Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17 | Aku Mau Kita Yang Dulu

Elka terpekur menatap hamparan rooftop Mall yang sudah disulap menjadi area konser. Pagar-pagar besi berwarna hitam telah dipasang untuk memisahkan tiap area penonton. Stand milik tenats mall juga sudah tertata rapi, tinggal menunggu diisi. Sementara di lain sisi, pikirannya berkelana pada kejadian pagi tadi di kantor. Tentang Karlina yang menanyakan buku nikahnya dengan Daniyal.

Itu di luar dugaan. Konyol. Ia sampai tidak putus bergidik setiap kali memorinya mengulang kata-kata Karlina tentang buku nikah. Satu hal yang Elka syukuri, dia masih bisa memberikan jawaban tepat atas pertanyaan sang bos dibanding menampilkan wajah ngeri.

"Mohon maaf, Bu, saya rasa sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk membahas hal tersebut."

Elka juga bersyukur dia buru-buru meninggalkan ruangan dengan dalih ingin pergi ke kamar kecil. Jika tidak, dapat dipastikan penggemar nomor satu Daniyal itu akan melayangkan rentetan pertanyaan nyeleneh yang mampu mengundang migrain di kepala.

"Hela napas gitu amat. Kenapa?"

Elka menoleh pada Javis yang menempati kursi plastik putih di sampingnya. Mereka berada Mal PI sejak tadi, melakukan pengawasan pada persiapan konser yang dijadwalkan empat hari lagi di rooftop Mal. Cahaya petang telah menyelimuti puncak Mal Perdana Indah. Roda waktu tak begitu peka Elka rasakan sebab ia sepenuhnya menumpahkan fokus pada pekerjaan.

"Vis, lo kenapa nggak tanya ini dan itu ke gue?" tanya Elka sekonyong-konyong.

"Tanya apa?" Javis bertanya diringi kekehan ringan. "Emang lo bakal jawab secara gamblang? Apa jaminannya kalau kata-kata yang keluar dari mulut lo adalah kebenaran sesungguhnya? Ka, selama lo gak cerita, ya ... gue diam. Males ngurusin gosip selebriti pemula kayak lo. Nggak ada untungnya. Kecuali, lo jadi narasumber gue. Kita wawancara eksklusif biar gue dapet uang dari berita lo. Gimana? Deal?"

"Oportunis sialan." Elka jadi ikut tertawa. Sudut-sudut bibirnya terangkat luwes. "Jahira marah, Yasa juga. Makanya gue heran lo keliatan santai banget."

"Marah itu relatif, sih, Ka. Mereka begitu karena punya bonding yang kuat dengan lo. That's why, ekspektasi mereka juga ikutan tinggi terhadap lo. Sementara gue? Gak ada ekspektasi apa pun yang gue harapkan dari seorang Elka Dyatmika. Gue hanya mengganggap lo sebatas teman kantor. Tenang saja, Ka, lo gak sespesial yang lo pikirin kok."

"Oh, i see."

Lagi-lagi, Javis terbahak atas respon masam Elka dari lelucon yang ia katakan.

"Gue nggak marah. Gue cuma merasa, apa, ya? Mungkin, gagal jadi teman? Maksudnya, lo yang gak punya kepercayaan sama kita-kita, itu mengganggu gue. Selama ini gue mengira kita sudah cukup dekat untuk ukuran teman yang bisa saling berbagi burden. Nyatanya, itu hanya anggapan tanpa dasar yang berusaha gue percaya."

"Jangan mempertanyakan diri lo. Jelas-jelas gue salah," Elka berujar getir. "Sejujurnya, masa lalu gue nggak begitu etis untuk gue bagi sama kalian. Dan gue gak sampai hati bikin kalian pusing mikirin masalah gue juga. Kalian boleh anggap gue egois, tapi cuma itu alasan tepat yang bisa gue jadiin landasan untuk tidak melibatkan lebih banyak orang lagi dalam kelumit hidup gue."

"Oke. Bisa dimengerti. Cuma, lo sadar nggak, ucapan lo barusan mengartikan kalau lo sudah terlalu keras ke diri sendiri?"

"Sadar."

"Dan gak merasa itu salah?"

"Nggak."

Javis menggeleng pasrah pada pola pikir perempuan di sampingnya.

"Daniyal tahu tidak, ya, kalau ceweknya suka nggak percayaan sama orang lain? If I were him, I'd feel mad useless 'cause my girl wouldn't even depend on me."

"Really, Vis?" Elka mendengkus sebal.

Sudut mulut Javis terangkat. "Baiklah. Gue menghargai keputusan lo. Cuma, kalau nanti Yasa dan Jahira berkeras untuk maksa lo cerita, gue gak akan melakukan intervensi apa pun untuk mencegah mereka. Lo tahu, 'kan, mereka suka rewel kalau apa yang mereka mau nggak dikabulin. Terlebih mereka orang-orang vokal. Jahira contohnya. Walaupun sekarang dia lagi ngambek, paling besok-besok dia recokin lo sepanjang hari lagi. Lihat aja nanti."

Elka meringis. Benar juga, dia masih harus menghadapi Jahira dan Yasa. Andai masalah ibarat hari yang memiliki masa libur, mungkin Elka tak akan merasa kewalahan seperti sekarang. Dia menginginkan jeda untuk sejenak melepas beban hidup yang telah diborong semua olehnya.

***

Elka baru saja menapakkan kaki di teras kala telinganya menangkap gelak tawa dari dalam rumah. Jangan tanya seletih apa dirinya sebab pulang dari Mal, dia masih menepati janji temu dengan Glori. Lebih-lebih lagi, ia juga harus meladeni energi sahabatnya yang begitu meledak-ledak setelah Elka menerangkan rentetan cerita mengenai awal mula sampai dia bisa menjalin hubungan dengan Daniyal. Tentu saja dia harus mengarang cerita manis demi membuat Glori percaya.

Kini, berbohong telah begitu akrab dengannya. Tak heran hidupnya bermandikan karma.

Mulut Elka membentuk garis keras kala melihat slip on pria terletak di rak sepatu. Apesnya lagi, di saat kakinya baru saja melintasi pintu masuk rumah, dia dikejutkan dengan kehadiran Karol yang duduk di sofa sebelah kanan ruang tamu. Wanita itu sibuk dengan tab yang selalu ia bawa ke mana-mana.

"Malam, Bu, saya diperintahkan untuk mendandani Ibu." Karol langsung berdiri setelah menyadari kehadiran Elka.

Elka hanya mengangguk singkat, lalu melanjutkan langkah ke living room. Dia sebenarnya tidak terlalu suka bila wajahnya disentuh oleh orang lain. Namun, karena ini sudah menjadi keharusan, maka mau tidak mau dia mesti berlapang dada.

Rafael yang lebih dulu melihat keberadaan Mamanya, seketika menjerit senang. Bocah laki-laki itu menyeruduk Elka dengan pelukan erat.

"Mama! Mama! Katanya kalau aku libur, Ayah ajak aku ke laut. Kita akan memancing ikan raksasa dan tidur di kapal besar! Boleh, ya, Ma? Izinin aku pergi, ya? Ya? Ya?"

Meskipun awalnya senang melihat kecerian Rafael setelah memiliki figur Ayah yang kehadirannya begitu ia damba, Elka mulai merasa khawatir. Takut bila seandainya Daniyal memberikan pengaruh tidak tepat. Mengingat seberbahaya apa dirinya.

Batasan harus ditetapkan agar Rafael tidak mudah terlena oleh kehadiran Daniyal sebab bagaimana pun juga, lelaki ini pencuci otak ulung.

"Boleh, Sayang, tapi nanti. Kalau sekolah kamu libur, kita pergi bareng-bareng."

"Wah! Mama juga ikut, dong?! Asyikkk!"

"El dari tadi nggak bisa diam pas Pak Daniyal bilang mau ajak dia ke laut." Sus Ami ikut menimpali. Dia memegang remote tv yang tengah menampilkan sinetron kesukaannya.

"Daniyalnya mana, Sus?" Sedari tadi, Elka tidak melihat batang hidung orang yang dipanggil Ayah oleh sang Putra. Hanya parfum pria itu yang menguar kuat di sini.

"Kau merindukanku?"

Kepala Elka langsung tertoleh ke sisi kiri. Daniyal datang sambil mengenakan jam tangan, terdapat bekas percikan air di bagian bawah celananya. Dia tampil santai dengan balutan polo shirt hitam dan celana chino berwarna beige.

"Ikut aku, kita perlu bicara," kata Elka datar. Sebelum beranjak, ia merunduk, memfokuskan sorot bersalahnya pada sang putra yang masih menempel di pinggangnya. "El, Mama sama Om Daniyal mau keluar. Kamu sama Sus Ami, dulu, ya. Tidur tepat waktu supaya badan kamu bugar pas bangun besok. Kemarin-kemarin, jam tidur kamu agak berantakan."

Elka sudah siap menerima nada keberatan Rafael. Namun, secara mengejutkan, bocah tersebut malah mengangguk antusias.

"Mama mau pacaran, ya, sama Ayah?"

"Tidak."

"Iya."

Sahutan bersamaan yang diucapkan Elka dan Daniyal, memecah tawa Rafael. Raut senangnya terpancar kuat.

"Mama masih malu-malu," ujar bocah itu tersipu pada ucapannya sendiri.

"Kamu dengar tidak, apa yang tadi Mama bilang?" Elka menjiwil pelan pipi Rafael.

"Iyaaa, Mamaku sayang. El akan tidur tepat waktu supaya besok badan El bugar pas bangun pagi."

Helaan napas panjang Elka embuskan. Dia berharap apa? Setelah tahu Mamanya menjalin hubungan dengan 'Ayahnya', Rafael terang-terangan memberikan lampu hijau sebagai tanda dukungan penuh pada hubungan mereka.

Setelahnya, Elka beranjak ke area lantai dua. Diikuti oleh Daniyal yang terang-terangan memerhatikan langkah kakinya dari belakang. Elka menyadari hal tersebut sebab dia sempat menoleh was-was ke belakang.

"Berniat mencekal kakiku, huh?" ucap Elka sarkastis.

"Belum saatnya. Kamu masih harus hidup untuk menjadi pesuruhku."

"Iblis."

"Dan kau pengikutku."

Ketika mereka tiba pada lantai tujuan, Elka langsung berbalik menghadap Daniyal.

"Apa yang harus kulakukan saat bertemu Omamu nanti?" tanyanya cepat. "Jangan buat aku terlihat bodoh seperti kemarin!"

"Sebelum menghadapinya, kamu harus tahu bahwa dia orang yang pandai menjaga ekspresi. Kemarin, aku sengaja tidak memberikan gambaran tentang dirinya. Bukan tanpa alasan. Aku hanya ingin mengetes sejauh mana kemampuanmu bisa membuatnya kesal tanpa dipengaruhi oleh informasi mengenai sifatnya. Dan itu berhasil. Ekspresi kesalnya nyaris tak ditutup-tutupi."

"Seingatku, beliau hanya menampilkan wajah datar. Memangnya kau pakar ekspresi sampai menyadari mikro ekspresi yang ditampilkan Omamu?"

"Jangan biasakan memotong perkataanku," tegur Daniyal. "Ciptakan kesan kuat bahwa kau adalah perempuan yang kini menguasai diriku. Sepenuhnya."

"Kurasa, acting kita sudah cukup meyakinkannya bahwa kita memang sepasang kekasih. Apa lagi yang mau kau buktikan?"

Daniyal menggeleng pelan atas pertanyaan Elka. "Kamu tidak perlu tahu. Kewajibanmu hanyalah menuruti semua perintahku."

"Sampai kapan aku harus melakukan ini?"

"Sampai semuanya jelas."

"Jelas? Apanya yang jelas?"

"Memorimu bermasalah. Aku baru saja mengatakan bahwa kewajibanmu hanyalah menuruti perintahku. Bukan mempertanyakan semua hal yang berhubungan dengan rencanaku."

"Kau yang keliru. Bagaimana kalau sewaktu-waktu aku mengacaukan rencananya sebab aku sama sekali tak paham dengan alur rencanamu?"

"Kamu tak akan mengacaukan apa pun selama berada di sisiku. Sekarang, cepatlah bersiap. Bersihkan dirimu. Bau keringatmu mengganggu."

"Jerk!"

Daniyal bergegas menarik diri dari hadapan Elka. Ia tampak tersenyum usai memberikan ledekan tersebut. Dia benar-benar tak membocorkan rencana utamanya. Padahal, Elka pikir dia juga harus tahu ke mana arah rencana mereka. Semoga saja, ini tak berujung pada pertumpahan darah. Elka sudah cukup puas menyaksikan darah di masa lalu.

Daniyal manusia membingungkan. Sulit sekali menebak isi kepalanya.

Setelah nyaris satu jam Elka habiskan untuk bersiap dengan bantuan Karol, akhirnya mereka bergegas pergi. Dia lega sebab kali ini, Rafael tak memaksa ikut. Bahkan, bocah itu amat antusias meminta Elka dan Daniyal untuk segera pergi. Kenaifannya membuat hati Elka sesak.

Dia takut jika nanti rencana Daniyal berhasil terlaksana, pria itu akan langsung menarik diri dari kehidupan Rafael. Bisa dibayangkan akan sesedih apa putranya bila orang yang dia harapkan akan selalu membersamainya, pada akhirnya tetap memilih meninggalkannya. Rasa bersalah Elka meningkat pesat. Dia terus memikirkan kemungkinan terburuk itu ketika sudah berada di dalam mobil yang dikendarai Karol.

"Kau terlihat cocok dengan riasan tebal."

Perkataan Daniyal memutus pergolakan batin Elka.

"Biar kuralat. Kamu hanya terobsesi melihatku berdandan dengan riasan tebal," pungkas Elka sinis meluruskan kata-kata Daniyal. "Oh, apa ini juga bagian dari rencana? Kau ingin Omamu marah karena kekasih cucunya selalu tampil ekstra? Luar biasa, kau selalu berorientasi pada detail. Tak heran, banyak yang mendewakanmu karena mereka tak sadar otak mereka telah dimanipulasi oleh bajingan sepertimu."

"Terima kasih. Kamu selalu cepat tanggap. Kepekaanmu pasti timbul dari masa lalu yang keras. Sekarang, apa aku harus berbalik memujimu?"

Dengkusan dongkol Elka layangkan sebagai bentuk kekesalannya pada tanggapan santai Daniyal.

Mereka tidak lagi bersilat lidah saat mobil mulai bergerak lamban. Tatapan Elka langsung terpaku ke arah luar. Rumah bak istana yang dikelilingi oleh pagar besi tempa bergaya klasik khas eropa, terlihat megah kala dipandangi.

Karol membelokkan mobil memasuki pagar-pagar raksasa tersebut. Penjaga pos security seakan sudah tahu mobil Daniyal mulai mendekati rumah sehingga mereka telah lebih dulu membukakan pagar agar mobil tak mesti menunggu untuk masuk.

Hamparan halaman yang dilapisi oleh rumput hijau nan segar, segera menyita perhatian Elka kala mereka memasuki area depan rumah. Terdapat lampu taman klasik di beberapa titik halaman. Sementara di area tengah halaman dihiasi oleh taman air mancur, masih dengan konsep kuno yang kental. Pemandangan ini tak jauh berbeda dari apa yang Elka lihat di hotel The Rola.

Ternyata Rosita memang penggemar desain-desain kuno khas eropa. Eksterior rumah dihiasi oleh ornamen batu alam, sementara bagian fasad rumah diperelok oleh ukiran bergaya klasik. Opa Iksan yang dulunya merupakan butler di kediaman ini, pasti merasa kewalahan ketika mengurus segala keperluan rumah.

"Jangan terpukau pada rumah ini karena kamu tidak akan pernah tinggal di dalamnya."

Lagi dan lagi, Daniyal memutus observasi Elka, persis seperti yang dia lakukan di hotel kemarin.

"Jangan turun dulu," kata Daniyal singkat. Ia segera keluar, mengitari bagian belakang roda empat ini dan berhenti di sisi kanan pintu mobil yang Elka duduki. "Kau siap?"

Pertanyaan itu langsung menyambut Elka kala Daniyal mengulurkan tangan ke arahnya setelah pria tersebut menguak pintu mobil.

"Boleh aku pulang jika berkata tidak siap?"

"Sampai kapan aku harus menanggapi selera humor burukmu?"

Elka menyambar kasar uluran tangan pria itu. Keduanya melangkah beriringan menuju teras rumah sambil bergenggaman tangan. Karol memang tak ikut masuk, begitulah yang Elka dengar dari Daniyal saat dia meminta Karol pulang selepas mengantar mereka. Perempuan itu akan kembali menjemput seusai makan malam.

Pintu rumah sudah terbuka lebar, seakan telah dipersiapkan untuk menyambut kedatangan mereka. Keduanya lalu memasuki bagian dalam rumah secara berdampingan.

"Omamu tinggal sendiri?"

"Kau pikir lansia sepertinya bisa menghuni rumah sebesar ini seorang diri?"

"Apa susahnya menjawab 'ya' dan 'tidak'?" decak Elka dongkol. "Kalau begitu, ke mana perginya semua orang? Mengapa di sini sepi sekali?"

Tak ada sahutan dari Daniyal. Sebagai gantinya, dia mengajak Elka melintasi area ruang tamu yang ukurannya amat luas. Elka beruntung sebab Karol memberikannya dress putih selutut dengan bahu terbuka sehingga dirinya dapat melangkah leluasa.

"Daniyal?! Akhirnya kamu sampai! Tante sejak tadi nungguin kamu. Kata Bu Rosita, kamu akan makan malam bersamanya. Beliau juga mengundang Tante. Makanya sekarang Tante di sini. Kamu ke mana saja, Daniyal? Nomor kamu nggak ada yang aktif. Di WA juga centang satu. Kamu nggak mungkin, 'kan, blokir nomor Tante?"

Seorang wanita yang Elka perkirakan sebaya dengan Karlina--mungkin saja lebih tua karena wanita ini memiliki keriput halus di beberapa bagian wajahnya--mendadak muncul di hadapan mereka. Dia baru saja berbelok dari balik dinding yang memisahkan ruang tamu dan living room.

Kesan feminim menguar kuat dari wanita ini. Dia tampil cantik dengan kimono dress berwarna putih dengan corak mawar merah besar di bagian bawah gaun. Namun, walaupun dia tampak sudah berumur, wajah cerah terawatnya membuat parasnya begitu cantik. Kesan Elka terhadapnya sama seperti ketika melihat kalangan sosialita atau artis Korea yang tetap awet muda meskipun umur mereka telah melewati pertengahan abad. Harusnya, Laras bertanya tips daily skincare pada orang ini.

Tunggu, Elka mendadak merasakan kejanggalan.

Tangannya diremas kuat oleh Daniyal!

Dia spontan menoleh pada lelaki tersebut, hendak menegur. Ia lantas dikejutkan oleh wajah kaku Daniyal yang menatap wanita di hadapan mereka dengan sorot dingin. Ekspresi gelap di wajahnya berkali-kali lebih mengerikan dari yang pernah lelaki itu layangkan kepada Elka dulu.

"Aku rindu kamu, Daniyal. Aku mau kita yang dulu, kamu yang dulu. Jangan hukum aku seperti ini. Aku janji nggak akan maksa kamu lagi untuk tinggal bersamaku. Tolong kembalilah, aku tidak bisa jika harus berjauhan dengamu lagi. Kembalilah, Daniyal."

Kepala Elka beralih cepat menghadap pada wanita di depannya.

Dia syok.

Sangat-sangat syok.

Dari mana asalnya nada mendayu wanita paruh baya ini?! Ke mana perginya sapaan 'Tante' barusan?!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro