Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Aroma


Adriana berdiri di kaki pohon, menatap lurus ke arah sinyal di pojok kanan atas ponsel yang akhirnya terisi satu bar. Mendongakkan kepala, memperhatikan tiap dahan pohon yang terlihat cukup kokoh. Adriana memutuskan untuk memanjat naik, lalu duduk di dahan terbesar. Mengarahkan ponselnya ke langit-langit, akhirnya Adriana mendapatkan tiga bar sinyal setelah sekian lama berkeliling di sekitar resort. Tersenyum lega, mungkin ini satu-satunya tempat yang bisa menjangkau sinyal.

Telunjuk Adriana menekan aplikasi berkirim pesan dengan nuansa biru dan gambar pesawat kertas pada logonya. Dia membuka sebuah kontak yang disimpan dengan nama Makelar. Adriana mengirimkan beberapa foto jasad Niccolo yang sebelumnya sempat dia ambil. Entah karena sinyal yang buruk, atau seseorang di ujung pesan memang lambat membalas. Pesan jawaban baru Adriana terima sekitar sepuluh menit kemudian.

Makelar

Kerja bagus. Kukirim bayaranmu besok.
Kapan kamu kembali?

Adriana

Aku akan menetap di sini untuk beberapa hari.

Makelar

Jadi kamu lanjut berlibur?

Adriana

Tidak. Tapi tempat ini menguntungkanku.
Aku bisa mengumpulkan beberapa stok organ awetan untuk kamu jual.

Sinyal di ponsel Adriana turun menjadi satu bar sebelum akhirnya menghilang. Alhasil, tak ada pesan balasan yang masuk dari makelar. Dia menatap ke atas, mengamati langit kelabu yang hampir tertutup oleh rimbunnya dedaunan pohon. Adriana menutup mata, meresapi rasa dingin yang ditimbulkan oleh setetes air hujan yang mendarat di pipinya.

Mungkin sudah saatnya aku kembali ke resort.

***

Dua hari sebelum keberangkatan menuju resort.

Adriana melangkah di trotoar yang ramai pejalan kaki sembari menggenggam tas hitam besar andalannya. Aroma menyengat seperti darah segar yang berpadu dengan daging busuk terbakar terus ditangkap oleh indra penciuman Adriana. Makin lama, aroma itu tercium makin kental. Jantung Adriana berpacu kala dia menemukan sumber aroma tersebut. Seorang pria tua tunawisma yang duduk di depan sebuah gang gelap kecil, beralaskan kardus bekas.

Menghampiri pria tua, aroma khas itu kian menyengat. Adriana memasukkan uang koin ke dalam kaleng kosong di dekat pria, sementara pikirannya berkelana. Aromanya kuat sekali! Pria ini mungkin akan mati besok. Oh, sepertinya tidak. Mungkin dia akan mati beberapa jam lagi.

Pria itu sempat mengucapkan terima kasih, tetapi Adriana hanya diam, lantas beranjak pergi. Adriana memasuki kafe yang berada tepat di samping pria tunawisma, agar dia bisa mengawasinya untuk beberapa jam ke depan. Adriana antre di belakang seorang remaja yang tengah memesan kopi. Tiba-tiba aroma khas kematian kembali menusuk hidungnya, kali ini diiringi dengan suara sapaan dari seorang pria asing.

"Boleh saya duluan? Soalnya sedang sedikit buru-buru," tanya pria itu.

Tidak langsung menjawab, Adriana terdiam sejenak sambil berpikir. Dari aromanya pria ini akan mati dalam dua atau tiga hari ke depan.

"Silakan." Adriana mundur satu langkah. Biar saja mengalah, Pria itu juga tidak akan hidup lama lagi.

Tak berselang lama, remaja di barisan paling depan berjalan keluar dari antrean usai mendapatkan kopinya. Pria itu maju satu langkah, diikuti oleh Adriana.

"Niccolo! Kamu datang lagi, ya? Benar-benar pelanggan setia!" seru Barista.

"Tentu saja! Kapucinomu tidak pernah mengecewakan!"

"Datanglah terus setiap hari. Biar fotomu kami pajang sebagai pelanggan terbaik."

Niccolo tertawa tipis. "Besok hari terakhirku datang ke sini. Lusa aku sudah berangkat liburan. Aku juga sudah pesan kamar di resort untuk menginap."

Awalnya Adriana tidak peduli, tetapi entah mengapa dia malah menguping percakapan antara Niccolo dan Barista, hingga pria itu keluar dari antrean. Adriana memesan kopi termurah, lantas duduk di meja yang menghadap langsung ke jendela luar. Supaya dia bisa terus mengawasi gerak-gerik pria tunawisma.

Langit mulai gelap, kopi di gelas Adriana nyaris habis. Namun, tentu saja dia tetap bertahan di dalam kafe dengan berpura-pura sibuk menatap layar ponselnya. Dari sudut mata, Adriana mendapati bahwa pria tunawisma mulai beranjak dari posisinya. Pria tua itu berjalan masuk ke dalam gang. Adriana buru-buru meneguk habis kopinya, lalu meninggalkan kafe guna membuntuti dari belakang secara diam-diam.

Jauh di dalam gang. Pria tua tampak mengorek-orek isi kotak sampah. Dia mengambil kotak makan berisi ayam sisa yang telah membusuk dan dikerumuni lalat-lalat. Tanpa ragu, pria tua memakan ayam sisa dengan lahap. Namun, mendadak dia mulai batuk-batuk, lantas muntah tak terkendali di samping kotak sampah. Aroma tidak sedap makin menusuk hidung Adriana, meski begitu, dia cukup terbiasa.

Berbaring di atas muntahannya sendiri, pria tua tertatih-tatih meminta pertolongan. Adriana berjalan mendekat, dipandanginya pria tua yang tengah berada di ambang maut tanpa rasa simpati sedikitpun. Hingga akhirnya pria tua malang itu meregang nyawa di tempat yang amat menjijikan.

Seorang pria tua tunawisma benar-benar korban yang tepat untuk Adriana. Sejak dulu, sasaran utamanya memang orang-orang yang berasal dari kelas bawah, yang hidup tanpa kerabat dekat, dan luput dari perhatian masyarakat. Agar lenyapnya orang itu, tidak mudah disadari pihak berwenang sebab nihilnya laporan orang hilang.

Dengan tangan yang terlindung oleh sarung tangan karet, Adriana mulai memutilasi tubuh pria tua. Mata pisau bergerak begitu cekatan di tengah lautan darah. Memilah bagian-bagian tubuh yang bernilai jual tinggi, lalu menyimpannya dalam klip plastik besar. Adriana berupaya mengontrol napasnya, sembari memasukkan kembali semua barang bukti ke dalam tas.

Sesaat sebelum meninggalkan sisa jasad pria tua, Adriana sempat berpikir untuk menguburkannya. Namun, niat tersebut dia batalkan seketika. Untuk apa bersih-bersih, dia yakin tidak akan ada yang melaporkan jasadnya sebelum bau busuk yang menyengat mengganggu penciuman orang sekitar.

Malam. Nyaris pukul dua belas tepat. Adriana menyusuri jalan kecil di sudut kota yang sangat jauh dari kerumunan. Di bawah lampu jalan yang redup dan berkedip perlahan. Seorang lelaki berdiri dengan mengenakan jaket tebal dan topi yang sedikit diturunkan untuk menutupi wajahnya. Begitu tenang, Adriana menghampiri lelaki itu.

"Hei, Bung! Aku baru mengambil stok hari ini." Adriana memberikan kantong plastik hitam besar kepada Makelar kepercayaannya.

"Ini bagianmu." Makelar mengeluarkan amplop cokelat besar dari dalam jaketnya.

Adriana segera mengambil amplopnya, lantas hendak beranjak pergi. Namun, langkah Adriana terhenti ketika Makelar memanggil namanya.

"Adri, sepertinya polisi mulai sering patroli akhir-akhir ini. Hati-hati, mungkin situasinya tidak begitu aman."

"Kurasa kamu benar. Mungkin sudah ada yang menemukan mayat yang kutinggalkan."

Makelar mempertajam tatapannya. "Lain kali, jaga bisnis kita tetap bersih."

Adriana meneguk air liunya sendiri, kemudian tersenyum getir.

"Satu hal lagi." Makelar meraih sesuatu dari dalam jaketnya. "Kamu mau uang tiga kali lipat lebih banyak dari biasanya?"

"Maksudmu?"

"Mau coba jadi pembunuh bayaran?"

Alih-alih menjawab, Adriana justru terdiam. Dia ragu harus berkata apa. Selama ini, Adriana tidak pernah membunuh seseorang. Dia hanya mencuri organ dari jasad seseorang yang mati sesuai dengan garis takdir. Selalu mengandalkan kemampuan mencium bau kematian yang terdengar seperti kutukan, tetapi Adriana manfaatkan layaknya sebuah berkat.

Dengan suara sedikit bergetar Adriana berkata, "Tidak bisa, aku sebenarnya—"

Kalimat Adriana sontak terhenti kala Makelar mengeluarkan foto seorang pria dari dalam jaketnya. "Ini targetmu."

Seketika Adriana merampas foto itu dari tangan Makelar. Dia memicingkan matanya, mengamati wajah pada foto di bawah sinar lampu yang redup. Berusaha memastikan bahwa dia tidak salah lihat. Mau diamati berapa kali pun, sudah tidak salah lagi. Pria yang ada di foto adalah Niccolo yang sempat bertemu dengannya di kafe hari ini.

"Jadi, bagaimana dengan tawaranku?" Makelar mengulurkan tangannya.

Adriana menjabat tangan Makelar tanpa ragu. "Kita sepakat."

***

Keesokan harinya, Adriana kembali ke kafe yang sama dengan satu tujuan. Bertemu dan mengorek informasi dari Niccolo. Mulai dari perbincangan sederhana, kemudian perlahan mengungkap lokasi tujuan, jadwal penerbangan, hingga resort yang Niccolo pesan.

Kematian satu sampai dua hari ke depan. Adriana mulai membuat prediksi, yang paling memungkinkan Niccolo akan mati dipenerbangan atau dalam resort. Untuk menghindari kemungkinan pertama, Adriana terbang menggunakan maskapai penerbangan yang berbeda dengan Niccolo. Adriana berhasil mencapai resort, ternyata hal yang sama berlaku dengan Niccolo.

Kemungkinan kedua yang Adriana prediksi benar-benar terjadi, tetapi tidak dengan cara yang dia bayangkan. Alih-alih kematian karena garis takdir, Niccolo justru mati dibunuh. Adriana tahu dengan pasti pelaku di balik kejadian berdarah itu. Namun, dia memilih untuk bungkam. Biarlah sang Pembunuh bebas berkeliaran, selama Adriana bisa meraih keuntungan.

***

Adriana turun dari atas pohon, hendak kembali ke resort sebelum hujan makin menjadi-jadi. Mendekati resort, pandangan Adriana tidak terfokus ke depan, berbagai hal melintas dalam benaknya. Hingga tanpa sengaja bahunya menabrak seseorang.

"Aw!!! Astaga! Sakit sialan!" Vanya berteriak kencang.

Adriana sempat mendongak, keduanya bertukar tatap selama beberapa detik. Sampai Adriana memalingkan wajahnya, lantas berjalan dengan cepat melalui Vanya. Tanpa perlu membalikkan tubuh, Adriana yakin bahwa Vanya sedang kesal sekarang. Meski begitu, dia terus melangkah dan mengabaikan Vanya.

Dalam kepalanya Adriana berpikir, tidak lama lagi akan ada darah yang kembali tumpah di dalam resort. Sebab dia telah mendapati seseorang yang mengeluarkan aroma menyengat seperti darah segar yang berpadu dengan daging busuk terbakar.

Part ini ditulis oleh Faizah-chan dalam sudut pandang karakter Adriana Chaka.

____________________________

Adriana Chaka

Umur: 17 tahun

Profesi: Pedagang organ

____________________________

Di dalam rumah penginapan yang dilingkupi badai dan kematian ini, siapakah yang akan bertahan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro