17. Jawaban
"... karena Tuan Rave membantuku menyalakan lilin."
Siapa juga kan, orang yang betah mendengarkan perdebatan tak berinti berjam-jam lamanya? Bahkan manusia yang hanya mengandalkan fisik seperti Nollan pun lelah mendengarnya. Sayang, ia tidak bisa mencela percakapan itu karena ia tak mampu memikirkan topik yang dibicarakan.
"Apa mungkin jika itu sebuah indikasi seseorang dipilih untuk mati? Tentu tidak, kan?" protes salah seorang pembicara.
Entah suara siapa itu tadi, Nollan tidak peduli, ia harus menengahi perdebatan ini sekarang juga. Tubuh sigapnya tegak seketika, siap mengeluarkan perkataan-perkataan yang ia rancang dalam benaknya itu.
"Hey, sudah-sudah, bagaimana jika kita mendengarkan cerita Rave dulu saja? Lalu bergantian dengan yang lain. Kepalaku pening mendengar kalian berteriak pada satu sama lain." Nollan sungguh menghentikan perdebatan itu.
"Ah, ide yang bagus, Tuan Nollan." jawab Rave dari tempatnya duduk.
"Tentu saja."
Nollan mengangguk dengan wajah datarnya, mempersilahkan Rave untuk menceritakan apa yang ia ketahui. Vanya, Nan, Orlen, Joan, bahkan Adriana pun hanya bisa diam, perintah Nollan terasa mutlak, tak bisa diganggu gugat kecuali suasananya lebih bersahabat.
"... kalian tidak curiga jika yang membunuh orang dari luar lingkup ini?"
"Bukannya tidak ada kapal yang bisa berhenti ataupun pergi dari sini?" tanya Adriana dengan wajah bingungnya.
"Itu tidak menutup kemungkinan jika ada orang lain di sini, kan? Tuan Nollan?"
"Hm ... sejujurnya aku tidak tahu banyak tentang persewaan di bulan-bulan ini, tapi seharusnya hanya ada kalian. Pulau ini milik pribadi, lalu didirikan resort yang dapat disewa, tidak langsung terbuka untuk publik."
"Huh, akan susah jika sudah seperti ini ... pelakunya pasti ada di dalam sini..."
Setelah cukup lama Rave kembali bercerita dan lainnya hanya mendengarkan sembari sesekali menimpali, Vanya tampaknya bosan dan secara tiba-tiba berdiri dari tempatnya duduk. Ia sukses membuat hening ruangan itu dan menarik atensi semua orang.
"Kau yang membunuh mereka, ya?" tanya Vanya, menatap malas Rave.
"Hah, kau sudah gila sampai menuduhku? Aku bahkan belum selesai bercerita!" protes Rave.
"Akui saja, kau dan Nan ... kalian ... komplotan, kan?" Vanya bertopang dagu, menatap Rave dan Nan dengan tatapa merendahkan.
"Apa maksudmu, Nona Vanya?" tanya Nan dengan penuh penekanan, tidak terima jika dirinya dan Rave disalahkan tanpa dasar yang jelas.
Vanya menoleh ke arahnya, tertawa dengan tawa sarkasnya. "Kau pura-pura tidak tahu, Nona Nan?"
"Bisakah kau tidak bertele-tele, Vanya!?" Nan menggebrak meja, ikut berdiri dengan tampang sebal pada Vanya.
"Huh, aku tidak bertele-tele. Kau dan Rave tahu sangat banyak cerita, apakah itu bukti itu masih kurang?."
" Gr ... kau! Foster sialan! Diamlah dan tidak usah menuduh yang aneh-aneh!!!" bentak Nan.
Set!
Sebuah pisau lipat terbuka dari tutupnya, tertuju pada Vanya. Tepat di bawah dagu wanita muda itu. Sukses membuat mata Vanya melebar walau ia tampak tidak terlalu terkejut dengan aksi Nan yang mendadak tadi.
"Oh my, stop! Aku tidak ingin melihat peperangan berdarah di dalam wilayah kepemilikanku. Nan, turunkan pisaumu! Kau juga ... dearest Vanya, hentikan, provokasi tidak akan ada gunanya sekarang." Nollan menengahi, mendorong pisau Nan turun dan mendorong Vanya menjauh.
Tatapan penuh amarah Nan tidak kunjung hilang, akan tetapi, hanya dengan satu hentakan, pisau itu dijatuhkannya di atas lantai. Seisi ruangan terkejut melihat aksi kedua wanita itu. Tapi tak satupun yang berani berkutik selain Nollan.
Brang!!!
Nan membanting pintu, meninggalkan ruangan sunyi itu dengan penuh amarah. Entah akan kemana ia pergi, tidak ada yang bisa melihatnya seusai pintu ruangan tertutup dengan keras.
- - -
"Hey, Vanya, sudah-sudahlah dengan provokasimu itu. Nan tampaknya sangat lelah, entah apa yang ia baru saja lakukan. Jangan membuatnya tertekan begitu." ujar Joan seusai Nan pergi.
Vanya memincingkan matanya, "Aku tidak memprovokasi Nollan ... hanya saja ... semua bukti yang ada tertuju pada pada Nona Nan."
"Hah ... ayolah sayang, kau menuduhnya langsung tadi, mungkin ia sakit hati?" Nollan merendahkan suaranya, kembali duduk sembari memegangi tangan Vanya, memastikannya tidak kabur.
"Baiklah, aku akan minta maaf padanya nanti. Kalian tidak ada yang mau menyusul Nan?" tanya Vanya balik.
"Aku saja, aku akan coba bujuk dia." ucap Adrian sebelum dirinya segera berdiri dan keluar dari ruangan itu.
"Huh, sudah baguskan, ahlinya pisau sudah pergi ... kenapa juga disusul?" gumam Joan pelan.
"Kau bilang apa barusan, Joan?" Nollan menoleh, menatap Joan bingung.
"Oh? Ahli pisau, yang tadi itu loh." ucap Joan dengan ringan, mengangkat pundaknya sebagai bentuk acuh tak acuh.
"Maksudmu Nan?" tanya Nollan, memastikan.
Jawaban berikutnya dari Joan hanya berupa anggukan. Anggukan itu sukses membuat semua orang yang ada di ruangan itu berpikir keras, teringat pada korban yang mereka temukan. Korban pertama mereka dan Xiran, keduanya terbunuh dengan pisau sebagai alat pembunuhannya.
Meski tidak jelas, pisau apa yang digunakan dan pisau apa yang dimaksud Joan, semua hal ini tentunya tertuju pada satu atau dua orang itu saja, Nan dan Rave. Mengingat bahwa Nan bahkan membawa pisau lipat kemanapun ia pergi.
"Well, seseorang tampaknya sangat lihai menggunakan pisau di sini."
Nollan menatap Vanya, wanita muda itu mengangkat alisnya seakan mengatakan, 'Aku benar, kan?' pada sang kekasih.
"Aku akan coba bicara pada mereka, tapi kalian tidak berarti langsung menumpukan kasus ini pada Nan, kan?" tanya Nollan lagi.
"Apa lagi memangnya yang harus kita pertimbangkan, Tuan Nollan? Clue ini saja sudah sangat terlihat." keluh Orlen.
"Kau benar, tapi apakah mungkin bagi Nan yang semungil itu untuk membunuh dua orang sekaligus? Rave tidak banyak beraktivitas keluar, kan?"
"Fine-fine, kau benar, lalu siapa pelakunya?" tanya Vanya balik.
"Aku tidak tahu, tapi bisa jadi yang dikatakan Rave tadi ada benarnya. Seseorang menyusup bersamaan di hari kedatangan kalian. Kau tahu aku jarang keluar dari ruanganku, aku tidak setiap hari melakukan survey di lapangan." jelas Nollan.
"Oh ayolah Nollan ... kau tahu jika pulau ini milikmu seorang, kan?"
"Yeah, kau benar, tapi itu tidak menghentikan kapal asing untuk datang. Kalian saja tahu jika pulau ini sangat dekat dengan pelabuhan ternama."
"Tapi siapa lagi yang mau kau curigai, Tuan? Satu orang sudah mati, lalu Xiran. Apakah mungkin jika orang asing yang melakukannya?" tanya Joan, silih berganti menghujani Nollan dengan pertanyaan.
"Bisa jadi?"
"Come on Nollan! Kau bisa berpikir jauh lebih jernih dari ini, kan?"
"Bisa jadi tidak? Aku tidak menyelesaikan kuliahku, aku tidak perlu bekerja susah payah. Kasus ini saja jika aku tidak takut mati, mungkin sudah kubungkam dengan uang."
Seluruh orang menatap datar Nollan, pemuda itu tampak cuek dan hanya menatap balik orang di sekitarnya. Walau ia memang tidak salah, kekayaan Nollan akan selalu cukup jika hanya untuk membungkam mereka tentang kasus ini.
Meski tidak akan pernah memecahkan kasusnya.
- - -
Clack!
Part ini ditulis oleh ArgiNarun dalam sudut pandang karakter Nollan Irving.
____________________________
Nollan Irving
Umur: 20 Tahun
Profesi: Pemilik Resort
____________________________
Di dalam rumah penginapan yang dilingkupi badai dan kematian ini, siapakah yang akan bertahan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro