28 | Hadiah Hari Jadi
"Selamat Pagi ... Pak Gabri."
"Sejak kapan kamu sampai?"
Ucap mereka bersamaan dengan intonasi berbeda. Perkataan Elka cenderung tenang walau dia gagal menutupi mimik terkejutannya. Tak seperti nada tajam Gabri yang jelas mengartikan ketidakramahan.
"Jawab pertanyaan saya," desak Gabri tak sabaran.
"Saya baru saja tiba."
Untuk sejenak, Gabri terdiam. Hingga sesaat kemudian, dia menghela napas cukup intens. Raut kaku di wajahnya sama sekali tak luntur sejak keluar dari ruangan di belakangnya.
"Ikut saya," perintah pria itu saat melewati Elka menuju ruangan seberang.
Dia dapat menangkap ekspresi kekesalan Gabri walau hanya sepintas. Dosa besar apa yang telah ia perbuat sampai harus menerima respon sinis tersebut? Ujung kening Elka nyaris menyatu saking terkejut atas perilaku sepupu Daniyal yang menunjukkan watak aslinya.
"Tunggu di sini. Saya akan memberitahu Ibu Rosita terkait kedatanganmu." Gabri mempersilakan Elka memasuki ruangan yang ternyata merupakan meeting room dengan skala besar.
"Maaf, sepertinya ada kekeliruan di sini. Saya seharusnya bertemu dengan orang-orang Vega Media."
"Ya, tapi sebelum itu kamu akan bertemu Bu Rosita. Beliau yang meminta lokasi meeting kalian diubah."
"Saya tidak merasa menerima pemberitahuan awal mengenai hal itu dari pihak Vega Media."
Lelaki yang sebelumnya berniat pergi itu, kembali berbalik menghadap Elka. Dia lagi-lagi menghela napas berat, seakan respon Elka membuat darahnya mendidih. "Tidak bisakah kamu menunggu? Nanti Bu Rosita sendiri yang akan menjelaskan maksud pertemuan kalian. Tunggu saja di sini."
"Mungkin Anda kurang paham SOP dunia kerja, berikut dengan peraturan tidak langsung yang berlaku. Saya beritahu Pak Gabri, saya berhak melayangkan protes karena kurangnya transparansi dari pihak Anda." Tuntut Elka menolak diperlakukan semena-mena. "Saya keberatan atas pertemuan mendadak ini."
"Saya paham kamu marah, tapi sekali ini saja, tolong ikuti kata-kata saya. Bu Rosita akan segera saya panggil. Tenanglah, dia tidak akan melakukan hal buruk padamu. Memangnya apa yang bisa dia lakukan pada kekasih pria gila yang sayangnya adalah garis keturunannya sendiri?"
Gabri tak lagi mengindahkan protes yang Elka layangkan. Dia langsung keluar ruangan, meninggalkan tamunya yang kebingungan dengan maksud pertemuan mereka. Perasaan Elka berangsur-angsur buruk. Ia segera menyalakan rekaman ponsel, demi berjaga-jaga.
Entah berapa banyak kejutan lagi yang akan dia dapatkan hari ini. Mulai dari Daniyal yang tahu-tahu menjadi ketua divisi, lalu sekarang Rosita yang mendadak meminta bertemu.
Tak pelak, kejengkelan mulai mengakar di hatinya. Pekerjaan yang awalnya dia senangi, kini terasa melelahkan semenjak kemunculan Daniyal dan keluarga lelaki itu. Glori yang tidak bisa dihubungi sejak semalam, juga ikut menyumbang rasa frustrasi Elka.
Belum lagi hidupnya tengah dibayang-bayangi oleh pria yang mengaku sebagai Papanya. Dengan semua kompleksitas itu, bagaimana mungkin dia bisa menenangkan diri seperti perintah Gabri?
Derit pintu kembali menyita fokus Elka. Rosita Laila akhirnya tiba. Ketegasan di wajah wanita tua tersebut seakan menekankan bahwa kedatangannya bukan untuk membicarakan hal remeh.
"Terima kasih sudah bersedia menunggu," ucap Rosita sembari mengambil tempat di samping Elka yang pada akhirnya memilih menempati kursi yang tersedia di ruangan ini. "Saya menerima laporan Gabri mengenai meeting yang akan kamu adakan dengan tim Vega Media. Awalnya, saya tidak berencana menginterupsi. Tapi pagi ini, saya mendengar kabar buruk. Perihal Daniyal yang bergabung di HL Group tanpa memberitahu saya."
Dua tangan Rosita terkulai di atas paha. Perangainya seperti tentara yang kalah di medan perang. "Daniyal sejak kecil sudah hidup bersama saya. Dia kurang beruntung karena kehilangan Kakek dan orang tuanya pada masa-masa pertumbuhan. Dia memang memiliki paman dan bibi, tapi sangat disayangkan, mereka tega mengabaikan Daniyal."
Tidakkah Rosita lihat keengganan di wajah wanita muda di sampingnya? Elka bingung sebab Rosita malah menceritakan riwayat hidup 'kekasihnya' yang ogah dia dengar.
"Saya begitu menyayangi Daniyal karena dia adalah keluarga terdekat saya setelah Kakeknya tiada. Saya paham, mungkin karena kehilangan figur orang tua kandung, perilakunya cenderung berbeda dari anak-anak lain. Dia tempramental dan keras kepala. Didikan keras yang awalnya saya beri untuk menggemblengnya menjadi pria tangguh, pada akhirnya malah membuat anak itu muak hingga berakhir membangun sikap intoleran sebagai tameng agar orang lain tak berani macam-macam dengannya."
Rosita menjeda ucapannya. Dia menarik napas dalam-dalam.
"Itulah sebabnya, saya mengenalkan Daniyal pada Handini Laroka yang waktu itu, telah banyak membantu masa-masa sulit kami ketika dunia acuh tak acuh pada keterpurukan yang kami rasakan setelah kepergian Hairul Lateef."
Kebungkaman Elka menjadi lampu hijau bagi Rosita melanjutkan penuturannya.
"Kamu boleh saja menganggap saya Nenek yang buruk karena mengenalkan Handini pada Daniyal meskipun saya tahu umur mereka terpaut jauh. Namun, Elka, saya tak dapat mengatur perasaan seseorang. Perasaan yang tumbuh ketika dua insan saling berbagi luka dan tawa, saling mengasihi, walau terdapat jurang perbedaan besar di antara mereka."
Tatapan kosong Rosita tertuju pada vas kaca yang berisikan tulip putih di tengah meja rapat.
"Begitulah yang terjadi pada cucu saya bersama Handini. Mereka adalah sepasang kekasih yang saling memahami satu sama lain. Daniyal bahkan sudah membeli cincin untuk melamar Handini, tapi karena saya, rencana pernikahan mereka gagal. Dia marah saat tahu saya mendapatkan bantuan calon istrinya untuk pembuatan resor di Manado. Dia berpikir, saya lagi-lagi memanfaatkan kekayaan Handini dari hubungan mereka."
"Maaf, sepertinya pembicaraan i--"
"Daniyal mengira hubungan mereka akan berujung pada kegagalan bila Handini terus membantu kami. Dia menjadi pria yang rendah diri. Selalu merasa kurang pantas saat bersanding di sisi wanita yang ia cintai hanya karena status sosial mereka berbeda. Kendatipun dia berulang kali telah diyakinkan oleh Handini, bahwa semua ketakutan-ketakutannya sama sekali tak beralasan karena tolok ukur wanita itu dalam mencintai Daniyal bukan berlandaskan materi. Namun, cucu saya telah memantapkan hati untuk menyudahi hubungan yang telah terjalin selama bertahun-tahun itu hingga pada akhirnya, mereka berpisah tahun kemarin."
Rosita menyentuh lengan Elka, memberi remasan pelan di sana. Dia juga menatap sendu perempuan yang kini berstatus sebagai kekasih sang cucu. Ada sorot pengharapan yang besar di mata Rosita untuk Elka.
"Saya minta maaf sudah berlaku kasar padamu," sesal Rosita mengingat kesan buruk yang sudah ia beri pada Elka. "Sejujurnya, saya frustrasi dengan perubahan drastis Daniyal. Itu kesalahan saya karena keliru dalam melangkah. Dan saya tidak ingin cucu saya menyeret lebih banyak korban lagi dalam problematika di antara kami. Kamu adalah korbannya, Elka. Sungguh, saya kenal Daniyal lebih dari siapa pun. Saya juga menjamin, kalian hanya akan saling menyakiti saat keegoisan Daniyal mendominasi hubungan kalian. Jadi, saya mohon demi kebaikanmu sendiri, lepaskanlah cucu saya."
"Bu Rosita, saya datang ke sini dengan tujuan untuk bekerja. Sementara pembahasan Ibu sangat jauh dari konteks pekerjaan yang seharusnya kita obrolkan. Maaf, jika Ibu masih berniat membicarakan hal-hal di luar topik meeting, sepertinya saya harus undur diri." Elka memasang barikade agar Rosita berhenti membicarakan kisah hidup Daniyal yang sangat tidak nyaman untuk didengar.
Sehalus apa pun intonasi wanita tua ini saat menjelaskan latar belakang kehidupan Daniyal yang kompleks, dia tetap sulit menerima alasan mengapa Rosita membiarkan cucunya menjalin hubungan dengan wanita yang memiliki usia jauh di atasnya. Tetap saja itu fatal bagi Elka. Ped*filia bukan hal wajar, tak peduli kedua belah pihak memiliki perasaan yang sama nan dalam.
Jangan salah mengira jika dia bersimpati pada Daniyal. Ini hanya bentuk keprihatinan pada moral keluarga konglomerat yang ia pikir memiliki kehidupan sempurna, tapi nyatanya tidak.
"Justru karena pertemuan kita sekarang, saya berusaha menyadarkanmu supaya nanti, kamu tidak menyesal," kata Rosita melanjutkan upaya membujuk Elka agar meninggalkan sang cucu.
Haruskah Elka beberkan bahwa tanpa diberitahu pun, dia tahu orang seperti apa Daniyal? Dia terbiasa berhadapan dengan kebusukan-kebusukan lelaki sinting itu. Hidup yang terombang-ambing dalam ketakutan selama beberapa bulan belakangan, sudah cukup menjadi bukti valid dari ketidakwarasan seorang Daniyal.
"Bu, kita sedang berada dalam ranah profesional. Saya yakin Ibu tidak ingin mencederai integritas Ibu sebagai pemimpin RoLa Corp. Saya permisi."
Elka lantas beranjak dari kursinya. Percuma dia bertahan di sini sebab Rosita akan terus membujuknya meninggalkan cucunya yang sebenarnya sangat ingin dia campakkan walau tanpa dimintai sekalipun.
"Tinggalkan Daniyal!"
Rosita, wanita tua gila itu, tahu-tahu saja menjambak rambut Elka yang tercepol rapi. Tarikannya sangat kuat sehingga Elka terhuyung. Heels yang dia kenakan membuat kakinya terpelintir dan menyebabkan tubuhnya melengkung menghadap atas.
Serangan yang terjadi begitu saja.
"Perempuan rendahan! Kau harusnya sadar diri selama saya meminta baik-baik! Saya tahu latar belakang kehidupanmu yang buruk! Kau hanyalah jalang yang terbiasa menyelami dunia malam, lalu menjebak cucu saya untuk menjadi pemuas nafsu dan keserakahanmu!" Jeritan murka Rosita terdengar menggema di seantero ruangan. "Saya dan Handini tak akan tinggal diam! Hidupmu akan berakhir di tangan kami! Dan putra harammu itu! Saya pastikan masa depannya hancur!"
Detik itulah, Elka berontak saat mendengar Rafael ikut diseret dalam pertikaian mereka. Amarahnya bagai dipecut. Meski sempat kewalahan menguasai diri, akhirnya dia berhasil mendorong perut Rosita menggunakan kepalanya sekuat tenaga.
"Anda sudah tidak waras!" bentak Elka ketika berhasil berdiri tegak. "Sadarlah!"
"Sadar katamu? Bagaimana saya bisa bersikap tenang saat kamu menghancurkan hidup saya! Ya! Saya memang gila! Maka sebelum saya merealisasikan semua ancaman itu, segera tinggalkan Daniyal!" teriak Rosita tanpa kendali. Wajahnya memerah. Napasnya tersengal-sengal karena amarah yang membuncah.
"Kau menyayangi putramu, bukan? Rafael, nama bocah itu. Dengarkan kata-kata saya. Tinggalkan Daniyal. Biarkan dia bahagia bersama Handini."
"Berhenti menyebut putra saya!"
"Untuk itulah, lepaskan cucu saya! Kau dan putramu adalah makhluk hina yang merusak segalanya!" Rosita memekikkan kebenciannya dengan suara yang mulai parau.
"Anda salah bila berpikir Daniyal akan berhenti mengejar saya setelah saya campakkan. Saya pun berani menjamin, dia sama sekali tak memiliki niatan untuk kembali pada kehidupannya yang dulu," tukas Elka tajam. "Tadi Anda berkata bahwa Anda begitu menyangi Daniyal. Tidak perlu mengarang cerita Bu Rosita. Anda yang mengenalkannya pada Handini, sudah cukup membuat saya mempertanyakan kasih sayang yang Anda maksudkan. Anda menjual Daniyal demi keserakahan."
Ucapan menohok Elka tak pelak semakin menambah gejolak amarah Rosita.
"Diam kau jalang!" hardik wanita tua yang telah kehilangan kendali diri itu. "Kau tidak tahu siapa yang sedang kau hadapi! Kau pikir, Daniyal akan selamanya berada di pihakmu? Jaminan apa yang kau miliki sampai begitu yakin dia siap melindungimu? Dia masih mencintai Handini! Kau yang harusnya sadar, Elka, kau hanya mainan cucu saya!"
Tahu bahwa pertengkaran mereka berpotensi besar menimbulkan masalah serius, Elka berusaha keras meredam amarah. Dia harus menyudahi semua ini sebelum kewarasannya terenggut. Menahan diri dari provokasi Rosita, jelas merupakan pilihan tepat karena ia tidak berniat mencoreng nama baik HL Property untuk yang kedua kalinya.
"Hentikan semua ini," tukas Elka. "Jangan lupa, Bu, setiap tindakan memiliki konsekuensi. Dan saya tidak melihat adanya ujung yang baik dari ambisi Ibu."
Lantas, ia berbalik menuju pintu keluar sambil melangkah sedikit tertatih. Kaki kanannya berdenyut sakit setelah tadi terjatuh saat diserang Rosita.
Kapan semua ini berakhir? Bahkan meregang nyawa sekalipun tak serta merta menyelesaikan masalah. Sementara untuk hidup, Elka merasa sudah tidak sanggup. Tubuh retihnya semakin tenggelam dalam lautan kepiluan yang seolah tak pernah surut.
Dia sangat letih. Setiap detik adalah siksaan yang menorehkan luka batin. Dia terjebak dalam lingkaran penderitaan yang mencekik di mana kebahagiaan hanyalah ilusi omong kosong.
"Kau mengira bisa kabur dari saya?!"
Tiba-tiba, tubuh Elka didorong kuat dari arah belakang. Dia tersungkur. Lengannya gagal melindungi tubuh atasnya dari benturan.
Sedangkan di lain sisi, Rosita mengangkat vas kaca yang tadi menghiasi meja rapat, tepat di atas kepala Elka. Tak ada takut maupun keraguan dalam wajah penuh amarah tersebut.
"Sudah saya katakan, kau tidak mengenal baik orang seperti apa diri saya. Bila menghabisimu dapat menyelesaikan masalah, maka saya siap melakukanya." Rosita menyunggingkan senyum mengerikan. "Mati saja, Elka. Dan kekallah di nera--"
Pintu ruangan terbuka secara dramatis di detik-detik Rosita hendak melayangkan benda yang ia pegang dengan kedua tangannya.
Kilatan cahaya menyambar di mana-mana, menerjang Rosita secara membabi buta. Vas yang ia pegang seketika beralih menutupi wajahnya.
"Ibu Rosita apakah benar Anda menyekap tiga orang anak, di ruang bawah tanah rumah Anda? Jika benar, apa alasan di balik tindakan tersebut?"
"Apa yang bisa Anda katakan mengenai isu ped*filia yang Anda lakukan? Apakah tujuan penyekapan anak-anak lelaki itu tidak lain untuk melayani kebutuhan biologis Anda sendiri?"
"Bagaimana Anda menjelaskan tindakan ini kepada pihak keluarga korban dan publik yang marah atas terkuaknya informasi penyekapan yang Anda lakukan?"
Untaian pertanyaan tak putus ditodongkan pada Rosita. Wanita tersebut berdiri di tengah-tengah pusat perhatian sembari dihujami kilatan flash kamera wartawan tanpa henti.
Elka bahkan tidak sadar kapan dia telah berpindah tempat. Sekarang, dia duduk pada kursi kerja yang tadi ia lihat sebelum masuk ke ruang rapat. Dia berada tidak jauh dari kerumunan wartawan yang sudah menutupi tubuh Rosita dari jangkauan pandangannya.
Ternyata situasi di luar ruangan telah penuh oleh lautan manusia. Padahal Elka yakin, tadi saat ia tiba, hanya dia sendiri yang berdiri di tempat ini sebelum kemunculan Gabri.
Apa yang sedang terjadi?
Gemuruh percakapan menggema di mana-mana, kebisingan tak dapat terelakkan. Nama Rosita Laila menjadi topik utama dalam percakapan tiap insan yang hadir di sini. Hanya raut syoklah yang tergambar dari wajah-wajah tersebut.
"Apa-apaan ini, Elka? Didorong begitu saja langsung terjatuh. Itu yang kau bilang prima?"
Pandangan Elka yang semula bergerak liar menyaksikan ekspresi tiap orang, kini langsung tertuju pada seseorang yang berdiri tepat di belakang kursi. Dia mendongak, lalu menemukan kehadiran Daniyal yang menatapnya dengan senyum tersungging di bibir. Tahu-tahu saja, pria itu bergerak lembut menangkup wajahnya agar tatapan mereka tetap bertaut.
"Kuperintahkan kau untuk mengambil cuti. Gunakan waktu senggang itu untuk beristirahat. Harus bugar, Elka. Sebagai tangan kananku di kantor, kamu perlu menjaga stamina agar dapat mengikuti ritme kerjaku yang sedikit gila," imbuh Daniyal sekonyong-konyong. "Ah, satu lagi. Kau ingin hadiah apa? Dirimu tidak lupa, 'kan, bahwa hari ini adalah hari jadi kita? Atau jangan-jangan, kau melupakannya lagi? Sungguh mengecewakan."
Daniyal membelai lembut pipi Elka, ia berbicara sangat santai, seolah hanya ada mereka berdua saja di sini. Belum lagi, dia acuh tak acuh pada situasi genting yang tersaji di hadapan mereka.
"Jangan khawatirkan aku. Kamu tidak perlu menyiapkan apa pun untuk diriku. Lagi pula, aku tidak butuh kado tambahan karena kau adalah satu-satunya hadiah yang kuinginkan. Cukup berikan kepastian waktu, Sayang. Kapan aku bisa membuka hadiahku sendiri?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro