski berada pada ambang kematian sekali pun.
"El sudah diperiksa. Pagi tadi. Di rumah. Saya panggil teman Dokter saya."
"Oh, iya," balas Izz mendadak canggung. Dia hampir saja meminta izin untuk memastikan keadaan Rafael, tapi langsung urung sebab lagi-lagi merasa waktunya kurang tepat. "Saya ...."
"Gak mau nengokin El, Izz?"
"Mau, Kak!" Rasa lega seketika membanjiri hati Izz. Tanpa menunggu Elka, dia berlari cepat ke dalam rumah. Meninggalkan Elka yang terkejut atas kegesitan pemuda itu.
Elka lantas melanjutkan langkah. Lamun, tungkainya terasa seperti besi tuang yang mengandung karbon tingkat tinggi. Berat, panas, serta sulit dipindahkan. Disharmoni yang menggerogoti tubuhnya dimulai sejak dia kembali dari apartemen pria yang secara resmi memutuskan kontak serta kontrak di antara mereka.
Benar, inilah yang Elka mau.
Bebas
Tenteram
Anti konflik
Harapan yang begitu ia damba. Jadi, dia sepatutnya merasa senang. Harus.
Tiba di kamar Rafael, ia menemukan Sus Ami dan Izz mengobrol dengan volume kecil sebab Rafael tengah tertidur sambil memegang rubik di atas dada.
"Keadaan Rafael gimana, Sus?" tanyanya nyaris berbisik sesaat ia tiba pada sisi ranjang yang berseberangan dengan dua orang di depannya.
"Agak mendingan, Bu. Tadi pas selesai disuntik, dia langsung minum obat karena udah makan. Tidurnya lumayan lama juga. Dari jam sembilan."
"Syukurlah," Elka menyapu dadanya lega. Rasanya cukup plong setelah napasnya terasa sesak sejak tadi. "Udah makan, Sus? Istirahat dulu. Saya bakal jagain El."
"Sudah, Bu. Tadi juga sempat tidur kok. Dibanding saya ... Ibu yang harusnya istirahat. Anu, saya baca berita tadi pagi. Sampai sepuluh menit yang lalu, saya juga masih baca-baca semua berita tentang kejadian itu. Ibu nggak kenapa-napa? Tadi saya nelepon, tapi gak Ibu angkat. Jantung saya rasanya mau copot ini, Bu. Beneran nggak nyangka Omanya Pak Daniyal sejahat itu."
Sus Ami mengecilkan suara pada akhir kalimatnya. Lain waktu, dia akan bertanya pada Elka tentang apa alasan Rosita sampai berniat melukai majikannya itu. Sekarang bukanlah waktu yang pas untuk menodongkan banyak tanya.
"Pokoknya Ibu istirahat. Saya beneran fit kok, badan saya bugar. Pas lihat Ibu terbaring di lantai dan mau dihantam pake vas, saya yakin Ibu gak baik-baik saja."
"Siapa yang mau dihantam, Sus?"
Baik Izz dan Sus Ami sama-sama terperanjat saat suara parau tersebut tahu-tahu meruak ke permukaan. Sontak, mereka langsung mengarahkan tatapan pada sumber suara.
Rafael ternyata sudah bangun. Dia menguap panjang, menggaruk pelan lengannya, kemudian memandang bingung ke arah mereka.
"Lah, udah bangun?" Sus Ami beringsut menyentuh pipi bocah tujuh tahun tersebut menggunakan punggung tangannya. "Alhamdulillah, demamnya turun."
"Siapa, Sus, yang mau dihantam? Mama? Kenapa mau dihantam? Siapa yang mau hantam Mamanya Rafael?" tanya Rafael beruntung. Matanya terbuka sempurna. "Sus, El nanya loh. Kenapa Mama mau dijahatin?"
Panik, Sus Ami menggeleng kuat-kuat. "Hah? Gak kok. Nggak ada yang mau dihantam. Kamu salah denger kali. Atau jangan-jangan, kamu ngigo, ya, ini? Duh, bobok lagi, ya, El."
"Gimana perasaan kamu, Sayang? Masih nggak enak? Mual kayak tadi pagi?" Elka segera mengalihkan fokus pembicaraan sambil mengusap kepala Rafael. "Mama ganti baju dulu. Habis itu, kamu Mama pijitin."
Kini, Rafael-lah yang ganti menggeleng panik. "Udah gak sakit lagi kok, Ma. Nih, kuat," sahutnya menggerakkan tangannya dengan gerakan senam sehat, akan tetapi di detik selanjutnya, dia malah terbatuk-batuk.
"Tetep Mama pijitin," putus Elka final. Dia tahu Rafael sering bergelantungan saat melihat adanya kesempatan emas di mana ia tak dalam pengawasan mereka. Sus Ami dan Izz juga sudah sering melaporkan hal ini kepadanya. "Siapin baby oil, Sus. Saya ganti pakaian dulu."
"Kak, saya pulang, ya. Ini El kayaknya mau bujukin saya buat cegah Kakak supaya gak pijat dia. Tuh tuh, pake jurus mata boba. Not today, El," Izz menggeleng, mana berani dia mencegah Elka. Terlebih bila Elka berada dalam mode seorang Ibu seperti sekarang. Kegalakannya adalah berita buruk bagi Izz. Baru setelah mendapatkan anggukan Elka, dia cepat-cepat keluar kamar.
Elka juga beranjak ke kamarnya, tetapi kemudian, dia lagi-lagi dikejutkan oleh seruan Izz saat dirinya hendak membuka pintu kamar.
"Kak, itu di depan ada tamu tuh. Nanyain Kakak," jelas pemuda itu tersengal. Dia berlari cukup kencang. Terlebih menaiki undakan tangga yang cukup panjang, membuat paru-parunya seolah terbakar. Dia sengaja berlari untuk menyampaikan pesan dari orang-orang yang mengaku sebagai teman Elka tersebut. Yang mana, itu agak mengejutkan bagi Izz sebab selain wanita bernama Glori, dia amat jarang melihat Elka membawa teman-teman ke rumahnya. Sedikit banyak, dia tahu individualitas Elka yang tertutup. Jadi, persoalan ini cukup sensibel bagi Izz.
"Siapa?"
"Temen-temen Kakak, mereka ngakunya gitu. Ada tiga orang. Satu cewek, dua cowok. Mereka nunggu di depan rumah."
Elka sudah dapat menebak siapa yang dimaksud Izz. "Kalau kamu balik ke bawah, tolong sampaikan sama mereka langsung masuk aja, ya. Saya mau ganti baju dulu."
"Siap, Kak."
Saat Izz sudah benar-benar menghilang dari hadapannya, Elka menarik napas berat. Ia pun segera menuntaskan niatan awalnya. Sebelum beranjak ke bawah, dia singgah dulu ke kamar sang putra, lalu mendapati Rafael sudah kembali berbaring dengan mata terpejam kuat-kuat sehingga Elka tak bisa menahan dengkusan gelinya.
"Sus, saya ada tamu. Temenin El dulu, ya."
"Siap, Buk." Sus Ami menjeling ke arah Rafael. Bibirnya terkulum geli demi mencegah semburan tawa. "Bangun El, kamu lolos kali ini."
"Alhamdulillah." Rafael sekonyong-koyong membuka mata. Saat tatapannya berlabuh pada Ibunya yang memasang tampang masam, dia pun terkikik. "Sayang Mama. Mau peluk."
Bocah itu langsung bangun dari pembaringannya, bergerak ke arah Elka yang berdiri tepat di samping ranjang. Sebelum memeluk sang Ibu, dia mencium masing-masing pipi Elka sampai menimbulkan bunyi kecupan nyaring. Alhasil, Elka dan Sus Ami sama-sama tertawa atas tingkah menggemaskan Rafael. Sayangnya, senyum Elka tidak bertahan lama. Kulit hangat Rafael membuat hatinya bergetar sedih.
"Istirahat lagi, ya, Nak," titah Elka saat pelukan mereka terurai. "Kalau kamu dah sehat, Mama kasih kejutan."
"Wah! Kejutan apa?" seru Rafael antusias. Senyum semringah terpasang di bibirnya.
"Ada-lah pokoknya. Yang pasti kamu bakal seneng."
"Ihh El penasaran, Mama~"
"Nanti, Sayang. Makanya kamu banyakin istirahat sama minum obat biar lekas sembuh."
"Oke!"
Elka bergegas menarik diri dari kamar Rafael. Dia menuju lantai bawah sembari memikirkan jawaban yang akan ia beri saat teman-temannya bertanya ini dan itu.
"Masih hidup! Mbak Elka masih hidup!"
Elka disambut oleh Jahira yang langsung melakukan gerakan sujut sukur usai mendapati raga Elka yang tanpa cacat mendekati mereka.
"Mbak! Lo beneran mau dibikin mati ama nenek sundal itu?" sambung Jahira dengan amarah menggebu-gebu. "Gila, ya. Kalau gue di situ, si nenek yang bentukan badannya kayak tengkorak itu, langsung gue patahin leher ama pinggangnya! Edan emang! Udah mah pedofil, dia juga pembunuh!"
"Calon, Ra, calon pembunuh. Elka belum meninggal," sahut Yasa. "Tapi siapa tahu dia ada bikin kasus di lain tempat. Anjing emang!"
"Jangan teriak-teriak," decak Javis. Elka pikir, pria itu akan meminta teman-temannya lebih terkendali, tapi nyatanya ia salah. "Penjara gak mempan, langsung eksekusi mati aja. Bangsat."
Dan Elka tercenung akibat kefrontalan teman-temannya. Tak menyangka mereka jadi begitu tidak terkendali.
"Gimana keadaan lo?" sambung Yasa setelah Elka sepenuhnya duduk pada sofa tunggal. "Jawab I'm okay, besok lo gue ajak nanjak ke Puncak Wijaya biar tuh kata laknat gak bakal keluar dari mulut lo."
Seloroh Yasa tajam seakan dia tahu jawaban yang sudah disiapkan teman malangnya. Elka sudah terpojok. Kata-kata penenang tak lagi mempan bila ia ucapkan.
"Gue dijambak. Kulit kepala gue sakit," jawabnya menyerah, seakan dia mengibarkan bendera putih. "Dengkul lumayan nyeri karena tadi sempat dijorokin ke lantai."
"That bitch! Bener-bener, ya! Kenapa gak mati aja, sih, dia?!" Jahira mencengkeram rambutnya frustrasi. Dia ingin sekali mencekik Rosita yang telah lancang melukai Elka. "This is driving me crazy! Sakit hati gue. Terlebih vas yang mau dia lempar sama lo segede itu! Terlambat sedetik aja, ancur pasti muka ama kepala lo."
"Ke rumah sakit, Ka. Kita visum."
"Terus ke kantor polisi."
"Nggak usah." Elka membalas kontan ucapan Javis dan Yasa.
"Kenapa, Mbak Elka? Lo takut? Gak apa-apa, kita temenin. Satu Indonesia bakal dukung lo buat menjarain Rosita."
"Menghadapi manusia kayak dia tidak sesulit seperti yang lo pikirkan. Tenang saja, gue banyak kenalan pengacara kondang." Javis menimpali ucapan Jahira. "Lo aman, Elka."
"Daniyal ... dia berjanji bakal urus semuanya. Mungkin besok, gue ke kantor polisi buat ngasih keterangan."
"Ah, ya, dia cucu Rosita Laila," dengkus Yasa. "Sejak tadi, dia juga gak keliatan di kantor. Nggak tahu kabur ke mana." Tersirat nada sinis dalam kata-kata Yasa sehingga Jahira mendelik sinis kepadanya.
"Kata-kata lo gitu banget?"
"Kenapa? Ceweknya kena musibah dia malah hilang, entah ngelayap ke mana. Jangan deh singgung hubungan mereka di luar kantor, tapi sebagai pemimpin divisi, harusnya dia bertanggung jawab atas apa yang menimpa bawahannya karena Elka sedang menjalankan tugas kantor saat konflik sialan itu terjadi."
"Dia yang jemput gue dari kantor RoLa." Ucapan Elka sukses mengalihkan perhatian Jahira, serta Yasa.
"Oh wow, so sweet. Tuh, 'kan! Pak Daniyal ternyata lagi jagain Mbak Elka!" kata Jahira spontan. Detik selanjutnya, dia nyaris berteriak karena Yasa memberikan cubitan di lengan atasnya. "Sakit, kampret!"
"Diem!" sentak Yasa dongkol karena tuduhannya meleset jauh.
"Ya elo mancing-mancing, tai!"
"Ambil cuti, Ka. Jangan kerja dulu. Urusan kantor delegasiin ke kita saja."
Elka mengalihkan pandangan pada Javis. Dia masih melihat sorot khawatir di mata lelaki itu.
"Lo hampir gak pernah ambil jatah cuti, 'kan? Nanti gue yang ngurus surat cutinya. Lo gak perlu ke kantor."
"Bener. Tugas lo kasih ke gue aja, Mbak. Don't worry, we've got this! Pokoknya lo fokus tenangin diri dulu. Ada Anggi juga kok. Dia yang bakal bantu gue."
Elka tampak berpikir. Pria itu juga memerintahkan hal serupa. Cuti. Dalam situasi kacau seperti sekarang, agaknya sangat tidak tidak mungkin bagi Elka mampu menuangkan fokus pada pekerjaannya.
"Oke, Mbak?"
Elka mengangguk pada akhirnya.
"Thanks. I'll ... count on you guys."
***
Elka terpekur menatap lantai ruang tamunya. Trio kantor sudah pergi dari satu jam yang lalu, dan waktu pada jam dinding sudah menunjukkan pukul empat sore. Matahari mulai tergelincir ke arah barat. Pijar oranye dari penguasa siang itu tampak redup sebab arakan awan abu-abu hampir menutupi kegagahannya.
Hening syahdu yang kini menyerkapnya adalah satu dari sekian banyak asa yang tempo hari begitu Elka harapkan kehadirannya. Tanpa takut terganggu, bebas dari risau, dan yang pasti pria itu jauh dari jangkauannya.
Dan semua itu, akhirnya berhasil dia dapatkan sekarang. Dia bebas dari segala risau tentang pria itu sebab garis takdir di antara mereka telah diputuskan. Dia tak perlu lagi merasa tertekan. Salah satu beban terbesar di hidupnya akhirnya terangkat. Perpisahan yang mudah ini adalah mimpi terbesar Elka.
Dia senang.
Harusnya.
Harusnya begitu, bukan?
Namun, mengapa intuisinya memilih berkhianat? Membelot dari ketetapan awal. Dan lagi, perasaan sesak macam apa ini? Gumpalan getir di hatinya membuat pikiran Elka terperosok pada ngarai represi yang seolah tak berujung.
Ada apa ini? Bukankah dia begitu pongah saat berkata bahwa dia tak akan lagi terpengaruh? Lalu perasaan sialan ini, maksudnya apa?
Elka lantas berdiri. Pikarannya terlalu sulit diajak bekerja sama untuk tetap terkendali. Dua tungkainya bergerak pelan ke arah pintu utama rumah yang masih terkuak. Semilir angin sore melesak masuk saat Elka memegang badan pintu, menyapu lembut wajahnya yang muram, seolah berusaha membawa pergi kesenduannya.
Samar, ia mendengar gemuruh mobil dari luar pagar. Suaranya cukup dekat, seperti berasal dari rumah sebelah. Entahlah, Elka yakin pikirannya rusak sebab dia menemukan dirinya berlari demi memeriksa sumber suara yang baru saja ia dengar.
Dengan napas tersengal, tubuhnya terhenti di depan pagar rumah. Ia menatap cermat pada pemandangan yang tak jauh dari tempatnya berdiri, tepatnya di depan rumah pria itu. Truk CDD telah terparkir rapi. Beberapa pria berbadan kekar pun turun dari truk, lalu bergegas masuk ke dalam rumah.
Elka menunggu, memusatkan semua fokus pada apa yang sedang ia lihat.
Beberapa saat kemudian, orang-orang yang tadi ia lihat kembali menampakkan diri. Tidak dalam tangan kosong. Perabotan rumah seperti sofa dibawa keluar rumah. Berikut dengan meja kerja, kursi, serta beberapa koper berukuran besar. Kemudian, mereka bergerak ke arah rumah Izz sambil mengangkat sofa-sofa tadi. Sementara barang lain telah selesai diangkut ke dalam mobil. Izz dan Pak Iksan ternyata juga sudah menunggu di depan rumah mereka, lalu membiarkan pria-pria asing itu meletakkan sofa di dalam rumah.
Saat melihat sosok Elka yang sedang memperhatikan situasi dari depan pagar rumahnya, Izz berlari kecil pada perempuan yang memakai hoodie putih, dipadukan dengan kulot hitam tersebut.
"Kenapa keluar, Kak? Udah mau hujan, lho, ini," ucap pemuda itu ketika tiba di depan Elka.
"Itu ... ada apa, Izz?"
Izz menengok ke arah truk yang terparkir di depan rumah mantan majikan Bapaknya. "Oh, suruhan Pak Daniyal. Mereka mau beberes. Tuh, sofa Pak Daniyal juga udah dikasih sama kami."
"Kenapa?"
"Ya? Apanya yang kenapa, Kak?" Izz bertanya bingung. Dia memandang Elka dengan kerut di dahi. "Kakak gak mungkin nggak tahu, 'kan, kalau Pak Daniyal pindah hari ini juga?"
Kehampaan seketika merajai relung hati Elka. Dia terdiam tanpa mampu membalas penuturan pemuda di depannya.
"Perpisahan yang sangat kau dambakan itu, akan kukabulkan tanpa kurang sedikit pun."
Elka kembali memutar memori pagi tadi di otaknya bagaikan fragmen film yang buram. Samar, dia bisa melihat senyum tipis menggantung di bibir pria itu. Senyum yang menjadi epilog dari segala cerita mereka.
"Terhitung mulai hari ini, kau bebas, Elka."
Suara Daniyal kembali menggema dalam ruang hampa sukmanya. Mengantarkan gigil kengiluan pada sekujur raga Elka.
"Tugasmu selesai. Mari kita akhiri sampai di sini."
Elka memaki lemah dalam hati, berharap makian tersebut dapat mengembalikan logikanya ke tempat semula. Namun, apakah memang sesulit ini bergulat dengan logika? Padahal tujuh tahun belakangan, ia selalu mengandalkan kelogisan dalam setiap pengambilan keputusan penting di hidupnya.
Di mana dia harus memperbaiki logikanya yang telah babak belur ini? Elka takut. Sangat-sangat takut. Dia harus segera berbenah sebab kata hatinya telah berhasil melumpuhkan kekuatan nalarnya. Dia tak ingin kembali pada masa itu. Masa di mana dia menjadi manusia dungu yang dibodohi oleh lafal magis bernama cinta.
Tidak, ini hanya fase sesaat karena dia terbawa suasana. Besok, serta hari-hari berikutnya, dia akan baik-baik saja. Dia mungkin naif, tapi setidaknya mampu mengendalikan diri. Lihatlah dia sekarang, ia masih bisa berdiri kokoh. Perasaan hampa tadi hanyalah kebimbangan yang datang sepintas untuk mengacaukan pikirannya.
Pada akhirnya, dia tetaplah Elka Dyatmika, perempuan yang menganggap cinta adalah perasaan bodoh yang tak seharusnya diindahkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro