Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. Sembunyi

Pikiran Joan tak pernah kosong, selalu ada inspirasi maupun imajinasi yang muncul sekilas dan dia tak akan pernah berhenti berpikir sebelum menutup mata selama-lamanya. Yah, kedengarannya konyol tetapi Joan lebih suka meramaikan pikirannya sendiri daripada pergi ke tempat orang-orang banyak.

Sehabis mengisi perut, saatnya Joan memberi makan pikirannya dengan menyusuri area taman resort yang sudah lama tak dibersihkan. Entah sudah dijual atau kekurangan petugas, taman ini masih terbilang indah dengan tetumbuhan lily dan marigold tetapi dedaunan kering yang berserakan dibawahnya menciptakan aura suram nan kelam bak sedang berada di kuburan.

Tidak jauh dari sana, terlihat batang hidung Nan yang terlibat cekcok dengan kekasihnya, Rave. Aneh. Padahal sebelumnya mereka tampak romantis dan baik-baik saja. Lebih aneh lagi ketika Orlen berdiri diantara keduanya dengan tatapan malas sekaligus sebal. Pasti ada hal berbau sensitif yang sedang mereka bahas sampai beradu mulut.

"Hei, hei! Ada apa ini ribut-ribut?"

"Joan, sebaiknya kau diam saja sebelum aku marah padamu," Nan melirik sekilas ke arah Joan dengan tatapan tajam.

"Silakan. Aku tidak keberatan. Memang apa salahku sampai harus marah begitu? Oh, apa kalian berdua sedang membahas perselingkuhan?"

Rave sontak saja memukul punggung Joan seraya menutup mulut nakalnya itu. Benar-benar diluar dugaan. "Kami tidak membahas itu! Lagipula ini soal Orlen!"

"Orlen? Ada apa dengannya?"

Orlen mendekati Joan seraya berbisik-bisik ditelinganya. "Tadi Nan berusaha membunuhku–"

"Kalau bicara itu mulutnya dijaga ya! Jelas-jelas bahwa kau pelakunya, Orlen!"

Rave menahan Nan yang masih tersulut emosi dan menenangkan kondisi. Joan mendengar penuturan dari Nan yang bersikukuh bahwa pelakunya itu Orlen. Namun, Joan tentu tidak menelannya bulat-bulat. Orlen tidak pernah salah, dia bersih. Bagaimana bisa Nan berpikir seperti itu?

"Sudahlah Orlen, kau tidak usah meladeni orang naik darah seperti Nan. Lebih baik kau mencari udara segar ...." Mereka kemudian berpisah detik itu juga.

Joan mengajak Orlen berjalan-jalan sebentar tetapi Orlen ingin pergi ke kamar. "Kau percaya denganku 'kan, Joan?"

"Tentu saja. Jelas pelakunya bukan kau."

Orlen menjentikkan jarinya. "Ya, sebaiknya kau hati-hati. Siapa pun perempuan asing yang mencoba mendekatimu jangan pernah diladeni. Apalagi kalau dia kelihatan mencurigakan."

Orlen mengajak Joan pergi ke kamarnya untuk membahas tentang kebenaran sosok pelaku sebenarnya yang diduga Vanya. Untuk merahasiakan pembicaraan yang amat sensitif ini, Orlen mengunci pintu kamar dan mereka berdua bersembunyi di bawah ranjang tidur.

"Jadi bagaimana kau bisa mencurigai bahwa Vanya pelakunya?" Joan bertanya dengan berbisik-bisik.

"Aku bisa memberi bukti agar kau percaya padaku tanpa perlu bertanya lagi seperti ini. Tunggu ya."

Orlen keluar dari bawah ranjang tidur dan mengacak isi laci meja riasnya. Di tengah kesibukan itu secara mendadak ada suara yang sedang menuju kamarnya. Pelan tetapi sangat jelas.

Suara langkah kaki dan ketukan pintu.

"Orlen! Buka pintunya!"

Itu suara Vanya. Orlen baru ingat kalau Vanya pernah meminjam buku cerita dengannya dan sekarang ia hendak mengembalikan buku tersebut. Astaga. Rencananya tidak berjalan mulus.

Orlen membuka pintu kamar seraya menerima buku dari Vanya. Gadis berkacamata itu tampak melirik kanan-kiri seolah sedang mencari sesuatu. "Kau mau cari apa di kamarku?"

"Apa kau sendirian di sini?"

Orlen memicingkan mata. "Maksudmu?"

"Aku lihat ada empat sandal di depan kamarmu. Jangan-jangan ada orang lain di kamar ini selain dirimu 'kan? Aha!"

Vanya menoleh ke bawah ranjang tidur dan dia tertawa kecil. Joan terpaksa keluar dari persembunyian dan tersenyum kikuk. "Apa yang sedang kalian lakukan di sini? Berdua lagi! Kalian sedang merencanakan sesuatu?"

Gawat. Kalau Vanya bertanya apa hal yang sedang mereka bicarakan itu akan sangat berbahaya. "Eh, Vanya. Kita temen kok. Aku bisa membantumu."

Vanya melirik sekilas. "Ya sudah. Silakan kau mencari Nollan."

Aku tidak bodoh, Vanya berlalu dari kamar Orlen seraya mengambil ponselnya. "Nollan, tolong aku & Orlen. Aku tadi melihat joan berada di bawah tempat tidur Orlen, dia sangat pasti akan membunuhnya. Aku panik dan lari, sepertinya joan sadar ada aku yang berlari. Aku tidak tahu bagaimana keadaan orlen sekarang, tapi dia pasti mengincarku. Tidak ada waktu lagi, kau harus membunuhnya sebelum aku dan semua orang mati, percayalah padaku, aku tak ingin berpisah denganmu." Begitulah pesan singkat dan padat yang diketik oleh Vanya.

Joan berlari cepat menuju area teras resort yang biasa dijadikan markas istirahat oleh Nollan. Namun, dia urung mendekatinya ketika Nollan sibuk memainkan ponselnya.

Pikiran Nollan kalut tetapi ia tidak dapat mengelak dari kenyataan. Membunuh? Untuk apa? Nollan menyelipkan pisau lipat di saku bajunya yang sering dia bawa ke mana-mana untuk pertahanan diri.

Joan datang bersamaan dengan para pelayan yang membawakan makan malam. Steak sapi dengan spaghetti. Joan berpura-pura ramah seraya duduk dihadapan Nollan.

"Kau suka makanan barat?"

Nollan melirik sekilas. "Menurutmu?"

"Kau tidak suka," sahut Joan dan dia tahu arti responnya ketika Nollan memicingkan matanya.

"Lihat, cara kau memegang garpu masih salah. Bukan di tangan kiri melainkan di tangan kanan."

Nollan tersenyum simpul. "Oh, tidak apa-apa. Aku lebih nyaman seperti ini. Omong-omong kau tidak makan juga? Kebetulan aku memesan dua menu steak," tanya Nollan sembari menguyah daging yang memenuhi mulutnya. Lelaki berkulit putih susu itu tampak mengambil sesuatu dari dalam tasnya.

"Ah, apa boleh? Aku juga suka steak."

"Silakan."

Sebelum Nollan memberikan daging steak yang disukai Joan, diam-diam ia menuangkan banyak lada di atasnya yang pasti akan menimbulkan sensasi pedas menusuk. Lada dalam porsi kecil hanya akan menimbulkan sensasi pedas layaknya makan cabai rawit tetapi dalam porsi lebih besar itu tidak aman. Perut akan kepanasan dan lidah merongrong pedih.

Joan menerima ajakan Nollan, lumayan mendapat jatah makan malam gratis. Di hadapannya terlihat steak berwarna cokelat kemerahan yang terlihat menggoda. Aman-aman saja. Namun, penciumannya tidak pernah bohong. Lada. Aroma pedas menusuk. Joan tak akan pernah bisa dibohongi dengan trik-trik nyeleneh seperti ini. Dia tahu bahwa Nollan pasti menuangkan banyak lada untuknya seorang.

"Kelihatannya pedas ya?"

Nollan tersedak dan buru-buru menenggak soda. "Ah, iya. Makan saja selagi masih hangat."

Joan mengunyah sepotong steak, rasa pedas menghantam lidahnya. Segera dia melakukan akting terbaik untuk mengelabui Nollan dengan mengeluh kesakitan, berguling-guling di lantai seraya menyentuh lidahnya yang kepanasan. Ah, tetapi sebenarnya itu tidak pedas sama sekali.

Nollan tersenyum iblis. Joan pun tahu dia akan begitu. Secepatnya Nollan membantu Joan untuk berjalan menuju toilet. Akting Joan makin menjadi-jadi seperti tangannya gemetaran dan berjalan terseok-seok. Nollan pun dengan susah paya harus membopong Joan layaknya bayi besar yang dimanja.

"Nah, sekarang kau akan mati." Nollan berbisik seraya membawa Joan menuju koridor gelap. Tanpa disadari, Joan masih sadar dan tersenyum bahwa rupanya lelaki berambut lurus itu juga ingin membunuhnya. Astaga, mereka saling membunuh.

Joan terkapar lemas. Dia tak sadarkan diri. Keluar banyak air liur dari mulutnya dan mengigau seperti hantu. Menangis. Aneh. Sepenuhnya itu adalah akting Joan yang totalitas tanpa batas. Nollan pun sampai bingung. Dengan kondisi Joan yang sudah sekarat hampir dicabut oleh malaikat maut, lebih baik dia tinggalkan saja daripada dibunuh.

"Omong-omong aku takut darah. Apalagi darah pria. Uh!"

Nollan buru-buru menyeret tubuh Joan menuju toilet pria. Memasukkannya dalam posisi terduduk dan mengunci pintunya menggunakan besi agar tidak dapat dibuka dan berlalu begitu saja.

Joan masih sadar, sampai sekarang. Tertawa kecil. Masalah muncul sesudahnya.

"Nah, sekarang aku terkunci di sini. Sendiri. Sial!"

Part ini ditulis oleh DwiBudiase dalam sudut pandang karakter Joan Alexander

____________________________

Joan Alexander

Umur: 20 tahun
Profesi: Calon Aktor

____________________________

Di dalam rumah penginapan yang dilingkupi badai dan kematian ini, siapakah yang akan bertahan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro