11. Kelam
Ranko—Xiran—menutup buku tebal bersampul putih yang baru saja ditamatkan. Seraya menggeliat, matanya beralih pada sebatang lilin yang nyaris habis. Penerangan di penginapan semakin berkurang intensitasnya karena sekarang mereka terpaksa memakai lilin. Namun, bila ini terus berlangsung, bukankah mereka akan kehabisan stok lilin juga? Kalau benar terjadi, apa yang akan dipakai nanti? Menangkap gerombolan kunang-kunang dan dikurung di dalam botol kaca?
Menonton kunang-kunang dalam botol kaca bersama—
"Argh, Ran! Berhenti menyebut nama gadis itu dalam kepalamu!" Xirina menyingkirkan buku dan bangkit untuk mengganti lilin. Meski sudah menjadi hantu, ia tetap benci kegelapan.
Xirina dibuat uring-uringan sejak inangnya dekat dengan Orlen. Siapa yang akan tahan harus menjadi nyamuk atau apalah istilah untuk orang ketiga dalam sebuah hubungan. Bukan, bukan begitu. Xirina tidak merasa menjadi selingkuhan siapa pun, tapi sebal harus menjadi saksi dari sejoli norak ini.
Tentu saja norak, bersentuhan tangan saja Xiran langsung salah tingkat dan menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Di lain waktu, ia ingin menggandeng atau merangkul Orlen, tapi dikalahkan rasa malu. Pernah terpikir oleh Xirina untuk mengempaskan inangnya ke arah gadis itu, tapi bagaimana bila hasil yang diterima tidak sesuai harapan. Ditampar atau dibenci oleh sosok pujaan hati, bisa saja mengganggu mental Xiran.
Xirina bukannya menutup mata terhadap stigma negatif yang sering didapat Xiran. Lelaki sebatang kara ini nyaris kehilangan nyawa di hutan belakang rumahnya sendiri setelah mengalami upaya pembunuhan yang gagal.
***
Sebelum menemui ajal, Xirina berusia enam belas tahun. Sedikit banyak ia lupa dengan kehidupan sebelum berubah status menjadi makhluk astral. Namun, ada satu hal yang seolah sulit terhapus, yaitu detik-detik kematiannya sendiri sepuluh tahun yang lalu.
Bagaimana dunianya menjadi gelap dan harus menghirup aroma karung goni yang apek dan bau binatang busuk. Benar, dia menjadi korban penculikan sindikat kejahatan yang menyasar anak-anak orang kaya dengan tujuan untuk meminta tebusan. Sialnya, Xirina tidaklah sekaya yang mereka bayangkan.
Memang ia mengecap pendidikan di salah satu sekolah ternama di kota mereka yang terkenal diisi oleh kaum-kaum berekening tebal. Namun, sindikat bodoh itu tidak pernah terpikir ada jalur lain untuk memasuki sekolah elit tersebut—jalur bea siswa. Mereka semua menghancurkan masa depan dan harapan gadis periang dan sedikit keras kepala ini.
Bila diculik dan dimintai tebusan saja masih belum cukup sial, maka kejadian berikut akan membuat siapa pun yang mendengar kisahnya akan mengutuki para penculik. Mereka, orang-orang tanpa hati nurani sangat tega memutilasi Xirina setelah tidak mendapatkan apa yang mereka mau dan membuangnya di wilayah hutan terpencil.
Polisi membutuhkan sepuluh tahun untuk memecahkan kasus Xirina, ini pun tidak berakhir baik. Kerangka dalam karung goni sempat menjadi penghias setiap berita kala itu. Berita yang sama pula telah merenggut hidup kedua orang tua Xirina. Mereka memilih mengakhiri hidup. Tragis, bukan? Setragis kehidupan sosok yang menemukannya, Ranko.
Ranko tidak akan menyebut kerangka, karena dalam penglihatannya, yang ia temukan adalah seorang Putri Tidur seperti dalam cerita-cerita dongeng. Entahlah, mungkin Xirina sengaja membuat ilusi seperti itu supaya tidak mengguncang jiwa Ranko. Bagaimanapun, Ranko yang telah membantunya supaya tidak menjadi hantu pendendam dan mencelakai banyak orang.
Kala itu Ranko masih berusia sepuluh tahun dan hidup di area jarang penduduk. Memang mengherankan ada sebuah rumah berlantai dua dengan halaman luas yang tertata apik berada di perbatasan hutan dan kota. Kebutuhan listrik didapat dari penggunaan solar panel yang berjejer di atap rumah. Namun, beginilah kehidupan Ranko kecil. Tidak punya teman bermain, tidak menghadiri sekolah fisik, terkurung dalam sebuah vila mirip tokoh Rapunzel.
Apakah Ranko bahagia? Tidak, ia sendiri adalah korban kekerasan dalam rumah tangga. Ibunya yang mungkin kalah dengan tekanan hidup dan mental, pada hari itu memutuskan untuk mengakhiri hidup. Yang gila, ia tidak ingin mati sendirian, tapi bersama keluarga kecilnya.
Menyaksikan bagaimana ibunya yang kesetanan dan histeris mencacah sang ayah tiri dengan golok di dapur, tentu mengguncang jiwa anak yang bahkan belum memasuki usia legal. Sisanya, Ranko harus berlari menyelamatkan diri dengan perut berlubang akibat satu lesatan pisau buah yang diayunkan sang ibu. Demi mempertahankan hidup, Ranko harus rela menerima beberapa sayatan meleset di lengan, leher, dan kaki.
Belum lagi harus menahan gelenyar nyeri di telapak kaki akibat melewati bebatuan tajam dan pecahan kaca yang ditebar di sekitar halaman rumah mereka. Siapa yang menyangka ranjau yang ditebar demi keamanan keluarga, justru menjadi sumber penderitaan di tubuh ringkihnya.
"Ranko, Ranko ... ke sinilah. Kau tidak mau mengakui dosa padaku, ha~ah ...? Anakku yang cantik ... sekarang kau berani menggoda ayah tirimu, hm?"
Panggilan wanita gila itu meremangkan bulu kuduk Ranko yang bersembunyi di balik pohon. Dalam hati ia memohon dengan sangat tidak ditemukan. Namun, ceceran darah justru menjadi pengkhianat dan dengan lantang memberi petunjuk tempatnya bersembunyi. Sungguh, warisan wajah cantik sang ibu benar-benar menjadi kutuk yang melekat seumur hidup. Bukan hanya itu, pesona dari wanita yang sama juga ikut menurun padanya.
Ibu Ranko adalah seorang artis film tenar. Namun, ketenaran tersebut juga memiliki efek perusak yang cukup parah. Nasib sial terus mengejar dan mempermainkan hidupnya hingga gangguan kejiwaan yang diidap semakin tidak tertolong. Hamil dan ditinggal kala mencapai puncak karir perlahan menggerus kewarasannya. Suami pertama yang bukan ayah kandung dari Ranko ternyata hanya memanfaatkan kekayaan yang ia miliki. Suami kedua, memperlihatkan perilaku menjijikkan terhadap putra semata wayang.
Praktis pada titik inilah kewarasan ibu Ranko yang tergantung pada seutas tali tipis dan rapuh akhirnya putus. Tidak ada lagi yang tersisa, tidak ada lagi harapan-harapan manis untuk membentuk sebuah keluarga kecil yang harmonis ketika cemburu dan kegilaan berbaur menjadi satu, tidak ada lagi yang bisa menyelamatkan Ranko dari permainan kelam dunia. Namun, keinginan untuk hidup lebih besar daripada kalah oleh permainan yang baru dimasuki Ranko.
Lecutan ketakutan dan ledakan adrenalin mendorong Ranko untuk melakukan serangan balik. Sosok yang berdiri di hadapannya telah siap menghunjamkan ujung tajam sebilah pisau yang telah kehilangan gagang. Benar, wanita bermata gelap ini bahkan tidak sadar dengan tetesan-tetesan merah yang mengucur dari telapak tangannya yang terkatup erat.
Sorot mata bengis itu seakan perwujudan setan dari neraka yang mengambil alih sosok wanita yang telah melahirkannya.
"Bunuh, bunuh saja dia ... kau ingin terbebas darinya, bukan?"
Ranko menangkis sekuat tenaga ayunan kematian yang akan menamatkan riwayatnya, meski harus berdarah-darah. Dewi Fortuna akhirnya bersedia melirik dan mengulurkan bantuan dalam wujud karung goni lapuk yang teronggok di tepi danau kecil buatan.
Kaki ibu Ranko tersangkut pada tali pengikatnya. Sebelum kehilangan keseimbangan, ia sempat menarik kerah baju Ranko hingga keduanya tercebur. Berita buruk, mereka tidak bisa berenang.
Kepala Ranko beberapa kali ditekan hingga tenggelam oleh ibunya yang panik dan meronta-ronta akibat kaki yang semakin terbelit tali dan tanaman air. Hidung Ranko sakit akibat menghirup air, juga beberapa kali menelan air danau.
"Kau ingin hidup?"
Bisikan yang sama semenjak Ranko melewati pagar pembatas rumahnya kembali menggema. Tanpa pikir panjang ia menjawab mantap dalam kepala, "Ya!"
"Bebaskan aku," pintanya.
"Bagaimana?" balas Ranko. Ia masih terus bergelut dengan ibunya yang gelagapan kehabisan napas dan perlahan menyeret tubuhnya ke dasar danau.
"Buka matamu."
Meski belum mengerti dengan permintaan aneh tersebut, Ranko memilih menurut dan membuka mata. Ia langsung bertatapan dengan wujud Xirina—bukan dengan tubuh yang utuh, tapi hanya kepala berwajah rusak dan rambut hitam panjang yang kusut. Gelembung-gelembung udara menyembur cepat dari mulut Ranko dan ia buru-buru mengatupkan rapat-rapat matanya.
"Kau ingin hidup? Ulurkan tanganmu."
Antara sadar dan tidak, mata Ranko terbuka sayu dan sosok wanita berekor ikan—atau terlihat begitu—berenang mendekat. Dengan senyum mengembang, ia mengulurkan tangan dan wanita tersebut mengikatkan sesuatu di pergelangan tangan kirinya.
Yang Ranko tahu, ia terbebas dari timpaan tubuh ibunya dan perlahan-lahan terangkat dari dasar danau. "Mermaid itu benar-benar ada ...."
***
"Apa yang kau tunggu, sih, Ran? Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Bagaimana bila besok seseorang mengejarmu dengan pisau dan kau jadi mayat. Kau tidak akan punya kesempatan lagi untuk bilang ke dia kalau—"
"Mayat, hah?" Xiran menggigit ujung jari hingga berdarah dan mengoleskannya pada tiga manik-manik berbeda warna pada gelang bertali parasut di pergelangan tangan kiri sambil membisikkan sesuatu, mungkin sebuah mantra.
Kesadaran Xirina membulatkan mata Xiran. "Tidak lagi, Ran! Kau kenapa, sih! Jangan lakukan ini padaku! Jangan se—" Terlambat. Protes Xirina tidak tersampaikan setelah ia dibisukan oleh bisikan terakhir Xiran.
"Jangan melewati wilayah privasiku, Xiri. Kenapa kau malah memanggil kejadian yang seharusnya sudah kulupakan!" Xiran memejamkan mata dan menunduk sembari memijat-mijat kepalanya yang pening.
Sungguh, Xiran benci bila harus menggunakan jimat rahasianya untuk membungkam Xirina. Selain karena proses yang membuat kepala berputar dan melihat kerlap-kelip bintang untuk beberapa saat, ia tidak suka dengan kelancangan Xirina.
Bagaimana bisa gadis ini mengingatkannya bila ia pernah menghabisi nyawa seseorang—secara tidak langsung. Wanita itu memang layak dihentikan, tapi tidak dengan cara demikian. Inilah penyesalan yang akan terus menghantuinya hingga ia mati kelak.
Pelanggaran privasi berikut menyangkut seorang gadis lain bernama Orlen. Terang-terangan ia diolok Xirina sebagai pengecut tak bernyali dan menyuruhnya dikebiri saja bila tidak sanggup mengucapkan kata-kata sakti mandraguna itu, 'Aku Cinta Kamu'.
Orlen pernah mengatakan ia menyukai gelang parasut bermanik tiga yang sudah menemani sejak kasus kematian sang ibu. Salahnya, Xiran sempat membentak gadis itu ketika ia melihat ada bercak merah di atas ketiga manik dan berniat membersihkannya. Ya, ini murni kesalahannya dan ia menyesal karena membuat hubungan mereka menjadi sedikit berjarak.
Bagaimana lagi, ia merasa harus mengaktifkan jimat tersebut supaya Xirina tidak bermanifestasi ketika ia bersama Orlen. Siapa yang tahu apa yang akan dilakukan hantu tengil tersebut. Sebenarnya Xirina cukup beruntung karena kemampuan ala dukun yang ia miliki belum terkuasai dengan baik.
Di sisi Xirina sendiri, sungguh, ia sama sekali tidak masalah bila Xiran memiliki seorang pendamping untuk mengakhiri masa-masa sendirinya sebagai Ranko Jones—Jomblo Ngenes. Kurang apa lagi sinyal-sinyal yang dipancarkan Orlen bila rasa suka mereka saling berbalas. Namun, Xiran tak kunjung mengutarakan perasaan pada gadis berambut cokelat itu.
"Maaf Xiri, aku tidak ingin kau menggangguku malam ini bersama Orlen." Xiran menempuk dua pipinya kuat-kuat. "Malam ini. Malam ini aku harus berhasil mengatakan itu."
Xiran membawa tempat lilin dan melangkah ke arah pintu, lalu membukanya. Kejutan, di depan pintu Orlen sudah berdiri dalam kondisi akan mengetuk, tapi tertahan.
"Ah, eh ... ma—malam Xiran," sapa Orlen sembari berusaha tersenyum dan memindahkan arah pandangnya dari wajah Xiran ke tembok.
"Malam ...," balas Xiran sambil menyisir rambut dengan jemari. Ia bukan sedang berusaha terlihat keren, tapi ada helaian rambut yang jatuh dan menusuk matanya. "Sudah saatnya makan malam?"
"Hei, kalian!" Tahu-tahu Rave muncul dari ujung koridor dan berjalan cepat ke arah mereka berdua. Sambil memainkan alis tebalnya, Rave melempar senyum tipis dan bertanya, "Bagaimana?"
Xiran dan Orlen saling pandang, tidak paham dengan maksud pemuda berambut hitam di depan mereka. Rave melirik jenaka pada Xiran yang hanya menjentikkan ujung bibir dan menjeling pada Orlen. Gadis manis ini malah sibuk menggosok-gosokkan ujung jarinya di tempat lilin.
Rave memberi isyarat pada Xiran supaya mendekat lalu membisikkan sesuatu, "Jangan lama-lama. Menunggu itu menyebalkan." Selesai memberi nasihat yang sebenarnya tidak perlu, Rave menepuk-nepuk pelan bahu Xiran seolah memberi ucapan 'semoga beruntung', lalu membuka pintu kamar yang ditempati bersama Nan selama berlibur di tempat pemanggil petaka ini.
Hitungan detik belum juga kembali ke angka dua belas, telinga keduanya dilabrak gelegar suara Nan hampir menyamai guntur badai di luar. Xiran melirik Orlen. "Tunggu aku di ruang makan."
Orlen mengangguk dan pergi bersama lilin di tangan. Xiran tidak ingin pujaan hatinya mendengar kata-kata tajam yang terlontar dari mulut Nan. Biar ia saja yang menanggung sembur kemarahan seorang wanita berkarakter kuat, tapi rapuh di dalam seperti Nan. Entahlah, terkadang melihat sosok wanita bertubuh ramping tersebut mengingatkannya pada sang ibu.
Apa yang kau pikirkan, Ranko! Nan jauh lebih baik dari wanita gila yang pernah kau tumpangi rahimnya itu. Wanita itu berbohong sewaktu bilang kau tidak memiliki siapa pun selain dirinya. Kau punya Kepala Panti yang baik itu, Dominic Dawson, Xirina, dan ... Orlen.
"Ck." Xiran kembali menyingkirkan sejumput rambut yang menusuk matanya sembari menjambak pelan. Ia mendongak supaya bulir bening yang lancang menyelinap keluar dari sudut matanya tidak meluncur turun. "Cukup. Aku hanya ingin bahagia. Lebih baik menjalani satu hari bahagia, daripada berumur panjang dan menjalani hari-hari terkutuk seperti itu."
Xiran mengayun langkah dan sampai di ambang pintu ruang makan. Hanya ada seorang pria yang duduk sambil melumat sesuatu dalam mulutnya. Kalau tidak salah dia bernama Joan. Xiran memilih tiga bangku dari pria tersebut dan duduk.
***
Xiran menunggu bersama Joan, tapi tidak ada satu pun kata yang meluncur dari keduanya. Namun, setelah sepuluh menit tidak ada tanda-tanda kemunculan Vanya si koki yang menyediakan makan malam, ia pun memutuskan untuk mencari Orlen dan mengajaknya ke rumah kaca kecil di belakang penginapan. Mungkin di sana akan ada kunang-kunang yang bisa ditangkap dan dimasukkan ke dalam botol kaca.
Sekarang tinggal cari botol kaca. Di koridor yang menuju ruang makan, Xiran menemukan satu botol kaca berukuran sedang yang berisi miniatur kapal layar jenis Frigate.
Sekali-kali lancang tidak apa, kan?
"Nollan, aku pinjam ini. Tenang saja, akan kukembalikan dalam keadaan utuh." Xiran membalas monolognya sendiri sambil meniru suara Nollan semirip mungkin, "Silakan."
Tangan Xiran sibuk menatang botol kaca sambil membawa lilin. Sekali lagi ia berhenti di depan tangga yang menuju lantai dua. Perasaan ini lagi ....
Di depan sana, dekat meja resepsionis ada sosok gadis yang sibuk menatap layar ponsel. Postur tubuhnya mirip dengan Orlen, sehingga tanpa ragu ia menghampiri dan menyapa, "Orlen, kenapa kau tidak menunggu di ruang makan?"
Sosok yang disapa berbalik dan menatap heran. "Kau salah orang," balasnya singkat dan membekap mulut hidung dan mulutnya.
Xiran mengira ia sakit atau mual akan sesuatu. "Kau baik-baik saja?"
"Ya. Permisi." Sungguh, gelagat gadis ini aneh. Ia menghindari kontak mata, tapi yang paling membuat harga diri Xiran terbanting adalah keengganannya untuk menyingkirkan bekapan tersebut bila ia memang baik-baik saja.
"Apa aku sebau itu?" tanya Xiran sambil mengendus-ngendus dirinya sendiri. "Aku rajin mandi dan pakai deodoran, kok!"
"Jangan pedulikan aku. Urus saja urusanmu."
Xiri, apa sekarang aku berbau amis karena sering main di air dan menjelma jadi manusia ikan?
"Maaf mengganggu harimu! Tapi mungkin kau kenal Orlen, dia gadis ramping yang hampir sama tingginya denganmu dan suka memakai jaket bertudung!" Xiran terpaksa mengeraskan suara hingga mirip bentakan karena gadis yang diajak bicara nyaris hilang dari jangkauan matanya.
"Tadi dia naik ke sana!" Jari gadis bernama Adriana ini menunjuk ke arah tangga yang dilewati Xiran barusan.
"Oh. Terima kasih!"
Berpikir ini saat yang tepat, Xiran memutuskan untuk menangkap kunang-kunang lebih dulu sebelum menunjukkannya pada Orlen. Dengan langkah riang, ia keluar dari pintu belakang yang jarang dilewati. Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu keberadaan pintu ini, dirinya dan Orlen termasuk dalam hitungan segelintir orang tersebut. Siapa pun yang melewatinya harus menundukkan kepala bila tidak ingin terbentur.
Xiran berlari sambil menunduk untuk melindungi nyala api lilin, merelakan seluruh punggung basah kuyup tersiram derasnya hujan yang tak kunjung reda. Amukan guntur dan petir sama sekali tidak menyurutkan niatnya untuk melihat senyum lebar Orlen hari ini. Sungguh beruntung, di dekat tanaman di tengah-tengah rumah kaca ada kerlap-kerlip cahaya kuning yang beterbangan. Kunang-kunang.
***
Selesai berganti pakaian, Xiran menyumbat mulut botol dengan gumpalan tisu supaya makhluk yang sekarang menari-nari di antara miniatur kapal layar di dalam kaca tidak mati tercekik. Seraya menunduk hormat, Xiran mengelus-ngelus botol kaca dan mengecup pelan.
"Hei, kalian. Mohon bantuannya, Tuan dan Nona Kunang-kunang. Nasibku bergantung pada kalian. Kalau sampai aku gagal menembak dia hari ini, mari mati bersama dalam malu."
Terlalu bersemangat untuk memberi kejutan pada Orlen, Xiran memutuskan untuk menyusul ke lantai dua. Berhubung memegang botol kaca dan lilin terasa tidak romantis, ia memakai senter yang bisa disangkutkan di kepala mirip milik para penambang, dengan begitu satu tangannya bisa dengan leluasa menggandeng Orlen. "Tunggu aku, Orlen ...."
Lantai kayu yang dipijak Xiran berderak pelan, seolah ingin memberitahu usianya yang akan memasuki masa lapuk. Namun, suara-suara tersebut tidak mengendurkan semangat dan antusias Xiran untuk melihat wajah Orlen. Bonus sekali bila ternyata gadis itu memeluknya, bukan?
Stop, stop! Jangan sampai Xirina tahu pikiran norakmu, Ranko! Dia pasti akan mengolokmu seharian!
Ada satu pintu paling pojok yang tidak tertutup rapat dan cahaya lemah lolos dari celahnya. Karena tidak ada nomor kamar, Xiran berpikir tempat ini adalah gudang atau pantry bagi para tamu di lantai dua. Senter dimatikan dan tanpa ragu, ia mendorong pintu hingga cukup untuk menyelipkan kepala dan mengintip.
"Orlen, sedang apa kau?"
Sosok yang tengah bersimpuh menoleh ke belakang. Wajahnya hampir menjadi cermin dari wajah Xiran sendiri—terkejut hingga tidak sanggup berkata-kata. Botol kaca di tangan Xiran jatuh dan menggelinding. Xiran terhuyung ke belakang. Di dinding kamar bernuansa merah ini tergantung simbol-simbol aneh yang diciprati warna merah.
Itu, itu ... bukan darah, kan? Apa ini, apa yang baru kulihat ini?
Tidak perlu melihat lebih lanjut untuk mengetahui semua kertas-kertas jimat, lilin, simbol-simbol aneh, bunga-bunga berbau menyengat, cairan merah dan ... foto tamu yang baru meninggal. Semua barang yang ada di ruang sempit tersebut adalah peralatan untuk sebuah ritual, tapi ritual apa? Ritual yang membutuhkan tumbal? Tumbal manusia?
Orlen ... Orlen ... jangan bilang Orlen ....
Mata Xiran tidak fokus. Kakinya tahu persis harus mencari gadis itu secepat mungkin. Namun, pergelangan tangannya ditangkap sosok tersebut.
"To—tolong tenang dulu, bisa?" tanyanya berusaha tenang, tapi suaranya bergetar. "Kenapa kemari? Apa ada yang menyuruh?"
Xiran menggeleng dan membebaskan tangannya dari cengkeraman lemah sosok tersebut. "Or—Maaf, mengganggu. Permisi ...."
"Or?" Matanya sampai memicing akibat Xiran yang tidak ingin menyebut nama Orlen.
Kepala Xiran kembali menggeleng gusar. "Tidak apa-apa. Sungguh, tidak apa-apa." Pikirannya terus menjerit ingin segera memastikan kondisi Orlen. "Permisi."
"Maaf, apa saja yang kau lihat di dalam?" Sosok yang ingin dihindari Xiran kembali memegang lengannya.
"Aku tidak lihat apa-apa. Sungguh."
"Kata-katamu bisa dipegang?" selidiknya sambil menatap lekat-lekat demi menguji kejujuran Xiran.
Xiran mengangguk dan segera mengambil beberapa langkah untuk memungut botol kaca berisi kunang-kunang, lalu berdiri. "Untunglah kapalnya tidak rusak."
Sesuatu yang tipis dan berujung tajam menempel di punggung Xiran. "Maaf. Aku berubah pikiran. Aku tidak bisa memastikan kau tidak akan bergosip ke semua orang." Tangan yang memegang benda yang bisa kapan saja menembusi jantung Xiran bergetar.
Lengah. Xiran lengah untuk menyadari bila orang yang dipergokinya, sedari tadi menyembunyikan senjata. Mungkin ini gegabah, tapi ia tidak mendeteksi agresi layaknya seorang pembunuh. Bisa saja benda tersebut hanyalah sebuah pena, bukan? Oleh karena itu, Xiran justru berputar perlahan-lahan. Ada jejak kecemasan dan bimbang dalam mata sosok di hadapannya.
Benda yang diharapkan tidak berbahaya, ternyata pisau yang teracung. Deja vu. Trauma masa lalu Xiran bangkit, ditambah dengan kesigapan terhadap ancaman yang didapat dari pelatihan selama menjadi marinir, membuatnya segera menangkap dan meremas kuat-kuat pergelangan tangan pihak yang mengancam.
"Tolong, lepas. Kau menyakitiku," pintanya.
"Bila kau memang tidak berniat membunuhku, singkirkan pisaunya."
Xiran buru-buru menendang jauh-jauh pisau yang dilepas begitu saja, hingga terpental entah ke mana. Sosok yang mengancam langsung menunduk sambil memegangi pergelangan tangan yang serasa remuk akibat kekuatan cengkeraman seorang laki-laki.
"Begini saja. Aku berjanji akan mengunci mulutku rapat-rapat soal ini, asal kau tidak pernah menyentuh Orlen. Paham?"
Mendapat anggukan cepat dari lawan bicara, Xiran mengendurkan pertahanan dan di saat inilah area di bawah perutnya mendapatkan tendangan keras. Sepertinya ia memang sudah membulatkan tekad untuk membungkam Xiran, bagaimanapun caranya.
Meski meringsut dan mengerang kesakitan, Xiran menolak kalah dengan denyutan neraka di bawah situ. Apalagi setelah sosok tersebut telah menemukan pisau yang ditendangnya tadi dan sekarang kembali tergenggam. Di saat seperti ini seharusnya Xirina sudah mengambil alih untuk melindungi Xiran. Namun, hantu tersebut masih akan terkurung selama beberapa jam ke depan.
Xiran seperti mengulang kembali tragedi berdarah-darah di rumahnya dulu. Meski sudah sebisa mungkin menghindar dan menjauh, beberapa ayunan ceroboh si penyerang berhasil menggores lengan dan punggung tangannya. Botol kaca yang berusaha dilindungi kembali jatuh dan bergulir.
Kaki sosok lembut yang sekarang mengancam keselamatannya, tersandung botol kaca berisi kunang-kunang yang akan ditunjukkan Xiran kepada Orlen. Apa daya, benda tersebut justru membantu si penyerang menyarangkan pisaunya di punggung Xiran.
Sudah tertusuk, ia juga menimpa Xiran yang jatuh tertelungkup. Jaket putih yang dipakainya dengan cepat dirembesi cairan merah dan terus melebar hingga hampir memerahkan seluruh area punggung seperti kanvas.
Apakah aku memang harus mati di ujung pisau?
Xiran merasa hidupnya mirip dengan film yang pernah ditonton dulu. Bagaimanapun, Kematian tidak suka dikibuli, sebab ia akan datang dengan ancaman yang jauh lebih besar dari sebelumnya.
***
Xiran menyeret tubuh yang semakin berat dan berakhir terguling berkali-kali menuruni tangga, ia masih berharap bisa melihat Orlen. Seluruh kekuatan seolah perlahan menyesap keluar dan menolak kembali. Kali ini ia merasa tidak bisa menahan rohnya untuk tetap bersemayam dalam tubuh yang semakin sulit bernapas.
Luka tusuk yang ia terima mungkin telah melukai paru-paru, membuatnya tidak bisa mengeluarkan suara. Jangankan bersuara, menarik napas saja sudah mendatangkan penderitaan tersendiri. Dalam keadaan tertelungkup dan pisau yang semakin melesak dalam, serta patah tulang rusuk, tidak ada lagi yang tersisa bagi Xiran selain menunggu jemputan maut.
Mata sayu Xiran menumbuk luka sayatan di punggung tangan. Seraya menggunakan kemauan yang sekeras baja, ia menyentuh lukanya sendiri dan menggunakan cairan kental berbau besi berkarat itu untuk menulis di lantai kayu.
ORLEN AKU CINTA
Naas. Jari Xiran terhenti, napasnya putus sebelum berhasil menyelesaikan kalimat yang ingin ditulis dengan darahnya sendiri.
Setelah menghapus tulisan darah Xiran hingga hanya terbaca 'ORLEN', si pembunuh berdiri dan mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk memastikan tidak ada saksi mata. Ia cukup lega karena kebisingan di atas tidak terdengar sampai ke lantai bawah dan mengundang para tamu datang. Sekarang yang harus ia lakukan adalah membuat semua musibah ini terlihat seperti kecelakaan—atau mungkin bunuh diri? Bukankah korban di ujung kakinya terlihat seperti seseorang yang depresi?
"Maaf aku harus mengaramkan cintamu pada Orlen di sini," sesalnya sambil berlutut dan mencabut pisau yang telah memutus hidup sang korban dan diselipkan di antara jemari, seakan-akan Xiran sendiri yang menggenggam senjata tajam tersebut. "Sekali lagi maaf, kau harus terbungkam seperti ini."
Ia mendesah pelan dan meninggalkan jenazah Xiran sambil bergumam, "Kau benar-benar berada di tempat dan waktu yang salah."
Kesalahan Xiran hanya satu, memergoki dan melihat apa yang seharusnya tidak boleh dilihat atau diketahui siapa pun.
***
Part ini ditulis oleh ERheaZ dalam sudut pandang karakter Ranko Sawa (Xiran)
____________________________
Ranko Sawa (Xiran)
Biodata: Ranko Sawa (Xiran)
Umur: 19 tahun
Profesi: Merman profesional (model pria yang memakai ekor ikan prostetik dan berenang indah di dalam air dengan dandanan semirip mungkin dengan tokoh mitologi 'putri/putra duyung), mantan marinir.
____________________________
Di dalam rumah penginapan yang dilingkupi badai dan kematian ini, siapakah yang akan bertahan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro