Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2 | Daniyal

Hingga detik ini, pencapaian yang paling Elka syukuri bukanlah kariernya yang gemilang, bukan pula banyaknya relasi yang dia miliki, tetapi bagaimana dia bisa bertahan sejauh ini setelah melewati bagian paling mengerikan di hidupnya.

Setelah kelam hidupnya berlalu, dia menjadi sosok teguh yang tak mudah tumbang. Berkat pengalaman pahitnya, dia mampu untuk survive hingga sekarang kokoh berdiri di atas kaki sendiri. Tidak mudah memang, ada nyawa berharga yang terpaksa harus dia lepas dengan penyesalan mendalam, bersama torehan luka besar di dada. Namun, seperti kata mendiang Ibunya, begitulah cara hidup bekerja. Kesiapan manusia akan selalu diuji. Kapan dan di mana pun itu, tanpa peduli siap tidaknya kita.

"Kalau kemarin gak hadir, gue nggak bakal tahu temen-temen kita ternyata pada gokil-gokil gila! Lo tahu Aliya, 'kan? Dia pernah sekelas bareng kita pas semester tiga. Itu lohh, cewek kalem yang sempat dikejar-kejar sama keting dulu. You know, si Aliya ... ternyata udah nikah tiga kali dalam kurun waktu tujuh tahun! Bayangin, Elka! Tiga kali! Pertama sama pengusaha, terus cere. Eh, setelah itu nikah lagi. Tetep pengusaha juga. Cuma, ya, gitu, dia bilang gak betah. Rumah kali betah. Makanya divorce. Terus, suami terakhirnya temen kantor doi. Sama suami ke tiga, dia punya tiga anak, tepatnya udah mau yang ke empat, sih. Soalnya sekarang lagi bunting. Gila gak tuh?"

Fokus Elka terbelah dalam mengendalikan kemudi dan mendengarkan celotehan sang sahabat--Glori--tentang reuni yang tidak sempat Elka hadiri. Reuni akbar yang diadakan oleh jurusannya di malam kemarin, menyisakan kesan kuat bagi Glori. Untaian topik reuni tak putus dari bibirnya.

"Ada lagi tuh, Bion. Tahu, 'kan, lo? Bion, koko koko yang dulu culun terus gemuk? Nah, doi sekarang glow up-nya kebangetan! Kalau aja gue nggak inget Mas Kipli sama dua bocah di rumah, udah gue embat tuh si Bion. Guannteng buangett, Elka!"

"Nikah dan punya anak ternyata nggak menjamin lo puas, ya? Binal."

"Amit-amit, Ka! Maksud I gak gitohh. I mean, jadi model di agency-nya nyokap. Ngomong doang gue mah. Gak ada maksud lain kokk. Mas Kipli tetap di hati! Hohoho. Anyway, a bunch of people were asking about you yesterday, and I told them you're doing great. Then they started getting nosy, asking where you're working, so I said you're all settled now. When I mentioned HL Group, they freaked out! Totally jealous--it made me so proud, Ka!"

"Nggak usah melebih-lebihkan."

"Gimana, sih? Karir mapan ya mesti dipamerin! Harus sombong supaya gak kalah saing! Lagian, lo kenapa gak bikin IG aja, sih? Biar temen-temen pada tahu kabar lo. Udah di WA pribadi jarang bikin status, IG juga gak punya, situ manusia goa? Heran, kerja jadi PR malah nggak punya IG. Branding, Ka, branding!"

"Kata siapa gue gak punya Instagram? Ada tuh."

"Akun pribadi, ye, bukan khusus kerjaan! Gumoh gue liat feeds IG lo yang itu-itu aja kontennya. Kegiatan kantor muluuu yang di post. Emang sesusah apa coba update daily life pake akun personal? Profesi boleh aja PR, but you act like a total shut-in, nerd, or whatever!"

"The main thing is I have Instagram. I can post whatever I want."

"Bodo ah! Isi otak lo tuh kalau bukan Rafael, ya kerjaan! Terus kapan nyari jodohnya, Elkaaaaa?! Umur udah mau kepala tiga, bisa-bisanya masih jomlo! Lo harus nikah secepetnya. Cariin El Papa! Atau nggak, lo kawin deh. Kawin. Noh, Vilton terbuka lebar. Sekali lo natap, cowok-cowok sana lepas gesper."

Glori sudah seperti ratu iblis bagi Elka. Teknik persuasinya di luar nalar. Wanita lain pasti mewanti-wanti sahabatnya untuk tidak bermain dengan hal seperti ini, berbeda dari Glori yang antusias mendorong Elka untuk mencobanya. Manusia satu ini penganut YOLO dengan taraf ekstrem.

"Sinting nih orang," desis Elka sebal sendiri. "Sejak kapan motivasi nikah cuma buat kawin."

"Sejak gue nikahlah."

"Nggak mau denger saran dari orang yang nikah karena pernikahan bisnis."

"Asem! Gini-gini gue udah cinta mati ama Mas Kipli. Dulu ogah nikah karena emang nggak tahu pribadi doi kek mana. Denger nama dia aja, gue sebel tingkat dewa. Kipli? Nauurrr! Tuh nama kampungan banget. Gak cocoklah disandingkan dengan Queen Glori kek gue. But! Setelah saling kenal, lutut gue tiap hari jadi jelly, Kaaa. Kalau deket-deket dia, bawannya pengen dikelonin mulu."

"Now we're at the thousandth episode of how Glori the slutty queen and Kipli the eternally unlucky king got stuck with that psycho chick who can't stop dropping her panties when she's wasted."

"Shut up b*tch! Senior lagi ngomong malah motong-motong! Dengerin! Biar idup lu jauh dari musibah," sergah Glori sebal atas sarkasme sahabatnya. "Believe me, marriage is super cool. You know I was the last person to talk about commitment because I thought it was all about losing freedom, but that was before I realized I was the one shutting myself off. Dengan pasangan yang tepat, semua ketakutan-ketakutan gue langsung sirna. Suami adalah figur terbaik buat ngisi kekosongan hidup kita. Apa lagi manusia macam gue yang dulunya binal. Ya sekarang masih binal, sih, pas lagi berduaan ama Mas suami doang, hehe."

Elka menggeleng pelan sambil menyunggingkan senyum geli usai mendengar nada malu-malu Glori di ujung penuturannya.

"Cuma, ya, gue nggak mau ngomong yang seneng-seneng doang soal marriage life. Pastinya kita bakal jumpain yang namanya perselisihan dan bikin batin ngedumel, tapi percaya deh, sekalinya lo ngobrolin apa yang jadi pokok masalah dalam rumah tangga kalian, masalah apa pun itu gak bakal terasa berat selama kalian ngejalaninnya sama-sama. Communication and comprehension are the keys to a strong relationship."

"Lo bicara gini karena uang lo gak bakal habis tujuh turunan. Indeks perceraian terus meningkat tuh. Kalau alasannya bukan karena kemiskinan, ya, pasti perselingkuhan. Atau nggak KDRT. Konsep pernikahan gak akan pernah sejalan dengan visi misi hidup gue. Lagian, gue nggak mau kasus yang terjadi sama Rafael kembali terulang. Sampai sini, lo paham maksud gue?"

Di seberang sana, Glori langsung dibuat gelagapan. Astaga! Bagaimana mungkin dia melupakan fakta kelam itu?! Glori bodoh! Dia langsung mengutuk diri.

"Sorry, Ka," cicitnya merasa bersalah.

Elka terkekeh mendengar nada ciut sang sahabat. Alhasil, situasi di antara mereka berangsur-angsur tenang. Glori tak lagi mendiktenya tentang semenyenangkan apa kehidupan pernikahan yang bagi Elka hanyalah bentuk kebahagiaan semu yang tak semua orang mampu mendapatkannya.

"Oh iya, Ri"

"Yup, apa?"

"Gue penasaran."

"About what?"

"Pas reuni kemarin, ada yang masih nyinggung soal peristiwa itu?"

Paham arah pertanyaan sang sahabat, Glori berdehem singkat.

"Bukan gue lho, ya, yang mancing duluan. Lo sendiri yang nanya. Padahal gue nahan diri buat gak ngomong. Oke. Jujur, kemarin ada yang sempat bahas itu. Mereka ngomongin itu kayak kejadiannya seperti baru kemarin." Suara Glori mengecil diujung kalimatnya.

Elka menghela napas pendek. Sudah dia duga, siapa pun tak akan lupa pada kejadian mengerikan tersebut. Dia ditolak, lalu kemudian diperlakukan seperti sampah. Bahkan seolah itu belum cukup, dia harus menanggung malu lantaran jadi bahan pergunjingan sampai di akhir studi. Ia baru bisa bernapas lega setelah wisuda.

Dia benar-benar sial, tapi Elka memaklumi sifat naifnya dulu. Bagaimana pun juga, itu bagian dari kisah hidupnya yang pernah dipenuhi oleh gairah masa muda. Dia menyebutnya sebagai fase tes ombak. Wajar dia merasakan ketertarikan kepada lawan jenis seperti yang dia rasakan pada lelaki itu. Perasaannya sama sekali tak keliru.

Hanya saja, keputusannya dalam mengutarakan rasa bukanlah hal yang tepat.

Lagi pula, perkataan lelaki itu benar adanya. Seorang perempuan harus lebih berhati-hati dalam bertingkah. Jatuh cinta boleh-boleh saja, tapi jangan tolol. Dia sudah cukup apes karena bertindak bodoh hanya karena cinta, dan hal tersebut adalah langkah paling buruk yang Elka lakukan waktu itu.

"Ya udah, sih, dah lama juga," timpal Elka pendek. Wajar mereka ingat. Kejadiannya terlalu sulit tuk dilupakan.

"Tapi beneran, katanya mereka kangen sama lo. Terlepas dari kejadian itu, mereka pengen kita ngumpul-ngumpul lagi kayak dulu. Rasanya nggak puas aja kalau ada yang nggak dateng. Kok lo sama Daniyal bisa kompak gak hadir, sih?" Glori berdecak sebal. Dia pun kembali melanjutkan cecaran panjangnya, "Ya wajar, jadi news anchor nomor wahid di Indo, pasti bikin doi sibuk banget. Belum lagi, muka dia wara-wiri di berbagai acara TV. Pasti sulit buat luangin waktu. Cuma kalau gue jadi Daniyal, nih, ya, gue mending rehat sejenak buat ketemuan sama temen-temen lama. Uang mah bisa dicari. Toh juga, dengan banyaknya job yang dia punya, pasti rekening doi setebel harapan orang tua gue ke anak-anaknya yang demen bikin onar."

Elka lagi-lagi gagal menahan lengkungan senyum di bibir mendengar celotehan sahabatnya. Frontal dan Glori sulit dipisahkan.

"Eh, bentar! Kenapa gue baru kepikiran coba? Rosita Laila mamaknya Hamdan Lateef. RoLa Corp punya Rosita Laila. Sementara HL Group milik anaknya. Otomatis, dua perusahaan itu cukup berhubungan. Daniyal kerja di Vega Media yang merupakan anak perusahaan RoLa Corp. Sedangkan lo kerjanya di HL Group. So there's a chance you and Daniyal have run into each other at company events, right? Seriously, why haven't you ever mentioned it, Ka?!" Todong Glori menggebu-gebu.

"Ngapain cerita kalau emang nggak pernah papasan."

"Tapi 'kan, perusahaannya milik keluarga."

"Bukan berarti kemungkinan untuk kita ketemuan itu ada. Udah ah, gue matiin teleponnya. Dikit lagi sampe rumah."

"Bentarrr, Elkaaa, gue masih penasaran sama satu hal. Daniyal beneran cucunya Rosita Laila, ya? Murni keturunan Lateef dong. Emang, sih, nih rumor cuma bertebaran di platform berita doang. Cuma setelah gue pikir-pikir, kayaknya manuk akal deh. Nama lengkap dia Daniyal L. Gue yakin, L itu Lateef. Ditambah, dari dulu Daniyal punya aura seolah doi bos tambang minyak di Arab! Terus sekarang, dia kerja di Vega Media. Which is itu anak perusahaan RoLa Corp. Wow, nalar gue sebagai ex admin lambe jurusan masih jalan!"

"Dan kenapa juga lo harus sepenasaran ini?"

Terus terang saja, mendengar pembahasan tentang Daniyal membuat perasan Elka amat tidak nyaman. Entahlah, mungkin karena dirinya masih memiliki sisa-sisa ingatan traumatis di otaknya.

Elka menggeleng, menghalau pikirannya agar tidak mengingat rentetan kejadian masa lalu yang berkaitan dengan Daniyal. Ia sudah baik-baik saja sekarang. Jadi tak perlu lagi mengenang masa-masa pahit dahulu.

Dia sudah aman. Semua yang mengganggu hidupnya, sekarang bukan lagi ancaman.

"Lupa kalau gue sempet jadi admin lambe jurusan? Ya wajar dong gue penasaran sama identitas misterius dia. Apalagi kalau seandainya Daniyal nerima cinta lo dulu, bisa dibayangkan lo udah jadi istri penerus RoLa Corp. Selamat tinggallll budak korporat! Cuihhhhh!"

"Sarap nih orang. Telepon lagi nanti."

"Ih janga--"

Elka memutus panggilan sepihak. Ia meloloskan napas lega setelah mobilnya tiba di depan rumah. Usai mobilnya terparkir, sejenak dia perhatikan rumah yang berada di seberang. Memeriksa apakah penghuni rumah tersebut sudah berada di dalamnya atau tidak. Namun, sayangnya apa yang dia harapkan tidak terkabul.

Akhirnya dengan langkah berat, ia memilih masuk ke dalam rumahnya sendiri. Elka mendapati situasi rumah dua lantai ini cukup lengang. Bahkan, salamnya tak bersambut.

Dia yang enggan ambil pusing, bergegas menuju ke kamarnya. Tiap inci tubuhnya sudah meneriakkan kata mandi! Lengketnya membuat tak nyaman.

"Kenapa Opa nggak pulang-pulang? Opa marah sama, El? Opa pasti capek, ya, karena El ajakin main rubik dan layangan terus? Makanya sampai sakit."

Elka tersentak mendengar suara yang berasal dari balik horden jendela yang berada di samping tangga menuju lantai dua.

"Opa nggak marah sama kamu. Opa memang lagi sakit. Sabar, nanti El bisa main bareng Opa lagi kok."

"Tapi udah lima hari Opa nggak pulang."

"Kan kata Mama, Opa lagi istirahat di rumah sakit. Biar cepet sembuh."

"Sus Ami bisa nggak?"

"Bisa apa?"

"Tanyain ke Mama, boleh tidak El jengukin Opa?"

"Gimana kalau Mama telepon Kak Izz dulu? Kita tanyain gimana kondisi Opa Iksan. Maaf, karena kesibukan Mama, kita jadi ketunda terus buat jengukin Opa."

Terkejut pada suara Elka yang hadir tiba-tiba, bocah laki-laki yang bersembunyi dari balik horden, segera menampakkan diri. Diikuti juga oleh Suster Ami--pengasuh bocah tersebut.

"Eh? Ibu barusan sampai? Suara mobil nggak kedengeran. Soalnya ini, Rafael dari tadi curhat mulu. Katanya kangen Opa Iksan," adu Sus Ami pada majikannya.

"Ternyata yang bikin dia nggak semangat akhir-akhir ini, karena kangen Opa, ya?"

Elka kemudian mendekat pada putra semata wayangnya yang memasang tampang sendu itu.

"Kangen berat sama Opa Iksan? Oke deh, kalau gitu sekarang kita telepon Kak Izz."

Rafael mengangguk semangat. Lengkungan senyum keantusiasan terukir di bibirnya, ia pun memeluk sang Ibu dengan dekapan erat. Lalu memberikan kecup singkat di pipi Ibunya.

"Mama nggak capek? Atau gini aja, telepon Kak Izz-nya nanti setelah Mama istrahat. El bisa kok nunggu," ucap Rafael penuh pengertian.

Terkadang hati Elka mencelus nyeri saat mendapati kenyataan bahwa bayi yang dahulu sempat ia benci, kini telah tumbuh menjadi pria kecil yang penuh cinta terhadapnya. Betapa bodohnya dirinya sampai bisa berpikir keji untuk melepas Rafael dulu. Siapa yang menyangka bahwa kini, satu-satunya pusat dunianya hanyalah Rafael.

"Beneran nggak apa-apa?"

Rafael memberi anggukan yakin. Ia lalu menggandeng tangan Sus Ami. "El sama Sus nunggu di ruang keluarga saja. Atau Mama mau sekalian El siapain makanan? Sus Ami udah masak yang enak-enak, lho."

Elka tak bisa menahan senyum gemasnya mendengar kata-kata Rafael. "Thank you sweetheart, tapi Mama masih kenyang. Tunggu di living room gih. Mama mandi dulu."

Setelahnya, Elka kembali melanjutkan tujuan awalnya untuk pergi ke kamar. Dia membersihkan diri dengan cepat. Mana tega ia membuat Rafael menunggu lama.

Usai menyelesaikan seluruh aktifitas di dalam kamar, ia kembali ke lantai satu, lekas menghampiri Rafael dan Sus Ami. Tak lupa ikut membawa ponsel pintarnya. Namun, ketika tungkainya tiba di living room, dia tidak melihat keberadaan dua orang itu.

"Hm? Pada ke mana?" gumamnya bingung.

Tetapi kemudian, samar-samar ia mendengar keributan yang berasal dari depan rumah. Tubuhnya bergerak otomatis mendekati pintu utama yang ia yakini sudah ditutupnya rapat-rapat sebelum masuk rumah tadi. Kerenyit bingung lagi-lagi tercetak di dahi Elka. Mungkinkah, Rafael dan Sus Ami duduk di teras rumah?

Hanya saja setelah tubuhnya benar-benar melintasi pintu, dua orang yang ia cari tetap tak terlihat. Justru indra penglihatannya langsung terpaku pada jenis mobil mewah yang biasa dia lihat berjejer rapi di parkiran khusus pemangku kepentingan kantor.

Kompleks perumahan ini memang dikhususkan untuk orang-orang yang menuntut hunian mewah dengan keamanan tingkat tinggi. Sengaja Elka pilih tempat ini untuk bermukim agar dapat memberikan kehidupan layak pada Rafael.

Tapi tetap saja, itu tidak merubah fakta bahwa pemilik mobil dengan harga fantastis seperti yang kini Elka lihat, mau repot-repot tinggal di sini. Dia bisa membeli satu tower apartemen hanya untuk dirinya sendiri. Atau bahkan membangun rumah berpuluh hektar dengan budget di luar nalarnya sebagai pesuruh bos.

Namun, setelah menyadari bahwa mobil tersebut berhenti tepat di depan rumah yang ditinggali Opa Iksan, Elka tak berpikir dua kali melangkahkan kaki-kaki jenjangnya menuju rumah tersebut. Terlebih, pintu rumah juga terbuka lebar. Dia yakin, suara ribut tadi berasal dari sini.

"Permisi." Elka mengetuk pintu sebelum masuk lebih dalam. Dia tadi melihat sandal Rafael dan Sus Ami berada di teras rumah.

Seperti dugaannya, putranya ternyata memang berada di sini. Rafael tampak telaten memijat lengan Opa Iksan.

"Oh, hai, Kak." Izz--putra Pak Iksan--yang menyadari eksistensi Elka, menyambut tetangga yang sudah ia anggap sebagai Kakak sendiri itu dengan senyum lebar.

"Barusan sampai, Izz? Gimana keadaan Pak Iksan?" Elka menghampiri pria paru baya yang duduk bersandar di sofa. Dia prihatin melihat kondisi Opa Iksan tampak lebih kurus dari yang terakhir kali dilihatnya.

"Saya senang Bapak sudah kembali ke rumah. Saya benar-benar khawatir dengan keadaan Bapak sewaktu mendengar kabar, Bapak masuk rumah sakit. Maaf, saya tidak sempat menjenguk kare--"

"Saya tidak berharap dijenguk olehmu."

Sebaris kalimat pedas yang diungkapkan oleh Opa Iksan, mau tidak mau membuat Elka menelan bulat-bulat ucapan yang hendak ia lontarkan.

Tentu saja--Opa Iksan--seseorang yang sudah dianggap Rafael sebagai Kakek kesayangannya ini, tidak akan pernah lupa, atau repot-repot menutupi ketidaksukaannya pada Elka. Rupanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pria tua ini sudah cukup sembuh. Elka berani menjamin, Opa Iksan punya banyak kekuatan untuk mengomeli dirinya tanpa alasan yang logis detik ini juga.

"Opa kok gitu? Opa marah lagi sama Mama?" Dengan polosnya Rafael bertanya di tengah kecanggungan yang sedang terbangun di antara mereka.

"Siapa bilang Opa marah? Justru Opa tahu Mamamu nggak bakal bisa jengukin Opa karena sibuk kerja terus. Makanya Opa nggak berharap dijenguk." Iksan coba memberi pembelaan agar tidak terlihat buruk di mata cucu kesayangannya. "Opa kasih tahu, saat di rumah sakit, Opa memang sempat rindu sama El, tapi kalau seandainya kamu jengukin Opa, pasti nggak bakal betah. Di rumah sakit bikin bosan. Mana bisa kamu lama-lama di situ. Kamu anaknya petakilan. Ayo, lanjut mijit bahu Opa. Pegel disuruh rebahan terus sama Om kamu ini. Dikiranya enak apa tidur-tiduran mulu."

Izz dan Elka saling beradu pandang, hingga kemudian Elka gagal menahan senyum gelinya sebab Izz terlihat pasrah atas komplain yang diajukan oleh Papanya.

"Oh iya, aku mau ngenalin Kak Elka sama orang yang selama ini sudah banyak membantu keluarga kami. Beliau adalah majikan Bapak saat Bapak masih bekerja di kediaman Lat--"

"Sudah berapa lama AC di kamar Bapak rusak? Kenapa kamu nggak kasih tahu saya?"

Elka sontak menoleh pada sumber suara yang tiba-tiba memotong perkataan Izz. Suara khas pria yang akrab di telinganya. Teramat familiar, seolah tiap hari dia selalu mendengar suara ini. Tidak. Tidak. Mungkin hanya perasaannya saja. Elka membatin, berusaha santai walau nyatanya dia panik jika seandainya perkiraannya tepat sasaran.

Celakanya, entah Elka harus senang karena tebakannya benar atau malah secepatnya lari dari tempat ini karena sekarang, dia tengah dihadapkan dengan hal paling mengerikan yang pernah ia jumpai dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir.

"Kasur Bapak tidak layak digunakan, keran di kamar mandi juga rusak. Dan kamu berdiam diri layaknya orang bodoh tanpa memiliki keberanian untuk menghubungi saya? Berulang kali sudah saya katakan, berhenti bekerja. Sesulit itukah fokus pada studimu dan menjaga Bapak? Jangan coba menguji kesabaran saya, Izz. Berhenti bertingkah."

Pria itu terus menumpahkan amarahnya tanpa peduli pada orang lain selain Izz. Sorot kelam di matanya kian menajam seiring dengan suasana mencekam yang memerangkap orang-orang di sekitarnya. Dia seolah siap menghabisi Izz saat ini juga. Sementara Elka berdiri di tempatnya layaknya manekin hidup. Dia tidak berbohong bahwa napasnya seperti tercekat di kerongkongan.

Dari semua tempat dan situasi, mengapa harus orang ini yang ia jumpai sekarang?!

Lebih mengerikannya lagi, image lelaki ini amat berbeda dari yang biasa dia lihat di televisi dan dieluh-eluhkan oleh bosnya. Meski sudah menduganya sejak jauh-jauh hari, tapi melihatnya secara langsung, tetap saja mengejutkan.

"Sudahlah, Nak. Izz tidak sepenuhnya salah karena yang melarang dia untuk menghubungimu adalah Bapak sendiri," sahut Opa Iksan berusaha menenangkan pria tersebut. "Tidak mungkin kami terus menggantungkan hidup kami kepadamu."

Situasi macam apa ini? Mengapa Elka bisa terjebak di sini? Bagaimana caranya agar dia bisa melarikan diri tanpa disadari oleh pria itu?

"Um ... ma-maaf menginterupsi."

Ya, Elka mempertaruhkan semua keberaniannya. Dia gila, dia benar-benar gila, tapi inilah satu-satunya cara agar dia bisa terbebas dari kecanggungan yang menjebak mereka. Elka mengkode Rafael dan Sus Ami agar mendekat ke arahnya.

"Kami izin pamit. Lekas sembuh, Pak, saya akan berkunjung lagi nanti."

Wajah Elka seperti kesemutan, dari dahi sampai ujung dagu. Tebak hal bodoh apa yang dia lakukan setelahnya? Dia malah menatap ke arah laki-laki itu! Menyebabkan mata mereka saling bertaut selama dua detik sebelum Elka buru-buru memutusnya. Dan sepertinya, Elka akan pingsan sekarang. Bukan, jangan salah paham. Bukan karena dirinya salah tingkah sehingga tak ada yang bisa dipikirkan selain ingin pingsan, tetapi lebih kepada rasa takut yang mendadak datang menghantui sebab ketenangan hatinya amat terusik hanya karena efek tatapan singkat barusan.

Pasalnya, pria itu menatap Elka dengan tatapan paling dingin yang pernah ia terima dari siapa pun. Tidak, tidak, dia pernah menerima tatapan yang sama. Sialnya, dari orang yang sama pula! Tatapan tersebut bahkan lebih tajam dari yang terakhir kali ia tujukan pada Elka tujuh tahun lalu.

Sial, dia masih saja menyeramkan!

"Kalau begitu permisi, kami kembali ke rumah dulu."

Tidak perlu menunggu respon Izz dan Pak Iksan. Karena yang Elka tahu, dia harus secepatnya keluar dari rumah ini!

"Mama, tangan Mama dingin. Mama nggak apa-apa?" tanya Rafael ketika sudah berada di depan rumah mereka.

"A-apa? Oh, Mama? I'm okay. Mama baik-baik aja. Kamu masuk duluan. Mama mau ambil sesuatu di mobil. Sus, tolong ajak El ke dalam."

Tanpa bertanya mengapa ekspresi Elka tampak seperti baru saja melihat hantu sampai wajahnya memucat, Sus Ami segera mematuhi titah majikannya. Tunggu, setahunya majikannya ini bukanlah seorang penakut. Terlebih pada hantu. Bosnya perempuan tangguh. Kalau begitu, mengapa air muka Elka berubah drastis setelah keluar dari rumah Opa Iksan? Aneh.

Elka baru bisa leluasa bernapas setelah ia ditinggalkan seorang diri. Sejenak, ia melirik mobil hitam mewah yang beberapa saat lalu sempat ia kagumi. Ia spontan menggigiti kulit bibirnya. Desir gugup serta merta menguasai hatinya.

Bagaimana mungkin ini terjadi? Mereka tidak seharusnya bertemu kembali! Apakah ia harus melarikan diri lagi? Kegelisahan mulai menggerogoti sekujur tubuh Elka. Sungguh. Ia masih bisa merasakan bagaimana jantungnya bekerja gila-gilaan di detik pertama ia melihat pria itu.

Dia menatap nanar ponsel yang sejak tadi digenggamnya, lalu mulai mengetikkan sebaris kalimat lewat Whatsapp dan dikirimkan pada Glori. Tak lama kemudian, ponsel itu berdering, menampilkan nama Glori sebagai penelepon.

"Duuuude! Demi apa? Barusan lo liat Daniyal di rumah tetangga lo? The same Daniyal we talked about earlier?! Bi*ch tell me more! How fu*cin come?!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro