Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1 | Elka

"Tim nasional sepak bola Indonesia berhasil menyabet medali emas usai menumbangkan pertahanan Thailand dalam laga final sepak bola Sea Games Kamboja 2023. Kemenangan timnas membawa angin sejuk bagi para penggemar setelah 32 tahun lamanya gagal menghadirkan gemuruh kemenangan di Indonesia. Berikut laporan dari rekan kami Farhan ...."

Ketukan pelan yang datang dari arah pintu, menyita sebagian perhatian dari wanita paru baya yang sedang menyaksikan siaran berita yang setiap pagi selalu ia saksikan tanpa terlewat satu kali pun itu. Bukan enggan ketinggalan isu terkini, melainkan karena dia tak bisa melewatkan penyiar berita idolanya membacakan berita sembari memasang ekspresi penuh kharisma tersebut. Terlebih lagi, lelaki yang dirumorkan merupakan cucu pemilik perusahaan saingan dari tempatnya mengundi nasib ini, memiliki daya tarik sempurna yang setiap harinya kian membutakan mata.

"Permisi, Bu."

"Masuk, Ka, masuk. Gak dikunci itu."

Mengikuti instruksi sang ketua divisi, perempuan muda yang dipanggil Elka tersebut melenggang masuk ke ruangan milik bosnya. Sekilas, dia melabuhkan pandangan pada televisi yang tengah menayangkan berita terkait kemenangan tim sepak bola Indonesia di Sea Games Kamboja 2023.

"Bu, yang lain udah di meeting room."

"Eh? Iyakah? Apa nggak kecepetan rapatnya?"

Rasanya, Elka ingin sekali mendengkus. Bibirnya gatal untuk tidak mencibir. Seandainya yang dia hadapi bukanlah orang yang memastikan gajinya terjamin aman, mungkin bibirnya sudah menyemprotkan berbagai macam sarkasme.

Alhasil, Elka membalas dengan senyum khas profesionalnya. Andai bosnya menelisik lebih cermat bagaimana ekspresi penghakimam Elka sekarang, dia mungkin akan melontarkan makian pada 'bawahan kesayangannya' ini.

Tetapi itu semua tak akan pernah terjadi karena ....

"Duhh, padahal kemarin saya nggak puas lihat wajah dia gara-gara ngurusin kebakaran Mall CL." Karlina--Bos Elka--menggerutu seraya mengarahkan jari telunjuknya pada televisi yang berjarak tiga meter dari posisi mereka saat ini. "Andai punya anak cewek, dia saya jodohin sama anak saya."

Karlina, bosnya yang berusia empat puluh satu tahun, akan membuang semua kesibukannya demi mengkultuskan sang idola yang kini tengah membacakan berita tersebut. Kegilaan Karlina pada idolanya agak tidak wajar.

Orang yang dimaksud dengan 'dia' oleh Karlina adalah news anchor Vega TV yang digilai oleh kalangan Ibu-Ibu lantaran wajahnya yang rupawan, serta disebut-sebut sebagai perwujudan sempurna dari pria maskulin sejati dengan proporsi tubuh tegap menjulang. Dia dielukan bak selebriti papan atas yang tidak memiliki satu pun pembenci.

Penggemarnya telah dibutakan.

Elka sendiri yang siap menjadi pembenci nomor satunya.

"Menantu material banget nggak, sih, dia? Mapan, punya karier gemilang. Terus poin plusnya, dia cakep. Kayaknya seru, ya, kalau jadi mantu saya. Ke mana-mana saya pamerin biar temen-temen pada ngiri. Yang jelas, cucu saya pasti secakep bapaknya nanti."

Kata-katanya nggak keliru, Bu? Dumal Elka dalam hati. Dia yakin, Karlina pasti menginginkan news anchor itu sebagai pendamping hidupnya, bukan sebagai menantu. Seolah Elka tak tahu saja bagaimana otak bosnya bekerja.

Oh astaga, dia karyawan yang buruk. Antara isi hati dan ekspresi wajahnya berbeda jauh. Bersikap munafik mulai menjadi kebiasaannya saat menapaki lantai perusahaannya ini.

"Saya jadi penasaran, deh, kira-kira Dani--"

"Bu, rapat dua menit lagi akan segera dimulai."

Elka tidak boleh berdiam diri jika Karlina mulai melemparkan jebakan untuk mendengar celotehnya. Apa lagi jika isi obrolan mereka, tidak jauh-jauh dari si jangkar berita yang rasanya ingin dia lempari batu. Bisa pecah kepala Elka bila harus mendengar rentetan kata-kata Karlina yang tak kehabisan ide untuk memuji sang idola.

Karlina langsung memasang tampang kecut karena tangan kanannya lagi-lagi tak seide membiarkannya mengagumi manusia favoritnya sedikit lebih lama. "Kamu nggak seru, Elka. Oke deh, semenit lagi nyusul. Kamu duluan gih."

Dengan senang hati, Elka menjalankan perintah atasannya yang bergaya super eksentrik itu. Menjadi istri Chief Executive Officer HL Property, membuatnya tak segan memamerkan gaya berpakaiannya yang terlampau mewah untuk ukuran ketua divisi.

Sialnya, Elka tidak bisa meremehkan Karlina sebab dibalik kontra image yang dimilikinya, kapabilitas Karlina dalam menakhodai divisi Sales and Marketing tak bisa dianggap remeh. Dia kompeten di bidangnya. Untuk itulah, Elka memilih tidak mengomentari fashion taste bosnya, pun kecintaannya yang agak tak wajar pada sang idola. Dia hanya fokus menerima tugas-tugas yang dititahkan Karlina sebab di sini, tujuan utamanya adalah mendulang rupiah.

Selepas menutup pintu ruangan Karlina, hal yang kemudian ia lakukan adalah menghela napas panjang. Berusaha meregulasi emosi agar terus berpikir positif sampai jam pulang kantor nanti. Menjalani pekerjaan ganda yang terpaksa harus dia lakukan demi memastikan hidup terus berlanjut, membuat Elka menekan kuat-kuat emosi negatifnya. Toxic positivity adalah sahabat sejatinya setiap memasuki gedung bertingkat empat puluh tujuh ini. Tipikal budak korporat.

Siapa sangka, dia yang dahulu enggan berurusan dengan banyak orang, kini malah menjadi Public Relations di perusahaan besar yang bergerak dalam bidang properti? HL Property, anak perusahaan Hairul Lateef Group. Perusahaan raksasa yang menaungi berbagai anak perusahaan.

Lupakan semua itu. Apalah artinya perusahaan besar jika pegawainya tercekik? Dan parahnya, opsi resign bukanlah pilihan bijak sebab konsekuensi besar mengekor di belakangnya.

Itulah situasi yang kini menghimpit Elka. Kalau ada yang menanyakan apakah dia 'tersiksa' sejak bekerja di sini, maka dengan lantang, ia akan menjawab 'Ya!', tapi bila pertanyaannya apakah dia berniat resign? Elka akan meraung sembari mengatakan 'No in a million way!' 'Never!' Biarlah dia tersiksa, tapi stabilitas finansialnya jangan sampai menderita.

"Elka, lepas makan siang kita ke Mall Citra Lateef. Mantau rekonstruksi di sana."

"Siap, Bu."

"Oh iya, gimana soal art exhibition di Ruang Bersama? Tetap pastikan kesuksesan pameran itu meskipun project-nya terbilang kecil. Jangan sampai ada kesalahan. Buat pengunjung senyaman mungkin. Press release-nya juga harus sempurna."

"Kemarin Mbak Sonya udah kasih laporan ke saya, Bu. Yang mana, pengunjung Ruang Bersama mengalami jumlah peningkatan jika dibandingkan dengan hari pertama exhibition dibuka. Dan sampai sekarang, situasi di sana tergolong kondusif. Untuk press release sedang saya kerjakan. Final draf-nya saya kasih ke Ibu sebelum dikirim ke media."

"Good job. Kita ketemu lagi selepas lunch."

"Baik, Bu."

Usai Karlina meninggalkan meeting room, Elka baru bisa bersandar nyaman di kursi yang dia duduki. Bokongnya sampai kebas karena duduk tegak sejak tadi.

"Elka tagline-nya apa? Baik, Bu! Siap, Bu!" Yasa--teman sedivisi Elka--menggodanya dengan kata-kata yang selalu dia ucapkan ketika menimpali perintah Karlina. "Dari dulu, Bu bos sayang banget sama lo. Wajar lo patuh kek anak guguk."

"Oh jelas. Kita bicara soal Elka ini. Jadi PR bisa, jadi sekretaris juga bisa. Anak emas petinggi kantor memang harus loyal." Javis ikut menimpali. "Jilatnya gak boleh setengah-setengah."

"Lo keliru, Vis," jawab Yasa dengan tampang serius. "PR sama Sekretaris itu side job Elka, karena kerjaan utama dia jadi kacung Bos. Anak emas apaan, dia tuh boneka yang lagi dikendaliin. Pion, bidak, apa pun sebutannya. Kesian banget hidup lo, Ka. Mengenaskan."

Seketika ruangan yang biasa digunakan oleh anak-anak Marketing Communication untuk rapat itu, dibanjiri gelak tawa. Jenis tawa menyebalkan tentu saja.

"Diem deh pegawai rendahan. Congor jangan banyak omong, bikin pala gue nyut-nyutan. Mbak Elka dong, napas doang gajinya tiga kali lipat. Isi dompetnya tebel karena duit, lah, lu berdua? Dompet tebel karena kondom. Kan tai."

Bom kenyataan dilemparkan Jahira--anggota termuda MarCom. Membuat Yasa dan Javis megap-megap lantaran diserang fakta menyakitkan.

"I'm totally fine listening to dogs howling." Elka membalas kalem kata-kata Jahira.

"Bener juga. Emang anjing kelakuan mereka. Mana suka kawin sana-sini lagi. Ewh, disgusting!"

Yasa dan Javis sampai tak bisa berkata-kata setelah menerima olokan balik dari Elka dan Jahira. Dua perempuan ini jika sudah disatukan, cemoohan mereka bisa seganas lava.

"Gue ngomong fakta lhoo~" Jahira mengedip polos sambil memutar rambutnya yang terjuntai di depan bahu.

"Kalian berdua tuh!" Yasa menggebrak meja, memasang pelototan sengit pada mereka. "Kalau ngomong suka bener!"

"Si goblok!" Javis menjitak kepala belakang Yasa. "By the way, kita maksi di mana ini? Ke Mall Perdana Indah aja, gimana? Kita ke Ruang Bersama, ngecek exhibition."

"Halah, bilang aja lo mau ngapelin Mbak Sonya," sahut Jahira sinis.

"Tuh lo tahu. Kira-kira dia mau nggak, ya, gue ajak ke hotel?"

"Heh, mulut!" Jahira melotot tajam.

"Ngeres otak lo. Orang doi mau gue ajak ke ultah temen. Acaranya di ballrom hotel The Rola."

"Cuma, kalau dia mau sekalian ngamar, lo gak bakal nolak, 'kan?" Sambung Yasa memasang tampang tengilnya begitu cerah.

"Man, berapa kali gue harus bilang kalau kita satu? Satu otak, satu hobi, satu hasrat?"

Javis dan Yasa tergelak atas obrolan sampah yang mereka ciptakan sendiri.

"Dongo anjir nih laki berdua." Jahira menatap jijik dua teman lelakinya yang memang berotak mesum itu.

"Kok bisa?" Elka mendadak bertanya setelah diam mendengarkan perbincangan teman-temannya.

"Apanya?" tanya Javis dengan kening berkerut.

"Yakin kuat begituan? Lo impoten, Vis," ungkap Elka menampilkan ekspresi sedih. Matanya turun perlahan-lahan menatap bagian bawah Javis, lalu menggeleng prihatin. Membuat Javis langsung menyilangkan kaki. Dua lengan kokoh pria itu ia tempatkan di pahanya.

"Mata lo natap ke mana, Elka?!" Javis panik sendiri.

"Benar, 'kan, Ra? Dulu, dia sempat bilang itu ke kita, bukan?" Elka abaikan respon Javis.

"Ohh, pas di Vilton, ya? Waktu Javis kobam? Inget gue inget. Dia nangis frustrasi sambil bilang rudalnya gak bisa tegak lagi buat dipake tempur." Jahira berdecak mengasihani. "Yang sabar, ya, Vis. Pasti kesiksa. Memang sudah waktunya lo tobat."

"Say what?! No way! Bisa-bisanya bahas masalah onderdil ama nih dua medusa! Sial banget hidup lo!"

Yasa menggeplak punggung Javis yang langsung memucat setelah mendengar ucapan dua kawan perempuannya. Kapan dia pernah berkata begitu? Sejak kapan pula dia mabuk sampai kehilangan kesadaran? Kadar toleransinya cukup bagus untuk alkohol.

Dan sejak kapan dia impoten?!

Tunggu, tapi apa benar dia pernah kelepasan berkata begitu?

"Pas kapan itu? Kok lo bertiga bisa ke Vilton bareng? No, maksud gue, kok lo sama Jahira pergi ke situ? Ngapain polisi moral nyasar ke kelab? Ngaco!"

Pertanyaan yang diajukan Yasa pada Elka, dibalasnya dengan mengedikkan bahu.

"Nggak tahu, gue ngarang."

Detik itu juga, Elka dan Jahira tertawa lepas. Gelak mereka sampai menggema. Puas rasanya mengerjai dua pria yang isi otaknya tidak jauh-jauh dari selangkangan seperti mereka ini.

"Bangke!" seru Javis dan Yasa bersamaan.

Seraya mengusap pelan dadanya, Javis berkata, "Kasihan wadah pringles gue yang selalu tampil prima kena fitnah. Nggak mau tahu ya, Ka, Ra, minta maaf kalian sama dia."

"Maju sini, gue gunting ampe habis." Jahira mengacungkan jari telunjuk dan jari tengannya, lalu menggerakkannya seperti gunting.

"Sadis, tapi nggak apa-apa. Gue bisa custom kok. Kalau lawan mainnya masokhis, gue terima-terima saja." Javis mengerling nakal pada Jahira yang secara otomatis membuat gadis itu mengadu pada Elka sambil berlagak ingin muntah.

"Mbak Elka! Temen lo nih, amoral!"

"Kan, 'kan, ngadu dia sama Mamaknya." Yasa mendengkus malas. "Hormat dikit sama yang lebih tua. Elka dipanggil Mbak, giliran kita berdua manggilnya nama doang. Mas kek, abang kek, ayang kek. Nggak sopan lo," sungut Yasa sembari mengacak-acak tatanan rambut Jahira yang panjang sepunggung.

"Dih, beda setahun doang." Jahira menepis tangan Yasa dari kepalanya. "Gak usah sok paling tua deh."

"Ya terus apa bedanya kita sama Elka? Orang se-line kok."

"Gue menghormati yang patut dihormati. Yang wibawanya masih terjaga. Nggak kayak lo berdua."

"Emang kenapa sama kita?" Dua pria itu lagi-lagi berujar kompak, memasang wajah tak terima akan nada skeptis Jahira.

"Pake nanya. Pantes, sih, manusia rusak kek kalian mana bisa nafsirin kata-kata sederhana gue barusan."

Seperti yang sudah-sudah, terjadilah aksi saling cemooh antara Jahira, Javis dan Yasa. Sementara Elka, ia kembali duduk tenang sembari bersedekap dengan menyandarkan punggungnya di kursi, menikmati pertunjukan di hadapannya dengan mata tertutup. Paling tidak, otot-otot pundak dan lehernya yang tadi kaku, kini mulai melemas.

Apa Elka sudah mengatakan alasan lain mengapa dia tidak mengajukan resign ke pihak HRD selain karena gajinya yang fanfastis? Jawabannya simple. Mustahil dia meninggalkan HL Property sementara di sini, dia menemukan orang-orang yang sudah dianggapnya keluarga sendiri. Mulut mereka memang kotor, tapi jika berbicara soal loyalitas, merekalah pemenangnya.

Di antara maraknya kabar populer tentang rekan kerja ibarat serigala berbulu domba, atau musuh dalam selimut,itu tidak berlaku di sini. Dengan orang-orang ini, Elka tidak pernah menjumpai hal tersebut. Mereka rukun dan selalu saling support, meski dengan cara tak biasa. Seandainya Elka tidak bertemu mereka, dia yakin hidupnya akan terasa semakin kompleks. Selain Glori, merekalah keluarganya.

Keluarga gila lebih tepatnya.

Berbicara tentang keluarga, ia kembali teringat bagaimana kacaunya hidup yang dia jalani dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir. Ingatan getir yang ingin dia singkirkan dari memorinya, lagi-lagi muncul ke permukaan.

Sial, hatinya masih berdarah-darah rupanya, seakan luka itu sukar untuk mengering. Andai pria itu tidak pernah berulah, mungkin hidup yang dia jalani tak akan semenyakitkan ini.

Namun, mau bagaimana pun hatinya babak belur, Elka harus tetap bertahan demi bocah laki-laki yang amat ia cintai. Pria kecil yang memanggilnya 'Mama' dengan seruan paling manis hingga mampu membuat hatinya sembuh secara perlahan.

Bukankah hidup harus tetap berlanjut meski semesta tak pernah sejalan dengan takdir yang ia inginkan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro