Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Gelagat


Rave menyalakan keran wastafel. Tangannya saling menggosok dengan kuat, berpacu dengan degup jantung. Di baliknya, langit bergemuruh lagi. Petir menggelegar sepintas kemudian. Jendela bergetar keras. Tampaknya badai tidak akan usai dalam hitungan jari saja.

Rave membasuh muka yang pucat, kemudian mengangkat pandangan pada kaca di depan. Kedua matanya yang gelap memandang jauh pada pantulan di sana—melewati bahu telanjangnya, melampaui ambang pintu kamar mandi yang terbuka, kepada seorang wanita muda yang nyenyak di kasur.

Syukurlah. Nan mulai menerima nasib terjebak badai. Sejujurnya, Rave merasa bersalah karena mengajaknya berlibur di situasi yang tidak tepat. Semestinya aku mendengarkan ramalan cuaca bodoh itu, pikirnya, tetapi Rave tak pernah memerhatikan ramalan.

Atau peringatan.

Semalam ada seorang pemuda yang meninggal di penginapan, dan Rave tak bisa tidur. Bukannya ia putus asa. Ia tahu nasib baik tidak berpihak pada mendiang Nicco. Instingnya bekerja sangat baik menyangkut nyawa seseorang. Rave sudah menyaksikan terlalu banyak pertumpahan darah sehingga mampu menentukan nasib pemuda malang tersebut. Namun, melihat binar harapan di mata Erika, Rave tidak tega. Lagi pula ia bukanlah Raven Danvers yang dahulu. Misi hidupnya sekarang adalah membantu orang dalam kebaikan, bukan lagi—

Petir menyambar untuk kesekian kali. Rave mematikan keran dengan decit nyaring.

Namun, semua sia-sia saja. Setelah upayanya untuk membantu Erika mengobati mendiang Nicco, Rave merasa kecolongan. Ia mengira Nicco memang akan baik-baik saja—bahwa harapan Erika pantas untuk diperjuangkan. Bahwa insting Rave bisa saja salah, dan itu baik. Namun, saat seluruh penghuni penginapan sibuk, Nicco justru ditemukan dalam kondisi yang ... ya Tuhan.

Rave cepat-cepat memutar keran lagi, semata-mata untuk mengaliri gumpalan ludah yang ia muntahkan. Ia belum makan apa-apa semalam. Tak ada selera. Mengurus mayat yang tubuhnya terkoyak-koyak memang bukan pengalaman pertama. Namun Rave sangat membencinya.

Pemuda berambut legam itu meraih handuk dan mengusap wajah, kemudian melap bulir-bulir air yang menetes dari dadanya yang bidang. Ia menghela napas. Sudahlah. Hari telah berganti. Ada banyak hal yang mesti Rave lakukan hari ini daripada larut pada kengerian masa lalu.

Rave menghampiri tepi kasur dan mencondongkan tubuh. "Bangun, Sayang." Ia menarik helai-helai rambut cokelat kastanye Nan. "Sudah pagi," tambahnya dengan sebuah kecupan di pipi.

Nan mengerang. Ia mengibaskan tangan sebagai isyarat pengusiran. Bahkan seorang Rave tidak lolos dari omelan Nan saat diganggu tidur.

"Apa yang kamu mimpikan?" Rave tersenyum geli. Akhirnya ada alasan untuk melupakan mimpi buruk sesaat. Ia menangkap tangan Nan, menyusupkannya kembali ke selimut, dan bergerak-gerak usil hingga Nan terkesiap bangun.

"Rave! Apa yang kamu—hei!" Nan mendesah. Ia menggeliat menjauh, semata-mata menyingkirkan tangan Rave dari tubuhnya. Senyum culas menyempurnakan kecantikannya. "Kau selalu tahu cara membangunkanku. Tapi ini masih ... astaga, masih jam lima. Apa kamu gila?"

Rave bangkit. Ia mengacak-acak koper untuk mencari kaus. "Ada mayat yang mesti dikubur, Nan."

Ucapan Rave dengan sukses mengakhiri rangkaian mimpi indah Nan. Wanita itu terduduk dan mengawasi kekasihnya dalam diam. "Aku memahami sakit yang dialami Erika," bisiknya, seolah-olah tak ingin Rave mendengarkan. Kalau bisa. "Tapi aku takut untuk menghiburnya."

"Hiburlah. Kamu tahu betapa sakitnya itu." Rave membelakangi Nan saat menjawab. Ia menghampiri jendela, memandang ke arah tanah berumput yang dicerca hujan badai. "Dengan menghindar, kamu hanya akan memperlebar jurang ketakutanmu juga. Saat kau tahu bahwa kau tidak sendiri ... kamu akan merasa lebih baik."

Rave mendengar kekehan pelan Nan. "Hanya kamu yang bisa mengatakan itu, Rave," balas sang kekasih. "Kamu masih punya keluarga."

Rave meragukan itu. Ujung bibirnya berkedut saat berusaha tersenyum. Ia tidak akan merespons dengan kata-kata. Cukup harapan kecil yang terselip di hati, kendati mulai meredup perlahan. Rave ragu apakah Kasha, satu-satunya anggota keluarga yang tersisa, mau mendengarkan cerita liburan. Sang kakak tak pernah mendengarkan Rave. Namun, itu karena Rave selalu menceritakan hal-hal membosankan dalam hidup. Sang pemuda tak pernah bercerita hal-hal lain.

Kalau Rave bercerita soal kematian di penginapan, apakah Kasha mau mendengarkan?

"Apa kamu takkan sarapan?" tanya Nan saat Rave mengenakan jaket.

"Nanti," gerutu Rave. Atau ia akan muntah. "Kamu bisa makan dahulu kalau mau."

"Mana mungkin aku makan sementara kau mengurus jenazah?"

Rave hanya menyunggingkan senyum manis yang selalu sukses membungkam kekasihnya. Ia meninggalkan kamar, menyusuri lorong-lorong dan meninggalkan bangunan utama penginapan. Ia memasuki sebuah ruangan temaram serupa gudang yang dipaksa bersih dalam sekejap saja. Mayat Nicco diletakkan di ranjang bekas di tengah-tengah ruangan, tertutup oleh kain-kain seprai bersih yang masih menguarkan parfum penatu.

Mendiang Nicco tak sendirian. Alih-alih Erika, ada seorang gadis asing yang tengah bermain ponsel di sana.

"Hei, Nona." Rave menyalakan lampu. "Apa yang kau lakukan?"

Gadis itu mengangkat alis. "Apa urusanmu bertanya begitu?"

"Maaf. Aku tidak mengenalmu dan kupikir hanya aku yang dimintai tolong oleh Erika untuk mengurus mayat ini." Rave tersenyum, kendati agak gondok dengan sikap sang gadis. Bermain ponsel di samping mayat? Apakah ia menggosipi orang mati kepada kawannya? Rave nyaris menduga demikian, tetapi lantas tersadar bahwa tak ada jaringan sinyal yang terjangkau sama sekali.

Ah, sudahlah. Biarkan saja. Dasar remaja. Lagi pula, gadis itu tidak berniat merespons pertanyaannya sama sekali. Ia hanya melirik Rave dengan jengkel.

Rave pun pasrah. "Namaku Rave. Siapa namamu?" tanyanya. Sang pemuda mengitari mayat, memastikan bahwa kain-kain penutupnya masih dalam kondisi sama. Sedikit lekukan di ujung sudah pasti adalah ulah angin. Semoga bukan ulah tangan-tangan usil yang menjamah. Mendiang Nicco tak seharusnya diganggu lagi setelah kematian yang mengerikan. "Dan di mana Erika?"

"Adriana," jawab gadis itu ogah-ogahan. "Erika mengambil bubuk kapur barus."

Benar. Itu untuk memandikan jenazah. Rave lantas ingat bahwa dibutuhkan setidaknya wewangian untuk Nicco, tetapi koleksinya dan Nan semuanya mengandung alkohol. Ia mengerling pada Adriana. "Kau punya wewangian tanpa alkohol?" Sesuai dugaan, gadis itu diam saja. Menganggap bahwa Adriana tidak memiliki barang tersebut, Rave pun mengedikkan dagu ke arah penginapan. "Bisakah aku meminta tolong? Mungkin saja ada yang memiliki wewangian tanpa alkohol. Terima kasih." Rave tahu Adriana pasti memahami maksudnya. Itu bukan sekadar meminta tolong, dan sang pemuda berhasil menyampaikan pengusiran sehalus mungkin. Adriana lantas pergi tanpa menoleh lagi.

Selang tak lama kemudian Erika datang. Wajahnya muram dan kantung matanya tebal. Saat Rave menyambut, gadis itu menggeleng lemah. "Terima kasih karena mau membantuku lagi, Rave," bisiknya. "Aku tidak tahu apakah aku sanggup melakukan ini sendirian. Orang-orang tampaknya tak ingin dekat-dekat dengan Nicco. Dan aku ... aku ...."

"Tidak apa-apa." Rave tersenyum menenangkan. "Kau tidak sendirian, Erika. Sekarang, dan ini yang terpenting, apa kau sanggup?"

Erika menatap Rave dengan mata berkaca-kaca. "Apa kita punya pilihan?"

Sayangnya tidak. Maka mereka pun mulai bertandang. Rave mengatur selang yang sudah disediakan pemilik penginapan untuk dipasang pada keran terdekat. Setelah itu, ketika Erika sibuk mencampur bubuk kapur barus dengan air di baskom, Rave menggunting semua pakaian Nicco dengan berhati-hati.

Mereka bertandang dengan efektif dan nyaris tak ada kata-kata yang ditukar. Ruangan itu senyap, temaram, dan menyedihkan. Meski awalnya mual, Rave dengan cepat terbiasa. Bau tubuh Nicco tidak lagi mengganggu hidung. Erika sendiri menolak untuk berada lebih dekat. Gadis itu mengawasi seraya bersandar pada dinding, mempertahankan agar tetap tegar saat kedua lututnya lemas. Ia sesekali menginstruksi Rave akan bagian tubuh mana yang membutuhkan guyuran air kapur barus lebih banyak.

Sungguh. Sang pemuda takjub akan ketegaran Erika. Padahal torso Nicco tercabik-cabik bak perut rusa yang dikoyak singa.

Ini pula alasan mengapa Rave tak lagi mual, tersebab benaknya dikacaukan oleh satu pertanyaan besar.

Siapa yang tega melakukan ini kepada Nicco?

***


Satu hari itu penuh akan kedukaan kelabu. Selepas Rave dan Erika memandikan jenazah Nicco, serta membungkusnya dengan kain-kain seprai dan selimut yang layak, para penghuni lain baru berdatangan untuk mengubur. Proses pemakaman—mulai dari menggali tanah yang cukup jauh dari penginapan, menggotong mayat di bawah guyuran hujan, hingga menimbun tanah lagi—bukanlah hal mudah.

Subuh telah berganti sore saat Rave menjatuhkan diri di tempat tidur. Matanya berat. Demi Tuhan, ia tidak tidur semalaman. Ia juga baru makan satu jam lalu, itu pun hanya dua lembar roti yang dipanggangkan Nan untuknya. Olesan selai cokelat tidak membantu melumerkan kegetiran di lidah.

Nan masuk ke kamar selang beberapa menit kemudian. "Aku sudah menghibur Erika," katanya, macam seorang anak yang melapor telah memberi makan kucing pada ayah. Ia menutup pintu dengan punggung. "Kau tak apa-apa?"

Rave menghela napas. Ketiadaan respons membuat Nan memanjat kasur dengan hati-hati. Jemarinya yang lentik mengelus pipi Rave. "Katakan padaku. Aku tahu kau tersiksa karena memandikan mayat." Nan berbisik. Ia menempelkan bibirnya pada milik Rave, tetapi sang pemuda tidak sedang ingin berciuman lama-lama.

"Sesuatu mengganggumu?" tanya Nan, cukup lihai untuk membungkus kecurigaannya dengan kelembutan. Ia menyusupkan jemari di rambut Rave yang tebal, kemudian mengelusnya. "Apa yang kamu temukan?"

Rave membuka mulut, kendati tak ada kata-kata yang terucap. "Aku ...." Ia terdiam lagi. "Aku tidak tahu apakah aku bisa mengatakan ini."

"Apa kamu punya alasan untuk menyembunyikan sesuatu dariku?"

"Tidak." Rave sama sekali tidak ragu saat menjawab. "Tapi ini akan membuat segalanya semakin runyam."

"Katakan saja. Kau tahu aku tak pernah membaginya dengan orang lain. Aku hanya berbagi rahasia denganmu."

Rave memejamkan mata. "Pembunuh Nicco ada di antara kita."

Jari-jari Nan menegang di antara helai-helai rambut Rave. Pemuda itu tersenyum tipis. "Dia ada di antara salah satu yang menguburkan Nicco tadi. Aku tidak tahu siapa, tetapi pembunuh berdarah dingin ini sangat berani sebab ia kembali mencabik-cabik mendiang Nicco di saat semua sedang kacau."

"Dan ia sangat ahli karena tahu kapan waktunya orang-orang lengah," tambah Nan pelan. Ia kembali mengelus kepala Rave.

"Tapi ia sedang panik," bisik Rave. "Ia memeluntir dan mengoyak tubuh Nicco seolah-olah memastikan bahwa nyawanya tak bisa kembali ke tubuh remuk itu."

Sepasang kekasih itu diam. Alih-alih berkabung di kamar yang senyap, pikiran mereka terjalin pada masa-masa lampau yang familiar. Aroma logam, kilau merah, organ terkoyak ... itu bukanlah hal mencengangkan di masa lalu Rave dan Nan. Namun, sebagaimana tujuan utama dari liburan ke penginapan tengah hutan, mereka tak ingin mengingatnya lagi. Mereka ingin mengabadikan kenangan baru.

Sayangnya perayaan kecil-kecilan ini mesti dirusak oleh sesuatu yang sama. Aroma logam. Kilau merah. Organ terkoyak. Seolah-olah niat mulia untuk menjalankan kehidupan baik tak direstui lagi. Seolah-olah memang sepantasnya Rave dan kekasihnya terombang-ambing di lautan darah tanpa melihat daratan lagi.

"Aku mesti melakukan sesuatu."

"Rave," tegur Nan.

"Aku tidak bisa diam saja." Rave duduk untuk menyejajarkan pandangannya dengan sang kekasih. Kedua mata gelapnya mengunci tatapan Nan dengan sungguh-sungguh, membungkam niatan sang wanita untuk membantah. "Kita—aku—familiar dengan kejadian ini. Sedikit penelusuran dan aku yakin aku bisa menemukan siapa pembunuhnya."

"Rave, kau sudah berjanji." Nan mengalihkan pandangan, menolak untuk bertatapan lebih lama. Ia tak mau melihat kekecewaan di mata Rave saat ia membantah. "Tak ada lagi pengulangan—"

"Kamu tetap di sini," sela Rave tegas. "Kamu pastikan bahwa semua tetap berjalan semestinya. Cukup aku saja yang melakukannya."

"Tidak—" Nan nyaris marah, tetapi Rave selalu tahu cara untuk membungkamnya. Rave merenggut lehernya dan menyesap bibirnya kuat-kuat. Nan melenguh. Saat ciuman mereka berakhir, Nan menatap Rave dengan kepayang.

"Aku janji ini yang terakhir." Rave menempelkan dahi mereka dengan ringan. "Setelah ini semua usai, kita akan bergegas secepat mungkin dan mencari pantai terdekat. Oke?"

"Terserah." Nan tersenyum kesal. Kedua mata pirusnya mengekori Rave yang beranjak dari kasur dan berganti pakaian. Sial. Andai tidak sedang terjadi kegentingan, Nan dengan senang hati akan mengelus otot perutnya yang kencang, lantas menariknya kembali ke tempat tidur. Atau menahannya selama satu jam di balik pintu kamar mandi. Itulah yang semula Nan bayangkan sebagai bayaran setimpal atas badai di penginapan terpencil.

Sayangnya Rave tidak terlihat akan menyetujui itu.

"Dari mana kamu akan mulai mencari informasi?"

Rave berhenti mengacak-acak koper. Ia menarik satu kaus hitam sebelum meringis kepada Nan. Seperti bocah yang ketahuan berbohong. "Si mantan marinir?"

"Pria cantik sebelah kamar?" Nan melotot. "Kau bisa bertanya pada Nollan atau Vanya. Mereka pengelola penginapan."

"Tenanglah, Manis," kata Rave seraya mengenakan kaus. "Lagi pula dia benar-benar tak punya niatan aneh. Maksudku, dia bahkan berpesan agar aku menjagamu di saat genting begini."

Nan tak tahu mesti merespons bagaimana. Matanya menyipit. "Kau yang mesti berhati-hati."

Itulah kata-kata terakhir yang Rave dengar. Sebelum menghilang ke luar kamar, ia mengedipkan mata.

Rave sempat menghilang selama beberapa jam hingga waktu makan malam. Tak usah ditanya ke mana pemuda itu pergi. Ia cuma menelusuri sekitar penginapan, sembari membawa satu lembar roti panggang yang digigit-gigit kecil. Kalau ada yang bertanya apa yang dilakukannya, Rave cukup bilang bahwa dirinya membutuhkan angin segar.

Ia tidak bohong. Aroma mayat masih melekat kuat di hidungnya, seolah Rave menenggelamkan wajah di antara pecahan lemak dan isi perut Nicco yang acakadut. Sang pemuda sesungguhnya tak ingin mengenang mendiang Nicco dengan cara seperti ini. Namun, sebuah pengalaman masa lampau yang melibatkan seorang rekan membuat Rave mau tak mau mengingatnya lagi.

Orang gila macam apa ....

"Tuan Rave," Nollan menyapa saat mereka berjumpa di lobi. Sang pemilik penginapan tak sendirian. Ia sedang menggantung jas-jas hujan bersama kekasihnya Vanya. Rave memberi anggukan kecil dengan senyum yang nyaris tak pernah tanggal. "Makan malam akan siap sebentar lagi. Kau bisa melupakan roti panggang—sedari tadi kau hanya makan itu."

"Di mana Nona Nanette?" tanya Vanya. "Kalian biasanya terlihat bersama." Kemudian, sebelum Rave menjawab lagi, ia menambahkan dengan muram. "Di saat seperti ini ... jangan berkeliaran sendirian."

Rave tahu ini bukan saatnya memberikan jawaban tanpa dipikir lebih dahulu. Selama pembunuh Nicco masih ada di penginapan, Vanya benar. Jangan ada yang berkeliaran sendirian. Segala alasan yang membenarkan tindakan ini hanya akan membuat Rave berbalik menjadi tertuduh.

"Trims. Aku akan mengabarkan Nan," kata Rave seramah mungkin. "Aku sangat berterima kasih kepada kalian. Maksudku, terjadi kekacauan besar dan orang-orang sedang tegang. Kalian pasti kepayahan untuk mempersiapkan ini dan itu."

Nollan tersenyum. "Itu sudah tanggung jawab kami sebagai pengelola penginapan, Tuan Rave."

"Jika kalian membutuhkan tenaga tambahan, aku siap."

Vanya mengangkat alis. "Apakah kau tenaga ahli sesuatu? Kalau kuperhatikan lagi, kau cukup banyak membantu di sini. Kau mendampingi Nona Erika untuk mengurus mendiang Nicco sejak kemarin, termasuk mengurus generator bersama Nona Orlen."

"Nah." Rave meringis. Ia tahu arti tatapan penuh selidik Vanya, dan ekspresi terbaik untuk menepisnya adalah seutas kenaifan. "Aku sempat memelajari banyak hal sebelum memutuskan jurusan kuliah yang tepat bagiku."

Memang benar. Rave mengetahui sedikit banyak akan berbagai hal di masa lampau. Ketika memutuskan untuk kuliah, Rave yakin bahwa satu-satunya jurusan terbaik adalah jurusan yang tidak mengingatkannya akan berbagai keahlian itu.

Ketika Rave mengabarkan Nan untuk makan malam, itu adalah waktu di mana seluruh tamu penginapan juga berkumpul lagi. Mereka sudah berganti pakaian dan mengenakan wewangian, walau kemuraman bergurat-gurat pekat di wajah masing-masing. Lampu gantung di ruang makan mulai berkedip-kedip.

Orlen mendongak. Khawatir. "Aku akan mengecek generatornya."

"Selesaikan makan malam dahulu, Nona Orlen," kata Nollan. "Tidak mengapa. Kami juga punya persediaan lilin."

Joan, pria aktor yang duduk di seberang Rave, mendesah keras-keras. "Kalau tiba-tiba mati sekarang, rasanya nafsu makanku akan menghilang."

Xiran mendorong kursi. Terasa jelas kedongkolannya. "Baiklah. Kita cek generator sekarang, Orlen. Makan malam bisa dilanjut nanti."

Orlen tergagap saat Xiran melintasi ruangan dengan langkah lebar. Ia buru-buru bangkit, memohon agar para tamu berkenan menunggu, dan menyusul Xiran pergi. Ruang makan jatuh hening sesaat. Hanya terdengar denting sendok garpu dan helaan napas panjang Nollan.

Saat Rave mengangkat pandangan, tak sengaja tatapannya bertemu dengan sang pemilik penginapan. Nollan tak bergeming. Ada sesuatu yang seolah-olah ingin disampaikan pemuda itu.

Rave menelan suapan terakhir makanannya dan mengelap mulut. "Kebetulan aku sudah selesai." Ia tersenyum. "Aku akan menemani mereka untuk mengecek generator. Semoga bahan bakarnya belum habis."

Nollan mengangguk ringan. Kelegaan terpancar di wajah. Rave menepuk bahu Nollan saat melewatinya menuju pintu ruang makan. Memang tak ada kata-kata yang terucap, tetapi Rave paham apa yang dirasakan sang pemilik penginapan. Begitu pula yang lain.

Rave sangat mengerti.

Dia sudah pernah melewati semuanya, kau ingat? Dan lagi, Rave merasakan ada ikatan tak kasat mata di antara para tamu penginapan. Sesuatu yang barangkali takkan terbentuk andaikan Nicco tak ditikam hingga tewas dan badai menjebak mereka.

Walau rasa ketakutanlah yang menyatukan mereka.

Rave menyusul ke tempat generator berada. Bunyi kecipakan mengiring tiap langkah kakinya yang menembus hujan. Petir menggelegar, menyambar sebuah pohon di antara hutan di belakang penginapan. Aroma tanah basah yang semestinya segar kini menjadi sememualkan anyir mayat.

Setibanya di ruang generator, Rave mendapati Xiran dan Orlen merapat. Sedikit terlalu dekat untuk ruang yang cukup dimasuki sejumlah orang, bukankah begitu? Rave sempat mengira bahwa kedatangannya kemari adalah hal yang keliru—barangkali Xiran dan Orlen memang sengaja mencari kesempatan untuk, kau tahu, saling menghibur di situasi mencekam ini ....

Namun Rave tak bisa berputar balik. Tidak setelah kedatangannya diendus oleh Xiran. Mantan marinir itu berputar. Saat ia berkata-kata, yang keluar adalah nada aneh lagi—seolah-olah memang ada jiwa lain yang menempati sosok itu.

"Rave!"

"Hai." Rave menurunkan tudung jas hujan. Bulir-bulir air hujan mendarat di ujung rambutnya yang berantakan. "Apa generatornya baik-baik saja?"

Orlen menghela napas. "Aku tidak bisa bilang demikian." Ia menatap kedua pemuda di hadapannya dengan kalut. "Kalau ... kalau aku mengatakan bahwa ada ketidakberesan pada generator ini, apakah kalian akan percaya padaku?"

"Apa maksudmu?"

Alih-alih menjawab, Orlen mengamati Rave terlebih dahulu. "Apa kau tidak masalah untuk datang kemari lagi? Apakah, uh, kekasihmu tidak marah?"

"Nan? Dia percaya padaku." Rave mengangkat alis. "Memangnya apa lagi yang akan kulakukan di sini?"

Meski pemuda itu tertawa, Orlen tak merasa lebih baik. Ini karena situasi generator yang tidak normal. Jemarinya menunjuk ke arah mesin tersebut. "Sebenarnya aku sudah curiga sejak kemarin, tetapi kupikir itu bukan sesuatu yang besar selagi aku bisa membenahinya. Sekarang, satu kesalahan lagi, maka generator ini benar-benar akan rusak."

Rave merasakan darahnya berdesir. Ia melepas jas hujan seutuhnya dan ikut berjongkok di dekat generator. Tanpa Orlen menjelaskan lebih jauh, Rave telah mengendus kejanggalan itu. Bukan, bukan karena Rave memahami generator luar dalam. Tentu saja ia tahu—tetapi instingnya telah berbisik lebih dahulu.

Apa kau tidak masalah untuk datang kemari lagi, Rave? Ini bukan menyoal Nan.

Bagaimana jika ....

"Ada apa?" desak Xiran.

"Ada yang mengutak-atik generator," jawab Orlen lugas. Saat Xiran membulatkan mata tak percaya, Orlen kembali ragu-ragu. Namun, anggukan penuh dukungan dari Rave membuat sang gadis menyerah. Tak ada gunanya mempertahankan keraguan itu. Maka ia pun menjelaskan dengan singkat apa yang terjadi pada generator. Terutama bagian di mana seseorang telah memainkannya.

Usai Orlen menjelaskan, Rave refleks terduduk lemas. Ia bertumpu pada kedua tangannya.

"Ini kacau," komentar Xiran.

Rave tak menyanggah. Itu komentar yang sangat tepat.

Seorang tamu penginapan yang ditikam berulang kali ... generator yang sengaja diutak-atik .... Oh, bukankah ini sangat menarik?

Tentu saja itu menarik bagimu.

Bagi Rave, ini adalah sebuah mimpi buruk. Harapan untuk berlibur dengan tenang telah pupus. Ia menoleh ke balik bahu, ke arah hujan yang menggedor-gedor tiap jendela penginapan dan menenggelamkan tiap pucuk rumput. Petir menggelegar. Cahayanya membuat langit gelap gulita menjadi sebenderang siang tanpa noda. Selama sesaat, Rave bahkan berhalusinasi melihat sosok-sosok tak kasat mata yang mengintai dari pilar=pilar hutan.

Bagi Rave, badai itu adalah isyarat jelas bahwa tak ada jalan untuk melarikan diri dari masa lalu. Mungkin ada hal-hal yang sebaiknya ia tuntaskan. Selagi ia di sini, di penginapan terpencil dengan aroma kematian dan kejahatan pekat, di antara semua tempat dan waktu.

Rave menatap kedua teman barunya. "Hei, kalian tahu?" senyum semringah tersungging di wajahnya. "Aku mulai memikirkan sesuatu. Mau mendengarnya?"


Part ini ditulis oleh andywylan dalam sudut pandang karakter Raven Danvers.

____________________________


Raven Danvers

Umur: 21 tahun

Profesi: Mahasiswa, mantan kriminal

____________________________


Di dalam rumah penginapan yang dilingkupi badai dan kematian ini, siapakah yang akan bertahan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro