Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Lilin

"Vanya Foster." Terdengar sang petugas memanggil.

Pintu jeruji dibuka, mempersilahkan seseorang keluar. Dia berbaju belang putih hitam, rambut panjang berantakan, dan memakai kacamata kesayangannya. Kakinya berjalan ke arah yang dituntun petugas.

Akhirnya hari yang ditunggu tiba, dia hirup sebanyaknya udara segar dunia luar. Selamat tinggal baju zebra, gumamnya dalam hati. Dia berdiri di depan gerbang, kedua tangannya penuh dengan kardus yang terisi. Tidak seperti orang bebas pada umumnya, bagi Vanya kata 'bebas' sama dengan 'kemustahilan'.

Bunyi bel beruntun tiba-tiba terdengar dari kardus. Sumber suaranya ternyata smartphone dengan panggilan masuk. Walaupun firasatnya buruk, Vanya menekan icon hijau, tanda dia menjawabnya.

"Selamat bebas, adikku tersayang." Suara pria keluar dari speaker smartphone.

"Bebas, kamu bisa menghubungiku adalah tanda aku belum bebas," sinis Vanya.

"Hei, aku tersinggung loh. Tapi enggak salah juga, mau kamu kabur ke Antartika atau dunia lain, aku pasti tahu."

"Langsung aja, apa maumu Floyd?"

"Aku cuma mau bilang, aku sayang padamu adik–"

Vanya menutup panggilan kakaknya. Floyd sepertinya pantang menyerah, bel beruntun memanggil lagi.

"Kamu ini kaku seperti biasa. Dari kecil sampai dua puluh satu tahun, perubahannya terlalu drastis. Aku ingat kamu pernah buang air di celana, saat itu kita ada di pulau—"

"Oke, aku akan blokir nomormu."

"Maaf, Vanya, aku sungguh minta maaf. Yah ..., walau kamu memblokir nomor ini, aku akan selalu tau dimana posisimu."

"Aku tahu itu, memangnya karena siapa aku bebas bersyarat di negara tetangga."

"Nah, tolong jangan masuk penjara lagi. Kau sendiri yang bilang ingin bebas. Aku melepasmu bukan berarti 'tak mengawasimu. Kalau 'tak kubantu, sekarang pasti Vanya si adik tersayangku sudah dieksekusi."

"Hm ...," Vanya mendehem, seolah mengangguk.

"Sekarang berapa yang kau butuhkan?"

"Empat ratus dollar, cukup."

"Itu harga rata-rata sewa tempat tinggal selama seminggu. Kau mau makan apa?"

"Apapun selain daging. Lagi pula, ada kerabatnya temanku yang kasih potongan harga dan memberiku pekerjaan."

"Sejak kapan kau punya teman?"

"Sejak di penjara."

***

Jendela kamar dibuka lebar, mempersilahkan udara segar dan cahaya matahari pagi masuk. Vanya bertatap dengan cermin, pantulannya memperlihatkan gadis yang sudah tidak memakai piyama. Rambutnya diikat, kacamata bertengger di atas hidung. Sungguh berbeda dengan Vanya yang sebulan lalu baru saja bebas.

Vanya sudah siap untuk menghadapi apapun sekarang. Dia membuka pintu kamar, langsung dihadapkan dengan tangga ke bawah. Vanya berjalan cepat, dia tidak mau mengecewakan majikannya. Dia ke dapur, dengan cekatan memasak apapun yang ia bisa masak.

"Selamat pagi, Vanya," wanita yang sudah baya menyapa.

"Selamat pagi nyonya."

"Tolong belikan bahan makanan dan kue, aku ingin rasa coklat?"

"Baik, Nyonya." Vanya tersenyum simpul.

"Terimakasih telah berbelanja." Si kasir tersenyum ramah. Vanya melewati pintu toko kue dengan tas berisi kue di tangan kanan dan bahan makanan di tangan satunya.

"Berat, tangan kiriku pegal," gumam Vanya seraya menunduk.

"Mau kubantu?" Telapak tangan seorang pria dengan posisi terbuka, tetiba saja terlihat oleh mata Vanya.

Vanya mengangkat kepalanya untuk melihat sumber suara. Dia adalah seorang pria yang sedikit lebih muda darinya. Tetapi dia lebih tinggi, kepala Vanya hanya sampai pundaknya pria itu.

"Tidak apa-apa, tinggal satu blok dari sini."

"Tapi sepertinya kau tidak kuat, jadi aku saja. Tanganmu sudah lemas, kalau ada yang merebutnya, kau tidak bisa apa-apa." Pria itu mengambil dan membawa plastik besar bahan makanan. Seperti yang dia katakan, tangan Vanya terlalu lemas untuk memegangnya.

Vanya hanya bisa menghela nafas. Walau fisik sudah menyerah, jangan sampai jiwa jadi 'tak terarah. "Oke, sini."

"Ngomong-ngomong namaku Nollan."

"Vanya."

***

Daging dan seledri dimasukkan ke roti. Makanan yang dia buat adalah makanan sederhana—roti lapis. Sengaja membuat secukupnya karena badai membuatnya berhemat.

Roti lapis itu dibawanya di tangan kanan, sembari tanya lainnya memegang lilin sebagai sumber cahaya satu-satunya. Jalannya cepat, 'tak ingin membuat semua menunggu.

Nollan mengekor di belakangnya. Membawa lebih banyak. Tanpa lilin di tangan satunya. Hanya roti lapis dan roti lapis.

""Silahkan, makan malamnya Tuan dan Nyonya."" Vanya dan Nollan sampai di tempat tujuan.

Orang-orang sudah menempelkan pantatnya ke kursi, terkecuali tiga orang. Pasti mereka sibuk dengan generator. Tetapi sepertinya tidak juga. Mereka baru saja datang dari kegelapan lorong dengan sedikit menggigil.

"Gimana?" Nollan membagikan makan malam.

Mimik wajah Xiran yang kesal berubah menjadi sedih dan sedikit kikuk, sepertinya dia bingung harus berekspresi seperti apa."Berita buruk, generatornya 'tak bisa diperbaiki karena–"

"Badai terlalu besar, kami tidak bisa menembusnya," potong Rave.

Ruang makan seketika menjadi tempat mengeluh saat itu. Semuanya melampiaskan kekesalan dan kesedihannya. Begitu juga Vanya, dia hanya bisa menghembus sekuatnya untuk menenangkan jiwa. "Mohon maaf kepada semuanya, karena generator tidak bisa dipakai, jadi kami akan memakai lilin sampai badai mereda." Vanya sedikit menunduk.

Ruang makan seketika menjadi tempat keheningan masuk. Yang lain juga tidak bisa berkata apa-apa. Semuanya terlalu diluar dugaan, seperti takdir yang mempermainkan mereka.

"Kalau begitu akan kubantu memasang lilin, roti lapis bisa menunggu," Rave menawarkan diri.

"Terima kasih Tuan Rave."

"Untungnya kita punya cukup banyak lilin. Aku akan memasang di sini. Nollan, kamu bisa mengantar Rave."

"Oke, mari Tuan." Tangan Nollan memberi isyarat.

Rave mengikuti jejak Nollan. Kini Vanya sendirian di ruangan itu. Rasa sepi dan kegelapan mulai melekat. Seperti akan ada sesuatu yang bisa menyerang kapan saja. Rupanya itu benar, suara hantaman keras tiba-tiba terdengar dari jendela.

Vanya berteriak kaget. Bersamaan dengan itu, ada suara teriakan lain dari belakangnya. Dengan kurang dari sedetik, Vanya berbalik. Sumber suaranya adalah gadis yang sangat dia kenal.

"Orlen, kenapa kau di sini?"

"A-Aku ada berita buruk dan berita lebih buruk. Sebenarnya ... kami bisa menembus badai, tapi generatornya ... rusak." Semakin lama berbicara, suaranya semakin mengecil.

"Rusak karena badai?"

"Nah, berita lebih buruknya ...."

Pemantik api dari logam dinyalakan, sumber cahaya muncul dari mulutnya. Api itu diletakkan di sumbu lilin yang sudah ada di tempatnya. Itulah yang dilakukan Nollan sedari tadi.

"Nollan," suara seorang gadis memanggilnya.

Pria itu berbalik ke sumber suara. Seorang gadis berkacamata didampingi lilin menyala di tangan kanannya, Vanya.

"Rave mana?"

"Memasang di sekitar tangga, kenapa?"

"Dia berbohong, kata Orlen, ada yang merusak generator. Awasi dia, kita tidak bisa percaya dia sepenuhnya." Vanya mundar-mandir.

"Ck, aku benci permainan psikologi seperti ini," gumam Nollan.

"Aku juga benci, Nollan. Pelakunya terlatih, dia merusak dengan mengutak-atik dan aku cek di gudang, tidak ada perkakas hilang." Kaki yang mundar-mandir terhenti.

"Aku tidak mengerti semua ini," desah Vanya. "Dari pembunuh sampai perusak generator, dia pasti salah satu dari kita."

"Vanya, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

Part ini ditulis oleh Cacinggrama dalam sudut pandang karakter Vanya Foster.

____________________________

Vanya Foster

Umur: 21 tahun

Profesi: Mantan narapidana, pelayan resort

____________________________

Di dalam rumah penginapan yang dilingkupi badai dan kematian ini, siapakah yang akan bertahan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro