05. Intel Squad
Selamat membaca .... 🤗🤗
Aku sampai di rumah tepat jam empat sore. Seragam sekolahku sudah terasa lusuh bermandikan keringat, dasi melonggar dan kubiarkan menggelayut terbalik di belakang punggung. Aku melihat sekilas cerminan rambut ikal awut-awutanku saat melewati panel kaca yang memisahkan ruang keluarga dengan dapur. Untungnya, tampangku tidak seburuk yang terlihat seperti anak remaja bau knalpot.
Langkah kakiku menelusuri lantai marmer yang bila dihitung jarak dari pintu depan rumah, mungkin akan memakan panjang sekitar dua puluh meter. Rumah yang kutinggali bersama keluarga Tante Rara berlantai satu, tetapi luasnya bisa jadi membuat kaki lelah jika berkeliling. Furnitur serba mahal dan didominasi dengan warna kelabu menjadi padanan yang indah bila dipadukan dengan dinding berwarna biru langit. Panel kaca membentang hampir di setiap sisi rumah. Desain lantainya mendatar dan mulus. Tak ada undakan satu pun sebab dirancang khusus untuk memudahkan akses bagi penyandang difabel seperti Tante Rara.
Tawa lelaki dan perempuan terdengar di ruang santai keluarga ketika aku hendak menuju kamar. Jeritan Tante Rara yang bercampur tawa menandakan bahwa wanita itu sedang tidak sendiri.
"Turunin! Turunin, Pa! please, aku nggak bisa nahan ketawa."
Suara Tante Rara membuatku penasaran dengan apa yang sebenarnya sedang dilakukan pasangan suami istri tersebut. Aku pun mampir sejenak mencari tahu.
"Nggak semudah itu. Keringat Papa bahkan belum netes."
"Aduh, ampun ... air liurku mau keluar."
Melihat tingkah pasangan suami istri itu, membuatku berdecak dengan kening mengerut. Om Arjuna—suami Tante Rara yang sudah dua minggu tidak pulang tersebut—berbaring dengan kedua kaki dinaikkan kokoh ke atas, menopang tungkai atas dekat pinggang istrinya ke udara. Sementara kepala istrinya dibiarkan menjuntai ke bawah, di atas dada Om Juna dalam posisi wajah menghadap perut sang suami. Tangan mereka saling berpegangan. Om Juna membawa tubuh sang istri semakin tinggi hingga diibaratkan posisi Tante Rara seperti baru melompat dari papan lentur kolam renang.
Tawa-tawa melebur dan memenuhi ruangan. Bukan hal yang langka melihat pasangan legendaris itu melakukan hal konyol. Terkadang, sepasang suami istri tersebut bertengkar hanya karena memperebutkan hak membacakan dongeng sebelum tidur untuk Fidell. Berdebat soal tontonan televisi, berdebat soal destinasi wisata pilihan, sampai-sampai berdebat soal misi-misi rahasia yang tak seharusnya aku dengar.
Yah, profesi Om Juna memang serawan dan serahasia itu dari apa yang pernah diceritakan Tante Rara saat aku baru lulus SMP. Pertanyaan yang tak pernah kuajukan itu akhirnya terjawab dengan sendirinya. Nyatanya, Om Juna merupakan seorang intel berkemampuan khusus yang bekerja untuk kepentingan negara. Kedua suami-istri itu bahkan dipertemukan dengan cara yang luar biasa ketika terlibat dalam misi ekstrim dan berbahaya. Sudah kuduga bahwa kemampuan Tante Rara sebagai Penembak Jitu bukan sembarang skill. Rupanya ia pernah beberapa kali terlibat dalam misi penting untuk melumpuhkan musuh dari jarak jauh.
She is an amazing sniper!
Sebenarnya aku sendiri tidak tahu, harus bangga atau takut menjadi bagian dari keluarga seorang anggota intelejen. Toh juga kebanggaan itu tak bisa kuceritakan pada siap pun kecuali pada Pedro--kucing persia kesayangan Tante Rara.
"Mama bilang turunin!"
Buk!
"Aww!!!"
Om Juna tertohok setelah mendapat satu tinjuan berbobot di dada kanannya. Pertahanannya runtuh, kakinya tak lagi tegak dan membiarkan istrinya terjatuh menimpa tubuhnya, diam tak bergerak di atasnya dengan posisi wajah menghadap ke kanan. Aku terkikik.
Tante Rara menolehkan wajahnya ke arahku. "Rio? Udah pulang?" tanyanya.
Masih dengan wajah meringis menahan sakit di dadanya, Om Juna pun ikut menoleh ke arahku. "Hai, Anak Muda? Suntuk banget mukanya?"
Aku mendengkus, membuang muka dengan maksud pergi meninggalkan mereka.
"Rio, tunggu!" Seruan Tante Rara membuatku menahan langkah kaki. Wanita itu mencubit hidung suaminya lalu berkata dengan nada sedikit tinggi. "Kembalikan aku ke kursiku, sekarang!"
"Iya, sabar ... dasar cerewet!"
"Udah main-mainnya?" Pertanyaanku bertanda bahwa aku terlalu lelah untuk menyaksikan tingkah konyol mereka.
"Tunggu di situ! Ada yang mau Tante omongin."
Aku menunggu Tante Rara duduk di atas kursi roda adaptifnya dengan bantuan sang suami.
"Aku ke belakang dulu, nggak enak ninggalin Fidell main sama tiga makhluk itu." Candaan Om Juna disudahi dengan ciuman di kening istrinya lantas meninggalkan mereka. Ia menepuk pundakku disertai dengan senyuman sejenak.
Brakes menimbulkan suara klik saat tangan Tante Rara hendak mengayuh hand rim di rodanya. Ia mendongakkan wajah lebih tinggi begitu berhenti di depanku. "Maafin Tante karena nggak bisa jemput. Kamu tahu 'kan? Kalau om kamu udah pulang Tante nggak bisa ke mana-mana."
"Nggak, apa-apa, Tan ... Rio ngerti, kok," ujarku menanggapi.
"Jadi? Kenapa pulang sampai sore begini?"
"Karena kabar dadakan dari Tante yang nggak bisa jemput, Rio mesti cari cara altrernatif untuk bisa pulang. Ditambah hape lowbed, penderitaan jadi nambah." Aku tertawa di bagian kalimat terakhir seakan kesulitan kuanggap angin lalu dan tak berarti apa-apa.
"Jangan bilang kamu jalan kaki untuk sampai ke rumah?"
"Hampir, Tan ... udah ah, itu nggak masalah buat Rio. Sekarang Rio laper banget pengen makan. Tadi pagi Tante bilang hari ini masak enak." Aku berlutut di samping Tante Rara. Sudah menjadi kebiasaan sejak aku tumbuh semakin tinggi untuk membuat diriku setara pandang dengan posisi Tante Rara. Aku sangat mengerti, mendongak terlalu lama dapat membuat orang seperti Tante Rara mudah lelah dan tak nyaman.
Dari dekat, aku bisa melihat wajah cantik Tante Rara masih persis seperti dulu. Mulus dan terawat dengan binaran mata mirip almarhum mama. Hidung mancung dan bibir tipis ranum itu selalu menjadi bagian favoritku. Wanita itu masih terlihat awet muda meski usianya hampir menginjak tiga puluh lima tahun. Kelumpuhan tidak lantas menjadikan Tante Rara tak tahu cara hidup sehat dan bugar.
"Ya ampun, Yo ... cepetan kamu ganti baju sekarang, cuci muka, cuci tangan terus makan. Kamu bisa kena asam lambung kalau telat makan, loh."
"Rio cuci muka sama cuci tangan aja ya, Tante ... laper banget soalnya," rengekku. "Eh, bukannya tadi Tante bilang ada yang mau diomongin?" Tante Rara mengiakan. "Memangnya ada yang serius?"
"Kamu makan dulu, nanti baru kita omongin. Makanan ada di taman belakang semua. Kebetulan temen Om Juna pada dateng, kamu salamin deh temen om kamu, ya?"
"Oke, Tante ... Rio juga pengen main sama Fidell."
Sepuluh menit kemudian, begitu selesai berbersih, aku pergi ke taman belakang seperti yang sudah diminta tante. Di sana ada tiga orang asing yang aku sama sekali belum pernah melihatnya. Tidak, mungkin sudah, tetapi aku tak bisa mengingat dua pria dan satu wanita yang terlihat sedang bercengkerama bebas dengan Om Juna. Fidell duduk di samping ayahnya memainkan tablet, tak peduli dengan kehadiranku yang biasanya selalu membuat anak itu antusias.
Jika aku tidak diizinkan membawa tamu jenis apa pun ke rumah dengan alasan keamanan dan kerahasiaan Negara, tampaknya itu tidak berlaku bagi si tuan rumah. Sudah pasti ketiga orang itu adalah rekan kerja Om Juna yang tak perlu kuketahui identitas detailnya. Para agen rahasia. Intel Squad, kata Tante Rara.
Aku menaikkan sebelah bibir. Lihatlah, mereka duduk di bangku yang terbuat dari kayu dengan pola petak keliling. Bercerita mengenai topik penuh lelucon yang tak mungkin ditanggapi tanpa tawa. Jangan bayangkan penampilan para agen rahasia itu seperti di film James Bond, Mission Impossible atau Mr. & Mrs. Smith yang rapi, elegan, bersikap penuh wibawa dan membatasi kata. Mereka jauh dari image itu.
Kalau bukan karena perutku yang sudah perih menahan lapar dan makanan yang ada di rumah ini semua terpampang di atas meja saji, aku malas muncul di antara mereka.
Ada pria berkepala plontos yang brewoknya seperti sudah sembilan bulan tidak dicukur. Satu pria lagi berparas lumayan tampan dan bersih, berdiri sambil memegang gelas berisi vodka dingin, celana boxer dan dada bidang topless menandakan bahwa pria itu baru selesai berenang di kolam renang samping rumah. Satu lagi, wanita yang tampak tak asing di mataku, berperawakan sedikit padat, pipi bulat dan rambut tergerai sepunggung menoleh ke arah di mana aku datang. Sebuah reaksi cepat begitu Tante Rara memberitahunya.
Bagaimanapun aku sudah berusaha tersenyum saat kesantunan menuntut untuk menyapa mereka. Setelah berjabatan tangan singkat, aku baru tahu: Pria berkepala plontos itu kerap disapa Jhon, si pria yang memegang gelas vodka itu bernama Gani. Terakhir, wanita yang sejak tadi menunggu dengan bibir ternganga langsung berdiri menyambutku.
"Ya ampun, ini Rio?" pekik wanita tambun itu saat aku menjabat tangannya. Tak ada yang bisa aku katakan selain menanggapinya dengan cengiran yang dibuat-buat. "Kamu udah gede gini, ya ampun ... udah ganteng banget." Tatapan matanya dari atas ke bawah dan kembali lagi ke atas bagai mesin pemindai otomatis. Ia menyentuh pundakku. "Kamu masih ingat sama Tante?"
Aku mencoba berpikir, lantas melirik Tante Rara yang malah tersenyum-senyum tak jelas. Terlalu sulit membongkar memori hingga akhirnya aku menyerah.
"Nggak ingat? Iya, sih ... waktu itu kamu masih kecil banget, masih tujuh tahun ya kalau nggak salah. Coba kamu ingat-ingat lagi."
"Saya nggak ingat, Tante," jawabku dengan nada biasa dan terkesan malas berpikir.
"Ihh ... aduh, Tante Triana, lho ... masa kamu lupa sama Tante."
Sedikit berusaha, aku akhirnya ingat. Sekitar sepuluh tahun silam, dialah wanita yang dulu membantuku dan mama bertemu dengan Tante Rara yang saat itu menghilang. Wanita itu jugalah yang menyelamatkanku dari apartemen yang terkunci dan malah membawaku ke kamar jenazah untuk bertemu dengan mama Nouvie yang tak lagi bernyawa. Kenangan menyedihkan itu melintas di otakku. Bukan berarti aku menyalahkan wanita itu karena telah membuatku mengingat masa lalu, hanya saja aku tak bisa membiarkan kesedihan itu merusak suasana hati.
Mataku melebar lantas menyeringaikan tawa. "Tante Pecel?!" tebakku.
"Nah, akhirnya kamu ingat." Semua orang yang ada di situ malah tertawa.
"Udah cantik begitu tetap aja orang ingatnya kamu tuh Bu Pecel." Cibiran Jhon mendapat jengitan bibir dari Triana.
"Heh, jaga mulut masing-masing, ya!" balasnya. Ia kembali padaku. "Rio udah makan? Ayo Tante temenin sekalian kita ngobrol-ngobrol."
Wanita itu pun mengantarku sampai ke meja saji di mana makanan dengan berbagai macam lauk pauk terisi tinggal setengah dan tentunya masih berselera di mataku.
"Tante agak langsingan, ya?" tanyaku basa-basi sambil menaruh nasi di atas piring.
"Iya, capek gemuk terus gampang sesak napas."
"Bukan karena diabetes 'kan?"
"Sembarangan kamu!"
Aku tertawa. "Bercanda, Tante ...."
"Iya, Tante tahu. Usia kamu kayanya sebaya sama anak Tante yang paling gede. Kamu kelas dua SMA 'kan?" Aku mengiakan. "Tuh, kan. Nanti kapan-kapan Tante ajak anak gadis Tante main ke sini, deh. Siapa tau kalian bisa kenalan dan akrab gitu ...."
"Bukannya Rio nggak mau, Tan ... tapi Om Juna ngelarang Rio untuk bawa temen ke rumah ini. Nggak tau deh kalau Tante Tria yang bawa."
"Hmm ... itu soal gampang." Triana menyomot buah semangka di atas piring sembari menggiringku untuk duduk di bawah pohon Kamboja yang menyediakan dua buah kursi metal beserta satu meja. "Eh, omong-omong kamu sekolah di mana?"
Sambil mengunyah, aku menggidikkan pundak kanan untuk menunjukkan atribut nama sekolah.
"SMA Awantara?"
"Iya, Tante."
"Serius kamu?"
"Memangnya kenapa?"
"Satu sekolah, dong sama anak Tante."
"Hah? Satu sekolah?" Aku terbelalak, menghentikan kunyahan demi mendengar penuturan Triana lebih lanjut. "Memangnya nama anak Tante siapa?"
Begitu Triana menyebutkan satu nama, mataku langsung mengerjap-erjap dan mendadak, aku hampir kehilangan selera makan.
________________________________
Aloha ... terima kasih buat kalian yang masih ngikutin cerita ini walau updatenya dua bulan sekali atau bahkan setahun sekali, wkwkkw. Do'ain supaya aku bisa namatin cerita ini.
Siapa dari kalian yang pengen cerita ini dilanjutin?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro