Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25 | Wajah di Balik Topeng

+628239310xxxx
Putriku Elka, bagaimana kabarmu?

+628239310xxxx
Papa kangen cucu Papa.

Hujaman desir tajam seketika menyelubungi hati Elka. Sensasi ketidaknyamanan yang terasa begitu familiar, memaksa masuk dalam alam bawah sadarnya. Menambah bara pada emosinya yang baru saja menerima kabar buruk dari Karlina.

Dua kalimat sederhana yang muncul secara beriringan di kotak pesannya, benar-benar menghantam ketenangan Elka yang tadinya sesolid armor.

Tidak. Harusnya tidak seperti ini.

Ia refleks menggapai lengan Daniyal. Lelaki itu juga menatap ke arahnya. Lalu, genggaman Elka berubah menjadi cengkeraman. Tidak butuh waktu lama bagi tubuhnya digerogoti tremor. Dia menggeleng linglung. Kepanikan yang tadi menggebu di matanya, perlahan-lahan digantikan oleh sorot kosong. Bersamaan dengan hal itu pula, Elka kehilangan sensor pada sekitar, seakan kekuatannya ikut tersedot tanpa sisa akibat kekacauan yang bersarang pada otak dan benaknya.

Berbagai perubahan ekspresi Elka tak luput dari sorot tajam Daniyal. Ia pun beralih menatap Sus Ami, memberikan kode agar pengasuh Rafael itu mendekat ke arahnya. "Bawa Rafael ke kamarnya," titahnya tenang.

Seusai kepergian Sus Ami, dia lantas berdiri. Ia melepaskan tangan Elka dari lengannya, lalu beralih menautkan tangan mereka. Dingin dan kaku. Itulah yang Daniyal rasakan ketika kulit mereka saling berbagi suhu. Kontras dari kepalannya yang segera menyalurkan kehangatan pada tangan Elka.

"Saya tidak bermaksud mengusir, hanya saja, saya rasa sekarang sudah waktunya untuk menyudahi pertemuan ini. Berhubung sekarang sudah cukup larut, dan Elka ...." Daniyal menurunkan pandangan pada wanita di sampingnya. Aksi tersebut membuat semua orang ikut mengarahkan tatapan pada titik yang sama. "Dia sepertinya cukup syok atas berita yang baru saja kalian dengar. Saya meminta pengertian kalian untuk memberikan Elka ruang agar dapat merenungi kabar tersebut."

Baik Jahira, Yasa dan Javis, sama-sama menyetujui perkataan kekasih sahabat mereka. Bagaimana pun juga, Elkalah yang paling dekat dengan Karlina. Sudah pasti berita itu sangat mempengaruhinya. Kehilangan bos yang sudah seperti Kakak sendiri, sama saja dengan kelumpuhan fatal. Begitulah pemahaman mereka ketika menilik ekspresi gelap di wajah Elka.

"Kita lanjutin besok aja. Jujur, sekarang pun gue gak bisa kasih tanggapan karena kabar ini terlalu mengejutkan." Jahira memijat kepalanya, ia tiba-tiba diserang pening. Sedalam apa pun dia menelaah alasan logis pengunduran diri Karlina, dia tak menemukan argumentasi yang dapat dijadikan patokan. Ketiganya lalu meninggalkan Elka yang sama sekali tidak menggubris kepergian mereka.

Mereka tak tahu bahwa saat ini, Elka sedang berperang melawan ketakutannya sendiri. Bukan karena Karlina, melainkan karena pesan mengerikan yang diterimanya barusan.

"Ada apa?" Daniyal melepas genggaman mereka. Ia memilih duduk pada kursi yang tadi Yasa tempati, tepat berhadapan langsung dengan Elka. Dia bersedekap, memandangi perempuan itu dari sudut yang jelas. Wajah pucat Elka menjadi penanda bahwa dia jauh dari kata baik-baik saja. "Ponselmu. Berikan padaku."

Tidak ada tanggapan dari Elka. Walaupun keduanya sedang berhadapan, Ibu dari Rafael itu seolah tenggelam dalam pikirannya. Dia menggenggam erat-erat ponsel miliknya dan terus gemetar.

Sejak tadi, Daniyal terus memperhatikan gerak-gerik perempuan ini. Ekspresinya berubah drastis setelah membaca sesuatu dari ponselnya. Dia memang tampak terkejut seusai menerima panggilan dari orang yang merupakan bosnya, tetapi raut syok Elka tak sekeruh seperti ketika dia mengecek ponselnya untuk yang kedua kali. Tak ada alasan bagi Daniyal untuk tidak penasaran pada apa yang sedang menimpa sang Tawanan.

Karena permintaannya tidak diindahkan, Daniyal berniat mengambil paksa ponsel Elka. Namun, belum sempat dirinya beranjak, Elka tiba-tiba menghubungi seseorang dengan ponsel tersebut. Dia tak sabaran menunggu panggilannya bersambut. Sementara wajahnya semakin kehilangan rona kehidupan.

"Angkat, Glori," gumamnya gelisah. "Lo bohong. Lo bohong, Ri. Dia masih berkeliaran di luar sana. Dia mau ketemu Rafael, dia mau ketemu cucunya." Elka meremas ponsel demi mengendalikan kewarasannya yang mulai tergilas oleh kekalutan. "Gue harus gimana, Glori?" erangnya meloloskan nada keputusasaan.

Elka begitu frustrasi karena Glori tak kunjung menjawab panggilannya. Ia mengutuk situasi yang membuatnya tercekik seperti sekarang, rasanya seakan berjalan di atas danau berlapis es tipis di mana tenggelam adalah satu-satunya hal yang pasti. Dia perlu menuntut keterangan Glori yag dulu meyakinkannya bahwa orang itu telah tiada. Berdiam diri, menunggu dalam kegamangan adalah hal yang bodoh. Untuk itulah, dia harus pergi menemui Glori agar semuanya jelas.

"Tetap di sini!"

Elka berjingkat usai mendengar suara lantang tersebut. Ia yang baru saja beranjak dari tempat duduk, serta merta terpaku setelah mendengar sosok lain mencegat pergerakannya. Dia lantas menatap sepenuhnya pada orang yang melarangnya pergi.

Dan Elka merasa sekujur tubuhnya bagai diguyur es. Daniyal, pria itu menatapnya dalam dan lurus! Tunggu, di mana Jahira dan yang lain? Pandangan Elka langsung menyapu sekitar. Celaka. Dia tak mendapati ketiga temannya.

"Ja-Jahira? Yasa ... mereka di mana?" tanya Elka syok. Ia segera menyerapahi tindakannya yang lupa pada sekitar. Sadar akan tingkahnya semakin di luar kendali, ia pun kembali memaku fokus pada Daniyal. Wajah kaku pria itu, kini jelas dalam pandangan Elka.

"Siapa yang menghubungimu."

Itu terdengar seperti nada interogasi bagi Elka. Sayangnya, ia tidak memiliki waktu untuk meladeni 'Tuan Pemaksa' ini.

"Kau kembalilah."

"Siapa yang menghubungimu, Elka."

"Aku sedang tidak ingin berdebat. Tolong," desah Elka, menahan diri untuk tidak terprovokasi pancingan adu mulut Daniyal.

Berdiam di sini, menghadapi Daniyal dalam kondisi kacau, hanya akan menuntun pada problematika yang lebih rumit. Lantas, Elka pun melenggang pergi tanpa mengindahkan eksistensi lelaki yang masih menuntut penjelasan tersebut.

Setelah mengecek keadaan Rafael yang ditemani oleh Sus Ami, dia bergerak cepat mengambil kunci mobilnya usai mengunci pintu kamar Rafael dari luar. Tidak peduli pukul berapa sekarang, dirinya membulatkan niat untuk pergi ke rumah Glori.

Seolah alam tahu pada mendung di hatinya, rintik kecil pun mulai berjatuhan hingga akhirnya bertransfomasi menjadi tirai hujan yang tebal kala ia membawa mobilnya keluar dari pekarangan rumah. Tentunya bukan untuk menghapus kesedihan Elka, melainkan menambah gemuruh kekalutan di hatinya. Tidak pernah sekalipun dia membayangkan bahwa hari ini akan tiba. Hari di mana ia kembali dihadapkan pada petaka paling buruk yang terukir jelas di masa lalu. Bukankah orang itu telah tiada? Lalu nisan siapa yang dulu Elka lihat? Berbagai pertanyaan tumpang tindih dalam benaknya. Namun, tak satu pun mampu ia jawab.

Mobilnya terus melaju, menembus malam yang diselimuti hujan lebat. Rumah Glori yang terisolasi dari hiruk pikuk perkotaan, membuat perjalanannya lancar. Lancar dalam artian ia tak harus menyalip kendaraan lain sebab arah yang dia lalui, terpisah dari jalan-jalan besar. Namun, waktu terasa begitu lamban bagi Elka, kendatipun ia terus memacu kecepatan mobil. Entah dia yang sulit menyelaraskan kekuatan dengan roda empat ini, atau hujan sedang menghadang tujuannya, bagaikan memberi tanda untuk membatalkan niatannya ke rumah Glori.

Di sisi lain, fokus Elka mulai bercabang. Dia memikirkan cara agar dapat terbebas dari problematika yang ia yakini berpotensi besar akan mengekang kebebasannya. Sepenuhnya. Mustahil baginya hidup dalam kedamaian tanpa dihantui oleh eksistensi orang itu. Sungguh, sosok tersebut adalah manusia yang tak sepatutnya hidup. Kekejaman merupakan representasi tepat dari semua hal yang melekat dalam dirinya. Pikiran Elka semakin kalut karena ia kesulitan menemukan jalan keluar. Ia buntu, keresahannya tak berujung, sedang sekujur tubuhnya terasa keram.

Langkah apa yang harus ia ambil sekarang?

Kekalutan ini sungguh menyiksa. Belum bertemu saja, dia merasa telah kalah. Elka tak sempat menyatukan fokus kala ban mobilnya tergelincir. Tubuhnya dialiri arus ketegangan saat tangan dan kakinya berusaha mengendalikan laju mobil. Nahas, keberuntungan tidak berpihak kepadanya. Baru saja ia berhasil menguasai setir, bumper mobil sudah lebih dulu bersentuhan dengan pohon Tanjung yang berada di sisi kiri jalan. Bunyi dentuman terdengar cukup kencang, kaca laminated retak layaknya pola abstrak petir, sementara Elka terdorong kuat ke arah depan. Mungkin inilah takdir hidupnya. Pergi meninggalkan Rafael dengan cara paling mengenaskan, memberikan luka yang akan selalu membekas dalam ingatan sang Putra.

Namun, tidak, nyatanya takdir baik masih membersamainya. Selain kepalanya yang terasa pening akibat benturan dengan setir mobil, Elka tak didera oleh luka serius. Hanya saja, dadanya berdebar hebat hingga membuatnya sesak ketika menghela napas. Telinganya juga berdenging kencang.

Saat itulah Elka sadar bahwa tindakan impulsifnya nyaris membuat ia dan Rafael berada dalam jurang perpisahan yang nyata. Keringat di wajahnya terus mengucur, lalu bercampur dengan linangan air mata yang telah membasahi pipinya. Lambat laun, tangis tersebut berubah menjadi isak pilu yang meremukkan hati. Elka serta merta menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ia larut dalam sedu kesesalan, berulang kali mengutuk kebodohannya.

Tak berselang lama dari tabrakan itu, pintu mobil Elka seketika terbuka secara kasar. Tanpa aba-aba, ia merasakan tubuhnya melayang dalam satu sentakan. Deru napas yang berembus panas dan intens, langsung menyapu permukaan wajahnya.

Elka menyipitkan mata lantaran terpapar hujan. Ia sempat memaksa membuka kelopak mata sebelum akhirnya menyerah karena pandangannya kabur. Siapa dan ke mana dirinya akan dibawa, ia memilih menyerahkan evakuasi dirinya pada orang ini. Mungkin, dia baru saja menyaksikan kecelakaan yang menimpa Elka, sehingga bergegas memberikan uluran tangan walaupun hujan sederas ini. Elka tidak meragukan kualitas orang baik yang berkeliaran di sisinya meski terkadang ia beranggapan bahwa orang yang berhati murni itu hanya segelintir saja. Kuantitasnya hanya cukup dihitung dengan jari kaki dan tangannya.

Ia ditempatkan pada jok mobil yang terasa dingin. Ditambah dengan pakaiannya yang basah, suhu dingin itu cukup mengganggu. Yang bisa Elka lakukan hanyalah bersandar lemas pada jok. Ketika debar kuat di dadanya berangsur teratur, dia mulai memeriksa sekitar usai menyapu bulir hujan yang bercampur dengan air mata.

Observasi Elka tidak berlangsung lama karena pintu di samping kemudi tahu-tahu terbuka.

Mungkin, takdir hidupnya memang semengenaskan itu. Keluar dari kandang singa, lalu berpindah ke sarang ular. Daniyal benar-benar tidak memberinya kesempatan untuk menjauh. Dia dengan kesadaran penuhnya, memburu Elka layaknya predator haus darah. Tanpa ampun mengejar, tak memberi jeda pada mangsanya untuk sekadar mengambil napas. Seakan menyiksa memang sumber kebahagiaannya. Elka tadi sempat beranggapan bahwa dia bertemu dengan orang baik yang suka rela membantunya. Namun, pikiran tanpa dasar tersebut seketika hilang setelah mata telanjangnya menangkap sosok Daniyal.

Dalam situasi normal, dia pasti kabur, tapi untuk sekadar menggapai handle pembuka pintu saja, dirinya kesulitan melakukan hal tersebut. Kuasa tubuhnya benar-benar sirna. Dan untuk kesekian kalinya, ia lagi-lagi terjebak bersama Daniyal.

"Antarkan aku ke rumah Glori." Elka mencoba peruntungan. "Tolong bantu aku sekali saja."

Bukan Daniyal namanya jika langsung mengikuti permintaan Elka. Yang ada, dia malah memacu mobil dengan kecepatan tinggi, membuat Elka memejamkan mata akibat pening yang kian terasa.

Mengetahui tak ada celah baginya untuk membebaskan diri, Elka akhirnya menyerah. Mereka tenggelam dalam kebisuan yang mencekam. Elka mengibarkan bendera putih pada permainan menerka jalan pikiran Daniyal. Mustahil dia tahu apa yang tersusun dalam benak lelaki ini karena dia terlalu apik menyembunyikan intensinya. Satu yang pasti, saat ini, emosi Daniyal lebih banyak digelung oleh amarah, pikir Elka.

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di lingkungan apartemen yang hanya terdiri dari satu bangunan menjulang tinggi. Elka enggan menelisik terlalu jauh. Baginya, tidak dilarikan ke rumah sakit saja itu sudah cukup.

Rumah sakit. Itu mimpi terburuk kesekian yang ia miliki. Bukannya sembuh, yang ada dia malah akan divonis memiliki penyakit kejiwaan. Elka langsung memutus bayangannya mengenai rumah sakit sebelum berpikir terlalu jauh.

Daniyal kembali menggendong Elka usai memarkirkan mobil. Elka menertawakan ketidakberdayaannya dalam hati. Perempuan memang dikodratkan memiliki fisik tak setangguh lelaki. Namun, untuk kasusnya, dia bahkan lebih buruk. Fisiknya terlalu lemah sampai-sampai Elka mulai membenci dirinya sendiri.

Berada dalam rengkuhan Daniyal tak lantas memberanikan Elka menatap wajahnya. Ekspresi apa lagi yang akan dia tampilkan selain raut datar tak terbaca? Poker face adalah andalan lelaki ini. Daniyal sama sekali tidak kesulitan ketika membuka pintu apartemennya sembari menggendong Elka. Pada pengamatan singkatnya, bagian dalam apartemen Daniyal lebih menguarkan kesan maskulinitas yang kental. Lebih banyak didominasi perpaduan cat ruangan berwarna abu-abu, hitam, dan putih. Langit-langit yang tinggi membuat ruangan tampak luas dan lega. Pendar temaram dari lampu bergaya industrial, secara otomatis menyelubungi hampir sebagian ruangan ketika keduanya masuk.

Tujuan Daniyal berhenti pada kamar yang berada di sisi kanan area living room. Di situlah Elka mulai menunjukkan perlawanan. Dia seakan baru menyadari posisinya lebih riskan dari kecelakaan tadi.

"Lepaskan aku," katanya sembari menggeliat. "Apa yang akan kamu lakukan?"

Daniyal meringsek masuk ke dalam kamar. Langkahnya yang tadi tenang terkendali, kini tergesa menuju kamar mandi.

"Lepaskan aku!" Lagi, Elka memberikan perlawanan yang berakhir sia-sia sebab ia telah sepenuhnya ditempatkan pada bathtub.

Secara mengejutkan, Daniyal mengarahkan shower tepat di atas kepala Elka. Seolah hujan yang tadi mengguyurnya masih belum cukup, dia membasahi sekujur tubuh perempuan itu tanpa ada yang terlewati. Atas perbuatan Daniyal, Elka langsung berdiri, melawan rengsa yang mendominasi tubuhnya.

"Hentikan! Hentikan, Daniyal!" Tangan Elka menutupi wajahnya demi menghalau terjangan air yang diterimanya. "Apa kau berusaha membunuhku?!"

Elka terbatuk hebat karena hidungnya penuh oleh air. Dia memukul-mukul lengan Daniyal dengan sisa tenaganya. Akan tetapi, lelaki itu sama sekali tidak menggubris permintaan Elka.

"Knock it off! I can't breathe!"

"Ada apa Elka? Aku hanya membuat semuanya mudah bagimu." Daniyal akhirnya membuka suara. "Bukankah mati dengan menabrakkan diri terlalu sulit? Tenang saja, aku punya cara lain untuk membuat kematianmu mudah. Ini hanya akan terasa sedikit menyiksa. Nikmatilah."

"Siapa yang berniat mati brengsek!" Elka menutup hidung, dadanya mulai terasa perih. "Aku tidak cukup gila untuk mengakhiri hidup!"

"Kau sanggup melakukannya, Elka. Dulu dan sekarang, kamu selalu mencoba mengakhiri hidup."

Elka lagi-lagi terbatuk. "Siapa yang coba membunuh siapa?! Nyatanya kamu yang berusaha mengakhiri hidupku!"

"Sudah kukatakan bahwa aku hanya membuat semuanya mudah bagimu! Kematian yang kau dambakan, akan senang hati kukabulkan! Kamu selalu melarikan diri dariku, mengacaukan semua rencana yang kususun dengan sempurna! Bukankah aku sudah menjanjikan ketenangan hidup bila kamu mengikuti rencanaku?! Lalu apa yang kuterima, sialan?! Kamu bermain-main dengan nyawamu! Bukan aku yang mencoba mengakhiri hidup dengan memotong nadi. Bukan aku yang menabrakkan diri untuk menjemput ajal! Itu kamu, Elka! Itu kamu!"

Daniyal membanting shower dengan sekuat tenaga dan beralih mencengkeram bahu Elka. Membuat perempuan itu terpaksa menatap Daniyal dari jarak sejajar. Dia mulai ketakutan atas aksi keji yang Daniyal lakoni. Ketakutan itu membuat bendungan air matanya roboh. Dia takut pada pria ini. Benar-benar takut. Cara Daniyal menatapnya seolah sedang mengulitinya. Ini adalah kali pertama Elka melihat Daniyal amat murka.

"Katakan Elka, apa yang membuatmu tak puas dengan hidup yang kau miliki? Apakah Rafael tak lagi berarti untukmu? Dia satu-satunya harapan terakhirmu untuk hidup. Kuingatkan agar kamu tidak lupa. Lalu mengapa kamu bermain-main dengan nyawamu?!"

Elka mendesis sakit akibat cengkeraman yang ia rasakan di bahunya.

"Bukankah kau begitu membenciku? Mengapa itu tidak kau jadikan alasan untuk hidup? Pembalasan dendam, kutukan, kau bisa melakukannya dengan sesuka hati. Kau harus menyaksikan kehancuranku dengan mata kepalamu sendiri sebelum memikirkan kehancuranmu sendiri. Harusnya kamu menunggu. Jangan mengambil langkah bodoh yang hanya akan berakhir dalam kesia-siaan. Bersabar Elka, maka kau akan mendapatkan hasil yang setimpal. Jangan mengambil keputusan hanya dengan pemikiran dangkalmu."

"Aku ... aku tidak berniat me-mengakhiri hidup," jelas Elka putus-putus, berperang melawan sedu.

Elka menangis layaknya anak kecil. Seolah dia baru saja ditinggalkan oleh Ibunya di tengah keramaian yang membuatnya ketakutan.

Daniyal salah paham atas kecelakaan tersebut. Tangannya yang dingin bergetar, kembali memegang kedua lengan Daniyal. Kepalanya tertunduk, ia tak sanggup lagi menghadapi pria di hadapannya.

"Aku tahu, aku pun sadar bahwa sekarang bukanlah saatnya untuk bermain-main dengan nyawaku. Aku harus tetap hidup agar semuanya sempurna bagi Rafael," racau Elka. "Biarkan aku hidup tenang, setidaknya sebelum Rafael mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Aku masih ingin hidup, lebih dari yang kau kira."

Ada jeda yang cukup lama di antara mereka sebelum kemudian Daniyal melepaskan bahu Elka. Dia lantas menjauh, menciptakan jarak yang cukup membuat perempuan itu leluasa bernapas setelah tadi berjuang mempertahankan hidupanya. Elka langsung terduduk, ia menjadikan badan bathtub sebagai tumpuan. Dia menekuk kaki di depan dada. Tangan Elka terkulai lemas pada kedua sisi tubuhnya, sementara kepalanya tertunduk ke arah kanan. Ia tak peduli pada bathtub yang setengahnya terisi air karena yang perlu ia prioritaskan adalah ketenangan hati. Efek kecelakaan tadi bahkan belum sepenuhnya hilang, dan Daniyal kembali memberi kejutan lain yang berkali lipat lebih parah.

Namun, belum cukup dia menormalkan degub jantung, Daniyal kembali menarik dua tangannya agar ia berdiri. Sorot awas Elka seketika siaga. Kecemasan yang tadinya memudar, perlahan-lahan merambati hatinya. Siksaan apa lagi yang akan Daniyal lakukan? Benak Elka bertanya gelisah.

"Ganti pakaianmu," titah Daniyal singkat. Tidak ada lagi nada frustrasi dari suaranya.

Elka terpaksa mengikuti langkah Daniyal yang menuntunnya keluar dari kamar mandi. Genangan air langsung tercipta dalam setiap langkah yang dia ambil.

"Aku akan pergi sebentar. Jangan berpikir untuk kabur. Pintu kamar akan kututup dari luar," kata Daniyal memperingatkan Elka. Dia mengangsurkan hoodie berwarna putih dan celana panjang hitam pada perempuan di depannya. "Tidurlah karena hanya itu yang bisa kau lakukan sekarang."

Sesuai perkataannya, Daniyal pergi meninggalkan Elka di dalam kamar. Bunyi pintu yang dikunci dari depan dapat Elka dengar. Tidak butuh waktu lama bagi Elka mengganti pakaiannya. Ia memilih meletakkan pakaian basahnya pada lantai kamar mandi dan kemudian membaringkan diri pada ranjang besar yang berada di tengah ruangan. Awalnya, ia tak berniat mengistirahatkan diri di tempat itu, tapi karena kamar ini tak memiliki sofa panjang atau tempat selain ranjang dan lantai tanpa alas yang bisa ia jadikan pembaringan, akhirnya Elka memilih ranjang sebagai keputusan finalnya. Badannya terlalu ringkih bila berbaring di atas lantai dingin ini. Setidaknya, dia perlu mengutamakan pemulihan kondisi tubuh dan psikisnya untuk beristirahat dengan nyaman walau hanya sebentar saja.

Waktu menunjukkan pukul dua dini hari saat Daniyal kembali ke apartemennya. Hujan lebat juga sudah berganti dengan rintik tenang. Kausnya yang tadi basah dan mengering dengan sendirinya, ia sampirkan pada bahu sofa di ruang tamu, lalu Daniyal berlalu ke arah dapur. Aroma kopi yang ia seduh menguar kuat. Ia duduk pada salah satu stool seraya menumpukan lengan kiri di atas meja. Tangan kanannya menggenggam ponsel milik seseorang yang kini berada di kamarnya. Ponsel itu dia pandangi lurus-lurus sembari menyeruput kopinya.

Beberapa saat kemudian, dia mendengar bel apartemennya berbunyi. Daniyal memang sedang menunggu kedatangan orang lain yang tadi ia perintahkan untuk bergegas ke apartemennya saat urusan mereka selesai.

"Rampungkan dalam dua jam. Segera hubungi saya jika sudah selesai," kata Daniyal selepas menyerahkan ponsel milik Elka pada orang di hadapannya. Lantas, orang itu melewati Daniyal usai memberikan anggukan singkat.

Daniyal juga beranjak menuju kamarnya. Ia mendapati Elka telah tertidur pulas di atas ranjang miliknya. Gurat lelah terpancar lamat-lamat dari wajah perempuan itu. Rahang Daniyal mengeras saat mengingat kejadian tadi. Seandainya dia tidak mengikuti Elka, ia akan menghadapi kekalahan sebelum waktunya sebab Elka adalah kunci utama dari keberhasilan rencananya.

Sial. Dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Perempuan ini, Daniyal bisa gila karenanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro