18. Hasut
Adriana mencuri pandang ke arah Orlen yang terlihat dipenuhi rasa gelisah sebab gerak-geriknya tampak aneh. Sedikit tersenyum tipis, Adriana melihat sebuah kesempatan dalam kesempitan. Tanpa menarik perhatian seorang pun, dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. Secara diam-diam, dia mengarahkan kamera ponselnya kepada Orlen. Menunggu waktu yang tepat ketika Orlen sedikit menoleh ke arah kamera, barulah jemari Adriana bergerak untuk memotret wajah manis wanita itu.
Adriana kembali fokus mendengarkan perdebatan antar pengunjung resort. Dia memperhatikan Nollan yang tengah berusaha menenangkan kekasihnya Vanya, sembari tetap mempertahankan duduk tenang. Menanti-nanti situasi yang tepat untuk melancarkan rencana dalam benaknya.
"Baiklah, aku akan minta maaf padanya nanti. Kalian tidak ada yang mau menyusul Nan?" Pertanyaan Vanya memberikan Adriana kesempatan emas.
"Aku saja, aku akan coba bujuk dia," ucap Adriana yang seketika berdiri.
Meninggalkan kursinya, Adriana berjalan keluar dari ruangan penuh ketegangan itu. Dia bersandar di balik pintu guna mengatur napas sekaligus memikirkan kalimat macam apa yang harus dia katakan saat bertemu dengan Nan nanti. Adriana sempat mengambil dua kaleng soda dari dapur, sebelum mulai mengambil langkah pertama untuk mencari Nan. Tak butuh waktu lama, Adriana mendapati Nan duduk seorang diri di bangku panjang yang berada di luar resort. Nan tampak sangat kesal, dia menyilangkan kedua tangan di depan dada sambil terus mengetuk-ngetuk tanah dengan kaki kanannya.
Adriana mendekati Nan, dengan tenang dia meletakkan satu kaleng soda di sebelah Nan. "Kelihatannya kamu marah sekali."
Nan memandangi Adriana dari atas kepala hingga ujung kaki. Dia mengenali Adriana sebagai gadis yang bersikap terlalu tenang di tengah semua kekacauan ini. "Pergilah! Gadis aneh."
"Kasar sekali. Ayolah, aku hanya ingin mengobrol denganmu sebentar."
"Sudah kubilang. Pergilah." Nan memalingkan pandangannya dari Adriana.
"Ya sudah, sayang sekali. Padahal aku ingin berbincang tentang kematian Erika." Nan bergeming, dia tetap tak tertarik dengan Adriana. "Dan juga Rave."
Mendengar nama kekasihnya disebut, perhatian Nan sontak kembali tertuju pada Adriana. "Hei! Duduklah."
Merasa terpanggil, Adriana yang nyaris pergi seketika berbalik. Dia duduk di samping Nan, bersiap untuk mengendalikan arah perbincangan yang sebentar lagi terjadi.
"Ceritakan apa saja yang kamu tahu."
"Jangan buru-buru. Minumlah dulu sodamu, baru kita mulai berbincang serius." Adriana membuka kaleng sodanya, terdengar suara gas keluar dari dalam kaleng.
Walau sempat sedikit ragu, tetapi akhirnya Nan memutuskan meminum soda yang Adriana berikan. Tiga menit berlalu tanpa ada perbincangan sedikit pun, suasana yang semula tegang perlahan mulai mencair.
"Kita belum kenal satu sama lain 'kan? Adriana, kamu bisa panggil aku Adri," ucap Adriana sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Nan," balas Nan tanpa menjabat uluran tangan Adriana.
"Tentang kecelakaan itu, sepertinya aku tahu pelakunya. Kamu salah jika marah ke Nona Vanya."
"Jadi, siapa?" Nan mulai penasaran.
Adriana membuat kontak mata dengan Nan. "Pelakunya Orlen."
Nan menatap Adriana heran. "Bagaimana bisa? Bukannya kamu sendiri yang menjaga Orlen?"
Mengembuskan napas berat, Adriana memberikan tatapan lemas. " Aku hanya menceritakan ini padamu, kumohon jangan beri tahu yang lain. Aku tahu ... ini juga salahku."
"Aku bisa jaga rahasia."
"Aku yakin pelakunya Orlen. Waktu itu, sebelum kalian pergi, Nona Vanya sempat menitipkan tugas menjaga Orlen padaku. Sialnya aku malah tertidur, karena kupikir mustahil juga dia bisa keluar dari ruangan yang terkunci. Namun, saat aku bangun dan mengecek kembali keberadaan Orlen, dia sudah tidak ada di ruangan. Kondisinya jendela sudah terbuka lebar, ada tali ... tunggu bukan! Itu lebih seperti sekumpulan seprai lama yang ujungnya saling diikat agar memanjang seperti tali, kemungkinan dia menemukan seprai dalam lemari tua di sudut ruangan. Lalu ...." Adriana menundukkan kepalanya, alih-alih melanjutkan, dia malam terdiam.
"Lalu? Lalu apa?" Nan menepuk bahu Adriana, tak sabar mendengerkan kelanjutannya.
Dengan jemari yang gemetar, Adriana kembali berkata. "Aku sangat panik saat itu. Aku langsung berlari keluar mencari Orlen. Ternyata dia sudah ada di luar resort, sebenarnya aku mau marah-marah, tetapi aku takut ada yang melihat kami berdua di luar. Jadi langsung kutarik Orlen ke lantai dua. Aku tidak mau terkena masalah, jadi berpura-pura tidak terjadi apa-apa."
"Kamu gila? Informasi sepenting itu kenapa tidak kamu ceritakan di tengah perdebatan tadi?" Nada suara Nan meninggi, dia tampak kesal.
"A-aku takut Nan. Ini salahku membiarkan Orlen keluar. Mereka pasti juga akan menyalahkanku atas kematian Erika kalau begini," ujar Adriana yang berusaha mengeluarkan air mata sandirwara.
Nan diam sejenak, berusaha mencerna informasi yang baru saja diterima. Memang masuk akal jika Orlen pelakunya, dia satu-satunya orang yang punya pengetahuan lebih tentang mesin. "Tapi, kalau memang Orlen pelakunya. Untuk apa dia menyabotase mobil?" selidik Nan.
"Aku juga kurang tahu kenapa. Tapi mungkin ... karena dia mau balas dendam atas kepergian orang yang dia sayang, atau dia benci dengan Rave. Sejak padamnya generator, Rave dan Xiran terlihat cukup dekat 'kan?"
Darah dalam tubuh Nan mendidih, jemari-jemarinya tanpa sadar meremas kaleng soda hingga kalengnya penyok. "Orlen sialan! Tidak akan aku maafkan!"
Nan melempar kaleng soda ke sembarang arah, dia melirik Adriana dengan sudut matanya. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu memberitahuku tentang ini?"
Adriana tidak siap dengan pertanyaan tersebut, isi kepalanya kosong, tidak yakin harus memberikan jawaban macam apa. Namun, tiba-tiba sepercik kenangan lama melintas dalam benaknya. "Karena aku tahu rasanya kehilangan orang disayang. Rave terluka, kamu bisa saja kehilangan dia kalau tidak beruntung."
Berikutnya, detik demi detik berlalu dalam keheningan, tidak satu pun dari mereka ingin meneruskan percakapan. Suasananya kian canggung sampai Adriana memutuskan untuk berdiri. "Itu saja yang bisa aku katakan. Aku ... permisi."
Adriana berjalan menjauhi Nan yang duduk diam menahan amarah dalam lubuk hatinya. Langkah demi langkah, tiba-tiba Adriana teringat kembali luka lampau yang telah lama dia kubur. Setetes air mata membasahi pipinya, tetapi dengan cepat dihapus oleh punggung tangan yang gemetar.
***
Saat masih sepuluh tahun, Adriana mengalami kehilangan terberat pertama dalam hidupnya, ketika ayah dan ibunya bercerai. Namun, begitu saja takdir belum cukup kejam. Kehilangan terberat kedua dalam hidupnya diawali dengan munculnya aroma khas kematian dari ibunya yang sedang sakit keras. Kala itu, Adriana benar-benar menganggap kemampuannya sebagai sebuah kutukan, mengetahui bahwa sebentar lagi ibunya akan mati tanpa bisa melalukan apa-apa, sungguh terasa seperti penghinaan untuk dirinya sendiri.
Waktu berlalu cepat, Adriana menginjak usia empat belas tahun di bawah asuhan Andra—kakaknya. Satu-satunya orang yang dia sayangi setelah kepergian kedua orang tuanya. Chandra terpaksa menjadi sosok kakak yang mengisi peran ayah sekaligus ibu demi Adriana kecil.
Tiga hari sebelum ulang tahun Adriana. Dia dan kakaknya menyantap porsi besar spagetti buatan sendiri, sebagai bentuk perayaan karena Andra baru saja diterima masuk ke universitas Aldens, salah satu universitas paling bergengsi di kotanya. Namun, suasana sukacita itu tidak berlangsung lama.
Keesokan paginya, Adriana dikejutkan oleh aroma menyengat seperti bau darah yang berpadu dengan daging busuk terbakar. Adriana seketika turun dari kasur, dia berlari kencang menuju dapur. Sekujur tubuhnya lantas membeku usai menyadari bahwa aroma itu berasal dari kakaknya.
"Pagi, Adri! Kakak sudah masak banyak. Hari ini kakak pulang lebih malam, ada pekerjaan tambahan." Andra tersenyum manis, tanpa tahu betapa hancur hati Adriana saat itu.
Hendak mengucapkan sesuatu, tetapi lidah Adriana mendadak kelu. Dia terdiam di tempat sembari dicucuri air mata.
"Eh? Kenapa nangis? Kakak hanya pulang lebih malam untuk hari ini saja."
"Tidak! Pokoknya kakak tidak boleh keluar rumah hari ini!" seru Adriana yang enggan merasa kehilangan lagi.
"Untuk hari ini saja Adri. Lagi pula nanti kakak juga akan kuliah, kita butuh lebih banyak uang." Andra terus berupaya meyakinkan adiknya.
Tidak peduli berapa kali Adriana memohon kepada kakaknya untuk tidak meninggalkan rumah, hari itu dia tetap pergi. Malam terasa amat panjang, Adriana tidak bisa tidur, dia setia menunggu kakaknya pulang dari dalam kamar. Sial, hasilnya nihil. Adriana menangis kencang kala mentari mulai muncul, karena hingga saat itu juga kakaknya tak kunjung pulang.
Adriana melalui ulang tahun kelima belas dengan penuh kehampaan dan luka yang begitu dalam. Percuma saja menunggu di rumah, dia sudah tahu hasilnya akan sia-sia, sebab kemungkinannya Andra sudah tidak lagi bernyawa. Mengumpulkan segala tekad, Adriana pergi meninggalkan rumah, bukan untuk mencari kakaknya, tetapi untuk memulai hidup baru. Melupakan semua orang tersayang yang gagal dia pertahankan.
Sejak hari itu, Adriana hidup di jalanan sebagai kriminal. Menjadi pencuri demi menghidupi dirinya sendiri. Sampai akhirnya dia mengenal Makelar, dan terjun dalam bisnis pasar gelap sebagai pemburu organ manusia.
Menyanyangi seseorang itu sulit, terutama jika kamu tahu persis kapan orang itu akan mati. Makanya, kini Adriana memutuskan untuk tidak menyayangi siapa pun, kecuali dirinya sendiri.
***
Di dalam resort, Adriana dengan sengaja melalui ruang tamu, terdengar jelas suara perdebatan tentang siapa pelaku di balik kecelakaan. Namun, Adriana tidak datang untuk itu. Dia hanya ingin memastikan bahwa aroma khas kematian yang menyengat sudah tercium. Adriana tersenyum tipis setelah mengetahui bahwa tidak lama lagi akan ada nyawa yang hilang.
Part ini ditulis Faizah-chan oleh dalam sudut pandang karakter Adriana Chaka.
____________________________
Adriana Chaka
Umur: 17 tahun
Profesi: Pedagang organ
____________________________
Di dalam rumah penginapan yang dilingkupi badai dan kematian ini, siapakah yang akan bertahan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro