20 | Pengakuan Cinta & M*ti Terlind*s Truk
"Pasti dia hamil duluan, tapi lakinya nggak mau tanggung jawab. Tahu nebar benih doang dan takut besarin anak sendiri. Duhh nggak nyangka, yaa, Bu Elka bisa begitu juga. Padahal citranya bagus banget, lho."
"Beneran janda?"
"Katanya, sih, gitu. Bu Elka sendiri yang klarifikasi. Keren juga dia, lolos kerja di HL Group dengan status janda. Paling juga masuknya karena KKN. Dia 'kan pintar ngomong, pasti gampang banget buat persuasi orang untuk nolongin dia masuk sini."
"Gue agak skeptis, sih, kalau soal itu. Kita lagi bicarain HL Group loh, company yang sulit banget buat dimasukin kalau kemampuan calon pelamarnya di bawah rata-rata. Ingat nggak dulu kita berjuang mati-matian supaya bisa masuk sini? Nangis darah tiap malam gara-gara overthinking mikirin nasib kalau seandainya gagal. Artinya, Bu Elka emang punya kualitas bagus dong."
"Ya iya, tapi nggak menutup kemungkinan juga kalau jalan dia dipermudah sama ordal biar bisa masuk sini. Siapa tahu, mereka ada main di belakang."
"Jangan gitu ah, jatohnya fitnah."
"B*tch, nggak usah sok suci deh. Kata gue, dia emang tidur ama si orang dalam itu. Keliatan, sih, muka dia agak gimanaa gitu."
"Maksudnya?"
"Yaa gituu, seductress. Tipe yang bisa bikin cowok-cowok beli kondom selusin. Seneng juga jadi Bu Elka. Punya muka cantik, proporsi badannya oke, apa lagi dada ama bokong dia. Berisi, tapi nggak berlebihan. Serius, gue selalu dibikin iri sama semua hal yang melekat di tubuh dia. Dengan proporsi tubuh kayak gitu, dia bisa bikin langganannya puas."
"Pikiran lo ke mana-mana, mek."
Gelak tawa langsung menggema di seantero toilet khusus karyawan wanita di mana ada dua orang perempuan yang sedang bergosip ria di dalamnya. Menjelang usainya waktu istirahat, mereka memperbaiki dandanan agar tetap jelita hingga jam pulang kantor nanti.
"Gue akui Bu Elka punya takdir bagus. Karir dia mapan, muka apa lagi? 'Kan yang bikin dia jadi bulan-bulanan anak lambe karena mereka nggak bisa nyerang fisik dia. Yang diserang cuma perkara status janda doi. Muka dia mana bisa dihina? Terlepas pernah kena pisau oplas atau enggak, yang jelas dia tetep cantik! Ditambah, sekalinya dapat jodoh, yang dia dapetin manusia kayak Daniyal!" Jerit iri terdengar dari suara cempreng itu. Ia pun kembali melanjutkan. "Gue juga mau kali. Daniyal, lhoo inii, cucunya bos besar RoLa! Si tampan kaya raya yang bikin hati cenat-cenut. Siapa coba yang nggak bakal dengki? Mana Daniyal keliatan cinta banget lagi sama dia. Lo pernah lihat, 'kan, foto-foto doi pas ngasih bekal sama Bu Elka di lobi? Bayangin, tiap hari dibikinin bekal sama cowok kayak dia, siapa yang nggak bakal suka? Berapa hari yang lalu, itu foto heboh banget di forum gossipers."
"Yang adminnya Laras Lateef Land?"
"Iya, itu. Si LLL."
"Oh, sempat lihat. Cuma habis itu langsung gue hapus."
Kekehan ejekan dilontarkan temannya. "Panas hati lo?"
"Diem deh. Eh, tapi aneh gak, sih? Kok Bu Elka belum dipecat, ya? Masih aja petantang-petenteng gitu kayak nggak punya urat malu. Untuk sekelas public enemy yang baru netas, dia songong abis. Secara dia PR, orang yang paling dicari kalau ada isu di perusahaan. Nah, sekarang yang bikin konflik dia sendiri. Yaa walaupun sekarang berita tentang dia udah diredam, tapi tetap aja, 'kan? Citra perusahaan lumayan tercoreng."
"Tercoreng apanya? Dia bunuh orang emang? Cuma karena dia janda, nggak mungkinlah dia dipecat. Terlebih kinerjanya bagus banget, itu menurut sumber yang gue dapat dari Anggi. Deseu anak HL Property juga. Pokoknya, Bu Elka itu tipikal karyawan yang jadi anak kesayangan bos, selain karena kapabilitas doi yang no kaleng-kaleng, dia juga pinter nyenengin hati petinggi kantor."
"Pantes gosong."
"Hah?"
"Hati gue! Hati gue yang gosong karena ketampar kenyataan kalau dibandingkan sama Elka, gue nggak ada apa-apanya! Masa kalah ama sundal, sih?!"
Lolongan frustrasi kembali menggema di toilet. Dua penggosip itu tak menyadari bahwa sedari tadi ada manusia lain yang sedang mendekam di salah satu bilik toilet, ikut mendengarkan pergunjingan yang mereka lakoni sejak awal.
Perempuan yang mulanya hendak keluar bilik selepas menyelesaikan panggilan alamnya itu langsung mengurungkan niat setelah mendengar ada manusia lain yang juga memasuki kamar kecil khusus wanita ini.
Dia mengawali pagi dengan mood buruk, dan sekarang hatinya malah dibuat semakin mendung akibat gosip yang baru saja ia dengar.
"Kasihan si Laras, pasti dia makin hati-hati kalau mau bikin gosip tentang Bu Elka. Secara, backing-an doi nakutin semua. Gimana, ya, rasanya hidup diposisinya Bu Elka? Stok keberuntungan dia kayak nggak habis-habis."
"Pasti Daniyal ganas banget di ranjang, orang ceweknya seksi gitu. Mana janda lagi, 'kan? Ahli banget itu."
"Si anjir, siang-siang malah cabul! Pulang sono! Ajakin sugar daddy lo ke oyo!"
"Kok oyo? The Rola-lah! Biar buas dan puas!"
"Heh sundal, lo apa bedanya sama Bu Elka? Cantik iya, pinter apa lagi, tapi sayang, binalnya ngalahin anjing birahi."
Putus sudah tali kesabaran perempuan yang terus mendengar celaan dari dua penggosip itu. Mungkin, sejak awal harinya memang sudah ditakdirkan untuk rusak. Mengapa dia tidak teruskan saja kekacuan harinya hingga benar-benar berantakan?
Elka memasuki lobi Wisma Lateef dengan tergesa-gesa. Ketegangan di wajahnya sama sekali tidak ditutup-tutupi. Dia baru saja kembali dari Mall Citra Lateef, bertemu dengan awak media yang meminta bertemu. Bukan untuk membahas gosip, melainkan meninjau langsung situasi mall CL yang akan segera dibuatkan iklan dalam skala besar-besaran. Elka bertemu dengan pihak Vega Media, mereka memulai tahap awal untuk penggarapan iklan.
Daniyal menepati perkataannya. Secara ajaib, pemberitaan mengenai hubungan mereka tak lagi disorot oleh para pencari berita. Bahkan seakan hal itu tidak pernah ada dalam pemberitaan, Elka tak mendapati satu artikel apa pun mengenai mereka dalam peramban. Bahkan, dia pikir ketika bertemu dengan pihak Vega Media tadi, dirinya akan ditanyai mengenai gosipnya. Nyatanya tidak, mereka benar-benar fokus membahas pekerjaan.
Namun, ketenangan Elka hanya bertahan singkat sebab Karlina memberikan kabar mengejutkan di sela kesibukannya. Untuk itulah Elka bergegas kembali ke Wisma Lateef sesaat setelah urusannya selesai di Mall CL.
"Udah tahu situasi kantor masih kacau, kamu malah nambah-nambah masalah! Sekarang semuanya tambah kompleks gara-gara kamu! Berulang kali saya ditegur oleh Pak Dirut untuk mendisiplinkan karyawan MarCom!"
Elka mengetuk pintu ruangan Karlina sedikit tidak sabaran setelah mendengar amukan sang bos dari dalam. Dia pun masuk dengan terburu-buru.
"Selamat siang, Bu," Elka menyapa Karlina yang sedang berdiri sambil bersedekap, menghadap pada seorang perempuan yang duduk terpekur di sofa. Tatapan bosnya menghunus tajam, menandakan kemarahannya benar-benar telah melampaui batas.
"Ambil alih masalah Jahira. Buat permintaan maaf resmi kepada pihak Lateef Kars. Salah atau tidak, pihak kita yang memulai kegaduhan," titah Karlina pada Elka. Dia pun kembali duduk di singgasananya sambil memijat pangkal hidung. "Kamu bisa kembali, Jahira. Ingat kata-kata saya, tetap jaga sikap. Jangan gampang tersulut karena bertengkar hanya untuk mereka yang tak bisa meregulasi emosi dengan benar. Dan mereka yang tidak mampu melakukan itu adalah orang lemah. Ada banyak cara yang dapat kita lakukan untuk membalas perlakuan buruk yang kita terima tanpa harus beradu urat."
"Akan saya ingat, Bu. Terima kasih sudah memaafkan saya. Maaf, saya sudah menciptakan keributan yang tidak seharusnya saya lakukan. Kalau begitu, saya izin menarik diri, Bu."
Jahira segera berbalik, hendak meninggalkan ruangan Karlina. Dia sempat bertatapan dengan Elka sebelum kemudian mengambil langkah seribu untuk keluar dari ruangan. Bekas cakaran berwarna merah yang tergaris tebal di dagu dan keningnya, membuat penampakan wajahnya benar-benar kacau. Namun, berbeda dari perih yang ia rasakan, hatinya terasa plong luar biasa. Bahkan omelan Karlina tak begitu ia ambil pusing.
Benar juga, apa dia harus membingkai segenggam helaian rambut yang ia tarik dari para jalang tadi untuk mengabadikan kemenangannya?
"Bagaimana urusanmu di CL tadi?" tanya Karlina segera mengalihkan fokus pada Elka.
"Berjalan lancar, Bu. Saya sudah memaparkan konsep awal mengenai iklan seperti apa yang kita harapkan. Teman-teman dari Vega Media juga sudah mengantongi ide utama yang kita beri, untuk selanjutnya kita hanya tinggal menunggu hasil akhir iklan."
"Elka."
"Iya, Bu?"
"Kita harus mengganti konsep dan ide utamanya."
Elka tergemap, mengganti konsep iklan yang sudah didiskusikan secara runut dan kompleks kepada pihak Vega Media? Elka tak salah mendengar, 'kan?
"Apakah ada keinginan tertentu yang diinginkan oleh Pak Hamdan untuk iklannya?" Elka agak heran dengan keputusan perubahan konsep yang diucapkan Karlina. Sehingganya di yakin, pasti bukan wanita itu yang menginginkan hal tersebut karena bisa jadi, bos besarlah yang memintanya.
"Tidak, Pak Hamdan mempercayakan penuh proses penggarapan iklan kepada pihak kita. Satu yang pasti, beliau menuntut keberhasilan. Tidak ada yang salah dari konsep awal yang sudah sama-sama kita rembukan, hanya saja, saya memiliki gebrakan baru yang saya yakini akan mengundang antusiasme besar dari target audiens kita. Bahkan, ini bisa saja melampaui hasil akhir yang kita inginkan. Saya sudah meminta bertemu dengan calon bintang iklannya, tapi sayangnya sampai dengan saat ini belum ada balasan dari tim beliau, tapi saya percaya kamu akan mendapatkan persetujuan itu dengan mudah. Terus terang saja, Elka, saya menginginkan exposure. Embracing problems as opportunities is not just a mindset for me, it's the essence of how I live and thrive."
"Dengan kata lain, untuk model iklannya kita sendiri yang menentukan?"
Karlina mengangguk mantap.
"Baiklah. Siapa orang yang Ibu maksudkan?"
Senyum licik Karlina seketika terbit, pancaran antusiasme di matanya tak terelakkan. Seolah dia memang sudah menanti-nantikan waktu di mana dia akan memberitahukan hal ini kepada Elka.
"Kekasihmu. Daniyal."
***
"Ngapain coba pake acara berantem segala? Berani banget cakar-cakaran ama cewek sinting kayak mereka. Lo lebih sinting, sih. Mana yang katanya pecinta damai? Kenyataannya lo ahli bikin onar."
"Terserah deh, Vis. Cepetan obatin muka gue, pelan-pelan tapi! Perih ini."
"Untung Yasa belum ke sini, coba kalau dia ada. Omelan dia nggak bakal putus."
"Aduh! Udah gue bilang pelan-pelan!"
Elka bisa mendengar perdebatan tersebut kala dirinya mendekati pantri. Dia baru saja keluar dari ruangan Karlina dengan membawa tanggung jawab berat. Seperti perkiraan Elka, Karlina pasti akan menghadirkan peluang menguntungkan dari persoalannya dengan Daniyal.
Menjadikan lelaki itu sebagai wajah baru dari iklan Mal, sudah pasti akan mendatangkan angin sejuk bagi HL Property. Entah bagaimana caranya dia bisa mendapatkan persetujuan pria narsistik itu. Memikirkan potensi perdebatan yang kemungkinan timbul setelah ia mengutarakan tujuannya kepada pria menyebalkan itu, sudah cukup memancing pening di kepala Elka.
"Nah loh, si Elka datang." Javis langsung menyadari kehadiran Elka yang memasuki area pantri.
"Sini, biar gue yang obatin," ujar Elka mengambil alih tugas Javis mengobati wajah Jahira yang terluka. Mereka memang hanya bertiga sebab Yasa sedang bekerja di kantor yang berada di Mall PI.
Jahira diam saja kala Elka menyapukan salep antibiotik di wajahnya. Dia lebih memilih menatap ke bawah, seolah sepatu yang ia pakai lebih menjanjikan untuk dipandangi. Elka pun menyadari ekspresi mendung menghinggapi wajah sang sahabat yang biasanya selalu ceria ini.
"Kenapa coba, Ra, lo berantem sama mereka?" tanya Elka membuka obrolan.
"Gabut gue, Mbak. Kerjaan dah beres semua. Berantem cuma buat ngisi waku doang."
Jawaban tak serius Jahira langsung disanggah Javis. "Lihat, Ka, lihat kelakuan dia. Udah putus akal sehat Jahira."
Jahira mendengkus, terlalu malas mengomentari provokasi Javis. Energinya habis ia pakai ketika berkelahi tadi.
"Gue minta maaf," kata Elka sekonyong-konyong.
"Kenapa malah Mbak yang minta maaf? Nggak usah aneh-aneh deh. Emang dua sundal itu kok yang salah. Sok iya jadi orang, padahal tiap malam kerjaannya ngangkangin om-om bangkotan dengan bayaran murah. Perek."
"Buset, ganas bener itu mulut. Masih gak puas maki-maki dua korban lo tadi? Mereka nangis-nangis karena lo bikin botak." Lagi-lagi, Javis menanggapi perkataan Jahira sambil mengusap dada. Dia heran sendiri pada mode senggol bacok Jahira yang menurutnya agak mengerikan.
"Denger dulu, gue minta maaf untuk kasus kemarin. Kalian pasti kaget dengar pemberitaan gue," ujar Elka menjelaskan maksud permintaan maafnya. "Bukannya gue nggak mau ngasih tahu kalian, cuma gu--"
"Mbak, udah, ya? Jangan bikin gue merasa lebih bersalah dari yang gue rasakan sekarang. Gue keterlaluan banget kemarin karena bersikap kekanak-kanakan sama lo. Jujur, sempet kaget lo pacaran ama Daniyal, tapi aslinya gue biasa aja. Beneran. Adanya malah senang lo akhirnya punya cowok."
"Tapi?" Javis menanggapi ucapan Jahira. "Ada tapinya, 'kan?"
"Nggak ada tuh. Intinya, gue cuma mau minta maaf sama Mbak Elka. Dah, itu doang. Maafin gue, ya, Mbak," tutur Jahira mengangkat dua sudut bibirnya membentuk senyuman kecil. Senyum yang tidak bertahan lama sebab setelah itu, wajahnya kembali murung.
"Beneran gak marah gue pacaran sama idola lo? Nggak ada niatan mau lemparin gue pake air comberan?" goda Elka. Jahira menanggapinya dengan kekehan singkat, yang mana membuat Elka masih merasakan adanya kejanggalan. "Kok murung gitu mukanya?"
Jahira kian menundukkan kepala selepas mendengar pertanyaan tersebut. Alhasil, Elka dan Javis saling beradu tatap, coba melakukan telepati demi mengurai makna di balik tingkah aneh Jahira. Namun, baru saja hendak menanyakan kondisi gadis itu, isak tangis yang kedatangannya tak terduga langsung mengejutkan keduanya. Mereka menoleh kaget pada Jahira yang tahu-tahu saja larut dalam sedu memilukan.
"Ra?" Javis segera bangkit dari duduknya. Dia berhasil dibuat panik. "Hei, kenapa?"
Elka yang kalang kabut, lantas meletakkan wadah salep yang sedari tadi ia genggam. Dia hendak mengambil air untuk diberikan pada Jahira agar gadis itu tenang, tetapi ketika dia baru saja menarik diri, Jahira langsung menahan lengannya.
"Mbak, maafin ... maafin gue. Gue minta maaf ka-kalau udah banyak bikin salah sama lo. Gue nggak tahu lo udah lewatin hal berat selama ... selama ini. Pasti sulit banget besarin anak seorang diri. Lo hebat banget, Mbak Elka. Setelah tahu alasan lo tertutup sama kita, gue merasa bersalah banget karena sudah berpikiran sempit sama lo."
"Mbak, lo harus tahu kalau gue ada sebagai teman yang bisa lo jadiin sandaran untuk luapin keluh kesah lo. To-tolong jangan pendam semuanya sendiri. Lo juga boleh jadiin gue pengasuh anak lo kalau sewaktu-waktu lo penat jagain dia. Ja-jangan berlagak seolah lo baik-baik saja, Mbak. Gue tahu ... gue tahu persis gimana beratnya jadi Ibu yang besarin anak-anaknya seorang diri karena gue pernah berada di posisi anak yang lihat langsung perjuangan Mama untuk hidupin gue dan Kakak-kakak gue."
Jahira menumpahkan kepiluan yang sejak tadi berusaha ia tahan. Tidak, mungkin nestapa yang ia rasakan sudah tertanam di hatinya semenjak mengetahui perempuan yang selama ini ia anggap sebagai Kakaknya ternyata adalah seorang Ibu. Terlebih dengan status single parent yang Elka sandang, membuat Jahira berkali lipat merasakan kepedihan mendalam.
Kini, tidak ada alasan baginya untuk tak respek terhadap Elka. Jauh sebelum dia mengetahui status Elka yang sebenarnya, Jahira memang sudah menghormati wanita ini sebab dia menemukan figur Ibunya di diri Elka.
Sosok teguh, tapi penuh kasih yang tak berharap mendapatkan perlakuan serupa dari orang lain. Begitulah Ibunya, sama seperti Elka. Itulah mengapa, dia amat sakit hati saat mendengar obrolan para penggunjing tadi. Hanya karena Elka berstatus sebagai janda, sangkaan mereka benar-benar berada di luar batas toleransinya.
"Anak lo laki, 'kan, Mbak? Tenang saja, gue bisa jagain anak lanang. Gue berpengalaman kok. Kakak-kakak gue laki semua, dan gue yang ngurus mereka di saat Mama udah angkat tangan sama kelakuan mereka. Jangan pake acara nggak enakan segala, enam tahun waktu yang lama untuk menanggalkan sikap itu. Sekarang setelah semuanya terungkap, nggak ada alasan lagi lo kikuk sama kita-kita."
Siapa yang tidak akan terenyuh mendengar pengakuan mengharukan Jahira? Elka dibuat termangu untuk sesaat, terkejut akan pengertian gadis di hadapannya yang memikirkannya sampai sejauh ini.
"Namanya Rafael Abraham, Ra, Vis. Usia enam tahun. Panggilannya El, dia suka main rubik, kadang layangan juga. Dan akhir-akhir ini, El ngebet banget pengen diajakin mancing," tutur Elka dengan suara nyaris seperti berbisik.
Hatinya diliputi oleh perasaan hangat yang asing. Terakhir kali dia merasakan hal serupa adalah saat sang Ibu sambung masih berada di sisinya. Sudah lama sekali, tapi rasa aman tersebut membekas kuat dalam benak Elka. Dan dia kembali menemukan perasaan yang sempat terlupa itu melalui orang-orang di depannya. Ia bahkan tak mengira akan tiba hari di mana dirinya menceritakan soal Rafael pada mereka.
"Sebenarnya, Rafael agak pemalu anaknya. Cuma kalau kalian ajakin tanding rubik, pasti langsung antusias. El kelas satu, tapi masih dijagain Sus Ami--pengasuhnya--karena gue nggak berani biarin dia sendirian. El ... udah nggak punya Oma Opa kandung, adanya Opa Iksan, tetangga kami. Di rumah, kami tinggalnya cuma bertiga. Rumah benar-benar kosong kalau gue berangkat kerja dan El sama Sus Ami ke sekolah. Rame hanya menjelang malam karena di situ gue pulang, dan Rafael masih main-main di living room. Minggu besok, kalian ke rumah, ya. El pasti suka didatengin Tante sama Om-Omnya. Gue sering cerita soal kalian kok ke dia, pernah nunjukin foto-foto kalian juga. Kalian akan jadi tamu istimewa kami"
"Huaaaaa, Mbak Elkaaaaaaa!" Tangis Jahira kian pecah selepas mendengar perkataan Elka yang menurutnya begitu dalam maknanya. Dia sangat bersyukur sebab Mbak Elkanya perlahan-lahan berani membuka diri, membagi sepenggal cerita hidupnya kepada mereka yang Jahira yakini tak mudah untuk dia lakukan. Butuh waktu enam tahun bagi Elka hingga akhirnya ia berani mempercayai mereka secara penuh.
Javis lantas merentangkan tangan, menghadap ke arah dua sahabatnya yang tengah digelung haru itu.
"Boleh ikut pelukan?"
***
Elka kira setelah dia berbaikan dengan Jahira, beban di pundaknya akan sedikit terangkat. Dia bahkan optimis akan menyongsong petang penuh damai, tapi harusnya dia tak senaif itu. Mana bisa dia melupakan tugas yang sudah diberikan Karlina? Berat atau ringan, pahit atau manis, sekali pekerjaan tetaplah pekerjaan.
Kini, ia berada di rumah Daniyal dengan membawa kabar buruk yang ia pastikan akan ditolak mentah-mentah oleh pria itu. Harusnya ini dapat berjalan mudah jika seandainya Daniyal tak membenci keluarganya sendiri.
Dia juga seorang Lateef, keponakan langsung dari Hamdan Lateef. Apa yang salah dengan membantu usaha Paman sendiri? Nahas, Daniyal lebih memilih berseberangan dengan keluarganya.
Elka memang sudah memberitahu pria itu bahwa dirinya ingin bertemu, dan berdasarkan balasan Daniyal, ia diperintahkan untuk datang ke rumahnya. Pintu depan sengaja dibiarkan tak terkunci, sesuai penyampaian Daniyal di kolom chat mereka.
Betapa terkejutnya Elka saat mendapati orang yang hendak ia temui tengah berbaring di sofa ruang keluarga, masih dengan pakaian formal yang membalut tubuhnya. Kemeja putih dan celana katun hitam. Jas yang berwarna senada dengan celananya, Daniyal sampirkan pada sofa lain. Elka sebenarnya penasaran mengenai pekerjaan Daniyal setelah pensiun dini sebagai jangkar berita, tapi ia terlampau enggan mencari tahu kabar terbaru lelaki sinis ini. Yang ada Daniyal besar kepala.
Tangan kanan Daniyal yang terapit rokok di antara jari tengah dan telunjuk, menjuntai ke bawah sofa. Sementara lengan kiri, ia tenggerkan di sebagian wajahnya. Kelopak mata yang terpejam, menjadi penanda bahwa Daniyal sedang mengais kembali energi yang telah ia gunakan seharian ini. Bahkan, rokoknya tak lagi mengepulkan asap, apinya padam oleh suhu ruangan yang memang pas untuk mengantarkan siapa saja pada tidur panjang nan lelap.
Tanpa sadar, Elka terus memperhatikan pria di hadapannya yang begitu damai dalam tidur. Untuk sesaat image menyeramkan Daniyal seketika hilang, dia seperti pria baik-baik yang hidupnya jauh dari kata konflik.
Lagi dan lagi, pikiran konyol itu kembali melintas di benak Elka, mengantarkan getar tak wajar yang eksistensinya harusnya tidak pernah ada. Dia buru-buru menepuk pipi agar fokusnya kembali utuh.
"Apa yang mau kamu katakan?"
Tahu-tahu saja, Elka mendengar suara berat Daniyal. Itu mengejutkan! Ia pun buru-buru menempati salah satu sofa demi menutupi gesture salah tingkahnya.
"Kamu sibuk?" tanya Elka cepat.
"Ya, sangat sibuk. Beristirahat adalah pekerjaan sulit bagiku, jadi kuharap kamu tidak berbelit-belit dan berbicara langsung ke intinya." Masih dengan posisi yang sama, Daniyal menyudut rokoknya ke permukaan lantai. Tanpa menyadari sigaretnya telah kehilangan nyala sejak tadi.
Sekarang, Elka bingung sendiri mau mengatakan apa. Ia menggigiti bibir dalamnya gelisah.
"Seperti yang kamu tahu, aku pernah bertandang ke agensi periklanan yang dikelola oleh Vega Media demi membahas project iklan mengenai Mal CL. Pak Hamdan, beliau adalah Pamanmu, bukan? Mungkin karena penggarapan iklan ini melibatkan kerja sama antara dua perusahaan raksasa yang sebelumnya jarang sekali bersinggungan, beliau amat memperhatikan project iklan yang sedang kami tangani."
Elka meremas tangannya kuat-kuat.
"Kami berniat menggandengmu menjadi bintang utama dalam iklan Mal tersebut. Sebenarnya, kepala divisiku--Ibu Karlina Larasati--sudah menghubungi Karol, tapi belum ada tanggapan balik darinya. Jadi, maksud kedatanganku sekarang adalah, aku berniat meminta sekaligus menanyakan kesediaanmu untuk terlibat dalam project iklan Mal Citra Lateef."
Daniyal mendengkus. "Caramu berbicara kembali mengingatkanku bahwa kamu tetaplah Elka, si anak baik yang pandai merangkai kata untuk menjebak para korbannya."
Elka berusaha menekan energi negatif yang mulai menggumpal di hatinya usai mendapatkan tanggapan menjengkelkan Daniyal. Alhasil, dia tetap mengunci mulut rapat-rapat sambil memasang mimik datar. Kesepakatan mereka lebih penting.
"Rupanya bosmu menginginkan exposure dari pemberitaan kita. Seorang oportunis sejati." Kali ini, Daniyal bangkit dari pembaringannya. Dia melakukan peregangan singkat sebelum kemudian berdiri meraih jasnya yang tersampir pada sofa yang bersisian langsung dengan tempat Elka duduk. Ia mengeluarkan pemantik dan cigarette box dari dalam saku jas.
"Cig?" tawar Daniyal pada perempuan di sampingnya. Dia pun mengangkat bahu kala mendapatkan gelengan pelan Elka. Ia memutuskan untuk duduk pada lengan sofa, tepat di atas jas miliknya sambil menyalakan rokok. "Jelaskan, mengapa aku harus bersedia melakukan kerja sama ini dengan kalian?"
Elka mengangguk, ia bersedia menyanggupi permintaan tersebut.
"Mal Citra Lateef yang merupakan unit usaha dari perusahaan kami--HL Property--saat ini sedang melakukan pemulihan usai insiden kebakaran besar yang terjadi di Mal tersebut. Kami berkomitmen untuk mengembalikan nama baik Mal dengan memproduksi iklan yang nantinya akan kami kampanyekan pada khalayak luas demi mendapatkan kembali kepercayaan publik yang goyah akibat insiden kebakaran tersebut."
Elka menjeda penjelasannya untuk mengambil napas pelan-pelan. Dia seorang PR. Selayaknya PR yang kompeten, dia harus berlaku profesional dalam situasi ini.
"Kami percaya bahwa berkolaborasi dengan Anda adalah pilihan yang sempurna untuk mewakili nilai dan visi Mal Citra Lateef yang nantinya akan dikemas dalam bentuk iklan. Kami melihat Anda sebagai sosok penuh karisma yang dapat memberikan sentuhan pribadi dan autentisitas pada pesan dalam iklan yang akan kami siarkan. Kami yakin kolaborasi ini dapat memberikan dampak positif tidak hanya bagi Mal kami, tetapi juga untuk citra Anda sebagai seorang public figure. Untuk itulah, saya selaku Public Relations HL Property, bermaksud meminta kesediaan Anda, Bapak Daniyal Lateef, agar bersedia menjadi wajah dan semangat baru dari iklan Mal kami."
Tahu-tahu saja, Daniyal menyemburkan tawa lantangnya selepas mendengarkan penuturan panjang Elka. Dia amat terhibur akan keprofesionalitasan Elka yang begitu kukuh.
"Luar biasa! Seperti yang diharapkan dari seorang Elka Dyatmika." Daniyal bertepuk tangan demi mengapresiasi perempuan yang telah mengubah arah duduknya menghadap ke arahnya ini. "Tapi Elka, berusahalah lebih keras karena kamu gagal meyakinkanku. Percobaan pertamamu terlalu kaku sehingga membuatku tertekan dan sedikit terintimidasi. Cobalah lebih santai supaya aku tidak merasa dipaksa untuk menyetujui tawaranmu."
"Sebenarnya, Daniyal, kamu bisa langsung menolak jika memang tidak tertarik." Elka putuskan kembali pada mode normalnya. Elka Dyatmika yang enggan berbasa-basi dengan musuhnya.
"Miss pesimis kita telah kembali. Tidak percaya diri dengan kemampuanmu, huh?" tanya Daniyal setelah mengembuskan asap tipis dari mulutnya.
"Aku ingin jawabannya sekarang," desak Elka.
"Ayolah, Elka, berhentilah jadi orang membosankan. Kau akan dimarahi Bosmu bila gagal mendapatkan kata sepakat dariku. Jangan patah semangat, aku akan mendengar secara saksama."
"Terima kasih atas waktumu." Elka hendak berdiri, ingin cepat-cepat keluar dari sini setelah yakin Daniyal hanya bermain-main sejak tadi, akan tetapi dia langsung terduduk karena Daniyal menahan bahunya.
"Kenapa terburu-buru? Takut perasaan cintamu terhadapku berkembang semakin dalam jika kita terus menghabiskan waktu bersama?"
Untuk sesaat, Elka sempat kehilangan perbendaharaan kata. Dia tercengang selepas mendengar tebakan absurd pria narsistik ini.
"Kamu sadar tidak? Ucapanmu terdengar seperti pria putus asa yang begitu mengharapkan cintanya terbalas," cibir Elka membalikkan serangan Daniyal. "Sebegitu terobsesinya-kah kau terhadapku sehingga berharap aku cintai? Oh, apa aku harus senang setelah mengetahui pria yang dulu pernah kusukai kini begitu mendamba cinta dariku?"
Muncul kerut tipis di dahi Daniyal. Dia memasang seringai miring sambil menelengkan kepala, menatap perempuan di sampingnya dengan raut menggoda.
"You're good at clapping back," kekeh Daniyal lembut. "Ya, kamu memang harus senang karena disukai oleh seorang Daniyal adalah kesempatan langka yang tidak akan pernah terjadi dua kali di hidupmu. Lupakan soal kerja sama kita tentang rencanaku. Itu tidak lagi penting karena sepertinya kita cocok. Tertarik menjalin hubungan serius denganku? Kali ini benar-benar serius, sebagai pasangan yang sama-sama mempunyai perasaan cinta dan menjalin hubungan serius yang bermuara pada pernikahan. Bagaimana? Tawaranku bernilai besar. Kamu akan merugi bila menolak ajakanku."
Elka memejamkan mata kuat-kuat. Dia sudah tak tahan lagi!
"Kuharap kau mati terlindas truk!" jeritnya kesal setengah mati. Biarkanlah dia bertingkah kekanakkan. Luapan kekesalannya mustahil bisa ditahan-tahan.
Dia pun segera bangkit menjauhi jangkauan pria sinting yang senang menyulut api kemurkaan di hatinya. Wajah Elka sampai memerah lantaran tak tahan mendengar omong kosong Daniyal barusan. Sementara pria itu lagi-lagi tertawa puas karena berhasil memancing emosinya.
"Baiklah, kembali ke topik awal." Daniyal dengan cepat menguasai diri. Tampang tengil yang sebelumnya ia pasang memudar dalam kurun waktu singkat. "Aku menyetujui tawaranmu."
Sebenarnya Elka benar-benar berniat pergi. Namun, usai mendengar penuturan Daniyal, ia menahan langkahnya.
"Kau bersungguh-sungguh?" Anggap Elka labil, tapi bisnis tetap bisnis. Anggukan yakin dari Daniyal langsung mengembalikan senyum dalam iras penatnya. "Terima kasih, Daniyal. Aku akan segera menghubungi Bu Ka--"
"Aku setuju asalkan kita berdua yang menjadi bintang utama dalam iklan tersebut. Bukankah chemistry kita cukup kuat? Jadi, apa salahnya kau dan diriku berkolaborasi dalam project iklan itu?"
***
Aku penasaran, kalian tahu cerita ini dari manaa?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro