Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Kumbang

TUBUH XIRAN tetap bergeming di atas kubangan yang menggenang seperti danau berwarna merah gelap. Meskipun hari sudah meninggi, cahaya dari luar tampak remang-remang di dasar tangga. Itu membuat darah genangan tersebut terlihat lebih gelap, nyaris seperti sebuah lubang hitam yang sedang menganga.

Satu jam sudah berlalu. Saat itu ruang lobi ini dipenuhi oleh seluruh penghuni penginapan, yang terperanjat begitu mendapati pembunuhan yang kembali terjadi. Kepanikan meluap dan melanda semua yang berkumpul di situ, sebab tidak hanya karena mereka menemukan Xiran yang tewas di dasar tangga, melainkan juga kenyataan bahwa ternyata Orlen-lah yang ada di balik momok yang selama ini menghantui mereka.

Namun, gadis itu sendiri tampak tidak yakin dengan keadaannya. Pengakuan dan penyangkalan bergantian keluar dari mulutnya, sampai Nollan memutuskan untuk membawanya pergi. Akhirnya, satu demi satu penghuni lainnya juga berlalu pergi. Hanya Erika yang tetap berada di dekat meja resepsionis.

Erika merapatkan punggungnya pada dinding lobi dan mengangkat sedikit wajahnya. Dia mengamati bercak-bercak hujan yang mengetuk kaca jendela, yang kemudian mengalir turun membentuk garis-garis air.

Apakah benar Orlen pembunuhnya?

Erika membenamkan tangannya ke dalam saku celana panjangnya. Di dasar saku tersebut, jari-jarinya mengelus sesuatu yang tipis menyerupai koin. Sedikit bergerigi di sisi-sisinya dan licin di permukaannya. Benda itulah yang diberikan Nicco ketika dia sempat membuka matanya di pagi hari, sebelum benar-benar terpejam untuk selamanya.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang mendekat dari arah belakang. Erika beringsut dan menoleh. Seorang laki-laki muda datang dari dapur, mendekati dasar tangga, lalu berhenti agak jauh dari tubuh Xiran. Dia mengamat-amati sekeliling tangga sampai ke puncaknya, sambil membekap mulut dan hidungnya sendiri dengan sapu tangan.

Nollan.

"Ada sesuatu?" Erika menghampiri. Tangan kirinya masih berada di dalam saku.

Dari balik sapu tangan di wajahnya, Nollan memicingkan mata. "Ini tidak baik," ungkapnya. "Rupanya kami kehabisan cairan pengelantang. Padahal, kamper yang disimpan di gudang semuanya basah karena rembesan air hujan."

Erika menatap Nollan sejenak. Terkadang, sulit rasanya mengerti apa yang ada di dalam kepala orang lain. Itukah yang terpikirkan olehmu dalam keadaan seperti ini?

"Tolong jangan berprasangka buruk." Nollan menyahut, seolah-olah menepis apa yang barusan terlintas dalam benak Erika. "Aku masih punya nurani. Tapi, bukan sesuatu yang baik membiarkan bebauan ini tetap tercium sampai ke penjuru penginapan. Suasana sekarang ini sudah sangat buruk. Setidaknya, ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk membuatnya sedikit lebih baik."

"Aku mengerti." Erika mengalihkan pandangannya dari Nollan sembari berdesah pelan. "Mungkin ini tidak akan membantu banyak. Masih ingat dengan kotak P3K yang waktu itu Vanya berikan untukku?"

Laki-laki itu mengangguk pelan.

"Kotak itu masih kusimpan di kamarku. Di dalamnya masih ada setengah botol hidrogen peroksida. Sebaiknya pindahkan dulu isinya ke dalam kaleng penyemprot, sebelum digunakan untuk menghilangkan bau amis ini."

Nollan lagi-lagi mengangguk, mengucapkan "Terima kasih" yang singkat dan berjalan memasuki kamar tersebut. Tidak lama berselang, dia keluar dengan menatang sebuah kotak putih di kedua telapak tangannya, kemudian kembali ke arah dapur dan menghilang dari pandangan Erika.

Seperti yang Nollan katakan, bebauan kematian merembes hingga ke seluruh bagian penginapan. Aroma yang membuat siapa pun yang menciumnya merasakan kesesakan yang merangkak pelan dari telapak kaki, bergerak terus hingga mencekik dada dan meremas leher. Untuk sejenak, Erika berupaya mengabaikan perasaan itu. Dia memandangi tubuh Xiran yang telah menjadi kaku dan seputih salju.

Genangan gelap yang menyerupai lubang hitam itu seakan menatapnya balik. Sesuatu yang kelam membubung naik dari dalamnya.

Erika menghela tangan kirinya, lalu mengangkatnya pelan. Tergeletak di atas telapak tangannya yang kasar, adalah benda pipih nyaris berbentuk oval. Itu adalah sebuah kancing. Apabila diperhatikan dengan saksama, di balik permukaan kancing yang licin dan mengilap itu, tampak motif menyerupai seekor kumbang rusa.

Kancing itu bukan milik Nicco. Ketika datang ke penginapan ini, pria itu hanya membawa sedikit pakaian di dalam kopernya dan tidak satu pun memiliki kancing yang demikian. Bahkan, serat-serat benang yang masih terbelit pada lubang-lubang kancing tersebut sama sekali tidak cocok dengan pakaian Nicco.

Kenapa benda ini ada bersama Nicco?

Kenapa dia memberikannya untukku?

Sejak semula, pertanyaan-pertanyaan serupa terus membayangi benak Erika. Asumsi mulai bermunculan dan beredar seperti beragam rupa yang samar. Namun, tidak mudah untuk menyingkapkan fakta hanya dengan berbekal seonggok kancing. Terlebih lagi, tidak mungkin untuk melakukannya sendirian.

Siapa yang bisa kupercaya?

Itu adalah pertanyaan yang sama rumitnya dengan teka-teki yang melingkupi penginapan ini, bersama dengan maut yang berkeliaran di dalamnya. Erika menggelengkan kepalanya berulang kali. Dia pun melangkah menjauhi dasar tangga dan kembali mendekati meja resepsionis. Tetesan hujan yang menggenangi jendela mulai mereda. Pepohonan yang diterpa angin berangsur tenang. Sementara itu, aroma lumpur dan rerumputan yang basah merembes masuk. Aroma kematian mulai memudar.

Erika terperangah. Langkahnya menghampiri jendela. Telapak tangannya merapat pada kaca yang menempel erat pada bingkai kayu. Dingin. Langit masih tampak muram, tetapi sebagian dari awan-awan kelabu di atas sana mulai tersingkap.

Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, Erika bergegas dari tempat itu.

***

"KAU BENAR, NONA ERIKA." Rave menengadah sembari mengernyitkan dahinya. Matanya yang berwarna abu-abu tampak berbinar ketika bermandikan cahaya dari balik jendela. "Aku nyaris tidak percaya. Badai benar-benar mereda."

Penghuni lainnya, yang juga berkumpul di tempat itu, turut mengamati keadaan di luar penginapan. Rasanya seperti hendak terbangun dari mimpi buruk yang begitu panjang. Ironis ketika mereka berlindung dari amukan badai di dalam penginapan ini, tetapi kematian yang sesungguhnya justru bersemayam bersama mereka, mengintai dari balik persembunyiannya.

Sekarang, itu akan segera berakhir. Mimpi buruk itu akan segera usai.

"Sebentar lagi kita bisa pergi dari tempat ini! Benar begitu, bukan, Rave?" Nan menghampiri kekasihnya itu. Kebahagiaan tidak terbendung dari rona wajahnya.

Kendati begitu, Rave justru tidak menunjukkan perasaan lega. Dia tetap memperhatikan langit, sambil sesekali mengusap pipinya dan mengeluarkan dengusan yang berat.

"Ada yang salah?" Nan kembali bertanya. Kebahagiaan yang tadi mulai luntur bersama nada bicaranya yang turut berubah.

"Hm," gumam Rave. "Walaupun mereda, kelihatannya badai ini tidak akan benar-benar berhenti." Ketika berkata demikian, Rave menunjuk pada gumpalan awan hitam yang membentang memenuhi langit dari arah barat. Percikan-percikan cahaya bermunculan di balik gelambir-gelambirnya yang kelam.

Erika, yang sejak tadi hanya mengatupkan bibirnya, turut memandang ke arah yang sama. Gadis itu ikut berdesah sambil mengerutkan alisnya. Benar-benar konyol, pikirnya. Harapan, yang semula terbit, kembali padam seiring dengan pergerakan awan badai yang perlahan merangkak menelan cahaya langit yang pucat. Namun, sebelum harapan itu benar-benar hilang, Erika merasakan suatu dorongan yang memancar keluar dari dalam dadanya.

"Masih bisa! Kita masih bisa melakukan sesuatu sebelum badai kembali!"

Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Seketika itu juga, semua yang hadir di tempat itu menatap ke arahnya. Rave dan Nan berbalik nyaris bersamaan. Joan mendekat, lalu menatap Erika dari samping. Nollan tetap bergeming, sambil memusatkan perhatiannya pada perkataan Erika. Hanya Adriana yang melirik sejenak, sebelum kembali memalingkan wajahnya kepada pemandangan di luar jendela.

Erika mengamati orang-orang tersebut satu demi satu, seolah-olah menunggu agar perhatian mereka benar-benar tertuju padanya, sebelum kemudian meneruskan perkataannya. "Sebagian dari kita bisa keluar dari penginapan ini untuk mendapatkan bantuan di kota terdekat! Aku bisa mencari pertolongan untuk kita! Ketika berjalan di sekeliling halaman penginapan, aku melihat ada mobil yang terparkir di bagian selatan pekarangan. Jangan bilang kalau mobil itu tidak bisa digunakan, Tuan Nollan."

Erika menatap Nollan dalam-dalam. Laki-laki itu mengerutkan bibirnya. "Yah .... Untungnya, mobil itu baik-baik saja."

Begitu mendengarnya, Erika merasakan semangatnya semakin terpancar. Bola matanya berbinar-binar. "Kalau begitu–"

"Tunggu dulu." Joan tampil sembari mengangkat salah satu tangannya ke udara. Langkahnya pelan mendekati Erika. "Tidak secepat itu, Nona. Kau lupa dengan situasi saat ini?"

Erika menelengkan kepalanya. Kedua alisnya kembali berkerut, nyaris bertaut menjadi satu.

Sikapnya itu membuat Joan merasa jengkel. Dengan menekankan suaranya, laki-laki itu berkata, "Satu di antara kita adalah pembunuh, dan siapa saja bisa menjadi tersangka. Itu termasuk dirimu, Nona Erika. Pikirmu semudah itu pergi dari sini?"

Masih dengan tatapan heran, Erika mendongakkan wajahnya agar bisa berhadapan muka-dengan-muka pada laki-laki berkulit gelap itu. "Ini ... ini kesempatan kita untuk selamat–"

"Aku tahu." Lagi-lagi, Joan menyela. "Tapi kau tidak di posisi untuk menentukan siapa yang akan pergi, Nona. Ckckck!" Joan mengayun-ayunkan telunjuknya.

"Jadi, apa yang ingin kausarankan?"

Joan memalingkan tubuhnya ke belakang. "Aku menyarankan Tuan Rave yang pergi."

Mendengar itu, Rave pun seketika tertegun. "Aku?" Kelopak matanya terbuka, irisnya yang berwarna kelabu berkilat.

"Kalau begitu, aku juga!" Nan menyambar. Gadis itu melangkah sekali disertai entakan kaki yang tegas, lalu menatap sekeliling, seolah-olah mengatakan bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka berdua.

Joan menggelengkan kepalanya. "Jujur saja, aku keberatan kau ikut, Nona Nanette. Bukankah kau juga salah satu yang paling mencurigakan?"

"Apa?" Nan membenamkan tatapannya kepada Joan.

"Aku juga keberatan." Kali ini, Nollan yang membuka mulutnya. "Seperti yang dikatakan Tuan Joan."

Nan terdiam. Namun, suasana ruangan seketika menjadi sangat berat. Udara dingin yang menyusup masuk seakan menjelma menjadi padat dan membuat yang menghirupnya nyaris tercekik. Nan menghela napas, lalu membuangnya dengan pelan. Pundaknya bergerak mengikuti ritme napas.

Sebelum segalanya menjadi tidak terkendali, Rave akhirnya menghampiri kekasihnya itu dan menggenggam lengannya. Rave mendekatkan bibirnya hingga menyentuh rambut Nan. "Tenangkan dirimu," gumamnya perlahan.

Nan menoleh. Pandangan mereka saling bertaut, sebelum akhirnya Nan memejamkan matanya dan mengangguk patuh.

Tiba-tiba, terdengar suara pintu yang terbuka dan ditutup. Datangnya dari koridor yang tersambung langsung dengan ruangan di mana meja resepsionis berada. Seseorang melangkah mendekat. Langkah itu pelan, tetapi iramanya yang pendek-pendek menandakan bahwa itu berasal dari seseorang yang perawakannya tidak begitu tinggi.

Langkah itu semakin jelas, diselingi oleh suara dinding dan lantai yang berderit. Kemudian, berhentilah dia tepat di antara para penghuni yang sedang berkumpul.

Vanya.

"Ada apa ini?" Gadis itu menatap semua orang, satu demi satu. Hanya, ketika melihat ke arah tubuh Xiran, dia segera berpaling kepada Nollan.

Tidak seorang pun yang langsung menjawab. Mereka turut menoleh kepada Nollan. Akhirnya, Nollan pun kembali membuka mulutnya. Dia menyampaikan segalanya: badai yang mereda, usul untuk mengirim sebagian orang mencari bantuan dari kota terdekat, dan perdebatan singkat yang baru saja terjadi. Selama mendengar perkataan Nollan, sesekali Vanya mengamati orang-orang yang ada di sekelilingnya dengan tatapan penuh selidik.

"Bukan ide yang buruk." Vanya bersuara, tepat setelah Nollan menutup penuturannya. "Aku setuju dengan usul Nona Erika."

Joan kembali mengayunkan tangannya sembari berjalan mengitar, lalu berhenti tepat di depan Vanya. "Yang menjadi permasalahan di sini ... adalah siapa yang berangkat."

Untuk sesaat saja, Vanya termenung lalu menjawab tanpa sungkan. "Tentu saja Nona Erika."

Mereka yang mendengar jawaban itu langsung terkesiap. Joan lagi-lagi berdecak. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, dia mengutarakan keberatannya. "Ada apa ini? Apakah semua orang sudah kehilangan kewarasannya?"

Vanya tidak menyahut.

Joan meneruskan kata-katanya. Dia tidak berhenti melangkah di depan Vanya, kian kemari seperti seperti sebuah pendulum. "Nona Erika ini, juga Nona Nanette, keduanya sama-sama penghuni yang paling mencurigakan. Yang satu merupakan teman dekat korban pertama, dan kamarnya berada paling dekat dengan tempat di mana korban ditemukan sekarat. Yang satu lagi ketahuan mengantongi pisau ketika korban tersebut ditemukan. Keduanya sama-sama tidak bisa membuktikan keberadaan mereka ketika upaya pembunuhan terjadi. Lalu, sekarang kita membiarkan mereka keluar dengan bebasnya dari tempat ini? Ah , ayolah!"

"Tuan Joan." Vanya mengangkat wajahnya, setelah hanya termenung selama Joan menyampaikan protesnya. "Aku mengerti alasanmu merasa begitu. Oleh karena itu, perhatikan kata-kataku."

Joan berhenti melangkah, menarik napasnya, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Baik."

"Nona Erika adalah kandidat terbaik." Vanya memalingkan tubuhnya, memandang kepada gadis yang dimaksud. "Aku benci mengatakan ini, tetapi kita tidak memerlukan penipu dan orang yang tidak berguna."

Perkataan itu mengoyak dada Erika. Berdiri diam dan terpaku, Erika hanya bisa menarik napasnya.

Vanya mengeratkan bibirnya, sebelum kembali berbicara. "Kau gagal menyelamatkan teman terdekatmu di sini, bahkan setelah membahayakan Nollan dan dirimu sendiri. Lagipula, Nona Erika, kau tidak memiliki riwayat pengalaman medis. Hanya berdasarkan asumsi yang awam, kau mengambil keputusan yang terlalu berani. Kurasa, kelalaianmu itu kelak akan lebih membahayakan kami."

Kali ini, Erika menggigit bibirnya. Dia tidak bisa berkelit. Dia berusaha menelan ludah, tetapi tenggorokannya terasa terkikis.

"Setidaknya, jika kau pergi dari sini dan mendapatkan pertolongan untuk kami, itu akan berguna. Selain itu, aku juga tidak keberatan jika Tuan Raven dan Nona Nanette turut berangkat. Aku percaya dengan Tuan Raven, dan kurasa Nona Nanette pun akan lebih baik jika bersama dengannya. Dengan memisahkan tiga orang ini dari kita, maka semakin sempit pula orang-orang yang patut dicurigai."

Perkataan itu membuat Rave gusar. Raut wajahnya seketika berubah tidak senang. "Jadi, kau ingin memindahkan kecurigaan pada kami bertiga?"

Vanya menaikkan salah satu alisnya. "Bukankah itu bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan, Tuan Raven? Kecuali, pembunuhnya benar-benar salah satu dari antara kalian."

Rave melipatkan kedua tangannya dan menghunjamkan tatapannya pada Vanya.

Gadis itu tampak tidak terusik. "Setibanya di kota, temukan bantuan dan kembali ke sini."

"Tunggu!" Joan lagi-lagi bersuara, setelah menahan rasa jengkel yang memadat. "Apa yang membuatmu dengan ringannya membiarkan orang-orang ini pergi? Memang pikirmu setelah meninggalkan penginapan terkutuk ini, mereka akan bersedia kembali ke sini dengan membawa bantuan?"

Ketika mendengar "penginapan terkutuk", Nollan mengernyit.

Namun, Vanya hanya berdesah. Dia tidak segera menjawab pertanyaan tersebut, melainkan mengamati wajah Joan yang benar-benar kehilangan ketenangannya.

"Barangkali kau melupakan sesuatu," ucap Vanya, sembari menggelengkan kepalanya sejenak. "Ketika memesan kamar di penginapan ini, kalian sudah menyertakan informasi dan kartu identitas masing-masing. Data-data ini sudah berada dalam database manajemen penginapan. Dengan kata lain, tidak seorang pun bisa lolos begitu saja dari tempat ini, termasuk si pembunuh."

"Jadi, maksudmu ...."

"Apabila ternyata si pembunuh ada di antara tiga orang itu, maka manajemen penginapan yang kantornya jauh dari tempat ini dan bisa mengakses seluruh data di database akan langsung melaporkannya kepada polisi. Apabila ketiga orang ini tidak kembali sesuai batas waktu yang disepakati sehingga terjadi sesuatu pada kami, maka polisi akan melacak keberadaan mereka."

Semuanya menjadi jelas. Tidak seorang pun bisa bertindak sekehendak mereka. Semua sudah terikat dalam jaringan rumit yang siap menyeret mereka jatuh ke dalam neraka. Pembunuhan demi pembunuhan bukan sekadar permainan yang dengan leluasa diciptakan oleh pembunuh itu sendiri, melainkan dia pun telah terikat dengan permainan itu sendiri.

Joan tidak mengucapkan apa-apa lagi. Bahkan, yang lain pun tidak.

***

ERIKA MENUTUP PINTU MOBIL dengan kencang. Sebagian dari jok kulit dan permukaan alas mobil basah karena hujan. Saat itu Rave sudah duduk di balik setir, sedangkan Nan di kursi penumpang yang bersebelahan dengannya. Erika mengusap dahi dan rambutnya yang basah dengan lengan bajunya.

Mobil pun berderum. Roda-rodanya merangkak maju disertai kerikil-kerikil yang berderak. Mereka bergegas meninggalkan pekarangan penginapan melalui jalan sempit yang berlumpur. Erika menyandarkan wajahnya pada jendela pintu belakang. Dia bisa merasakan ketukan-ketukan air hujan di pipinya. Percikan lumpur gelap memancar hingga ke dasar jendela ketika mereka menerobos kubangan.

Badai yang telah berlangsung sekian lama ternyata membuat jalan-jalan dan pemandangan berubah. Beberapa ranting pohon yang terkulai patah terlihat berayun-ayun diterpa angin. Jalan sempit yang dipagari dengan belukar-belukar yang mekar pun menjelma menjadi sungai lumpur yang liat.

Nan sedikit memalingkan wajahnya dan melirik pada Erika. Gadis itu tetap bergeming. Hanya tubuhnya yang bergerak-gerak mengikuti guncangan mobil. Tentu saja, setelah mendengar apa yang dikatakan Vanya tadi, tidak seorang pun akan begitu saja percaya padanya.

Mobil yang mereka kendarai memasuki sebuah tikungan. Rave berusaha mengendalikan arah gerak mobil, terutama ketika keempat bannya menjadi liar karena bergesekkan dengan lumpur. Mobil itu lagi-lagi berguncang karena melindas sebuah batu di tikungan tersebut.

"Cobalah untuk lebih berhati-hati!" Nan mengusap pundaknya yang terantuk pada kaca jendela.

"Maaf." Rave tidak sedikit pun melepaskan pandangnya dari depan. Kedua tangannya meremas setir.

Saat itu, Erika merogoh isi sakunya. Lagi-lagi, dia mengusap kancing misterius yang sudah sejak lama bersemayam di dalam sana. Kancing berlambangkan kumbang rusa. Petunjuk yang ditinggalkan Nicco untuknya.

Bisakah ini menyelamatkan kami?

Erika mengusap pinggiran kancing yang bergerigi-gerigi kecil, lalu menariknya keluar dari dalam saku celana. Tiba-tiba saja, roda mobil kembali melindas bebatuan. Kancing itu pun terlepas dari genggaman Erika dan menggelinding melalui jok kulit, lalu terjatuh di alas lantai. Erika mengaduh ketika dahinya membentur jendela.

Tanpa mengindahkan nyeri di kepalanya, dengan segera Erika beringsut dan membungkuk. Kancing itu menyaru bersama permukaan alas yang gelap, sehingga dia harus meraba-raba di sekeliling alas tersebut.

"A–Ada apa ini?" Nan menengok pada Rave. Suaranya tergagap.

Namun, laki-laki itu tidak menjawab. Dahinya basah karena keringat. Kelopak matanya terbuka lebar dan tatapannya begitu tegang. Ada sesuatu yang tidak beres. Nan dan Rave langsung menyadarinya. Kedua tangan Rave bergerak mengendalikan setir, berusaha menjinakkan arah gerak mobil.

Meskipun terbentur berkali-kali, Erika bersikeras untuk tetap mencari-cari kancing yang terjatuh itu, sampai alhasil jari manisnya menyentuh sesuatu yang terasa begitu akrab. Licin dan berlubang. Ternyata kancing itu terjatuh tepat di bawah kursi pengemudi. Erika menggenggam kancing itu dengan erat, lalu beranjak dari tempatnya.

Saat itulah, Erika merasa sesuatu terjadi pada tubuhnya. Dia tidak bisa merasakan berat pada tubuhnya. Semua terasa begitu ringan, seolah-olah udara menyatu dengannya.

Nan menjerit nyaring, tetapi itu terdengar begitu jauh. Perlahan-lahan, semua menjadi seperti teredam. Semua bebunyian seolah menjauh dari pendengarannya. Erika benar-benar merasa ada yang berbeda dari dirinya. Tubuh gadis itu terangkat ke udara, menjauh dari kursi yang ditumpanginya.

Dia melayang maju, meluncur seperti angin. Pemandangan di depan menyambutnya semakin dekat. Seperti terlepas dari ikatan dengan kesadarannya sendiri, Erika melihat segalanya menjadi berkelebat dan menghilang dari pandangannya.

Sesuatu yang amat keras pun mengakhiri semuanya.

KRAK!

Semua yang terlihat pun punah dan berubah menjadi kosong. Bunyi hujan menghilang. Suara angin menjadi redup.

***

Part ini ditulis oleh Jo_nyan dalam sudut pandang karakter Erika Sudō (須藤 エリカ)

____________________________

Erika Sudō (須藤 エリカ)

Umur: 24 tahun

Pekerjaan: Guru Kimia

____________________________

Di dalam rumah penginapan yang dilingkupi badai dan kematian ini, siapakah yang akan bertahan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro