Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Curiga

Tidak ada yang lebih baik dari akting seorang pria macho berperawakan tinggi, Joan Alexander. Bakatnya dalam dunia akting mengantarkan dirinya untuk terjun sebagai calon aktor.

Belum lama ini, Joan diterima oleh sebuah agensi terkemuka yang menaungi para aktor baru dan cilik. Kesempatan besar menjadi bagian dari mereka, sebab Joan bisa mendapat pekerjaan layak dengan mengandalkan akting dan wajah rupawan miliknya.

Kebetulan kemarin malam, Joan mendapati pesan lewat ponsel iPhone miliknya bahwa dia lolos casting film horor yang disutradarai oleh sutradara terkenal di negaranya, Cha Liem. Jarang sekali anak muda sepertinya mudah diterima, padahal banyak sekali peserta dengan kemampuan yang lebih senior darinya.

Film pertama yang dibintanginya pun tidak begitu horor-horor amat, plot ceritanya pun sangat klise. Seorang ibu yang bangkit dari kubur untuk mencari tumbal. Joan yang kebagian peran sebagai suami dari sosok setan 'Ibu' tersebut harus mampu memperagakan akting mumpuni.

Joan dengan mudah menunjukkan jiwa kebapakannya secara elegan dan tajam. Sayang sekali, kelemahannya sebagai seorang pria macho membuat Cha Liem memijit kepalanya yang terasa begitu pening ini.

***


Kelemahan dari lelaki jantan--Joan--kalau memang bisa disebut kelemahan yakni tidak bisa berteriak histeris. Serius.

Bicara saja terdengar berat dan dalam, macam bapak-bapak berumur 30-an. Apalagi kalau dipaksa untuk berteriak, jangan harap suara Joan akan melengking. Justru seperti macan yang kehabisan ide untuk menakut-nakuti lawan. Sumbang. Gara-gara sang ayah pula, yang membuat jiwa Joan lebih cepat dewasa dari anak-anak lain.

Sejak umur lima tahun, Joan telah mengenal apa artinya dunia sinema dan film dari tontonan televisi. Menginjak setahun lagi, dia layaknya reviewer film yang menilai betapa buruk dan baiknya suatu sinema di negaranya sendiri. Sayang sekali, penilaian Joan selalu menyentuh "buruk" yang berarti perfilman saat ini tidak baik-baik saja. Maka seperti mimpi-mimpi sekadar halusinasi dari anak-anak untuk mencoba menunjukkan bakat.

Terpilih sebagai salah satu aktor pemeran film horor, bukan main senangnya. Namun, bermodal tampang good looking saja tidak cukup, harus dibarengi skill. Ibarat tong sampah yang baru dan berkilau, tetapi tanpa ada isinya pun tak akan pernah dianggap ada sebab tak berguna. Apa yang dapat pemulung ambil dari tong sampah kosong dengan nyaring bunyi besinya itu?

Sutradara Cha Liem yang sibuk menyusun skenario film dan cerita, tidak sempat untuk menentukan setting film yang akan dipilih. Maka seluruh aktor dan aktris yang berperan ditugaskan untuk mencari tempat atau lokasi terseram sebagai referensi. Tentu saja, sang sutradara pun akan memberikan hadiah bagi siapa pun yang berhasil mendapat tempat seram yang diinginkan.

Joan tidak tinggal diam, dia mencari banyak tempat seram di internet, tetapi tidak ada yang cocok. Sampai terdengar ketukan pintu di kos miliknya dan membukanya pelan-pelan. Selembaran brosur tentang penginapan yang berada di tengah hutan, menggunakan tema alam sebagai pondasi iklannya. Tertarik, Joan segera mengemasi barangnya dan meluncur ke tempat yang dituju. Oh, tentu saja dia harus menyewa angkutan umum.

Benar-benar di luar dugaan, penginapan itu teramat besar dan didominasi tanaman ivy merambat. Area belakang dan samping kiri-kanan penginapan itu bersentuhan langsung dengan hutan lebat dan dedaunan berwarna hijau pekat. Kalau siang hari, penginapan ini cocok untuk bersantai menikmati keindahan permadani hijau dan perbukitan rendah berbalut awan tipis. Sayang, malam hari membuat tempat itu layaknya sebuah rumah tua dengan monster-monster tinggi berambut panjang sambil memamerkan kuku-kuku runcing--padahal itu hanya hamparan pohon akasia yang tinggi.

Pohon-pohon di sana bukan main tingginya, tinggi sekali. Kemungkinan sejak dahulu kala mereka bukan disiram dengan air, tetapi dengan susu sapi.

Kendati begitu, pemandangan di sekitar penginapan menarik netra Joan. Seolah ingin menyergap jiwanya untuk bersatu dengan eksistensi alam. Sudahlah, Joan enggan untuk menyatu apalagi berkelana jauh ke sana. Dia pengidap asma, berlari sepuluh menit saja pun membuat paru-parunya copot dari tempat seharusnya. Mari jelajahi isi penginapan itu. Jika ada misteri yang terselubung, gali lebih dalam.

***


Joan mengunyah permen karet di kamar yang sudah ia pesan, bertipe single bed. Sesekali disibukkan dengan notifikasi dari ponselnya yang tak pernah habis mengganggu ketenangan malam Minggu ini. Ia mengirim lokasi penginapan tersebut pada Cha Liem via messenger. Beruntung, sutradara itu amat menyukai lokasi yang cocok untuk bahan setting film.

Joan menghela napas panjang. Tugasnya belum selesai sampai sini. Ia harus melatih aktingnya berteriak histeris macam perempuan, sesuai perannya sebagai 'seorang suami'. Tiba-tiba udara begitu pengap dan panas, diikuti lampu gantung yang mati beberapa kali. Sepuluh detik kemudian, seluruh penerangan mati total. Joan memilih untuk keluar dari kamar, menikmati malam hari yang gelap ini dengan melihat pemandangan di luar penginapan.

Langkah Joan melambat, dikarenakan pemadaman listrik membuatnya harus berhati-hati apalagi angin kencang dari luar penginapan sesekali membelai rambut lurusnya. Angin sedingin es krim yang langsung dimakan dalam keadaan beku. Rasanya ngilu.

Samar-samar di kejauhan, seorang gadis berkacamata melintas sembari membawa lilin. Gerakan sepatunya cukup cepat dan tepat, seolah ia sudah lama tinggal di penginapan ini.

"Apa pemadaman listrik ini sering terjadi?" tanya Joan melembutkan suaranya.

"Cukup sering. Jangan khawatir tentang itu, pegawai penginapan pasti akan segera memperbaikinya, meskipun sangat lambat ...." sahut gadis itu sembari mengedarkan pandangan.

Joan mengulurkan tangan. "Omong-omong siapa namamu?"

"Vanya. Kau?"

Joan tersenyum, tetapi senyumannya luntur ketika sadar akan sesuatu. "Jo--bentol!"

Salah satu phobia Joan, takut melihat benda dengan wujud berbintik-bintik atau berlubang. Astaga, Joan tidak sengaja menatap lengan kiri Vanya yang disinari oleh nyala lilin. Bentol-bentol kemerahan itu tumbuh di sekujur kulit gadis itu. Joan lantas mundur beberapa langkah, ketakutan menyerang syaraf dan jantungnya. Saat itulah, dia berteriak histeris seperti perempuan untuk pertama kalinya.

Sementara Vanya, gadis itu tertawa cekikikan. "Kau phobia terhadap sesuatu seperti ini? Maaf saja, di sini banyak nyamuk! Maaf, aku harus pergi untuk menyiapkan makan malam." Vanya bergegas berlalu dari sana, diikuti tatapan aneh dari Joan.

Aku rasa ada yang melihatku dari belakang, pikir Joan.

Selama tiga jam berkutat dengan kegelapan di tengah penginapan, listrik akhirnya menyala kembali diikuti nyala lampu pijar yang berkedip-kedip.

Joan menghampiri satu per satu kamar untuk menghilangkan rasa jenuhnya. Walaupun penginapan itu teramat besar dan luas, tidak sebanding dengan jumlah penghuninya. Mungkin saja di sini lebih banyak hantunya ketimbang orangnya.

Sejauh memandang, Joan menemukan pegawai yang sedang mengantar makanan. "Permisi, kenapa penginapan ini sepi sekali?"

"Anda ingin mencari keramaian? Silakan pergi ke kamar 301." Pegawai itu menjawab seadanya dan berlalu cepat.

Jawaban aneh. Joan takut, bisa saja ada pembunuh bayaran yang akan membunuhnya di kamar itu. Ah, dia tidak peduli. Selagi masih di sini, dia akan mencoba untuk mencari adrenalin ketakutan.

Perjalanan menuju kamar 301 pun cukup menyeramkan, berada di lantai dua. Lilin-lilin kecil tergantung di sisi kiri-kanan koridor tanpa penerangan lampu, menghadirkan sisi klasik dari penginapan ini. Penghujung koridor hanya ada kegelapan. Kendati Joan telah menyalakan senter ponselnya itu tidak menghasilkan cahaya yang cukup.

Suara lantai kayu berderak diikuti semilir angin dingin menaikkan bulu kuduk Joan. Tidak ada siapa pun di sini selain dirinya sendiri. Ketakutannya sirna setelah berhasil menemukan kamar 301 yang nampak sangat kuno dari segi interior pintu.

"Ketemu!"

Joan buru-buru memasuki kamar 301 ketika mendengar derap kaki manusia yang berjalan ke arahnya. Di kamar itu tidak ada siapa pun, pemandangan yang masih sama seperti kamar miliknya tetapi dengan gaya kuno. Salah satu dari jendelanya terbuka secara tiba-tiba diikuti gemuruh petir. Oh, dari kemarin petir memang menghujam wilayah penginapan ini, tanpa tanda-tanda turunnya hujan.

Suara derap kaki yang semula hening, terdengar kembali. Joan mengintip di balik lubang pintu, meski tidak dapat melihat secara jelas.

"Oh, siapa yang berjalan itu?"

Ada seorang perempuan berjalan pelan, sibuk meremas kantung bajunya, entah apa isinya. Kelihatannya dia sedang mencari sesuatu atau melakukan hal rahasia? Kemudian tak lama setelah itu ada dua orang lagi. Satunya perempuan, satunya lagi pria. Oh, pria itu tidak bisa dibilang 'pria' sebab wajahnya samar-samar terlihat cantik layaknya perempuan. Joan mengira mereka adalah tiga sahabat yang sedang berlibur di sini, tetapi tebakannya salah. Pria cantik yang berjalan tegap dan waspada itu nampak membuntuti langkah si perempuan. Entah apa maksudnya, Joan tidak mengerti sama sekali.

Teriakan dari bawah.

Ketika Joan hendak memutar kenop pintu, dia ditahan oleh sekelompok wanita yang muncul dari bawah ranjang. Lampu tidur menyala dan menyoroti Joan, dibarengi dengan aroma minuman wine dan minuman keras lainnya yang menusuk syaraf-syaraf hidung.

Salah satu dari wanita itu dengan atasan rambut ikal menarik kerah baju Joan. "Nak, apa kau mau segelas wine? Mari berpesta!"

Joan cuek bebek dan tidak peduli, tetapi tangannya ditahan. "Jawab pertanyaanku, kau tidak boleh lari. Sekalian mari bergosip!"

"Lihat, ada Sadako!" Joan menunjuk-nunjuk televisi di kamar yang dipenuhi wanita itu, otomatis mereka menengok ke belakang. Joan memelesat dengan cepat keluar dari situ. "Mudah sekali menipu kalian!"

Joan bergegas menuju ke lantai satu penginapan, di sana muncullah keramaian. Namun, mereka semua memasang tatapan aneh dan saling pandang satu sama lain. Pusat keramaian yang menarik perhatian mereka ialah seorang pria yang tergeletak di lantai dengan bersimbah darah. Kelihatannya dia sangat shock dan terkejut, seolah kematian baru saja ingin mengambil garis kehidupannya.

Salah satu dari kerumunan tersebut, gadis berambut panjang dengan polesan lipstik di bibirnya begitu ketakutan dengan membungkam mulutnya akibat tekanan napas dari kedua paru-parunya begitu cepat bereaksi. Sepertinya dia ingin pingsan saat itu juga, tetapi segera ditahan oleh seorang pria berambut lurus dengan badan kekar yang kemungkinan adalah pacarnya.

"Nanette, kenapa kamu ketakutan begini?" tanya Rave seraya menenangkan gadis yang masih terlihat gemetaran sehabis melihat setan.

Keheningan menguasai beberapa detik, Nanette mulai menggerakkan bibirnya. "Aku ... mari kita bicarakan nanti."

Mereka segera memindahkan si korban pria menuju tempat yang aman sembari memberitahukan kepada resepsionis. Beberapa dari mereka yang gelisah atas kejadian tersebut memilih untuk segera pulang dan meninggalkan penginapan terkutuk itu. Sayang seribu sayang, badai datang dengan gugusan awan cumulonimbus di langit tepat malam tanpa kehadiran rembulan ini. Dari berita lokal setempat, longsor terjadi di area perbukitan dan jalan umum, akses menuju kota terhambat. Mereka pun terpaksa untuk tetap tinggal di penginapan itu dengan segudang teka-teki sampai longsor berhasil dibersihkan.

Setelah semuanya aman, Nanette mulai angkat bicara.

"Sebenarnya tadi aku pergi ke lantai dua, sebab aku melihat ada seseorang diam-diam pergi ke sana sendirian. Tiba-tiba aku merasa ada yang membuntutiku."

Rave memijit keningnya. "Artinya kamu tidak sendirian di sana? Ada seseorang yang mengintaimu?"

Nanette mengangguk lemah. Joan menelan jawaban dari gadis itu seraya bersandar di pilar penginapan. Salah satu betis Nanette mengeluarkan darah segar akibat tergelincir dari lantai dua.

"Omong-omong, kenapa kau pergi sendirian?" celetuk Joan.

Nanette mendongak ke arah si pemilik suara bariton. "Huh? Aku penasaran, tentu saja. Untuk apa pergi berdua? Bisa-bisa aku kehilangan jejaknya."

"Sepenting itukah sampai harus saling membuntuti orang lain? Aku malah lebih curiga padamu." Joan berusaha meredam emosinya, tetapi guratan kemarahan terukir di dahinya.

Rave menepuk pundak Joan. Senyum kalut tersungging di wajahnya. "Hei, sepertinya kamu mendalami peran sebagai aktor, ya? Jangan khawatir. Kamu tidak perlu curiga terhadap Nan." Ia mencondongkan tubuh untuk berbisik. "Dan sedikit berhati-hati dengan ucapanmu karena Nan sedikit mudah marah. Itu saja."

"Oh, begitu?" Joan mengangkat alis.

Rave mengangguk. Ia mengulurkan tangan. "Ngomong-ngomong, namaku Rave."

"Joan." Mereka berjabat tangan masing-masing, meski terkesan agak canggung.

"Semuanya, berkumpul di sini."

Rave segera menghitung orang-orang yang berada di sekitarnya. Ada Orlen, Joan, dia bersama Nanette, dan Nollan. Seorang penghuni lain, Erika, sedang berada di kamarnya untuk merawat korban yang ditemukan tadi. Tampaknya mereka saling kenal. Kemudian, Joan teringat akan satu pria yang membuatnya salah tingkah. Oh, satu lagi Vanya yang datang-datang sudah membawakan obat luka untuk Nanette.

"Bagaimana kau tahu aku terluka, Vanya?"

"Ah, aku selalu siaga dengan kotak P3K mini di dalam kantongku. Apa semua orang sudah lengkap?" Vanya menyahut santai.

Rave kembali menghitung satu per satu. Dia baru sadar ada yang kurang.

"Di mana Xiran?"

Satu pertanyaan itu membuat semuanya melempar tatapan curiga. 


Part ini ditulis oleh DwiBudiase dalam sudut pandang karakter Joan Alexander.

____________________________


Joan Alexander

Umur: 20 tahun

Profesi: Calon Aktor

____________________________

Di dalam rumah penginapan yang dilingkupi badai dan kematian ini, siapakah yang akan bertahan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro