Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Tunjuk

"Because I'm happy,"Joan menari-nari seraya mengatur volume ponselnya agar tidak terlalu keras, maklum ke mana-mana dia suka mendengarkan lagu.

"Pak gendong ke mana-mana, menggendong buaya cinta!"Joan sedikit terkekeh mendengar lagu yang telah diubah beberapa kali itu, lagu semasa kecil yang telah ternodai oleh penghuni bumi.

Seorang pria berdiri kaku di pilar resort sembari memandang pemandangan teras kala malam bersinar purnama membawa manusia sejagad raya ke alam mimpi. Nollan memijit sebentar lehernya yang sedikit nyeri kemudian lanjut ke area kupingnya gara-gara lagu perusak ketenangan jiwa itu hadir sepintas. Dia sangat membencinya lagu yang tidak jelas untuk didengar.

Nollan mengambil ponsel milik Joan, sepersekian detik kemudian dia melempar ponsel itu dan segera ditangkap oleh Erika yang kebetulan melintasi teras resort.

Joan memekik kaget. "PONSELKU!"

"Salahmu sendiri karena memutar lagu yang tidak kusukai!" Nollan berdiri tak bersalah sambil tersenyum miring.

"Bilang saja tidak suka! Tidak perlu sampai melempar begitu!"

Erika menyerahkan ponsel berwarna biru itu kepada Joan dan menyapanya dengan senyuman. Sayang sekali bukannya mendapat senyuman manis dari Joan, justru umpatan kasar yang didapatkan olehnya. Nollan berdiri kaku disebelah Erika dengan semburat emosi di dahi.

"Kenapa kalian bertengkar seperti anak kembar?"

"Tidak!"Nollan dan Joan sontak menutup mulut. Bisa-bisanya mereka bertingkah sama.

"Ah, yang benar saja? Kalau bertengkar terus, lama-lama jadi suka ya–"

"Diam! Kita ini bukan Romeo atau Juliet!"

Erika terkekeh geli.

Joan berjalan menuju kamarnya dengan segudang emosi merasuki jiwanya. Padahal dia berniat untuk menyegarkan pikiran di luar dengan angin sepoi-sepoi tetapi kini malah membuatnya emosi.

Manusia itu benar-benar meresahkan sekali, pikir Joan. Di langkah yang kesepuluh, di area lorong panjang dan bilik-bilik kamar gelap, Joan terhenti sesaat menyadari ada sesosok manusia menggenggam pisau dengan berlumuran darah. Lampu resort yang berkedip-kedip di atasnya mengisyaratkan sesuatu bahwa pertumpahan darah telah terjadi lagi entah keberapa kali semenjak Joan ada di sini. Pelan-pelan dia merangkak, memasukkan ponselnya ke dalam saku, kemudian bersembunyi di kegelapan lorong. Joan menyipitkan mata untuk menelusuri siapa mayat bersimbah darah itu dan sesosok manusia yang sedang memungut benda tajam.

"Orlen? Xiran?!"

Sosok gelap itu sontak saja memutar lehernya. "Siapa di sana?"

Joan menahan napas mulutnya cepat, kembali menyipitkan mata. Instingnya benar, Xiran telah mati. Dia tidak bergerak sekalipun. Sementara Orlen masih hidup, tetapi Joan masih ragu apakah dia pembunuhnya sebab Joan tahu betul bahwa mereka berdua saling mencintai sebelumnya. Dan karena malam yang kian mendingin dibarengi kegelapan resort membungkam mulut keduanya, Joan hadir di hadapan sesosok manusia itu, Orlen. Dengan senyum lebar, selebar-lebarnya. Oh. Mengerikan.

Orlen tidak bisa bicara selama beberapa detik. Membeku. "Jo–an, Joan. Bukan aku pelakunya."

Joan tidak peduli dengan Orlen yang mencoba melakukan klarifikasi di tengah kegentingan ini, sementara mayat Xiran terus-menerus mengeluarkan darah tetapi Orlen malah sibuk memainkan ponselnya. Joan menggenggam lengan Orlen, tatapan mata mereka bertemu. Satunya ketakutan, satunya lagi dengan kegeraman.

"Ikut aku,"Joan mengajak Orlen untuk turun, mengumpulkan semua penghuni resort untuk diajak bercengkrama.

Nollan, Erika, Adriana datang bersamaan dari ruang makan, setelah menyelesaikan makan malam berupa steik sapi dengan kentang goreng. Joan memberikan Orlen tempat untuk duduk, seraya masih menggenggam pisau berlumuran darah itu. Perasaan gadis itu masih sama, tertekan.

Adriana menggaruk kepalanya. "Well, apa lagi ini?"

"Ada yang mati lagi. Dan pelakunya ialah Orlen."Joan menatap gadis itu lekat-lekat.

"Hah? Apa itu benar? Siapa yang mati?"

"Xiran."

"HAH?!"

Mereka sama-sama tahu, Xiran dan Orlen saling suka. Layaknya sahabat. Mereka akur dan tak pernah sekalipun berbuat masalah. Namun, kini semua itu terpatahkan akibat tindakan pembunuhan oleh Orlen. Rave bersama Nan datang bersama dan bergabung dengan kerumunan yang tercipta oleh Joan, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.

"Orlen, katakan kalau kau bukan pelakunya!"Erika memaksa Orlen mengatakan yang sesungguhnya.

Di sisi lain, bibir Orlen mengucapkan hal yang berbeda. "Aku ... mengakuinya."

Adriana menyahut dengan nada geram. "Tidak mungkin! Kau pasti bercanda!"

"Sebentar,"Nollan mendekati Orlen dengan berlari kecil seraya menyentuh lengan kanannya, masih bergetar tak karuan. "Tangannya gemetaran, jika pembunuh biasanya akan selalu tenang. Tapi dia tidak. Itu artinya yang membunuh Xiran bukanlah Orlen."

Joan melirik lewat tatapan sinis. "Bagaimana kau tahu?"

"Aku tidak perlu menjelaskannya padamu." Nollan memalingkan muka seraya sibuk memandangi bulan. Lagi-lagi kedua lelaki itu saling memelototi mata, amarah masih meliputi hati. Melihat itu sedikit membuat Nanette sebal.

"Kalian ini bertengkar seperti anak kecil! Nih, permen!"

Nollan mengambil permen susu, begitupun dengan Joan. Mereka kini sibuk menggigit permen dan menyelam dengan pikirannya masing-masing. Vanya datang dari arah barat sambil mengelap keringat di dahinya. Sepertinya dia telah melewati perjalanan jauh, entah apa. Vanya melangkah anggun menuju teras resort, bayangannya memudar ketika sampai di bawah lampu pijar berusia tua yang tak pernah diganti. Berkedip-kedip. Langit di luar nampak kemerah-merahan, pagi sudah menjelang. Gadis dengan polesan bedak dan lipstik itu berdiri di sebelah Joan seraya tersenyum tipis.

"Vanya? Darimana saja?"Joan menyapanya lebih dulu. Apalagi karena gadis itu sedang berkeringat pun terlihat sangat glowing.

"Aku tadi sempat joging malam di area luar resort. Benar-benar dingin."Vanya menenggak air mineral lalu melirik kanan-kiri.

Joan membalasnya dengan semburat tanda tanya, "Joging? Di tengah badai begini?"

"Cuacanya tidak terlalu parah hari ini. Omong-omong, apa yang kalian lakukan?"

"Kau tidak lihat? Orlen membawa pisau berdarah dan Joan menduga bahwa dialah pelaku dari pembunuhan Xiran!"celetuk Nanette sebal. Rave mengelus kepala gadis itu supaya tenang.

Vanya menggaruk-garuk kepalanya sebentar. "Cepat sekali menarik kesimpulan tanpa ada bukti yang konkret. Orlen, apa kau memang membunuhnya?"

Orlen memandang Nollan sebentar sambil mengelap mata pisau dengan siku bajunya. Sudah kering. Setelah menarik napas panjang, Orlen kembali bersuara dengan nada tegas. "Aku mengakui semua ini karena aku sudah muak! Daripada pembunuh itu tak pernah menampakkan diri, lebih baik aku saja!"

"Bodoh. Kau berusaha menyelamatkan pelaku sebenarnya begitu?"Joan menyahut santai tetapi matanya bersorot marah.

Orlen meletakkan pisau di atas meja, menggulung rambut panjangnya menjadi pendek. "Aku sama sekali tidak berniat menyelamatkan pelaku. Lagipula, aku tidak tahu siapa pelakunya? Biarlah waktu yang akan menjawab."

"Waktu ... itu berarti kita harus menunggu. Tapi itu tidak ada gunanya kecuali kita bergerak."

Semua penghuni resort berkumpul di sini dengan segudang teka-teki. Awalnya Rave berniat memanggil petugas resort untuk membersihkan mayat Xiran, tetapi di sini benar-benar sepi. Kemudian ide cemerlang muncul dari benak Erika untuk segera menghubungi polisi. Namun, Vanya menolaknya cepat.

"Tidak usah. Lagipula sekarang badai mulai parah di luar, polisi tak mungkin datang."sahut Vanya tenang.

Ketika mereka hendak menemui mayat Xiran untuk segera ditelusuri dengan tidak merusak apa pun yang ada di sana, hal ini bertujuan untuk tak meninggalkan sidik jari pelaku. Sampai di titik terakhir, Joan begitu terkejut dengan kemunculan sesosok gadis berambut acak-acakan. Merangkak terseok-seok berusaha meminta bantuan tetapi dengan pasokan darah yang telah menipis.

Xiran menyahut dalam diam seraya menunjuk-nunjuk seseorang diantara mereka. "Pe ... la ... kunya ...."

Part ini ditulis DwiBudiase oleh dalam sudut pandang karakter Joan Alexander

____________________________

Joan Alexander

Umur: 20 tahun
Profesi: Calon Aktor

____________________________

Di dalam rumah penginapan yang dilingkupi badai dan kematian ini, siapakah yang akan bertahan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro