Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16. Pertanyaan

"Apa impianmu anak muda?" seseorang yang berbaju hitam putih, sama dengan warna rambutnya, bertanya pada seorang gadis.

"Impian?" Vanya telah lama tidak mendengar kata itu.

"Iya, kau yang paling muda di sini, waktumu masih panjang, tidak seperti kami yang orang tua ini."

"Hmm, entahlah. Mungkin aku hanya ingin hidup dengan normal dan bebas seperti orang kebanyakan."

"Maksudnya keluar dari penjara? Kalau begitu impianmu akan tercapai sebulan lagi. Selamat." Wanita paruh baya yang lain tersenyum ramah.

"Sepertinya bukan itu. Kalaupun aku keluar dari sini, selagi ada keluargaku, aku belum bisa bebas." Vanya menundukkan kepalanya.

"Keluarga orang kaya, ya. Aku paham, orang tuaku menjual semua anaknya pada mereka."

"Kau ini berpikir terlalu dewasa untuk anak seusia dua puluh tahun. Maksudku impian seperti pekerjaan, seperti dokter, penyanyi, atau semacamnya." Orang tua yang bertanya impian, kini bertanya lagi.

"Pekerjaan, mungkin aku hanya ingin yang biasa, seperti karyawan, kasir, pedagang kelontong, atau pelayan." Vanya.

"Pikiran terlalu dewasamu itu tidak bisa dihilangkan sepertinya, kau tidak ambisius seperti anak lain. Apa itu karena bergaul dengan kami?"

Para orang tua tertawa. Vanya hanya tersenyum sebagai balasannya.

"Apa jadi asisten rumah tangga, termasuk impianmu? Aku punya kenalan, dia hidup sendiri, anaknya merantau, di dekat rumah ada taman yang biasanya anak muda berkumpul di sana, mungkin kau bisa dapat teman atau ...."

Vanya memiringkan kepalanya. Dahinya mengkerut, bahkan kacamatanya turun sedikit. Dia kebingungan.

"Jika kau ingin hidup normal yang biasa, apa kau ingin punya pacar?" Pertanyaan terlontar dari paruh baya lain lagi.

"Eh, em ...." Vanya menundukkan kepalanya lagi, menyembunyikan wajahnya yang merona.

"Wah, syukurlah. Dia tidak sedewasa yang aku kira."

"Irinya ..., aku ingin jadi muda lagi. Di masa tua seperti ini, aku sudah tidak punya masa depan. Semoga kau bertemu dengan orang yang tepat dan tampan, aku yakin masa depanmu akan indah. Tidak seperti orang tua ini yang tertuduh kasus pembunuhan." Dia menunjuk dirinya sendiri.

***

Langkah kaki mendekati Vanya dan Adriana yang diam di depan pintu gudang. Sang empunya kaki itu ternyata Nollan. Mimik wajahnya membingungkan, sepertinya kepalanya penuh dengan pertanyaan, tapi entah kenapa ada setitik kesedihan di matanya.

"Kenapa Nollan?" Perasaan Vanya tidak enak.

"Vanya, sepertinya kita harus melepaskan Orlen."

"Maksudmu?" Dahi Vanya mengkerut, tatapannya menajam.

***

Suara langkah mereka berempat terdengar jelas di keheningan malam, lebih jelas dibandingkan jutaan rintik air yang mengetuk jendela. Orlen berjalan dengan mengigil, bukan karena dingin, tapi rasa takut, entah karena apa.

Adriana berjalan di depannya, sedangkan Vanya dan Nollan mengawasi dari belakang. Mereka berbisik entah membicarakan apa, mungkin itu yang membuatnya takut.

Kaki mereka menuju pintu masuk, sudah ada banyak orang di sana. Termasuk Rave yang menggendong seseorang.

Nona Nan kenapa? batin Vanya dalam hati. Namun setelah dia mendekat, penglihatannya semakin jelas. Itu bukan Nan, dia berdiri di samping Rave. Jadi itu pasti ....

"Nona Erika, apa yang terjadi?" Vanya dengan wajah panik berlari ke kerumunan.

Rave meletakannya di sofa dengan hati-hati. Wajah wanita itu pucat, hampir memutih sempurna. Tubuhnya dingin dan basah karena air hujan.

Dengan panik, Vanya membuka jaketnya. Dia berikan pada Erika sebagai alternatif selimut. Namun ketika dia lebih mendekat, cairan warna merah mengalir di sofa.

Mata Vanya membulat, wajahnya tegang. "Aku harus mengambil P3K–"

"Dia tidak butuh," suara Nan memotong kalimat Vanya.

Vanya menoleh ke sumber suara. Dia tidak sadar sedari tadi, ternyata Nan dan Rave juga berdarah. Walaupun tidak separah Erika.

"Tunggu, apa maksudmu dia tidak butuh ...." Vanya terdiam sejenak.

"Maaf, Vanya," lirih Rave.

***

Rave dan Nollan meletakkan jasab Erika di samping Nico. Sebelumnya mereka sudah mengawetkannya seperti apa yang dilakukan pada Nico. Tradisnya, orang yang mengajarkan itu malah jadi yang di awetkan.

"Sekarang kita 'tak punya dokter lagi di sini. Gawat." Nollan menggigit bibirnya.

"Yeah," Rave menatap lurus pada Erika yang tak bernafas. Tatapannya seperti berisi ribuan atau bahkan jutaaan tanda tanya. Namun juga bercampur pilu biru dan percikan rasa kesal.

***

"Awalnya normal, namun ternyata rem mobil blong, jalanan juga licin. Aku menabrak sesuatu, mungkin pohon. Kejadiannya terlalu cepat sampai aku tak ingat jelas. Mobil yang kami pakai terguling. Erika masih bernafas saat itu, namun setelah beberapa menit keluar, dia ...." Rave terdiam sejenak.

Semua orang menatapnya lurus, 'tak ada yang berpaling. Rave dan Nan sudah diperban di beberapa bagian. Kotak P3K masih berguna walau bukan untuk Erika, tapi tetap saja itu hanya pertolongan pertama. Setelah badai berakhir, mereka harus ke rumah sakit.

"Jadi itu kenapa aku menggendongnya sampai ke sini. Aw," Rave memegang sakitnya di bagian kaki.

"Apa kamu tidak apa-apa?" Nan yang duduk di sampingnya cemas melihat sumber rasa sakit Rave. "Mungkin itu karena kamu membawa beban berat walaupun terluka. Harus kita tidak usah membawa dia."

"Aku tidak bisa membiarkannya, Nan," tegas Rave.

Vanya memperhatikan setiap detail ceritanya. Kejanggalan sangat jelas terlihat. Dia juga yakin semua orang memikirkan hal yang sama.

"Nollan, kau yakin mobil itu tidak rusak?" Joan yang pertama membuka perundingan.

"Itu–"

"Tidak." Rave memotong pembicaraan Nollan. "Remnya blong karena ada yang membuatnya seperti itu, aku melihatnya. Saat mobil terbalik, ada kerusakan di bagian bawahnya, kerusakan yang sangat halus dan baru."

Keheningan berbunyi di seluruh ruangan. Hanya terdengar suara guntur, hujan, dan detak jantung mereka yang curiga satu sama lain. Mata mereka melihat setiap orang. Apa yang Vanya pikiran adalah pertanyaan yang semua orang pertanyakan.

Siapa pelakunya?

"Bukan aku, aku dikurung di gudang oleh kalian semua, ingat?" Orlen sedikit menggigil, entah karena dingin atau takut.

"Ya, aku dan Adriana menjagamu." Vanya memperkuat argumen Orlen.

"Aku percayamu." Rave menambahkan.

Orlen bisa bernafas lega, dia tidak lagi jadi tersangka. Adriana hanya diam memperhatikan. Joan berpikir dengan dahi yang mengkerut dan tangan mengepal di bawah bibir.

"Jadi siapa pelakunya?" Lagi-lagi Joan membuka ruang diskusi.

"Vanya, kau yang menyuruh kami keluar, kan?" Nan tampak tidak menyembunyikan rasa kesalnya.

"Apa maksudmu? Aku hanya menawarkan jalan tengah. Maaf aku lancang, tapi bukankah Nona yang paling mencurigakan di sini?"

"Hei, jaga mulutmu–"

"Nona bilang, 'harus kita tidak usah membawa dia' apakah karena jika Nona Erika dibawa akan ada bukti pelakunya?

"Atau kau cemburu pada kami? Tuan Xiran dan Nona Orlen sempat dekat dengan Tuan Rave saat mereka ingin memperbaiki generator. Jadi Nona membunuh Tuan Xiran dan menjebak Nona Orlen, namun sayangnya Orlen 'tak dicurigai sekarang.

"Nona Erika juga jadi dekat dengan Tuan Rave sejak pembunuhan Tuan Nico, apalagi Rave dan Erika akan pergi berdua dengan mobil. Dan sasaran berikutnya adalah aku, karena Tuan Rave membantuku menyalakan lilin."

Part ini ditulis oleh Cacinggrama dalam sudut pandang karakter Vanya Foster.

____________________________

Vanya Foster

Umur: 21 tahun

Profesi: Mantan narapidana, pelayan resort

____________________________

Di dalam rumah penginapan yang dilingkupi badai dan kematian ini, siapakah yang akan bertahan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro