Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10 | Milik Daniyal

"Elka kenapa coba? Pendiem banget akhir-akhir ini. Jadi gak enak mau recokin dia." Yasa berdecak gusar setelah menandaskan makan siangnya. Sejak tadi, dia terus memikirkan tingkah Elka yang tidak biasa sejak lima hari belakangan. Dia memandang Javis dan Jahira dengan sorot tanya.

Ketiganya sengaja menempati meja kantin paling ujung yang sedikit terisolasi dari meja-meja lain agar dapat mengobrol lebih leluasa. Terdapat partisi besar yang memisahkan tempat yang kini mereka duduki dengan meja lain. Semedi corner--begitulah sebutan tempat ini. Terima kasih pada Jahira yang sudah lebih dulu menguasai meja ini dari incaran karyawan lain selagi Yasa dan Javis memesan makanan.

Kantin cafe yang terletak di lantai empat gedung Wisma Lateef--sebutan untuk head office HL--memang terasa lebih ramai dari biasanya. Anak-anak PKL yang melakukan magang di perusahaan ini juga ikut menyesaki kantin. Tak pelak, hal itu membuat suasana di sini menjadi cukup riuh. Obrolan demi obrolan dari tiap meja, menjadi tumpang tindih. Hanya di area ujung kantin inilah spot terbaik untuk mengobrol tanpa khawatir isi obrolan mereka akan terdengar oleh meja sebelah.

"Nggak usah ganggu dia. Biarin sendiri dulu." Javis menimpali perkataan Yasa. Tangan kanannya menggoyangkan isi kaleng kopinya yang tinggal tersisa sedikit.

"Mau sampai kapan? Sekarang aja, dia gak ikut maksi bareng kita-kita. Malah mendekam di ruangan. Dia mendadak aneh semenjak meeting waktu itu, yang pas Bu Karlina negur dia." Yasa mengutarakan prasangkanya. "Dan lagi, sejak kapan Elka demen bawa bekal?"

"Keknya doi lagi nerapin frugal living dan less waste lifestyle deh." Jahira menjentikkan jari, seolah jalan pikirannya baru saja terbuka.

"Frugal living apaan kalau isi bekalnya menu resto mulu? Lebih mewah bekal dia dong dibanding soto gue tadi," sahut Yasa memasang tampang masam.

"Kira-kira Mbak Elka bangun jam berapa, ya, buat nyiapin makanan se-effort itu?" ucap Jahira bertanya-tanya, mengabaikan perkataan Yasa. "Tapi gue ragu kalau yang masak itu beneran dia sendiri. Secara, dia cuma pinter masak nasi goreng dan beberapa menu olahan ayam yang bisa dimasak pake bumbu instan doang. Ama ada tuh, apa ya, namanya? Oh! Ayam iloni! Itu doang yang dia tahu. Nah terus pertanyaannya ... siapa dong yang masakin Mbak Elka?"

"Irt-nya kali."

"Irt-nya sekolah koki ampe bisa bikin western food? Keren banget kalau gitu." Jahira berdecak sarkastis. "Tapi menurut gue, Mbak Elka kayaknya dimasakin pasangan dia deh. Pasti bule. Kan dia sering tuh, meeting bareng klien bule ama Bu Karlina, pasti ada-lah yang kecantol ama kecantikan Mbak Elka."

"Ngaco. Omongan lo ke mana-mana."

"Nebak doang gue, Yas. Who knows dia emang punya cowok bule."

"Ini nih, efek kebanyakan nontonin soap opera gak mutu. Logika lo tercemar."

Tanggapan Yasa membuat Jahira menekuk wajahnya hingga ke tahap ekstrem.

"Lagian ngapain, sih, kita bahas bekal Mbak Elka?" ujar Jahira nelangsa. "Concern kita sekarang tentang dia yang akhir-akhir ini berubah. Ke mana perginya Mbak Elka gue yang asik?"

"Udahlah, buat apa juga diribetin? Nanti juga balik lagi ke setelan awal. Banyak pikiran kali dia." Javis meletakkan kaleng kopi di atas meja setelah menenggak habis sisanya. Sejak tadi, ia diam saja mendengar pembahasan Jahira dan Yasa mengenai bekal Elka yang menimbulkan spekulasi-spekulasi tidak mendasar.

"Ya tapi mau sampai kapan coba, Vis? Masalahnya, dia udah kayak gitu dari lima hari lalu! Gemes gue tuh. Pas ditanya kondisinya oke apa enggak, dia malah ngalihin topik mulu. Aneh, 'kan? Kayak lagi nyembunyiin sesuatu. I smell a rat!" Jahira menyeruput jus melonnya kuat-kuat sambil mendelik pada Yasa. "Ngaku gak, lo ada bikin salah sama Mbak Elka? Soalnya yang biasa jahilin dia cuma elo!"

Yasa melotot tak terima atas tuduhan Jahira yang datang tiba-tiba. "Sembarangan! Gini, nih, tanda-tanda akhir zaman. Fitnah merajalela."

"Berdasarkan analisis fakta lapangan kok. Situ emang biang onar!" balas Jahira sewot.

"Bener, Yas? Lo bikin salah sama Elka?" Javis bertanya, ikut menyudutkan Yasa yang kini memasang tampang tak percaya pada dua temannya.

"Taii taii," desis Yasa sembari menggaruk pelipisnya dengan dua jari tengah. "Nggak seneng hidup lu berdua kalau sehari aja gak bikin gue hipertensi?"

Spontan, gelak puas terlepas dari dua orang yang sengaja memancing emosi Yasa tersebut.

"Terus ... kenapa dong Mbak Elka?" Jahira menumpukan pipinya di atas meja kantin tanpa peduli pada kebersihan meja tersebut. Dua tangannya menjuntai lemas ke bawah meja, barayun lemah mengikuti sapuan angin. "Kalau dipikir-pikir selama gue kenal Mbak Elka, dia jarang banget keliatan ada masalah. Baru kali ini dia nunjukin kalau hidupnya lagi gak baik-baik saja. Padahal, kemarin-kemarin hidupnya semulus dempul Laras anak LL."

"Kadang gue ampe mikir gini, nih orang apa nggak kebagian stok ujian hidup kali, ya, pas Tuhan lagi bagi-bagiin itu ke manusia? With a killer career, fat bank account, banging body, and that face. She's got everything corporate chicks dream of. She's like a goddess, too good to be true. Too precious to miss out on. Gue aja demen liatin Mbak Elka. Cantiknya tumpah-tumpah, persis kayak Velove Vexia."

"Mau nge-yuri lo?" goda Yasa.

"Tolol! Muji! Gue muji, bego!"

Dua pria di hadapan Jahira menyemburkan tawa lepas.

"Cuma gue heran, kok ampe sekarang dia gak pernah ngenalin pasangannya ke kita-kita, ya?"

"Situ ke mana aja? Sejak kapan Elka pernah terbuka? Di antara kita semua, dia paling tertutup soal kehidupan dia. Emang lo pernah denger doi ngomong soal keluarga atau pasangan? Atau hal paling kecil deh. Lo pernah diajak main ke rumah dia?" kata Yasa usai meredakan tawa.

"Iya, sih, sebenarnya gue dah lama kepikiran soal itu. Kirain, cuma gue doang yang ngeh." Jahira memperbaiki posisi duduknya menjadi tegak. "Selama ini, gue cuma tahu Mbak Elka rumahnya di daerah Kemang, tapi gak pernah tuh gue diajak main ke situ. Paling banter diajak ngopi cantik bareng sahabatnya doang, Ibu Glori, di PI. But still, it didn't make me complacent. She was so closed off that I often felt distant from her. Gue merasa dia pure menganggap kita sebagai rekan kantor yang pertaliannya berdiri di atas hubungan profesional doang."

"Even for basic stuff like bikin status WA yang unrelated to work, she hardly ever posts them on her personal acc. Biasanya, dia bikin status tentang kerjaan doang. Ya ... she doesn’t gotta post about her life 24/7, but at least she could let us know what she’s up to at home, where she’s heading, or who she’s kicking it with. You know, that kinda stuff. Jangan kerjaan mulu yang di post. Monoton jadinyaaa. Gue juga sadar kok, ada hal yang nggak perlu diketahui orang lain tentang hidup kita. Cuma, untuk kasus Mbak Elka lain cerita. Masalahnya, dia terlalu tertutup!"

"Lo harapin apa dari PR? Handle privasi perusahaan aja dia jagonya, apa lagi nyembunyiin privasi diri sendiri. Terlebih yang kita omongin sekarang sosok Elka Dyatmika. Orang yang isi kepalanya sulit ditebak. Rumit. Enam tahun kenal dia, Elka konsisten menutup diri kalau udah urusannya dengan kehidupan dia di luar kantor. Aneh juga kalau dipikir-pikir, enam tahun lho. Harusnya itu bukan waktu singkat untuk bikin kita saling mengenal lebih dalam dan terbuka satu sama lain." Yasa mengusap dagunya pelan. Matanya menatap ke langit-langit kantin, coba mengulik kembali bagaimana interaksinya dengan Elka sejak mengenal perempuan itu selama enam tahun belakangan.

"Gue rasa nggak penting-penting amat bagi Elka untuk lakuin hal yang kalian omongin barusan. Pasti ada alasan tersendiri kenapa dia gak pernah omongin tentang keluarga atau gimana kehidupan yang dia miliki di luar kantor sama kita." Javis memberi pembanding logis atas keluhan dua temannya.

"Gue, lo berdua, siapa pun itu, pasti punya hal-hal yang akan selalu dijadikan privasi, tanpa sedikit pun tersentuh oleh orang lain, tersembunyi rapat-rapat dari jangkauan dunia luar. Dan untuk Elka, kehidupan pribadinya adalah hal yang gak ingin dia ekspose. Nggak usah mempertanyakan apa alasan dia karena notabene, kita memang individu yang asing satu sama lain."

"Lagi pula, esensinya apa coba untuk kita tahu soal keluarga dia? Atau kayak yang lo bilang, Ra, isi status dia yang monoton bikin lo gumoh. Padahal emang si Elkanya aja yang males nge-status gak jelas. Her gig's in PR, but let's be real, we all know Elka's as stiff as a board. Her brain's too lazy to bother telling her to whip up those petty statuses," tandas Javis lagi-lagi mengangkat sudut pandang berbeda.

"Kayak lo paling tahu si Elka aja. Gue setuju kok sama kata-kata Jahira. Elka sepertinya nganggep kita rekan kerja doang."

"Lo cinta sama Elka? Berharap hubungan lebih dari dia?" tanya Javis membelokkan maksud perkataan Yasa dalam sekali bidikan.

"Man ... man, you're trippin'! Nah, not at all!"

Javis terkekeh dan berkata, "So what's the deal, then? I don't see anything wrong with keeping it strictly professional."

"Vis, gue udah ditahap sayang dan nyaman banget sama Mbak Elka. Ngerti nggak, sih, maksud gue? Kayak, gak rela aja gituu kalau dia anggep gue cuma sebatas temen kantor doang. Padahal, gue menganggap dia dah seperti keluarga sendiri. Kayak sodara kandung malah. Bahkan kalau ditanya lebih sayang mana antara sodara sendiri atau Mbak Elka, gue dengan kesadaran penuh bakal jeritin nama Mbak Elka ketimbang saudara-saudara kandung gue yang kelakuannya nyaingin iblis."

"Kalian protes gih sama dia. Gue gak bisa kasih tanggapan lagi." Kedua tangan Javis terangkat di depan dada, disusul oleh gelengan pelan kepalanya.

"Yang ada, doi makin defensif kalau kita tanyain soal itu," imbuh Jahira, bahunya terkulai lesu. Desah lara terlolos dari birai tipisnya.

"Jadi?"

"Nggak tahu. Pusing, pengen dipiara sugar daddy." Jahira sontak membenturkan kepala pada permukaan meja. Ia heran, mengapa akhir-akhir ini masalah silih berganti menimpa orang-orang terfavoritnya. "Urusan si ganteng Daniyal aja belom kelar-kelar, eh, ini Mbak Elka nambah beban pikiran gue. Kok bisa mereka kompak bikin heboh gini. Puyeng jadinya."

Javis terkekeh rendah atas keluhan Jahira.

"Siapa Daniyal? Pacar, mantan, atau partner FWB-an lo?" Yasa yang duduk di samping Jahira, menelengkan kepala agar bisa menatap wajah frustrasi wanita itu secara jelas.

"Berisik banget lo bekantan!" sentak Jahira geram. Amarahya tersulut mendengar omongan nyeleneh Yasa. Namun, sejurus kemudian, ia kembali memasang raut tertekan usai teringat kabar terbaru mengenai public figure idolanya itu. "Daniyal dirumorkan bakal berhenti jadi jangkar berita, dan dari kemarin dia udah nggak siaran juga. Terus, gue gimana dong? Alasan gue masih mantengin teve pagi-pagi karena dia nongol di situ. Gak ada yang bisa gantiin dia. Pria karismatik paling keren seindo, cakepnya tumpah-tumpah. Mana cowok di sekitar gue kayak sikat wc lagi. Apes!"

"Dia yang katanya cucu bos RoLa?" Javis bersandar ke bahu kursi sembari bersedekap. "Yang news anchor itu, bukan?"

"Hu'um. Doi katanya mau rehat dari dunia jurnalisme, tapi dari pihak dia nggak ada klarifikasi jelas. Minim transparansi. Nyesek banget gue tuuuh! Ditambah, Instagram dia dari dulu di private." Di sela nestapa yang kini merundungnya, Jahira mendadak teringat pada bosnya yang juga merupakan penggemar Daniyal. "Saran gue, lo berdua jangan bertingkah hari ini. Yakin, sih, mood Bu Karlina lagi ancur-ancurnya. Ralat, semua fans Daniyal lagi di mode senggol bacok."

"Siapa yang lo sebut sikat wc? Muka cakep gini dikatain. Gue kurang apa coba, Ra? Udah mah ganteng, dompet tebel, dan yang pasti raja di ranjang! Harusnya lo bersyukur karena dipertemukan sama cowok sekeren gue," ungkap Yasa percaya diri mengumbar kebisaan yang ia miliki. Dadanya membusung angkuh.

Kian terganggu dengan ocehan sampah Yasa, Jahira bergerak gesit menjambak rambut lebat lelaki itu tanpa belas kasih sedikit pun.

"Gue tumpahin sisa kuah soto ini, mau?" Dengan satu tangannya yang kosong, Jahira mengangkat baskom soto yang ia gunakan tadi. Matanya melotot garang, menguarkan kesungguhan atas perkataan yang baru saja ia sampaikan.

"Sakit, Ra! Belum apa-apa udah KDRT. Demen banget nyiksa gue. Situ masokhis?" ledek Yasa tidak kehabisan ide untuk memancing amarah teman perempuan yang kini memandangnya dengan tatapan sadis. Ringisnya semakin menjadi kala tarikan pada rambutnya menggila. "Ya udah maaf! Grip lo nggak kira-kira anjir! Rontok pasti rambut gue."

"Bodo!"

Javis biarkan dua temannya bertengkar. Dia menatap sekilas pada jam yang melingkari pergelangan tangannya.

Sudah waktunya. Orang itu pasti sedang menunggu updetan darinya.

"Ayo balik," ajaknya pada dua orang yang sedang bersilat lidah di depannya. Namun, dia langsung teringat akan satu hal sehingga niat awalnya untuk segera kembali ke divisi seketika urung. "Kalian duluan aja."

"Lah, mau ke mana lo?" sungut Yasa sambil memasukkan dompet ke saku celana. Ia mengusap kepalanya yang perih akibat jambakan beringas Jahira.

"Gotta go cop something."

"Gak bisa gitu dong! Kita ke sini bareng-bareng, masa pulangnya kayak tim sar? Gue temenin! Nggak ada yang tahu lo bakal melipir ke divisi lain buat cari mangsa. Gue juga mau kalau gitu!"

Jahira yang tak ingin ambil pusing pada urusan Javis, lantas menarik kerah kemeja Yasa kuat-kuat, memaksa teman sengkleknya itu agar tidak memperpanjang drama. Mau tidak mau, Yasa pun patuh mengikuti si Preman MarCom karena tidak ingin mengorbankan helai rambutnya lagi.

Ketika Javis kembali ke divisi, dia keheranan mendapati tempat tersebut cenderung lengang. Hanya suara keyboard dan AC saja yang mengisi keheningan ruangan. Dahinya berkerut bingung. Tidak biasanya mereka 'setenang' ini. Sangat tidak mungkin duo rusuh akan diam saja bila menyadari ruangan sepi.

Pandangan Javis pun berpendar, melihat ke berbagai sisi. Yasa tampak serius menatap PC-nya. Sementara Jahira, dia sibuk menekuri MacBook miliknya. Sedang rekan kerjanya yang lain juga fokus dengan pekerjaan mereka. Mengapa suasananya tegang sekali? Biasanya, keributan paling kecil yang Yasa dan Jahira lancarkan untuk memecah hening adalah bersenandung lagu-lagu Slipknot versi koplo. Atau bernyanyi lagu Thailand yang Javis ragui keakuratan pelafalan dan artinya.

Karena tidak ingin ambil pusing, Javis akhirnya memilih mengabaikan keanehan yang sedang berlangsung. Dia lalu mendekati meja kerja Elka.

"Pulang nanti, lo mau bareng gue gak?" Javis bertanya setelah meletakkan roti dan hazelnut latte yang biasanya Elka beli selepas makan siang di meja perempuan itu. Bukan tanpa alasan mengapa dia mengajak Elka pulang bersama. Pasalnya, ia tidak melihat keberadaan mobil perempuan ini
di basement.

Elka yang mulanya fokus menekuri layar laptop, langsung terdistraksi oleh eksistensi teman lelakinya yang datang menghampiri. Dia pun menatap nanar pemberian lelaki tersebut.

"Thanks," ucap Elka mengulas senyum tipis. "Ada yang mau lo omongin?"

"Honestly, you seem like you need a buddy to chat with more than I do. Or am I just being silly?" Javis mengedik. "You didn't bring your car either, right? Let's ride together."

Usai mendengar perkataan Javis, Elka sempat terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng pelan.

"I'll just dip by myself, Vis. Thanks for the offer."

Satu kening Javis terangkat, dengan mulut terkulum, dia pun mengangguk. Enggan memaksa Elka untuk menerima tawarannya. Lagi pula, ini bukan hal yang baru. Seperti sebelum-sebelumnya, Javis sudah mengira Elka akan menolak tawarannya untuk pulang bersama. Mungkin konsisten adalah nama tengah perempuan ini.

"Sip," sahut Javis pendek. "Oh, ya, bukannya hari ini lo sama Bu Karlina mau visit ke Mall Citra Lateef?"

"Gue gak ikut. Ada meeting bareng media. Vega Media," imbuh Elka yang sudah kembali menatap layar MacBooknya.

"Rapat?"

"Iya."

"Tentang apa?"

"Masih berkaitan dengan diskusi kita kemarin bareng Bu Karlina."

"I see. Kita fix gandeng Vega Media? Gue pikir HL Group sama RoLa Corp nggak bakal ada kerja sama dalam bentuk apa pun lagi. Udah lama banget dua perusahaan ini gak jalin kerja sama."

Javis teringat selentingan yang hanya diketahui oleh karyawan di lantai Wisma Lateef. Mengenai Hamdan Lateef--Presiden Komisaris HL Group dan orang nomor satu di RoLa Corp yang tidak akur. Kesampingkan fakta bahwa mereka adalah Ibu dan anak. Mengejutkan, bukan? Pola pikir para taipan memang kompleks. Seakan kekayaan bukan tolok ukur kebahagiaan hingga mereka yang bergelar borjuis masih harus saling membenci untuk alasan yang tak akan mungkin dimengerti oleh kaum proletariat seperti dirinya.

"Pak Hamdan sendiri yang langsung ngarahin Bu Bos. Dan katanya, gue harus meeting sama pihak sana hari ini juga," ungkap Elka yang lagi-lagi sudah memaku fokus pada MacBook.

Javis mengeryit. Dia melihat gurat masam terpatri di wajah Elka, akan tetapi ia mengabaikannya.

"Terus, lo ke sana naik apa?"

Ketikan Elka pada tuts terhenti. Ia pun menengadah, mengarahkan atensi sepenuhnya pada Javis sambil menipiskan bibir.

"People can go anywhere with those ride-sharing apps, available 24/7 with just a tap. I'm not that out of touch, Javis. Or maybe you wanna hop in for the meeting, since you're so interested?" Elka memulas senyum simpul di bibir. Jelas sekali senyum tersebut timbul atas dorongan keterpaksaan.

Oke, Elka mulai terganggu dengan kehadirannya. Javis jadi terpancing untuk terkekeh. Kata siapa Elka berubah? Sarkastismenya tak akan pernah luntur.

Akhirnya, lelaki itu menarik diri dari radar Elka. Setidaknya dia cukup puas setelah membuat perempuan yang akhir-akhir ini gemar mengumbar raut suram, menampilkan ekspresi lain selain kemurungan.

Sebelum duduk di mejanya, Javis melirik Yasa. Keadaannya masih sama seperti tadi. Apa yang membuat biang rusuh ini kalem? Didorong oleh naluri penasaran, ia menghampiri meja temannya itu.

"Serius amat." Tepuk Javis di pundak Yasa. Dia lalu menatap pada layar PC yang ternyata menampilkan ruang chat antara Yasa dan Jahira.

Jahira
Asli gue masih syok ampe sekarang!

Yasa
Ye elu, sih, pake mancing Elka bercanda. Kena damprat, 'kan?

Jahira
Mana gue tau Mbak Elka abis dimarahim Bu Bos! Orang tadi kita baru dari kantin! Harus gimana gue, Yas? Takut banget mau minta maaf T_T

Yasa
Ajakin ke Vilton. Gue jamin, amarahnya langsung reda. Percaya ama gue.

Jahira
Tolol jan becanda dulu! Beneran takut gue! Baru kali ini disinisin Mbak Elka😭

Jahira
Gue tadi kelewatan banget, ya?

Yasa
Lumayan.

Jahira
Yas ah!

Jahira
Serius?

Jahira
Serius serius serius?!

Jahira
Huaaaaaa takutttttttttttttt! Tolongin gueeeeee!

"Kenapa emang?" Javis menyenggol bahu Yasa selepas membaca chat terakhir Jahira.

Yasa
Liat ke meja gue. Javis kepo kek buibu rempong.

Yasa kembali mengetikkan pesan pada Jahira.

Javis ikut menatap ke arah meja teman perempuannya yang juga sedang curi-curi pandang ke arah mereka. Sorot mata Jahira seolah tengah meminta pertolongan.

"Lo duduk sana. Entar gue WA."

Mengikuti intruksi Yasa, Javis akhirnya duduk di kursinya sendiri. Dia menyalakan laptop lebih dulu dan langsung membuka WhatsApp. Pesan dari Yasa pun mulai berdatangan secara beruntun.

Yasa
Tadi sebelum kita balik ke divisi, kata Anggi, Elka kena omel bu bos.

Yasa menyebut nama rekan kerja mereka yang mejanya berada dekat dengan ruangan Karlina.

Yasa
Elka ga ngingetin bu bos soal visit ke mall CL. Padahal rencananya, mereka mau meeting bareng Vega Media hari ini. Nah, si Elka ternyata lupa soal rapat itu. Dia kena marahlah. Karena nggak ada pilihan lain, akhirnya bu bos tetep visit ke CL dan Elka yang diutus buat meeting.

Yasa
Bu bos pasti makin bete gara-gara si Daniyal Daniyal itu.

Yasa
Sialnya, pas Jahira sampe divisi, tuh anak dongo malah bikin ulah. Nanyalah dia sama Elka soal bekal yang tadi kita bahas. Dia kepo siapa yang nyiapin itu bekal. Karena Elka nggak gubris, Jahira makin menjadi dong. Lo tau sendiri tuh anak isengnya kek mana. Dia godain Elka. Katanya yang bikinin tuh bekal, pacar Elka.

Yasa
And boom! Mungkin emang si Elkanya lagi bad mood parah, dia negur Jahira. Gak yang gimana-gimana juga, sih. Doi cuma minta Jahira diem, terus nyuruh Jahira balik ke meja dia.

Yasa
Jadi gitu Pak RT ceritanya. Anjir kesannya kek lagi ngerumpi! Dah cocok jadi bapak-bapak pos ronda ga gue?

***

Elka menatap tanpa minat ke arah luar jendela mobil yang kini dia tumpangi. Sejak pulang dari kantor Vega Media, dia tidak banyak bicara. Kesepakatan kerja sama atas iklan yang akan digarap oleh media tersebut telah mencapai kata mufakat. Vega media memang luar biasa. Media besar yang juga mengelola agensi periklanan itu selalu menghasilkan iklan yang tidak hanya berkualitas, tapi juga selalu mendapatkan banyak atensi publik dengan banyak respon positif. Semua iklan mereka dikemas unik dan memberikan kesan membekas pada hati audiens.

Elka hanya berharap, semoga dalam proses penggarapan iklan untuk Mall Citra Lateef yang baru saja selesai direkonstruksi, nantinya mampu menarik banyak pengunjung ke mall yang memang memiliki income paling kecil di antara unit bisnis HL Property lainnya. Ini harus berhasil, mengingat iklan tersebut juga secara khusus diperhatikan oleh Presiden Komisaris HL Group saat ini.

"Tiga puluh menit sebelum pulang kantor, segera hubungi aku."

Elka menjeling pada pria yang duduk di kursi kemudi.

"Ya."

Tidak ada sahutan atas jawaban pendek Elka. Dia kemudian mengambil bedak dari dalam satchel bag miliknya, lalu menyapukan spons bedak pada permukaan wajahnya yang mulai terlihat sedikit kusam. Tak lupa, ia juga memolesi belahan bibirnya dengan gincu berwarna orange peach.

Hari yang melelahkan, juga menguras emosi. Dimulai dari dia lupa mengenai kunjungan yang semestinya ia dan Karlina lakukan ke Mall CL, lalu tentang Jahira yang membuat kepalanya sakit dengan pertanyaan mengenai siapa yang selalu membuatkan bekal makan siangnya.

Kira-kira, akan seperti apa reaksi Jahira bila gadis itu mengetahui orang yang membuatkannya bekal adalah pria yang selama ini ia gandrungi?

Rasanya, Elka ingin tertawa. Tawa pedih memuakkan.

Baru setelah gedung Wisma Lateef terlihat, ia memperbaiki posisi duduknya. Sama seperti tadi, dia akan diturunkan tepat di depan lobi gedung. Mobil mewah lelaki ini nyatanya sangat mencolok. Terbukti dengan beberapa pasang mata yang langsung menyoroti kedatangan mereka.

Fakta bahwa Elka harus mengabaikan itu semua, membuatnya tersenyum kecut. Dia memang terbiasa diperhatikan oleh banyak orang, mengingat begitulah tuntutan pekerjaannya yang bersinggungan dengan banyak pihak. Namun, hal itu tentu bukanlah perkara sulit jika dibandingkan dengan tekanan yang harus ia terima di detik pertama dia keluar dari mobil mewah ini.

Ketika mobil telah sepenuhnya berhenti, lelaki yang tadinya duduk di balik kemudi, segera turun dari roda empat tersebut. Melangkah mengitari bagian depan mobil, berniat membukakan pintu untuk Elka.

"Thank you, Daniyal. Aku masuk dulu." Elka keluar dengan gerakan anggun. Ia memasang senyum menawan sebagai bentuk apresiasi pada lelaki tersebut.

Lelaki yang tak lain adalah Daniyal itu, membalas senyum Elka dengan senyum tak kalah menawan, membuat wajah tampannya berkali-kali lebih sedap dipandangi.

"Jangan lupa hubungi aku," ucapnya manis.

Elka mengangguk kecil, kemudian segera menyingkir dari hadapan Daniyal. Sejujurnya, sapaan 'Aku' dan 'Kamu' masih terasa aneh dalam pengecapan Elka. Hanya saja, dia harus membiasakan diri.

Setiap langkah yang ia jejaki ketika memasuki gedung, telah sepenuhnya menjadi sorotan bagi beberapa pasang mata yang sejak awal sudah memperhatikan mobil Daniyal tadi. Dengan dagu terangkat dan derap yang tegas, Elka terus mengayunkan tungkai menuju lift.

"Bu Elka."

Seseorang menepuk pundaknya dari belakang ketika dia sedang menunggu kedatangan kotak besi yang akan mengantarkannya ke lantai empat belas.

"Ya?"

Elka mengenal wanita ini. Laras, staff Personalia di Lateef Land. Unit usaha HL Group yang masih satu komando dengan HL Property. Nahasnya, Elka juga tahu bagaimana kepribadian Laras. Perempuan yang rambutnya selalu di curly dan gemar memulas bibirnya dengan gincu semerah darah ini adalah manusia yang harusnya dihindari.

Sejak dulu, dia tidak berniat mengakrabkan diri dengan Laras. Bukan karena Elka angkuh, atau pun berlebihan dalam mengkultuskan diri sendiri, tetapi lebih kepada enggan mempertaruhkan zona nyamannya.

"Bu Elka makin cantik, ih. Saya tadi sampai pangling liatnya. Spill daily skin care-nya dong, Bu~"

"Nggak ada perawatan khusus kok," jawab Elka ramah.

"Masa, sih? Beneran makin cakep lhoo. Atau jangan-jangan, ini efek karena hati Bu Elka lagi berbunga-bunga?"

Elka diam saja. Dia enggan menimbulkan asap yang dapat memancing api. Beruntung lift yang ditunggunya tiba tak lama kemudian.

"Saya duluan, ya." Elka mengangguk sopan, lalu segera masuk ke dalam kotak besi tersebut.

"Kebetulan saya juga mau ke lantai empat belas. Ada perlu sama Anggi." Tanpa membuang waktu, Laras langsung berdiri di samping Elka. Petaka memang. Karena yang mengisi lift hanya mereka berdua.

"Bu Elka ... saya boleh nanya?"

"Silakan."

Laras tersenyum kecil setelah mendapatkan lampu hijau atas pertanyaannya barusan.

"Saya tadi lagi ngobrol bareng Ibu Mita di lobi," ucapnya menyebut nama resepsionis Wisma Lateef. "Terus, tadi saya juga lihat Bu Elka turun dari mobil. Sampai dibukain pintu segala lagi. Manis bangett."

Sudah Elka duga!

"Anu ... itu ... duhh gimana, ya, cara ngomongnya? Saya sebenarnya gak enak juga mau nanya, tapi gimana dong, Bu? Saya beneran penasaran."

"Tanya aja."

"Itu yang tadi nganterin Ibu, Daniyal, bukan?"

"Iya."

"Ohhh." Laras tampak mengangguk pelan dari ekor mata Elka. Jenis anggukan yang menyimpan banyak makna. Salah satunya adalah bentuk validasi dari perspektif dangkal yang sudah dia susun di dalam otaknya. "Kenal dari lama, ya, Bu?"

Mengapa lift ini lama sekali sampainya?

"Lumayan."

"Wahh keren banget. Nggak heran, sih, saya. Pasti relasi Ibu banyak banget. Apa lagi Jakarta sempit, 'kan, ya? Oh iya! Bu Elka tahu gak kenapa Daniyal mendadak berhenti jadi news anchor?"

"Saya juga kurang tahu. Ngomong-ngomong, Bu Laras ada perlu apa sama Anggi?"

Konyol memang pertanyaan Elka. Sudah pasti Laras perlu membicarakan hal yang berhubungan dengan pekerjaan kepada Anggi. Namun, membiarkan biang gosip ini ikut ke divisi dan membombardirnya dengan berbagai tanya, jelas bukanlah pilihan tepat.

"Astaga! Gimana, sih, temen saya ini? Bikin repot aja deh." Laras menggerutu secara mendadak selepas melihat ponselnya. Dia lalu menekan angka tujuh belas pada floor buttons. "Bu, saya nggak jadi ketemu Anggi. Kata temen saya, barusan dia udah ngobrol sama Anggi terkait hal yang sebenarnya mau saya bicarakan."

Elka memilih percaya pada perkataan wanita itu. Toh, dia juga yang diuntungkan. Hanya saja, Elka yakin, selepas pertemuan mereka ini, berita tentang dia yang terlihat turun dari mobil Daniyal, pasti sudah tersebar di mana-mana. Bermula dari gedung Wisma Lateef, lalu terkuak sampai ke segala penjuru Indonesia.

Bukankah memang itu yang Elka inginkan?

Semua orang harus tahu bahwa dia adalah milik Daniyal Lateef.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro