Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Firasat


Sejak kecil Ranko memiliki hubungan benci sekaligus cinta dengan perairan. Jangan ditanya kenapa, lelaki yang merasa wajahnya lebih sebagai kutukan daripada berkah, juga tidak bisa menjawab satu pertanyaan ini. Akibat wajah yang terlalu cantik untuk ukuran seorang lelaki dan postur tubuh yang langsing, kejantanannya selalu dipertanyakan.

Dalam benak mayoritas orang, marinir adalah sebuah profesi membanggakan dan direkatkan dengan sosok lelaki perkasa dan tangguh. Namun, tidak bagi Ranko Sawa. Ia sama sekali tidak ingin satu pun orang tahu bila dirinya seorang mantan marinir.

Benar dia pernah menjadi seorang marinir, tapi bukan karena keinginan sendiri, melainkan harus patuh pada aturan. Negaranya mewajibkan para penduduk pria menempuh pelatihan militer bila sudah mencapai usia tujuh belas tahun. Usia Ranko saat ini sembilan belas tahun berdasarkan hitungan kalender internasional. Namun, menurut perhitungan memusingkan yang diterapkan oleh negaranya, tahun ini ia genap berusia dua puluh tahun.

Ranko tidak ingin mengingat—atau lebih tepatnya sering amnesia—tentang masa-masa pelatihan berat yang dilaluinya selama 21 bulan. Salahkan Xirina, si hantu yang terus menempel entah sejak kapan. Bukan, Xirina bukan saudara kembar yang meninggal di dalam kandungan dan menjadi sosok pelindung. Seharusnya yang lebih pantas disebut marinir adalah gadis itu, karena memang dialah yang lebih dominan untuk membuktikan bila pria cantik sepertinya tidak bisa diremehkan.

Jujur saja, Ranko tidak punya pilihan selain menuruti hantu penuntut itu bila tidak ingin wajah dan tubuhnya diacak-acak lebih dari yang seharusnya. Ia lelah harus terbangun dengan wajah penuh riasan dan berpakaian seksi seperti wanita penghibur. Siapa yang ingin menemukan diri mereka terperangkap dalam stoking jala-jala merah terang, hak sepatu yang bisa menggantikan paku, serta pakaian kekurangan bahan?

Sudahlah, Ranko lelah bila harus meneruskan segala protes terhadap kehidupan berliku yang harus dijalani. Ia hanya ingin istirahat dengan tenang. Mungkin berlibur di sebuah resort terpencil bisa membuatnya berpikiran jernih untuk melihat sisi positif dunia untuk sesaat.

***


Matahari masih perlu menunggu dua jam kemudian untuk kembali menyapa dunia. Namun, di dalam kereta cepat yang ramai penumpang, telah duduk sesosok lelaki berambut hitam sebahu. Baret ungu terang bertengger di puncak kepalanya. Perjalanan menuju wahana air yang baru dibuka memakan waktu satu jam perjalanan dari stasiun.

Sejak menerjuni profesi sebagai merman profesional, Ranko Sawa menggunakan nama Xiran—singkatan dari Xirina dan Ranko—karena Xirina ingin mendapatkan kredit yang membantunya tidak takut dengan air lagi. Ia memeluk satu tas besar—berisi kostum ekor ikan dan segala perlengkapan lain yang mendukung pertunjukan nanti—dan menatap bosan ke luar jendela. Sesaat kepalanya tersentak cepat dan mengedip-ngedip perlahan.

"Ran, aku ingin liburan. Kau juga perlu." Xirina menjentikkan ujung kuku lentiknya yang baru diberi hiasan kepala penguin.

"Tidak bisa. Aku ada show sampai akhir minggu," balas Ranko sambil menyusupkan tangan ke dalam saku celana. "Kapan kau memakaikan kuku palsu norak ini padaku?"

Xirina menarik keluar tangan yang tadi dimasukkan Ranko dan kembali mengagumi hasil karyanya sendiri. "Siapa suruh lengah. Satu lagi, kapan kau bosan jadi ikan hias, hah?" semburnya.

Beberapa pasang mata tertuju pada Ranko, membuatnya harus tersenyum bodoh sebagai bentuk permintaan maaf. "Bisakah kau tidak mengajakku bicara di tempat umum seperti ini?"

"Kenapa? Bukankah kau suka bila tidak ada yang dekat-dekat karena mengira kau gila dan suka bicara sendiri?" Xirina membekap mulut dan meloloskan tawa kecil.

Ranko buru-buru menyembunyikan wajah di balik tas akibat tatapan—entah menuduh atau kagum—dari seorang remaja perempuan di bangku seberang. Karena merasa masih diperhatikan, ia mendongak dan gadis itu sudah memperlihatkan tulisan berjalan di ponselnya yang terbaca, 'Latihan dialog dalam drama? Berperan sebagai tokoh berkepribadian ganda memang tantangan, Kak. Semangat! <3 <3'

Sepasang lesut pipi terbit di samping sudut bibir Ranko yang melengkung. Ia memilih tidak menyanggah dan membiarkan remaja tersebut berpikiran positif. Seperti inilah keseharian Ranko. Satu tubuh dengan dua kesadaran dan memakai mulut yang sama untuk berkomunikasi. Ranko Sawa adalah pemilik raga lelaki setinggi 178 cm bernetra hitam jernih. Pada dua urat besar di pergelangan tangannya tertato inisial DD—Dominic Dawson.

Sosok astral yang terus memperpendek usia Ranko adalah Xirina, seorang gadis yang menjadi perwujudan dari pepatah air susu dibalas air tuba. Kenapa? Dia adalah hantu dari seorang gadis yang diculik dan dibunuh dengan kejam. Atas bantuan Ranko, jenazahnya berhasil ditemukan. Namun, tidak seperti di film, tidak ada kata perpisahan untuk kedua makhluk beda alam ini. Xirina tidak mau meninggalkan Ranko meski diancam akan dieksorsis.

Entah polos atau bodoh, Ranko justru menerima kontrak yang ditawarkan Xirina dan berakhirlah mereka seperti sekarang, sebuah hubungan terlarang antara majikan dan hantu yang suka melakukan sesuatu semaunya, kecuali membunuh dan merenggut jiwa Ranko.

***


Seminggu kemudian, Ranko sudah menjadi penumpang bus yang baru meluncur keluar dari terminal. Gumpalan-gumpalan awan hitam ikut menemani perjalanan dua jam hingga sampai ke sebuah penginapan di tengah hutan yang mengusung tema kembali ke alam. Kelelahan menjadi salah satu alasan Ranko menerima tiket yang dibeli Xirina sewaktu membajak raganya.

Selesai istirahat selama dua jam, Ranko terbangun dan ingin meregangkan tubuh atau mencari hiburan lain sebelum makan malam digelar. Keluar dari kamar, ia harus melewati satu koridor yang dibentuk dari enam jejeran kamar yang saling berhadapan. Satu belokan dan ketemulah tangga kayu berukir emas yang warnanya sedikit memudar.

Ranko melirik sejenak ke tangga kayu dan bulu kuduknya langsung berdiri tanpa sebab. "Hei Xiri, kau tidak mengajak temanmu menghantui tempat ini, kan?"

"Tidak." Xirina membuat kepala Ranko mendongak dan menatap lama pada koridor gelap di ujung tangga.

"Ada apa?"

"Tidak. Tidak apa-apa."

Sampailah Ranko di area resepsionis ditemani deru guntur bersahut-sahutan di angkasa. "Bagus, menghindari laut karena ramalan cuaca dan di sinilah kita berada." Ranko mengembuskan napas sambil berkacak pinggang. Dari balik jendela, matanya tidak lepas dari awan badai malam ini.

"Mungkin kau punya bakat untuk memanggil badai. Kapan saja dan di mana saja," canda Xirina sambil membeo salah satu iklan televisi.

"Jangan ingatkan aku."

Siluet seseorang di dekat pilar beranda rumah menarik perhatian Ranko. Pendar kekuningan dari lampu di atas kepala mereka hanya bisa memberitahu bila sosok berambut panjang tersebut adalah seorang wanita.

"Hei, mau sampai kapan melihat dia?" Xirina tidak sabar dan menuntun tangan Ranko untuk membuka pintu.

"Diamlah."

Aroma tanah lembap dan dedaunan memenuhi udara. Gerimis telah berubah menjadi curahan deras yang ditumpahkan langit. Angin kencang juga bertiup ganas, memaksa dahan dan ranting pohon menari liar. Namun, meski rambut wanita tersebut terus menampar-nampar wajahnya, tidak ada tanda-tanda ia akan pergi.

"Dia patah hati atau apa? Angin sekencang ini dan dia malah bergeming begitu." Meski Xirina yang berbicara, kepala Ranko yang menggeleng-geleng sambil berdecak.

"Tidak aman tetap berada di luar sana!" Kepala Ranko menyembul dari pintu yang setengah terbuka.

Merasa disapa, wanita berambut cokelat dan sedikit bergelombang ini menurut dan masuk. Ranko sempat mengamati kondisi di luar sebelum menutup rapat pintu dan mendapati si wanita masih berdiri di dekatnya. "Aku pernah berada di tengah badai seperti itu saat di atas kapal, bukan pengalaman yang menyenangkan." Dahi Ranko mengernyit.

Yang barusan menyuarakan pendapat adalah Xirina, membuat Ranko menyelipkan protes dalam bisikannya, "Apa-apaan, Xiri! Kenapa kau mengarang cerita?"

"Aku bohong salah, jujur salah juga. Sudahlah." Ada nada merajuk dalam balasan Xirina.

Ranko menunggu tanggapan dari wanita bermata pirus dengan pipi memerah.

"Memang," balasnya, setuju dengan pernyataan Xirina.

Aroma anggur merah tertangkap hidung Ranko, lebih dari cukup untuk menjelaskan kondisinya yang setengah mabuk. Pantas saja matanya tidak fokus. Karena tidak ingin berurusan lebih lama dengan seseorang dalam kondisi seperti itu, Ranko memberinya peringatan untuk menjauhi jendela dan memutuskan kembali ke kamar. Di koridor, ia berpapasan dengan gadis berkaca mata dan menunduk singkat sebelum masuk ke kamar dan menunggu waktu makan malam.

***


Di dalam kamar, Ranko tengah melihat daftar makanan ringan.

"Dia mengerikan," buka Xirina.

"Siapa?"

"Si pendek kaca mata itu." Xirina menuntun langkah Ranko mendekati jendela.

Ranko memutar mata malas dan hendak berbalik untuk menjauhi jendela. "Kau ingin aku tertusuk dahan patah atau tertimpa pohon?"

"Ssst ...!"

"Ada apa?"

"Itu. Lihat di sana." Ujung jari Ranko yang digerakkan Xirina menunjuk pada sosok yang berlari-lari kecil dalam siraman deras hujan. Ujung-ujung jas hujannya berkibar-kibar.

"Sedang apa dia di tengah badai begini?" Alis Ranko terangkat, penasaran sekaligus merasa aneh dengan gelagat sosok yang celingak-celinguk tersebut. Ia mendekatkan wajah ke jendela, tapi tahu-tahu dirinya terlontar hingga terbanting di atas ranjang. "Apa lagi sekarang!" dengkusnya, tidak terima dengan perlakuan teman astralnya.

Xirina tidak perlu memberi penjelasan karena derakan kayu patah dan kaca pecah menyergap telinga Ranko. Tanpa sadar tangannya meraba dada dan menunduk sambil menghela napas. Andai saja Xirina tidak bertindak cepat, mungkin patahan batang pohon berujung tajam telah menembus jantungnya. Benar, batang pohon yang patah baru saja mendobrak jendela kamar dan menghamburkan serpihan kayu dan kaca.

Angin dan hujan menyerbu masuk dan mengacak-acak kamar Ranko, memaksanya untuk berlari keluar dan mencari petugas penginapan untuk memberi kamar pengganti. Di luar, kondisi yang hampir sama juga terjadi. Namun, tidak separah yang menimpa jendela kamarnya.

Beberapa langkah lagi Ranko akan sampai ke meja resepsionis, tapi langkahnya tertahan sewaktu melihat wanita setengah mabuk yang diajak bicara tadi tengah membuntuti seseorang.

"Apa ini? Seorang wanita yang menguntit selingkuhan dan ingin melabraknya?" gumam Xirina bersemangat.

"Imajinasimu terlalu tinggi," balas Ranko sambil menarik kepalanya yang menyembul dari balik tembok, takut ketahuan karena wanita tersebut sempat berhenti dan memutar kepala. Kilat yang tiba-tiba membelah langit malam, membuat semua jendela menjadi terang sepersekian detik.

"Para hantu di udara sedang bernarsis ria," celetuk Xirina.

"Apa ini saatnya tertawa?" Ranko tidak bisa menahan kesinisannya lagi.

Gelegar guntur membahana diikuti sesuatu yang besar dan berat menghantam bumi. "Benar-benar kentut yang luar biasa."

Ranko berdecak sebal. "Perbaiki selera humormu. Sama sekali tidak lucu!" Baru saja ia hendak melangkah, seluruh perabotan yang membutuhkan listrik padam dan sekeliling mereka gelap gulita. "Sungguh waktu yang tepat untuk mati ...."

Xirina menggerakkan tangan Ranko untuk menampar bibirnya sendiri. "Mulutmu harimaumu. Hati-hati, jangan mengundang dia datang."

"Siapa?"

"Si Pemanen Jiwa. Siapa lagi?" Pemanen Jiwa adalah istilah Xirina untuk malaikat pencabut nyawa alias kematian yang datang bak pencuri.

"Dia salah musim. Ini belum musim panen," balas Ranko dengan nada sinis dan sedikit mengolok.

Ranko membatalkan niat untuk membuntuti si cantik yang selalu memancarkan aura dingin dan kembali fokus pada tujuan awal—ke meja resepsionis. Namun, ia harus menelan kekecewaan karena tidak ada satu pun yang berjaga. "Lain kali aku tidak akan memakai tiket yang kau beli. Tanganmu membawa sial," gerutunya.

Sudut bibir Ranko berkedut, menunjukkan reaksi Xirina yang tidak terima diberi label pembawa sial. "Aku membeli tiket itu dengan tanganmu. Lupa?"

"Anggap saja aku sudah sial sejak bertemu denganmu."

"Bila bosan hidup, bilang saja. Aku bisa merancang kematian paling spektakuler untuk putra duyung gadungan sepertimu!"

"Jangan bawa-bawa profesi muliaku, hantu pembawa sial!"

Tidak lama Ranko menyesal telah menyulut emosi hantu berhati sensitif seperti Xirina yang memaksanya kayang di tempat. Tubuh Ranko memang lentur, tapi ia khawatir dengan reaksi orang bila lampu kembali menyala.

Nasib sial benar-benar mengolok Ranko. Apa yang ia khawatirkan langsung terwujud. Dalam posisi terbalik, ia melihat sepasang kaki yang terbalut jins gelap. Bola matanya bergerak untuk melihat si pemilik wajah, tapi sosok tersebut malah berjongkok di hadapannya.

Entahlah, Ranko bingung mengartikan ekspresi yang terbentuk di wajah pria ini. Apakah dia terpukau, menahan tawa, atau 'tolonglah, kekonyolan apa yang baru kulihat?'. Mungkin dia berusaha bersikap sopan, sehingga tidak ada gerakan menepuk dahi dan geleng-geleng kepala.

"Ah, maaf. Ototku tiba-tiba kaku, aku takut gelap ...." Sudut bibir Ranko berkedut-kedut. Ia berusaha tersenyum ramah, tapi tertahan rasa malu yang menohok. "Jadi, aku perlu peregangan."

"Ok," balasnya tidak yakin. "Setidaknya kamu bukan kerasukan."

Keisengan Xirina mengambil alih. "Aku? Emansipasi zaman sekarang berlaku sebaliknya, justru manusia yang merasuki hantu."

"Xiri, diamlah." Ranko merebahkan diri lalu memutar badan untuk duduk. "Maaf, aku sedang latihan dialog drama."

"Begitu. Baiklah, karena kamu baik-baik saja aku permisi." Sosok pria tampan berambut hitam dan berkulit pucat segera berdiri. "Nanette ... kamu pergi ke mana?" desahnya singkat sebelum mengayun langkah menjauhi Ranko yang masih menatapnya.

"Xiri, jangan lupa kau tengah memakai tubuhku untuk mengagumi dia!"

"Apa aku terlihat peduli? Lihat, lihat—si tampan melihat ke sini! Harusnya aku tanya namanya tadi!" Lagi, Xirina menggunakan tangan Ranko untuk melambai dan tersenyum menggoda.

"Xirina!"

Teriakan kesal Ranko menyatu dengan teriakan seseorang yang bercampur deru badai di luar.

***


Seseorang tergeletak di lantai bersimbah darah. Napasnya semakin tidak teratur, terkadang panjang, terkadang pendek-pendek. Jelas ia sekarat, tapi masih ingin memperjuangkan nyawanya tetap bersemayam dalam raga yang lumpuh.

Ranko berdiri bersama beberapa orang yang sudah berkerumun. Pria yang ditemuinya di bagian resepsionis tengah membantu menekan luka terbuka atas suruhan seorang wanita yang mencoba melakukan tindakan pertama dalam keadaan darurat.

"Urgh ...." Melalui mata Ranko, Xirina melihat sosok pria yang terkapar. Ia langsung berbalik dan bersandar di tembok, sekuat tenaga menahan desakan ingin muntah sejak perutnya berkontraksi.

Ranko berbisik simpati, "Xirina, tenanglah ...." Ia mengerti reaksi tubuh dan gejolak emosi si hantu yang kembali terbayang kondisinya sebelum meregang nyawa.

"Kau tidak apa-apa?" Seseorang menepuk lembut bahu Ranko.

Ranko menoleh dan mendapati gadis yang memakai jaket bertudung menunjukkan kekhawatirannya. Sembari membekap mulut, Ranko mengangguk cepat, meski rasa asam sudah merembes naik hingga tenggorokan.

"Wastafel! Ikut aku!" Tanpa aba-aba si gadis bertudung menarik ujung jaket Ranko untuk berlari bersama hingga melewati satu tikungan lalu mendorongnya. "Di sana! Cepatlah!"

***


Baru berkenalan, Ranko langsung akrab dengan wastafel. Entah sudah berapa lama ia berdiri dan terus membasuh mulut dari air keran. Tidak ada lagi yang keluar selain cairan yang sesekali menetes-netes dari dagu. Ia takut bila seluruh organ dalam juga akan ikut keluar bila perutnya tidak berhenti berkontraksi.

Gadis yang entah siapa, masih sabar menemani dan menepuk-nepuk punggungnya. "Chandrakanta. Maksudku, namaku Orlen. Kau siapa?"

" Ran—" Sesaat Ranko ragu, tapi kemudian memilih menggunakan nama panggung dari profesinya. "Xiran. Se-senang berkenalan—Urgh, maaf ...!"

Orlen mengerti bila Ranko—Xiran—harus menuntaskan bisnis yang belum selesai. "Tidak apa-apa."

Xiran duduk dan bersandar di tembok, seolah seluruh tenaganya ikut hanyut bersama muntahannya. "Terima kasih. Bila ingin ke sana, pergilah."

Orlen ikut duduk di samping Xiran. "Percuma. Apa yang bisa kulakukan di sana? Dia bukan mesin yang bisa diutak-atik," balasnya terus terang.

"Benar. Menangani darah dan mayat juga buka spesialisasiku."

"Hei, itu terlalu kasar."

"Bukan begitu. Orang itu tidak bisa diselamatkan." Meski tidak terlalu mengerti, tapi Xiran tahu pasti pria malang tersebut tidak akan bisa bertahan dengan penanganan seadanya.

"Apa yang terjadi di sini?" Orlen memeluk kakinya sendiri.

"Entahlah. Hati-hati dan jangan pernah lengah." Xiran menoleh dan menatap lama pada salah satu koridor tanpa penerangan. Ia tidak bisa melihat jelas apa yang ada di ujung koridor, tapi firasatnya mengatakan ada sebuah pintu di sana. Sejak awal menginjakkan kaki di penginapan tua ini, ia selalu merasa diawasi, tapi entah oleh siapa.

***


Xiran dan Orlen berhenti sekitar setengah meter dari lokasi pria sekarat yang sudah dipindahkan entah ke mana. Orang-orang yang berkerumun tadi sudah membubarkan diri. Mungkin sekarang sibuk mengemasi koper di kamar masing-masing.

"Hati-hati, jangan sampai mengganggu dan merusak lokasi TKP," nasihat Xiran pada Orlen yang mengangguk kecil.

"Kalian bisa lewat sini," panggil seseorang dari arah belakang, membuat Xiran dan Orlen menoleh bersamaan. "Kenalkan, aku Vanya. Silakan." Vanya mempersilakan dua tamunya untuk berjalan di depan.

Mereka bertiga melewati koridor lain di sayap kiri yang tembus di area kamar Xiran berada. Dugaan Xiran tidak meleset karena beberapa wajah yang dilihatnya memang sudah berkumpul di bagian resepsionis. Ada yang duduk di sofa sambil memeluk tas besar dan menggigiti kuku untuk sekadar melepas stres, atau sesenggukan hingga harus ditenangkan oleh pasangannya. Beberapa jalan mondar-mandir menunggu kehadiran Vanya dan Nollan.

"Orang-orang yang tidak rasional." Orlen menggeleng melihat onggokan koper di dekat mereka.

"Memang, tapi apa lagi yang terpikir selain melarikan diri secepatnya dari sini." Sedikit banyak Xiran bisa mengerti jalan pikiran Orlen, tapi ia juga paham kepanikan yang membungkus para tamu. Mereka datang ke sini untuk hiburan, tapi bukan hiburan aliran horor.

"Pakai apa, kaki? Di tengah badai begini?" Orlen mengembuskan napas cepat.

Satu-satunya cara menuju terminal terdekat memang harus menggunakan mobil, tapi suara pembawa acara di radio jelas-jelas mengatakan terjadi longsor di jalan yang harus mereka lalui.

"Sial!" maki seorang pria yang sedari tadi bersandar di meja resepsionis setelah mendengar siaran radio, "kita semua terjebak di sini," tambahnya.

"Sepertinya begitu," balas pria yang masih merangkul seorang wanita. Pasangan kekasih tersebut adalah dua orang pertama yang ditemui Xiran.

Vanya berdeham sejenak sebelum membuat pengumuman, "Atas nama manajemen kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Namun, dengan berat hati kami tidak bisa mengantar kalian ke terminal."

"Kalian sudah dengar di radio, bukan?" timpal Nollan yang baru tiba dan berdiri di samping Vanya.

"Bagaimana kalau sekarang kalian menikmati makan malam yang tersaji? Kami tahu ini bukan saat yang tepat untuk itu, tapi—"

"Tidak. Terima kasih atas tawarannya, Vanya." Wanita berkulit pucat yang matanya sedikit bengkak berdiri dan berpaling pada pasangannya. "Aku ingin istirahat, Rave."

"Baiklah. Bisa antarkan makan malam ke kamar kami?" tanya Rave pada Vanya yang langsung mengiyakan.

Satu per satu para tamu membubarkan diri. Sebagian kembali ke kamar masing-masing dan sisanya memilih menambal perut dengan makan malam yang sudah disiapkan.

Xiran mendekati Vanya dan menjelaskan kondisinya. Mereka berdua berjalan menuju kamar tidur yang semakin berantakan. Tidak sampai lima detik, Vanya buru-buru menutup pintu akibat tiupan angin kencang dan semburan air hujan yang melabrak wajahnya.

Vanya mengelap kaca mata dan wajahnya yang basah lalu merapikan rambut. "Baiklah, silakan kemasi barang-barangnya dan ikut aku, Nona—maksudku, Tuan Xiran."

Badai masih menggila di luar, tapi setidaknya tidak ada insiden berdarah lain. Meski bisa dipastikan tidak ada yang bisa tidur nyenyak malam ini.

***


Xiran keluar dari kamar tidur bersamaan dengan Rave di kamar sebelah kanan dan Orlen di sisi kiri.

"Oh, kita tetangga?" Rave menjentikkan alis tebalnya sambil tersenyum.

Xirina langsung mengambil alih begitu melihat wajah Rave. "Pagi ...!"

"Kamu pikir senyum itu bisa mengundang matahari dan mengusir badai?" Nanette berdiri di samping Rave sambil melempar tatapan menusuk.

"Nan." Rave mengingatkan Nanette untuk menjaga lidahnya.

Orlen menyelamatkan suasana dan mengajak Xiran pergi untuk sarapan. Rave melirik Nanette, raut wajahnya belum berubah. Apakah Nanette cemburu pada seorang pria yang ... cantik?

Rave merangkul bahu Nanette dan setengah menyeret wanitanya untuk ikut bergabung dengan tamu lain menikmati sarapan. Ia khawatir karena Nanette mengabaikan makan malam yang dibawakan Vanya semalam.

Di ruang makan hanya ada lima orang yang duduk di meja persegi panjang. Vanya berdiri di dekat pintu masuk untuk menyapa tamu.

"Dalam dua jam ke depan, generator kami akan mati. Sekali lagi, kami memohon maaf atas ketidaknyamanan ini." Pengumuman Vanya mengundang decak kesal dan gelengan kepala dari beberapa tamu, tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menerima semuanya. Sungguh, mereka hanya bisa menunggu sisa longsor dibersihkan dan membebaskan mereka dari penginapan yang seolah menjelma menjadi rumah horor dalam semalam.

Waktu berlalu dengan sangat lambat bagi Nanette yang masih terbayang penemuan korban sekarat yang masih ditunggui oleh salah satu tamu bernama Erika. Ia terus memerhatikan Xiran. Entah mengapa hari ini Xiran terlihat lebih cantik dari kemarin. Yang paling mengesalkan tentu saja tatapan dan senyum lembutnya terhadap Rave.

"Apa ini? Cemburu pada pria cantik—yang benar saja."

***


Akibat badai, sejak jam tiga sore suasana di dalam penginapan remang-remang bila generator tidak dinyalakan kembali. Xiran menghabiskan sisa waktu di kamar untuk membaca buku. Namun, sekitar pukul enam sore lampu di atas kepalanya menyala terang lalu meredup beberapa kali, tanda aliran listrik yang tidak stabil.

Xiran meraih ponsel untuk siap-siap menyalakan senter bila lampu tiba-tiba padam. Benar saja, sedetik kemudian kamarnya gelap gulita. "Ck. Benar-benar masa liburan terkutuk."

Sepuluh menit berikut dihabiskan Xiran membaca buku dengan penerang dari ponsel, tapi ketenangannya terganggu oleh ranting pohon yang terus menabrak-nabrak jendela. Lampu kembali menyala, tapi ia memutuskan untuk keluar dan membaca di tempat yang lebih tenang.

Di ujung koridor dekat tangga yang membuat perasaan Xiran tidak nyaman, telah berdiri Orlen dengan jas hujan di tangan.

"Orlen?"

"Eh? Oh, Xiran. Ada apa?"

"Mau ke mana?"

Orlen mengangkat bahu. "Benar-benar hari yang buruk. Aku ingin membantu Vanya karena dia tadi panik. Generator rusak lagi katanya. Kemarin juga begitu ...."

Lampu kembali berkedip, membuat keduanya mendongak. "Argh, masalahnya belum beres," keluh Orlen sambil buru-buru memakai jas hujan.

"Di mana?"

"Siapa, Vanya?"

"Bukan, generator."

"Oh, kau mengerti mesin? Bagus, bagus. Kita bisa berbagi jas ini sambil berlari di bawah badai." Orlen hendak melepas jas hujannya, tapi dicegah Xiran.

"Tidak, kau pakai saja itu." Xiran mengikuti Orlen untuk menembus hujan deras menuju bangunan yang terpisah dari penginapan.

Nanette yang bersandar di dekat jendela kamar melihat Xiran berlari bersama Orlen yang tidak dikenalinya karena jas hujan yang ia pakai. "Rave, bangunan apa di sana?"

Rave mendekati jendela dan mengikuti arah tunjukan Nanette. "Setahuku ruang pembangkit listrik."

"Untuk apa pria cantik itu ke sana?"

"Tidak mungkin untuk bersolek, 'kan?" Rave menarik ujung bibir untuk membentuk senyum tipis. Nanette sudah menegurnya supaya menjauhi Xiran.

Meski aura yang dipancarkan Xiran sedikit aneh akibat kebiasaannya yang suka berbicara sendiri, Rave tidak mendeteksi sedikit pun ancaman. Bahkan, lelaki tersebut sempat memperingatkan dirinya untuk berhati-hati dan menjaga Nanette. Aneh? Memang. Namun, tidak ada salahnya untuk mengikuti saran orang asing yang tampak memedulikan keselamatan orang lain.


Part ini ditulis oleh ERheaZ dalam sudut pandang karakter Ranko Sawa (Xiran).

____________________________

1. eksorsis/ek·sor·sis/ /éksorsis/ n pengusiran setan dengan upacara tertentu.

2. pirus/pi·rus/ n batu permata yang berwarna hijau kebiru-biruan atau biru kehijau-hijauan. (Merujuk pada warna mata Nanette.)

3. emansipasi/eman·si·pa·si/ /émansipasi/ n persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

____________________________

Ranko Sawa (Xiran)

Umur: 19 tahun

Profesi: Merman profesional (model pria yang memakai ekor ikan prostetik dan berenang indah di dalam air dengan dandanan semirip mungkin dengan tokoh mitologi 'putri/putra duyung), mantan marinir.

____________________________


Di dalam rumah penginapan yang dilingkupi badai dan kematian ini, siapakah yang akan bertahan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro