Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Untuk Kebebasan

"Kau sudah besar, Vanya, saatnya melakukan tradisi." Suara Nyonya Foster sejam lalu terus terngiang dalam pikirannya.

"Sebenarnya tradisi apa ini, kak?" Bisik Vanya pada Floyd.

"Hidangan yang spesial." Floyd berbisik balik, pada anak perembuan di sebelahnya.

Di ruang makan yang luas, datanglah beberapa pelayan membaya sebuah nampan. Namun Vanya merasakan sesuatu yang mengerikan dari wajah mereka saat makanan iru dihidangkan. Vanya merasa jantungnya berdegup kencang saat melihat daging yang telah dihidangkan di hadapannya. Namun, dia merasa terlalu takut untuk menanyakan apa itu sebenarnya. Sejak kecil, Vanya telah mendengar tentang tradisi keluarganya, tetapi dia belum pernah mencobanya sendiri.

Setelah selesai makan, Vanya pergi ke dapur dan melihat sesuatu yang mengejutkan. Dia melihat potongan daging yang tersisa dan menemukan bahwa itu adalah tangan manusia. Vanya merasa sangat panik dan bingung. Dia tahu bahwa keluarganya memiliki tradisi yang aneh, tetapi dia tidak pernah menyangka bahwa tradisi itu melibatkan hal yang sangat mengerikan seperti ini.

Vanya kemudian mencari kakaknya dan menceritakan apa yang terjadi. Kakaknya hanya mengangguk dan berkata, "Ya, aku tahu. Itu adalah itulah yang membuat tradisi keluarga ini spesial."

"B-bagaimana bisa kau mengatakan itu?" Vanya ketakutan.

Kakaknya menatap Vanya dengan serius, "Ini adalah cara kita memperoleh kekuatan, Vanya. Kita harus patuh pada jejak nenek moyang. Dengan memakan daging manusia, kita dapat menyerap jiwa seseorang."

Vanya merasa jijik dan mual. Dia tidak tahu dia harus berbicara dengan orang tuanya tentang ini. Namun, setelah meneliti sebuah buku di perpustakaan keluarga, Vanya menemukan sebuah cara untuk menghentikan tradisi itu. Di buku itu, tertulis bahwa untuk menghentikan tradisi ini, dibutuhkan sepuluh tumbal saat badai suci.

Vanya tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu. Dia merencanakan untuk melarikan diri dari rumahnya dan mencari badai suci. Dia ingin menghentikan tradisi mengerikan ini dan menyelamatkan orang yang mungkin menjadi korban selanjutnya.

"Kakakku, aku harus pergi," kata Vanya dengan suara lemah. "Aku harus menghentikan tradisi ini."

Kakaknya menatapnya dengan pandangan serius, "Percuma saja, Vanya, tradisi ini mengikat dan aku akan selalu mengawasimu."

Dengan tekad yang bulat, Vanya melakukan pelariannya dan perjalanan yang berbahaya menuju badai suci. Dia tahu bahwa misinya tidak akan mudah, tetapi dia siap melakukan apa saja untuk menghentikan tradisi keluarganya yang mengerikan ini. Kelak akan tiba saatnya dimana Vanya bisa hidup normal dan bebas, lalu mengajak kakaknya masuk kedalam hidup seperti itu.

***

"Sial," umpat Joan.

Orlen terkapar tak bernapas dengan memardan luka tusukan besar di tubuhnya. Darah semakin menyelimuti lantai. Bahkan pisau dekat kaki Nollan mampir berwarna merah seluruhnya.

"Nollan?" Adri sedikit melangkah mundur.

Nan berdecik. Suara hujan badai tak bisa mengalahkan suara detak jantung mereka. Nollan yang posisinya paling dekat dengan Orlen menjadi sorotan. Vanya yang bersembunyi takut di belakangnya mengintip dan melihat Joan yang masih hidup. Itu cukup untuk membuatnya paham kenapa mereka ada di sini.

"Bukan, bukan Nollan." Rave sekarang yang disorot. "Vanya, aku harusnya tahu ini dari awal.

"Saat mati lampu pertama kali, orang yang melakukannya haruslah yang mengetahui seluk beluk resort. Kau biasanya bersama Nollan, ketika Xiran dibunuh, kau di mana? Kau menyarankan aku, Nan, dan Erika keluar dengan mobil yang remnya tidak berfungsi. Satu-satunya orang yang bisa melakukan itu adalah Orlen dan dia sedang kau jaga."

Raven mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah kancing. "Ini yang diberikan Erika ketika dia sekarat, ini milikmu, kan?"

Sorotan mata berpindah lagi, bahkan Nollan juga. Dengan ketakutan dan tubuh yang gemetar, Vanya keluar dari balik punggung Nollan perlahan.

"Tidak, dia berbohong. S-sebenarnya aku takut—"

"Takut? Kau tahu apa artinya takut? Takut itu ketika kamu melihat malaikat maut yang berdiri di depanmu karena seseorang sudah membunuhmu, Kau patut mendapatkan hukumanmu sendiri," Nan berteriak dengan suara lantang.

"Tenanglah, Nan." Rave memegang pundak kekasihnya.

Semua orang di sana terdiam, mencoba memproses informasi yang baru saja diterima. Pembunuh beberapa nyawa, tapi takut membunuh, siapa yang mau percaya itu?

"Vanya, apa itu benar?" tanya Nollan dengan suara pelan.

Vanya menggelengkan kepala, "Tidak, aku tidak melakukan itu. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa."

Raven menghampiri Vanya dengan perlahan, "Sudahlah Vanya, kau tahu kita sudah menemukan bukti yang cukup. Lebih baik kau mengakui kesalahanmu dan menyerahkan diri ke polisi. Kau takut, aku paham betapa sulitnya untuk memaafkan diri sendiri setelah menghilangkan beberapa nyawa. Aku paham sebenarnya kau tak ingin menyakiti kami, apalagi Nollan. Alih-alih membunuhnya sendiri, kau menggunakan Orlen, apa itu karena kau mencintainya. Lihat Vanya, masih ada setitik kebaikan dalam dirimu. Kau seperti ini karena dunia yang memaksamu, aku paham."

"Tidak, tidak akan ada yang memahamiku," gumam Vanya.

"Setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan kedua, bahkan untuk pembunuh sekalipun. Setelah kau menyerahkan diri ke kantor polisi, aku akan membantumu. Setelah bebas, kau bisa memulai hidup baru. Jika ada sesuatu, aku ada kenalan yang bekerja untuk program terapi narapidana."

Vanya terdiam sejenak, seakan berpikir dengan keras. Hidup normal dan bebas, itu adalah cita-citanya. Hidup dimana dia tidak harus berurusan dengan tradisi keluarga yang aneh. Apa itu mungkin?

"Iya, baiklah."

Cukup dua kata untuk membuat detak jantung Rave mereda. Namun tiba-tiba dia meraih senjata Nollan yang tergeletak dan menyerang Raven dengan cepat. Satu tusukan besar Rave dapatkan

Sepertinya tidak mungkin Vanya hidup normal dan bebas tanpa membunuh sepuluh orang saat badai suci. Kakaknya—Floyd akan tahu dia di mana dan sedang apa, dengan begitu Vanya tak akan bebas. Yang Vanya lakukan selama ini adalah satu-satunya cara.

Semua orang panik dan Nollan berusaha untuk meminta Vanya menyerahkan senjata, tapi Vanya hanya menyangkal bahwa dia yang membunuh Orlen dan justru memfitnah Raven.

"Rave memanipulasi kita semua! Dia berbohong dan mencoba membuat kita semua tertuduh. Apa kalian tidak merasa aneh, Erika dekat dengannya dan Xiran juga ngobrol dengan Rave sebelum dia dibunuh. Nollan, kamu harus percaya padaku!" teriak Vanya dengan suara yang panik.

Nollan berdiri di tempatnya, mencoba memproses semua informasi yang telah terungkap. Dia mengingat kembali semua yang dia ketahui tentang Vanya, dan dia tidak yakin apakah dia bisa mempercayainya.

"Vanya, aku ingin mempercayaimu. Tapi bagaimana aku bisa yakin kalau kamu mengatakan yang sebenarnya?" ucap Nollan dengan suara ragu.

"Kau yakin Nollan?"

Nollan terdiam sejenak, mencoba memandang Vanya dengan tatapan tajam. Namun, saat dia melihat ekspresi wajah Vanya yang penuh ketakutan, dia merasa terharu.

"Maaf, aku harusnya lebih mempercayaimu daripada diriku sendiri"

Part ini ditulis oleh Cacinggrama dalam sudut pandang karakter Vanya Foster.

____________________________

Vanya Foster

Umur: 21 tahun

Profesi: Mantan narapidana, pelayan resort

____________________________

Di dalam rumah penginapan yang dilingkupi badai dan kematian ini, siapakah yang akan bertahan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro