11 | Lamaran Yasa
"Tertarik mengikuti kisah selanjutnya, Putri?"
Daniyal memandang prihatin pada perempuan yang larut dalam sedu di depannya.
"Elka, kenaifanmu adalah hal menggelikan. Mengandalkan Glori untuk menyembunyikan kasus sebesar ini adalah sebuah kesalahan. Kalian terlalu fokus pada hal-hal besar sampai melupakan perkara kecil yang dapat meruntuhkan pondasi kejahatan yang susah payah kalian susun. Tapi walaupun begitu, saya tetap berterima kasih pada Glori. Berkat ponselnya, saya bisa mengetahui percakapan kalian."
"Ka-kamu masih menyadap ponsel Glori?" Elka bertarung melawan isaknya yang semakin sulit ia kendalikan. "Kamu berjanji akan berhenti melakukannya!"
"Silly you. Meyakini perkataan saya sama saja dengan misi bunuh diri. Ayolah, Elka, kamu tidak senaif itu, 'kan?"
Elka memejamkan mata kuat-kuat. Ia menutup mulut dengan kedua tangannya yang bergetar. Perasaan bagai dikuliti ini begitu menyakitkan.
"Ya, ya, menangislah karena hanya itu yang bisa kamu andalkan sekarang. Wajah memang topeng terbaik. Siapa sangka, kamu adalah seorang pembunuh? Sebenarnya, saya juga tak ingin menimbulkan konfrontasi, tapi karena kamu terus saja menolak permintaan saya di saat saya masih berbicara secara baik-baik, saya pikir kesempatanmu untuk menyembunyikan kasus ini sudah sepenuhnya sirna."
Elka kembali membuka mata, ia menatap gelisah ke arah Daniyal. Netranya tak lepas dari gerak tubuh laki-laki itu, takut bila sewaktu-waktu Daniyal menghubungi pihak kepolisian dalam sekali kedip.
Tidak, sekarang bukanlah waktunya larut dalam keterpurukan. Egonya bukan lagi hal yang perlu untuk dipertahankan. Dia tidak mau sampai tertangkap! Dia bersusah payah merangkak sejauh ini demi menata kehidupan terbaik yang bisa dia beri untuk dirinya dan Rafael.
Elka tak akan membiarkan dirinya terpenjara! Terkungkung di balik jeruji besi yang dingin bukanlah destinasi akhir yang hendak ditujunya. Dia ingin hidup bebas. Meskipun itu artinya, ia harus menggadaikan sebagian kebebasan hidupnya pada pria keji seperti Daniyal.
Elka sontak berdiri. Ia melangkah ke arah Daniyal. Matanya masih tak putus memperhatikan gerak tubuh lelaki tersebut. Ketika tiba di hadapan Daniyal, ia langsung merendahkan tubuh. Terdengar bunyi nyaring kala dengkulnya terbentur oleh kerasnya lantai yang semula ia pijak dengan kaki-kaki rengsanya.
Ia bertumpu menggunakan lutut sembari meletakkan tangan di atas paha. Kepasrahan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan situasinya sekarang.
"Apa yang harus saya lakukan? Sa-saya akan melakukan perintahmu, tapi ... tapi saya mohon jangan memberitahu siapa pun mengenai informasi itu. Saya bersedia menuruti kemauanmu. Saya bersedia melakukan apa pun."
Gelengan kecil dari Daniyal membuat adrenalin Elka berpacu tanpa kendali. "Time's up," ucapnya dengan bahu terangkat. "Kesempatanmu telah hangus."
"Tidak! Saya tahu kesempatan itu masih terbuka. Kamu tidak mungkin menjebak saya jika bukan karena kamu masih memiliki keyakinan bahwa pada akhirnya, saya akan tetap menyerah seperti sekarang. Saya tahu itu, Daniyal. Trik seperti itu bukan hal baru bagi saya. Katakan ... katakan, apa yang harus saya lakukan agar kamu tetap menyembunyikan rahasia saya?"
Detik itu juga, tawa Daniyal terlepas mengerikan. Dia terlihat gembira setelah mendengar ucapan keputusasaan Elka barusan. Tindakan perempuan yang kini berlutut di hadapannya, benar-benar membawa angin sejuk baginya.
"Luar biasa. Ketajaman pikiranmu memang patut dipuji. Lihat, selama ini saya tidak pernah salah. Bukankah saya sudah pernah mengatakan hal itu? Kita berdua sama saja. Penjahat yang gemar mengenakan topeng. Saya tidak pernah salah menilai orang. Sejak awal, kamu adalah target yang pantas untuk dipertahankan. Bukankah itu lucu? Perempuan yang selama ini selalu lolos dari hukuman karena mengandalkan otak manipulatifnya untuk membuat orang lain iba dengan dirinya, kini merangkak di bawah kaki saya agar kebahagiaan semu yang susah payah ia kais tak sirna begitu saja. Baiklah. Saatnya membahas inti pertemuan kita. Siap mendengar tugas pertamamu?"
"Cepetan! Lelet banget jadi orang."
"Sabar! Jangan dorong-dorong! Ini lagi ngumpulin keberanian!"
Lamunan Elka terhenti kala mendengar keributan kecil di dekatnya. Dia sedang berada di pantri, menghabiskan sisa makan siang yang tak sempat ia tandaskan karena selera makannya lenyap usai sang bos mengomelinya siang tadi.
Keinginannya untuk menyelesaikan sesi makan siang semakin diperkeruh usai mengulik kembali ingatan pedih yang terus menyerangnya mengenai kejadian di rumah Daniyal lima hari lalu.
Dia terus memikirkan itu. Bagaimana dia menangis, memohon tanpa harga diri, layaknya manusia hina.
"Duduk aja," titah Elka menetralkan ekspresi wajahnya yang mulanya muram ketika mendapati keberadaan Yasa dan Jahira. "Duduk, Ra."
Jahira yang ditemani Yasa untuk meminta maaf pada Elka, buntut perkara siang tadi, terkesiap akan suara tenang Elka. Dia pun buru-buru mengikuti perintah yang dititahkan kepadanya tanpa banyak berpikir.
"Jahira doang yang disuruh duduk?" tanya Yasa bak anak kecil yang merajuk. Menempati salah satu kursi yang mengelilingi meja, ia duduk menghadap Jahira dan Elka. "Gimana tadi meeting sama Vega Media?"
"Lancar," ujar Elka sekenanya. "Javis ke mana?"
"Mall PI. Katanya doi stay di situ sampai pulang nanti, mau meeting bareng vendor teknis. Felicity Fest udah di depan mata."
Jahira berdehem usai Yasa berbicara. Terima kasih pada Yasa yang sudah berbasa-basi dengan Elka. Sekarang adalah gilirannya untuk mengutarakan maksud serta tujuan kedatangannya ke sini.
"A-anu, Mbak, gue mau minta maaf. Gue udah keterlaluan."
"Lo nggak salah. Sorry, tadi gue agak berlebihan," sanggah Elka.
Kesalahan tidak ditimbulkan Jahira, melainkan oleh dirinya. Elka menyadari itu. Bahkan jika seandainya 'masalah' adalah 'manusia', maka Elka merupakan perwujudan yang tepat dari masalah itu sendiri. Dia masalah yang hidup, masalah yang terus saja mengotori bumi.
"Nggak, Mbak, gue emang salah kok." Jahira menggelengkan kepala, melambaikan tangan di depan dada. "Gue minta maaf, harusnya tadi gue baca situasi sebelum bertingkah."
Elka mengedik dan berkata, "Then, case closed." Ia sudah terlalu capek menanggapi orang lain.
Yasa dan Jahira tahu-tahu saja saling tatap, disertai sorot tanya.
"Gue ... mau nanya, boleh?" ucap Jahira beringsut mendekati Elka.
"Tanya aja."
Jahira meringis. "Lo beneran baik-baik saja? Bukan bermaksud ikut campur, tapi lo beneran keliatan muram akhir-akhir ini. Hati gue nyut-nyutan liat lo kayak nggak punya semangat hidup gini, Mbak."
Elka memegang kuat-kuat sendok yang ia genggam. Menyadari bahwa kemampuannya dalam menjaga ekspresi agar tetap netral telah benar-benar cacat, ia tersenyum getir. Hancur sudah semua usaha kerasnya. Dia berhasil dibuat tak berdaya oleh Daniyal.
"Apa gue terlihat gak baik-baik saja?" Dia bertanya balik, memandang nanar pada kotak bekal berwarna putih di depannya.
"Serius lo nanya?" imbuh Yasa tak percaya. "Lo berubah, Ka."
"Ultramen?"
"Godzilla," dengkus Yasa. "Kata lo kita keluarga. Bukankah keluarga harusnya berbagi cerita?"
Helaan napas panjang Elka embuskan. Andai mereka tahu apa yang kini berkecamuk di otaknya, mungkin Yasa dan Jahira akan dibuat syok sampai terkencing-kencing. Namun, tidak, ia tak akan melibatkan siapa pun dalam kelumit hidupnya. Sudah cukup rasanya menyeret banyak orang untuk ikut mengecap takdir buruk yang ia miliki.
"Lagi suntuk doang ama kerjaan, di rumah juga sama. Lebih ke mood swing, sih. But i'm good," aku Elka dibumbui dusta.
"Mood swing? Hamil lo?" ucap Yasa terbelalak. Ia refleks menggebrak meja.
"Si ogeb! Lo pikir mood swing cuma sama Ibu hamil doang?"
"Kakak tiri gue yang lagi hamil gitu kok. Habis ngomel-ngomel, semenit kemudian ketawa-ketawa kayak nenek lampir. Seisi rumah dibuat capek sama kelakuan dia. Belum lagi kalau ngidam nggak diturutin, satu kompleks dibikin geger sama tangisan dia. Bukan gue yang ngalamin, tapi hormon kehamilan beneran nyeremin. Makanya gue selalu main aman biar nggak nyembur sembarangan. Baru jadi janin udah ngerepotin banyak orang. Gimana pas lahir nanti coba?"
"You filthy bastard! Don’t you dare compare your depraved behavior to a married couple who have a child the right way! And a child is not a burden! Drill that into your dirty, thick skull!"
"Sinis amat, gue nanya doang padahal."
"Pertanyaan lo nggak mutu! Mulut lo dikunci deh sebelum gue robek."
"Enak aja. Berharga ini mulut gue. Nih mulut bisa bikin cewek lain merem melek."
"Yasa ih! Salah banget gue ajak lo ke sini! Pergi nggak!"
"Ogah. Lo aja sono yang pergi. Mulut lo tuh yang harusnya ditutup. Teriakan lo bikin migrain. Cempreng."
"Sumpah, ya, nih anak satu!"
Adu argumen yang tersaji di hadapan Elka membuatnya terhibur. Dia pun menikmati sisa bekalnya dalam diam. Mungkin, orang lain akan menertawakannya bila mereka tahu bahwa datang ke kantor adalah stress release yang Elka sukai. Sungguh.
Di sini, bersama teman-temannya yang seolah tidak kehabisan ide untuk memancing tawa, adalah satu-satunya tempat yang mampu membuat Elka menandaskan dahaga atas ketenangan hati yang begitu ia damba.
Dan mungkin, semua kebahagiaan ini tidak lama lagi akan segera lenyap. Yang mana artinya, Elka benar-benar akan kehilangan tempat untuk melepas stres.
"Mau sampai kapan lo bengong?"
Elka terkesiap atas ucapan Yasa yang agak nyaring. Kapan mereka sudah berhenti berdebat? Apakah dia lagi-lagi termenung? Sadar bahwa fokusnya terus bermasalah--bukan hanya hari ini saja--dada Elka berdesir tidak nyaman.
"Jadi, ada apa dengan lo, Elka?"
Kali ini, suara Yasa terdengar berbeda. Ada nada tajam yang terselip dari kata-katanya. Laki-laki ini memang ahlinya bertingkah konyol, tetapi pada waktu-waktu tertentu, Yasa bisa menjadi manusia yang harus dihindari bila tak ingin berakhir dengan banjir air mata.
Elka sadar betul teman-temannya berharap dia mencurahkan kemelut yang beberapa hari ini mengganggunya. Enam tahun saling mengenal, membuat mereka memiliki ikatan emosional yang cukup erat. Ya, setidaknya, perasaan seperti itulah yang ia rasakan terhadap mereka. Dia tak tahu bagaimana Yasa, Javis dan Jahira memandangnya selama ini bila menilik pribadinya yang cenderung tertutup untuk urusan personalnya.
Elka yang mereka kenal selama ini, adalah Elka yang gemar mengenakan topeng. Di saat Yasa, Jahira, dan Javis secara transparan menunjukkan orang seperti apa mereka, dia adalah satu-satunya yang memasang tembok pembatas. Tidak ada yang patut dibenarkan dari sikapnya. Dia manusia egois, Elka tahu itu.
Terhitung sejak tujuh tahun lamanya, ia tak lagi memiliki keahlian untuk membuka diri. Bahkan pada Glori yang notabene nyaris sebelas tahun mengenalnya, belum sepenuhnya menjadi 'rumah' bagi Elka.
Dia terdengar angkuh bukan? Dia memang harus seperti ini jika tak ingin menggadaikan kebahagiannya sendiri.
Elka memiliki ketakutan besar. Untuk itulah, dia enggan menukar perasaan aman yang ia rasakan bersama orang-orang ini dengan keterbukaannya pada mereka. Imbasnya bisa sangat fatal dan berada di luar kendalinya sebagai perempuan yang sebenarnya rapuh bak daun kering, siap terseret oleh embusan angin terkecil sekali pun.
Bukan perkara mudah melanjutkan hidup di saat ia sadar bahwa hanya sedikit manusia yang peduli kepadanya. Sehingganya, dia lebih memilih memasang tembok tersebut demi membuatnya berada dalam zona aman. Tidak semua orang harus paham akan deritanya. Selama mereka tetap membersamainya dengan sebagaimana dirinya sekarang, maka itu cukup bagi Elka.
"Tadi gue udah bilang, gue lagi suntuk sama kerjaan."
Yasa terkekeh sarkastis. "Lo selalu begini, 'kan? Nyembunyiin sesuatu yang sebenarnya bisa lo ceritain sama kita-kita. Seenggak percaya itukah lo sama kita bertiga? Terus, gunanya kita kenal enam tahun, apa coba? Tahu gini, sejak awal gue nggak usah kenal lo aja."
Elka terhenyak. Meskipun tahu Yasa akan bereaksi demikian, dia tetap saja terkejut.
"Yas." Jahira mengingatkan Yasa. Dia pun sama terkejutnya atas kefrontalan teman lelakinya itu.
Mendapati Elka kembali digelung kelu, Yasa meraup udara di sekitarnya dengan tarikan rakus.
"Gue gak akan maksa lo ngomong. Tenang saja," ucap Yasa yang sudah kembali melunak. Namun, ekspresi geramnya gagal ia tutupi. "Tapi paling tidak, lo paham kenapa gue sampai meribetkan hal kayak gini. Gue juga tahu setiap masalah nggak melulu harus diceritakan sama orang lain. Hanya saja, kalau lo biarin diri lo disetir oleh konflik, padahal konflik itu bisa diceritain ke orang lain untuk sama-sama dicari jalan keluarnya, gue pikir sudah saatnya lo berhenti menyiksa diri. Karena setangguh apa pun manusia, dia tetap butuh sandaran untuk sekadar lepasin lara."
Hening, Jahira sendiri juga takut bersuara. Mengapa Yasa jadi sensitif begini?! Dia lebih suka Yasa yang cerewet dengan banyolan kocaknya!
"Gue ngomong gini karena gue peduli, Elka. I really care about you both. It hurts to see either of you hurt because women shouldn't have to carry scars. You deserve tons of love and tenderness. I just want to take care of you, so you know the world's a safe place where you can walk freely without fear."
"Kita kenal udah berapa lama, sih? Enam tahun? Bukankah itu waktu yang tergolong lama? Temen gue bertambah banyak, tapi yang gue anggap keluarga, bahkan lebih dari esensi keluarga itu sendiri, cuma bisa dihitung pake jari di satu tangan doang. Dan lo sama Jahira, termasuk di dalamnya."
"Yas ... gue ...."
Yasa menggeleng pelan. "Sudah gue bilang, bukan? Gue nggak bakal maksa lo cerita sekarang. Jangan hanya karena lo nggak enak sama kita, terlebih setelah gue ngomong kayak barusan, akhirnya lo terpaksa cerita. Aturan mainnya bukan seperti itu, Elka. Lo cerita, hanya ketika lo siap. Di saat lo sudah benar-benar percaya kalau kita bertiga adalah orang-orang yang tepat untuk lo jadikan tumpuan. Orang-orang yang bisa diandalkan untuk mengurai benang kusut di hidup lo. Bukan hanya di lingkup kantor doang, tapi juga di ranah kehidupan pribadi lo. Jujur, lo yang terlalu tertutup lama-lama bikin muak. Maaf kalau ucapan gue barusan nyinggung perasaan lo."
"Nggak, Yas, nggak ada yang salah dengan ucapan lo." Elka berujar pelan. Dia membuka mulut, hendak mengucapkan sesuatu, tetapi sejurus kemudian kembali merekatkan bibir sambil disertai helaan napas pendek.
Mereka terdiam lama setelahnya. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Kayaknya cocok juga kalau gue jadi penyidik. Keren, 'kan? Lo berdua ampe tegang gini." Yasa segera memutus hening. Dia menatap Elka dengan sorot jail, dan menendang-nendang kecil kaki Jahira di bawah meja. Sejak tadi, gadis itu menyimak dalam diam, tapi ketegangan terpancar jelas dari irasnya. Katakanlah ia cengeng, tapi sungguh, ia akan menangis jika lebih lama lagi terjebak dalam situasi kompleks yang Yasa ciptakan.
"Nggak, Mbak, marahin aja si Yasa. Kerasa banget, 'kan, pressure dari dia? Omelin balik, Mbak. Kasih pelajaran." Jahira beringsut memeluk pinggang Elka, coba menghindari sepatu Yasa yang dibenturkan pada pumps miliknya. "Ih! Jauh-jauh sana!"
"Gue gitu karena gue sayang sama lo berdua! Sulit bener jadi laki," decak Yasa gemas sendiri.
"Jangan sayang sayangin gue! Gue udah punya calon suami!" jerit Jahira sengit.
"Halah, belum aja dia gue ajak nongki supaya bikin dia sadar dan punya kesempatan untuk kabur dari nenek lampir tukang jambak kayak lo."
"Bilang aja lo posesif ama gue!"
"Dih. Amit-amit."
"Gimana, sih?! Tadi lo bilang lo sayang sama gue!"
"Ya udah mau pake adat apa pas kita nikah?"
"Bisa kasih mahar berapa emang? Udah kere, banyak omong pula!"
"Satu bumi gue kasih, Ra! Khusus buat lo seorang. Mau gue ambilin sekarang? Ayo!" Yasa menarik lengan Jahira dan segera terlepas setelah gadis itu menepisnya.
"Apaan, sih! Mo ngajak gue kawin lari, hah?!"
"Ngapain kawin sambil lari-lari? Mana puas!"
"Yasa!"
"Apa?! Lo nuntut mahar, 'kan? Ya udah ayo ke toko!"
"Ngapain ke toko?"
"Beli globe-lah! Apa lagi?"
Detik itu juga, tawa Elka menyembur. Yasa sialan! Dia memang tidak diberi kesempatan untuk larut dalam lara. Rasanya seakan beban di benaknya mulai memudar. Dia terus mengumbar tawa, merekam momen syahdu ini dalam otaknya yang kemudian disimpan dalam memori kebahagiaan yang sudah berkarat lantaran tak ada pasokan kegembiraan yang dia rasakan akhir-akhir ini.
Elka mengira tawanya akan awet hingga dia pulang kantor nanti. Nyatanya, dia lupa akan fakta bahwa badai besar tengah menuju kearahnya. Siap meluluhlantakkan hidupnya dalam sekejab. Sekali lagi dia lupa bahwa kini, ia telah sepenuhnya terpenjara, tak peduli sekeras apa pun usahanya untuk melarikan diri atau sekadar mengambil rehat walau hanya beberapa saat saja, Daniyal tak akan membiarkannya merasakan kedamaian hidup.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro