12 | Kecemburuan dan Restu
"Mampir ke PI, yuk, temenin Javis lembur," ajak Yasa ketika mereka sudah berada di dalam lift yang sedang mengantarkan mereka ke lantai dasar. "Malam minggu gini, enaknya ngumpul-ngumpul."
"Keliatan banget lo lagi gak punya temen buat diajak ngangkang. Syukur deh. Semoga mereka beneran sadar kalau seorang Yasa gak lebih dari penjahat kelamin yang cuma ngandelin rayu omong kosong buat ngajak mereka ke ranjang."
"Namanya kesepakatan, Ra," decak Yasa menimpali ucapan Jahira yang menggandeng lengan Elka posesif. Hanya mereka bertiga yang kini mengisi lift. "Gue cuma main-main sama mereka yang mau main-main. Tolol banget maksa anak orang buat gituan. Gue masih taat hukum kok. Lagian, tanpa gue ajak pun mereka suka rela lemparin diri."
"Hukum ditaatin, agama dilepehin. Istigfar woy! Apes banget hidup cewek yang kejebak ilusi yang lo tuai."
"Lo patutnya bersyukur karena kebal sama pesona gue. Kalau enggak, beh, abis lo, Ra."
"Syukur dong. Seneng banget terhindar dari susuk. Tobat, Yas, mau sampai kapan hidup kayak gini? Nggak kasihan sama keluarga lo? Kena HIV tahu rasa. Siapa yang bakal repot? Keluarga lo. Orang-orang gak bersalah itu yang nanti kelabakan dan ikut kecipratan apes."
"Kalian keluarga gue. Dan gue gak bakal kena penyakit itu karena selalu main aman."
"Denger, ya, gue gak peduli sama permainan nista lo. Gue ngomong gini semata-mata biar lo sadar kalau umur nggak ada yang tahu. Bisa apa kalau nyawa lo dicabut pas lagi begituan sama perempuan yang notabene bukan istri lo? Yang ada lo nyesel ampe kuburan. Pas badan telanjur kaku dan orang-orang ninggalin lo sendirian tertimbun dua meter di dalam tanah."
Yasa terkekeh. "Sejak awal gue udah tersesat, Ra. Susah nyari jalan pulang."
"Nggak sulit kalau lo beneran mau berubah. Lo belum coba, sih, Yas."
Yasa sempat terdiam. Lalu menjawab, "Nanti."
"Nanti kapan? Ketika pintu tobat sudah tertutup?"
"Ka, di marcom ada karyawan baru? Pergi ke mana si Jahira yang demen menggerayangi gue? Sering nyentuh badan dan usap-usap kepala gue? Itu yang gelendotan di samping lo, karyawan barukah? Alim, ya. Kayak ustazah." Yasa menangkupkan tangan di depan dada, lalu membungkuk hormat pada Jahira.
"Namanya ngejambak! Nyubit! Omongan lo jangan di twist gitu kampret!" cecar Jahira tak terima. "Tahu ah! Kewajiban gue buat ngingetin lo, selesai!"
"Ngambek dia," ledek Yasa merasa terhibur dengan tingkah gadis yang kian merapatkan diri pada Elka itu. Enggan dekat-dekat dengan dirinya. "Lagian lo perhatian banget. Beneran suka sama gue?" goda Yasa dengan senyum terkulum menggoda.
"Ewhh! Mana ada! Niat hati mau ngingetin malah dikira suka. Emang rusak otak lo!"
"I wouldn't be surprised if a few years from now, or even in the near future, you guys hit me up with a wedding invite that has both your names on it." Elka menatap kedua temannya secara bergantian, tak lupa sambil memasang seringai jail.
"Ya Allah, astagfirullah, amit-amit! Jangan ngomong gitu dong, Mbak. Nggak lucu, serius. Tarik lagi kata-katanya." Jahira berulang kali istigfar seraya mengguncang kecil lengan Elka yang ia peluk. "Tarik lagi, Mbak. Dari awal."
"Doakan, ya, Ka, gue lagi usaha luluhin Jahira. Jual mahal banget dia." Yasa ikut bercanda. Dia suka sekali mendapatkan sekutu untuk menggoda Jahira si anak baik.
"Muka lo segitiga! Gak usah aneh-aneh, ya!"
Beruntung, lift segera tiba di lantai satu. Jadi amukan Jahira tak berlangsung lama.
Hanya saja, semua euforia gurauan yang Elka rasakan, mendadak lenyap ketika dia melihat sosok yang duduk di sofa lobi. Entah mengapa, objek itulah yang segera memaku semua perhatian Elka di detik pertama ia keluar dari dalam lift.
Dari posisinya berdiri, dia bisa dengan jelas melihat lelaki itu. Setelan kantor berwarna abu-abu yang dikenakan olehnya, masih sama seperti tadi ketika mengantarkan Elka ke gedung ini.
Jelas sekali dia marah karena Elka tidak mengikuti perintahnya untuk menghubunginya tiga puluh menit sebelum pulang kantor. Elka memang sengaja melakukan hal tersebut. Ia ingin melihat bagaimana reaksi pria itu. Dan sekarang, semua terjadi seperti dugaannya.
"Mbak! Mbak! Itu ... itu Daniyal! Daniyal, Mbak! Astaga-astaga! Ya ampun kok bisa ketemu di sini?"
Jahira menepuk-nepuk lengan Elka antusias. Dia bahkan melompat-lompat kecil layaknya balita yang kegirangan setelah melihat mainan yang paling ia sukai.
"Loh ... loh?! Mampus! Dia jalan ke sini! Mbaakkk, ini gue nggak lagi mimpi, 'kan?!"
Benar, orang itu--Daniyal--tengah melangkah pasti ke arah Elka setelah menyadari eksistensi perempuan yang kedatangannya sudah ia nantikan sejak tadi.
Luar biasa, bahkan di waktu-waktu seperti ini pun, lelaki ini tetap menyegarkan mata. Penampilannya sempurna, poin utama ada di wajahnya. Elka tak akan menampik itu semua. Namun, betapa pun pesona Daniyal memaksa banyak orang untuk tergila-gila kepadanya, itu tak akan mempengaruhi penilaian Elka tentangnya sebab semua pesona itu memang sengaja Daniyal uarkan demi menjebak orang lain.
Aroma Bottega Veneta kiat kuat melesak masuk dalam indra penciuman Elka seiring langkah Daniyal yang mendekat. Parfum yang dulu sempat dia sukai ketika menghidunya dari petinggi kantor di saat mereka terlibat dalam beberapa pertemuan, kini menjadi aroma yang paling Elka benci.
"Ini gue yang kegeeran atau Daniyal emang lagi menuju ke arah kita?" Jahira berbisik grogi. Laju napasnya terdengar tidak beraturan, dia merasakan kegugupan besar. Sungguh, Jahira berlebihan. Andai Elka bisa secara gamblang memproklamirkan orang seperti apa laki-laki yang dia idolakan ini, Jahira tak akan berpikir lama untuk memaki-maki Daniyal.
"Hai." Daniyal menyapa Elka sesaat setelah dia tiba di hadapan perempuan itu. "Pulang sekarang?"
Manis sekali.
Jika saja yang kini berdiri di hadapan Daniyal adalah Elka yang dulu mencintai laki-laki itu, mungkin dia akan tersipu hanya dengan gestur kecil seperti ini.
"Kamu kapan sampainya?" tanya Elka. Dia tak lagi memiliki keberanian untuk memandang ke arah lain selain membalas sorot kelam Daniyal. Ia merasa seolah bumi berpusat kepadanya.
"Tiga puluh menit yang lalu. Kupikir kamu kenapa-napa. Jadi aku langsung ke sini," aku Daniyal khawatir. "Oh, maaf, di mana sopan santun saya."
Daniyal beralih memandang Jahira dan Yasa yang sejak tadi memperhatikan interaksi teman mereka dengan public figure yang pemberitaannya sedang ramai lantaran ia dirumorkan akan segera hengkang dari dunia hiburan tanah air.
"Halo, saya Daniyal." Dia mengulurkan tangan kanan ke arah Jahira. Tak lupa memasang senyum ramah andalannya yang langsung membuat jantung Jahira bergetar gila-gilaan. Tangan Daniyal tergantung begitu saja selama tiga detik sebab orang yang disapanya sudah sekaku kayu.
"Ra." Yasa mendengkus jengkel, kemudian menyentuh pelan lengan Jahira.
Dirinya memang tidak begitu mengikuti dunia hiburan tanah air, tapi karena ada Jahira dan Bosnya yang terang-terangan mengidolakan Daniyal, sedikit banyak Yasa jadi tahu tentang orang ini.
Namun, yang membuatnya bingung adalah, bagaimana bisa seorang pembaca berita bisa sangat terkenal? Apakah selera wanita di Indonesia telah berubah? Pria kaku bagai robot yang membacakan narasi tindak kriminal sudah menjadi selera yang akhir-akhir ini digemari? Itu kuno dan tidak menyenangkan. Perempuan memang tidak tahu caranya bersenang-senang.
"Hm? Ya? Oh, eh astaga! Ya ampuh, ma-maaf, saya ... saya Jahira," gagap Jahira malu luar biasa. Dalam hati dia merutuki kekonyolan yang telah ia perbuat.
Daniyal membalas dengan senyum pemakluman. Dia lalu beralih pada Yasa yang langsung disambut lelaki itu dengan genggaman erat.
"Daniyal."
"Yasa."
Melirik Elka yang tampak tidak berniat menjelaskan situasi yang tengah terjadi, Yasa pun mengambil inisiatif sendiri untuk bertanya.
"Mau jemput Elka?"
"Iya," jawab Daniyal masih mempertahankan nada ramah.
Dia bukannya tidak sadar akan raut selidik teman lelaki Elka ini. Siapa tadi namanya? Yasa? Dia tampak seperti pecundang bodoh yang berlagak seolah dunia akan tunduk padanya hanya dengan satu gertakan. Merepotkan, tapi bukan perkara besar. Untuk apa menanggapi lawan yang tidak setimpal?
Daniyal pun beralih menatap Elka. "Ada agenda lain? Kenapa nggak bilang?"
"Nggak ada. Ini mau langsung pulang," jawab Elka sekenanya.
"Baiklah."
Suara keterkejutan seketika berdengung ketika Daniyal tahu-tahu saja meraih telapak tangan Elka dan mengisi sela jarinya dengan jari Daniyal sendiri.
"Saya ajak Elka pulang duluan," ucap Daniyal pada Jahira dan Yasa sembari menunduk singkat. "Permisi."
Saking bertubi kejutan yang diberi Daniyal, perbendaharaan kata Jahira seolah tersedot habis dari memori otaknya. Dia sukses dibuat gagu!
Bukan dia yang tangannya digenggam, tapi hatinya yang berdebar gila-gilaan! Apakah mereka sedang shooting?! Sontak saja tatapan Jahira berpendar ke segala sisi lobi demi menemukan kamera yang barangkali tersembunyi. Nihil! Hanya tatapan keterkejutanlah yang tengah menyorot ke arah Daniyal dan Elka. Apa yang sudah dia lewatkan?!
Ada hubungan apa antara Jangkar Berita idolanya dengan tangan kanan Karlina yang selalu merahasiakan kehidupan pribadinya dari mereka semua ini?!
***
"You hang out with people like that?"
Daniyal terkekeh usai melontarkan kalimat tersirat nada celaan tersebut kepada Elka. Tatapannya fokus menatap jalanan di depan yang juga disesaki oleh kendaraan lain. Sama-sama meniti waktu menghadapi kemacetan yang sudah menjadi makanan sehari-hari warga Ibu Kota.
"Jangan libatkan mereka pada rencana gila yang sedang kamu susun dalam otak licikmu," ucap Elka datar. "Kesepakatan kita tidak melibatkan pihak lain selain aku dan dirimu."
Jangan kira hanya karena ia telah sepenuhnya tunduk mengikuti semua perintah Daniyal, dia akan menjadi Elka yang kehilangan vokalnya. Untuk apa dia berpura-pura baik pada pria yang membuat hidupnya berantakan? Dia akan berkeras bila Daniyal terus-terusan mempermainkan rahasianya seolah hal itu adalah hal yang remeh.
"Berhentilah besar kepala. Kamu dan teman-temanmu tidak lebih berarti dari tanah yang kuinjak. Aku hanya terhibur melihat tampang bodoh kalian yang berlagak seolah kalian adalah keluarga harmonis. Terlebih teman lelakimu, dia terlihat seperti anjing penjaga."
"Apa masalahmu?" desak Elka.
"Tenanglah. Aku hanya memuji temanmu, tapi walaupun begitu, aku penasaran apa yang akan mereka lakukan saat kau terluka?"
"Aku mempertaruhkan nama baik dan karirku demi meladeni semua perintahmu. Apakah itu masih belum cukup? Apa lagi yang kau inginkan? Hidupku sudah sangat berantakan lebih dari yang kau kira. Tolong jangan limpahkan kesialan lain bagiku hanya karena kamu ingin memuaskan ego yang kau junjung tinggi-tinggi itu," geram Elka sebab Daniyal menunjukkan tanda ketertarikan pada teman-temannya yang dia yakini bukanlah hal yang bagus. "Aku tahu sejauh mana seorang Daniyal mampu mendapatkan semua keinginannya hanya dengan sekejap mata, tapi bukankah keterlaluan bila kamu mempermainkan hidup orang lain hanya karena kamu takut tertandingi?"
"Benar. Aku memang orang yang luar biasa. Hanya saja ucapanmu terdengar konyol, Elka. Aku takut tertandingi? Dengan siapa? Dengan pria seperti temanmu itu?" Daniyal menggeleng pelan, melepas kekehan ringan. "Biar kuberitahu. Aku, bermain-main dengan orang seperti kalian karena aku butuh hiburan. Bukan karena aku takut tersaingi. Perspektifmu cacat."
"Kamu sendiri yang mengatakan bahwa aku dan teman-temanku tidak lebih berarti dari tanah yang kau injak. Lalu mengapa keberadaan kami begitu kau pedulikan hingga orang hebat sepertimu mau repot-repot bermain dengan kami?"
Daniyal mengedik. "Melihat kesengsaraan orang lain adalah hal yang menyenangkan. Terlebih melihat kesengsaraanmu. Itu menyegarkan, Elka."
"Kamu pria gila!" sergah Elka sakit hati. Wajahnya pasti akan terlihat lebih tua dari umur aslinya bila dia terus berada di dekat Daniyal. Membayangkan tekanan batin yang harus ia telan bulat-bulat, sudah cukup membuatnya stres berlebihan.
Pada akhirnya, Elka hanya mampu mengebarkan bendera putih seperti yang sudah-sudah. Laki-laki ini tak tertandingi. Dia dan mulut tajamnya mampu merangkai kalimat jahat yang dapat membuat Elka kehilangan kekuatan.
Dia memang telah kalah bahkan sebelum mengacungkan anak panah ke arah Daniyal. Dan hal tersebut yang membuat Elka tak berdaya seperti sekarang. Usai kejadian di rumah Daniyal waktu itu, ia secara resmi menjadi manusia tanpa harga diri.
Masih terekam sempurna di otaknya bagaimana dirinya bersimpuh di bawah kaki Daniyal. Memohon agar informasi kelam tujuh tahun silam tetap disembunyikan oleh lelaki ini.
Elka tak lagi mampu mendeskripsikan bagaimana kacaunya situasi yang ia hadapi kemarin. Ia ketakutan, teramat sangat. Tangisnya terus tumpah disertai sedu menyakitkan. Rasanya seperti ia tuli dengan tangisannya sendiri. Elka menanggalkan harga dirinya, meminta Daniyal agar tidak membeberkan kenyataan mengerikan itu pada orang lain. Terlebih pada Rafael. Putranya tidak boleh tahu sejahat apa orang yang selama ini sudah dianggapnya sebagai Ibu.
Elka tidak peduli pada konsekuensi besar yang akan ia terima bila menyetujui perintah Daniyal. Kendatipun itu artinya, dia harus rela menjadi bidak yang dapat sesuka hati Daniyal kendalikan. Kapan dan di mana pun lelaki itu menginginkannya. Setidaknya, itu masih lebih baik dari pada dianggap pembunuh oleh putranya sendiri.
Terlebih nyawa yang telah ia habisi adalah Ayah kandung Rafael. Sosok yang selama ini kehadirannya amat diidam-idamkan oleh Rafael. Elka tak dapat membayangkan sebesar apa kekecewaan sang Putra terhadapnya. Penyesalannya tak lagi berarti. Mustahil ia mampu menanggung rasa bersalah sebesar itu.
Untuk itulah, ia secara sadar melemparkan diri dalam perangkap Daniyal demi menjaga rahasianya tetap tersembunyi. Kini, Elka menjalani hidup dengan segala peraturan yang Daniyal beri kepadanya. Dia bak burung terpenjara.
"Malam nanti, pakailah gaun yang Karol siapkan. Dia akan mendandanimu." Dalam sekejab, intonasi Daniyal berubah tajam.
Elka juga tidak menjawab. Dia tahu maksud kalimat barusan. Elka merasa sangat bersalah pada Rafael karena memiliki Ibu sepertinya. Tak pernah sekalipun ia berpikir kehidupan yang dia beri pada Rafael dapat membawa petaka yang bersembunyi dalam bom waktu.
"Aku tidak akan membiarkanmu hidup dalam kedamaian bila semua rencanaku berantakan. Kita sudah bicara soal ini. Dan tugasmu hanya menemaniku. Itu artinya, satu kesalahan kecil yang kau lakukan, menentukan bagaimana nasibmu kedepannya," terang Daniyal penuh peringatan. "Teruslah memupuk dendam. Teruslah membenciku, tapi jangan lupakan fakta bahwa hidupmu ada dalam genggamanku. Aku yang mengendalikan tali kekangnya."
Elka semakin menebalkan wajah tanpa ekspresi hingga Daniyal meliriknya lebih dari tiga detik.
"Aku tidak sedang berbicara dengan patung," ucap Daniyal tajam.
"Jawaban apa yang kamu harapkan?" Elka membalas sinis ucapan pria di sampingnya.
"Ada yang salah dengan otakmu. Bagaimana mungkin kamu menjadi PR di perusahaan sebesar itu dengan mengandalkan kemampuan berpikirmu yang lemah? Bahkan untuk sekadar menanggapi perkataan orang lain, kamu perlu mempertanyakan jawaban yang harusnya kamu pikirkan sendiri pada lawan bicaramu. Sebobrok itukah kinerja HRD di HL Group sampai-sampai manusia dengan kualifikasi buruk sepertimu bisa lolos dari pengamatan mereka?"
"Biar kutambahkan. Keberhasilanku menembus perusahaan itu karena aku pandai menjilat. Aku melakukan banyak hal kotor agar menjadi bagian dari HL Group," pungkas Elka sengaja menantang Daniyal. "Itu kukatakan biar kamu tidak menyesal karena sudah melibatkanku dalam rencanamu. Aku partner ideal. Memenangkan hati orang lain adalah pekerjaan mudah bagiku. Kamu berniat menjadikanku pion untuk menghasut orang lain, bukan?"
Tahu-tahu saja Daniyal melepaskan tawa lantang. "Bagus, aku menyukai tingkat kepercayaan dirimu."
Sinting! Hardik Elka dalam hati.
***
Situasi di kamar Elka cukup lengang. Hanya bunyi AC dan rubik yang saling bergesekan, mengisi kelengangan kamar tersebut. Di tengah ruangan--tempat di mana ranjang Elka berada--Rafael duduk anteng sembari bersandar pada kepala ranjang. Bocah itu sibuk mengutak-atik rubiknya. Gemericik air dari kamar mandi Mamanya tak lantas membuat fokusnya berceceran.
"Lama-lama Mama cemburu sama rubikmu. Padahal Mama pengen ngobrol sama kamu," gerutu Elka setelah menyelesaikan ritual mandinya.
Konsentrasi Rafael terpecah. Dia langsung meletakkan rubiknya--lebih terkesan membuang benda tersebut. Bocah itu segera duduk tegak menghadap Elka yang sedang mengeringkan rambutnya. Rafael meringis kecil. Hanya saja, sepersekian detik kemudian bocah itu cemberut selepas melihat gaun malam semerah darah yang dikenakan Elka.
"It's late, where are you going, Mom?" Rafael turun dari ranjang, berlari kecil ke arah Elka, lalu emeluk pinggang Mamanya posesif.
"Mama mau pergi lagi?" tanya Rafael blak-blakan yang langsung saja membuat Elka tidak enak hati.
Dengan raut bersalahnya, Elka terpaksa mengangguk pelan.
"Perginya bareng Om Daniyal? Lagi? Memangnya masih ada yang perlu diobrolin terkait apa alasan Om Daniyal jemput aku waktu itu? Padahal alasannya simple banget."
Rafael menyerukkan kepala semakin dalam ke perut sang Ibu.
"Aku ikut Om Daniyal karena mau liat koleksi rubik di rumahnya. Kata Om, rubiknya banyak. Terus kenapa aku gak izin pas mau pergi, soalnya El gak mau bangunin Mama yang lagi tidur. Bahkan El gak lama kok di rumah Om Daniyal. Soalnya, Kak Izz ngajak aku pulang ke rumah karena Sus Ami udah selesai masak makan siangnya aku."
"Nah, terus kenapa Mama masih aja ketemuan sama Om Daniyal? Hampir tiap hari lagi. Pas mau berangkat ke kantor, Mama juga pergi dulu ke rumah Om Daniyal buat ambil tas kotak bekal. El tuh bingung, Mama."
Rasa bersalah Elka meningkat pesat dalam sekejab. Cara Rafael mengekspresikan perasaannya menampar Elka telak. Rafael anak yang cerdas. Jadi ia tahu, cepat atau lambat pasti putranya akan memberikan tanggapan atas perilakunya yang jauh dari kata normal.
"Mama pacaran, ya, sama Om Daniyal? Katanya cuma temen."
Elka tidak bisa lebih syok lagi dari ini. Bagaimana bisa Rafael mengartikan interaksinya dengan Daniyal sebagai dua orang yang sedang menjalin kasih? Astaga, ternyata dia sudah berperilaku amat keliru di hadapan putranya sendiri. Betapa malunya dia!
"Kalau benar pacaran, nanti Mama sama Om Daniyal bakal nikah dong. Terus El punya Papa sungguhan. Hmm ... oke. El setuju."
Gelengan panik yang Elka lakukan, tak diperhatikan oleh Rafael. Menambah kekalutan sang Ibu.
"Mama tahu, 'kan, ya, aku sering cerita tentang temen-temen yang punya Papa. Mereka kalau pulang sekolah kadang suka digendong di pundak. Atau sering diajak mancing ikan, terus tidur di tenda dekat danau kalau udah malam. Seru, 'kan? El juga pengen ngerasain itu."
Napas hangat Rafael berembus pelan di perut Elka.
"Tapi bukan berarti aku gak bisa lakuin itu semua bareng Mama atau Sus Ami. Hanya saja, kadang aku iri dan sering ngebayangin kalau El bisa begitu juga kalau seandainya punya Papa. Sayangnya, Papa udah bahagia di surga," aku Rafael murung. Di wajahnya tampak jelas raut sendu yang mampu mengekspresikan perasaan sedih terdalamnya.
"Tapi El tahu kok, nanti kalau Mama nikah sama Om Daniyal, kalian gak akan lupain aku. Walaupun temen-temenku yang punya adik bayi sering bilang kalau mereka nggak suka sama adiknya karena Mama Papanya lebih perhatian sama si adik bayi itu, El yakin, Mama atau Om Daniyal bakal sayang terus sama aku."
Tunggu, ini imajinasi Rafael sudah tidak terkendali. Elka yang mulanya disesaki oleh rasa bersalah, kini diserang oleh kepanikan!
"Sayang, pertama, Mama nggak pacaran sama Om Daniyal. Dia temen Mama. Temen, nak, temen. Mama pernah bilang, 'kan, beliau cuma teman kampus Mama? Just it," terang Elka lugas. "Kedua, alasan Mama sering ketemuan sama Om Daniyal karena Mama punya pekerjaan yang harus diselesaikan bersamanya. Mama minta maaf kalau interaksi kami bikin kamu nggak nyaman. Cuma yang jelas, apa yang kamu sangkakan tadi, itu sangat keliru, Sayang. Nggak ada yang pacaran. Lagian kamu, ih, masih kecil udah tahu pacar-pacaran. Nggak boleh, Rafael."
El mengerutkan keningnya. "Tapi El nggak masalah kok. El malah suka kalau nantinya Om Daniyal beneran jadi Papa El. Soalnya, Om Daniyal jago main rubik juga. Sama kayak aku dan Mama. Jadinya lengkap dong kita. Satu keluarga bisa main rubik semua," ungkapnya begitu polos.
Wajah Elka kian terasa kaku sekarang. Celakalah dia.
Alasan macam apa itu?!
"Awalnya, aku memang gak suka sama Om Daniyal. Soalnya waktu itu, dia pernah bilang kalau Mama bakalan direbut dari aku. Makanya El marah, tapi lama kelamaan aku tahu kalau Om Daniyal nggak jahat. Buktinya, dia gendong Mama waktu Mama pingsan. Terus El juga selalu diajak main rubik. Sampai dikasih rubik segala lagi." El menatap rubik berbentuk Ufo yang terletak di atas ranjang Elka.
Telinga Elka rasanya pengang mendengar kata rubik berulang kali terucap dari bibir putranya. Namun, yang menarik fokusnya adalah perkataan Rafael mengenai Daniyal yang akan merebutnya dari sang Putra.
"Kapan Om Daniyal pernah bilang kalau Mama mau direbut dari kamu?"
"Yang waktu El mau ke sekolah, terus Mama nggak bisa antar karena Om Daniyal datang bertamu. Waktu itu, 'kan, Sus Ami manggil Mama, terus aku ditinggalin sendirian bareng Om Daniyal di ruang tamu. Eh, tahu-tahunya, dia bilang bakal rebut Mama dari aku dong. El sebel banget waktu itu."
Elka ingat. Itu di hari yang sama ketika Daniyal mengundang mereka makan malam.
"Dan kenapa kamu masih mau pergi ke rumahnya untuk ikutan dinner? Padahal katanya kamu gak suka sama dia."
Rafael sekonyong-konyong melebarkan senyum sehingga memancing tatapan penuh selidik dari Elka. Tolong, jangan bilang kalau itu gara-gara ....
"Kata Kak Izz, Om Daniyal suka main rubik juga. Makanya aku ikut ke situ pas mereka nyiapin makan malam. Bahkan Om Daniyal sempat tanding bareng aku lhoo sebelum dia masak. Dan ... aku kalah. Nggak wajar banget sebenarnya, aku mana mau terima kekalahanku. Itulah sebabnya, aku berencana menunggu sampai makan malam selesai, baru aku ajak Om Daniyal tanding ulang. Eh, nggak tahunya Mama pingsan."
Tatapan tanpa daya, segera Elka layangkan pada sang Putra. Dia berhasil dibuat kelu dengan alasan polos Rafael barusan.
"Mama tahu, 'kan, kalau Om Daniyal orang baik?"
Belum sempat Elka menggeleng untuk membalas ucapan Rafael, bocah itu langsung melanjutkan perkataannya lagi.
Daniyal? Baik? Yang benar saja.
"Orang baik itu orang yang murah hati. Jadi aku yakin kalau aku ikut Mama, pasti diizinin Om Daniyal. El juga pengen keluar bareng kalian. Aku mau jalan-jalan juga, bosan di rumah terus. Belakangan ini, Mama jarang ajak aku keluar, biasanya cuma Sus Ami doang yang pergi bareng aku. Tapi gak apa-apa, aku paham kalau Mama sibuk kerja karena nggak ingin aku hidup susah. Jadi ... aku harus pakai baju seperti apa malam ini?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro