10. Monster
Lampu padam meninggalkan kegelapan yang menekan di ruangan. Nan tidak begitu memperhatikan itu, terlalu tenggelam ke dalam pikiran suramnya sendiri. Bahkan tidak merasa terganggu dengan suara angin yang menderu bersama denting cabang pohon yang mengetuk kaca jendela kamarnya.
Seseorang telah mati, dibunuh lebih tepatnya. Dia tidak ingin terlibat dengan semua ini lagi. Darah dan pembunuhan, dia sudah cukup dengan semua itu. Begitu pula Rave, pikir Nan dengan utas kejengkelan yang mengusik pikirannya. Dia sama sekali tidak setuju ketika Rave memutuskan untuk terlibat secara langsung untuk menemukan si pelaku, tapi menghentikan Raven Denver ketika dia sudah bertekad adalah sia-sia.
Nan menggelengkan kepalanya dengan sedikit frustrasi dan secercah kebanggaan untuk Rave. Kadang-kadang dia berharap mereka tidak pernah bertemu, jadi dia tidak akan jatuh cinta padanya. Dia tidak akan peduli apakah dirinya cukup baik untuk berdiri bersamanya. Maka tidak masalah apakah dia tetap menjadi gadis kejam itu atau gadis yang lebih baik. Sayangnya dia telah mengenal Rave, telah jatuh cinta, dan dia berjanji akan mencoba bersamanya untuk menjadi seseorang yang lebih baik. Untuk menebus kesalahan, meski Nan ragu akan ada cukup kebaikan di dunia untuk mencuci darah di tangannya.
Menggeser layar ponsel yang sebelumnya hanya ia genggam, Nan menatap foto dirinya dan Rave yang memenuhi lock screen. Dia tersenyum lebar di foto itu saat Rave mencium pipinya dan mengambil selfie bersama. Di sana, untuk satu momen yang singkat, dia merasa normal. Hanya seorang gadis dan laki-laki muda yang jatuh cinta, menghabiskan malam kencan seperti kehidupan normal lainnya. Nan jarang mengatakannya dengan keras, tapi dia menginginkan itu. Dia tidak peduli dengan hidup yang telah ia tinggalkan, dia tidak peduli dengan semua warisan yang mungkin dia warisi dari ayahnya. Sejujurnya dia telah mengepak kopernya setelah kematian ayahnya tanpa berpikir dua kali. Tidak lagi menoleh ke belakang meskipun kedua saudarinya telah mencoba untuk menjangkaunya.
Pikiran itu mengingatkannya pada pesan terakhir yang telah dikirim saudarinya tepat sebelum dia dan Rave memulai liburan berdarah ini. Satu pesan singkat bersama foto kedua saudarinya. Mereka berada di Paris sekarang, di salah satu rumah kediaman Montague, satu yang dulu pernah menjadi favorit Nan sendiri. Tempat dia ditemukan di jalanan, saat dia berpikir ayahnya akan pernah mencintainya. Sayang sekali mimpi seorang gadis kecil mudah untuk dihancurkan.
'Kami merindukanmu, pernah berpikir untuk pulang? Sudah satu tahun penuh, bukankah itu cukup waktu untuk menghapus masa lalu dan memulai yang baru?'
Sama seperti pesan lain yang sebelumnya mereka kirimkan. Itu berisi bujukan dan permohonan untuk pulang. Hanya saja Nan tidak tahu di mana rumah itu. Rave adalah rumahnya, jangkarnya, tempat perlindungan yang dia tidak pernah tahu atau harapkan untuk miliki.
"Ada apa dengan semua kegelapan ini? Seseorang sedang kesal?" ucap suara yang tidak lagi asing bagi Nan, diikuti suara pintu tertutup yang mengayun di belakangnya.
Sayangnya pintu itu tidak tertutup cukup cepat, Nan sempat menatap pria cantik—tunggu, siapa namanya? Xiran, itu dia. Bersama dengan gadis generator yang berada di punggung Rave.
"Mungkin, karena seseorang benar-benar mengabaikan kata-kata orang itu," balas Nan gusar, tidak repot-repot melunakkan nada suaranya. Tidak peduli jika Xiran mungkin masih berada di sisi lain pintu sehingga pria cantik itu mendengar setiap kata saat dia berteriak dengan kesal. "Aku memperingatkanmu untuk menjauh darinya! Aku bilang, ada sesuatu yang sangat aneh tentangnya! Dan lagi-lagi kamu berkeliling dengannya? Setidaknya apakah itu menghasilkan sesuatu? Apakah dia memberi petunjuk apa pun yang kamu cari?"
Biarkan dia mendengarnya! pikir Nan picik, jika pria cantik itu memiliki setengah akal, dia akan menjauh dari Rave sebelum Nan melakukan sesuatu yang benar-benar drastis, seperti mengancamnya dengan pisau di tenggorokan mungkin?
"Ini lagi?" tanya Rave jelas tidak tertarik untuk masuk ke dalam lebih banyak pertengkaran dengannya. Nan tidak mengatakan apa-apa, menolak untuk mengakui keberadaan pria itu bahkan saat dia mulai menyalakan lilin di kamar mereka dan duduk di tepi tempat tidur.
Punggung Rave menekan sisi pahanya, sebelum tangannya meraih jemarinya. Gerakan kecil, sentuhan kecil, tapi itu mengurangi kegelisahan yang membangun jauh di dalam diri Nan. Ketakutan irasional untuk kehilangan satu-satunya orang yang benar-benar ia hargai.
"Aku tidak mempercayainya, Rave," bisik Nan dengan napas tertahan. Dia sedikit menarik dirinya, bersandar di kepala ranjang dan menekuk lututnya. Menjauhkan kulitnya dari lebih banyak kontak dengan pria itu, meski Nan tidak menarik tangannya bebas.
"Itu bukan hal yang mengejutkan, kamu tidak percaya siapa pun, Nan."
Nan mendengkus pada nada menggodanya dan menggelengkan kepalanya dengan defensif. "Itu tidak benar, aku mempercayaimu."
"Apakah kamu?" tanya Rave, dan sesuatu di suaranya memberitahu Nan, ada lebih banyak di sana. Kata-kata yang tidak terucap. Kalimat yang mereka telan setiap kali hampir tumpah. Masing-masing mempertanyakan kelayakan diri mereka sendiri, bertanya-tanya apakah mereka akan pernah cukup baik?
Nan menelan dengan gugup. "Kamu tahu, aku percaya kamu."
"Lalu seharusnya kamu mempercayai penilaianku, Xiran tidak berbahaya. Bahkan dia peduli tentang keselamatanmu, memperingatkanku beberapa kali juga untuk menjagamu."
Menarik tangannya dari genggaman Rave, Nan melihat ke langit-langit kamar mereka. Pembicaraan ini sia-sia.
"Aku ingin pergi. Aku tidak ingin berurusan dengan semua ini. Aku tidak peduli dengan mayat, pembunuhan, pembunuh, atau apa pun di sini. Aku tidak peduli jika semua orang di resort ini mati. Aku hanya ingin keluar dari semua ini denganmu. Tidakkah kamu mengerti itu? Aku sudah cukup, Rave. Aku tidak ingin ada kaitannya lagi," bentak Nan gusar, kemarahan tidak masuk akal menghanguskan akal sehatnya. Itu bukan pertama kalinya dia meledak, satu tahun terakhir Nan Montague, pembunuh bayaran berdarah dingin, The Ghost, telah mati bersama korban pembunuhan terakhirnya. Meski Nan tidak pernah mengakuinya.
Rave berbalik, kedua kakinya naik di atas ranjang, terentang untuk memberi ruang saat dia menyeret gadis itu ke dalam pelukannya. "Apakah ini tentang pembunuhan terakhirmu?"
"Aku tidak akan membicarakannya!" ucap gadis itu keras kepala. Rave menggertakkan giginya.
"Kamu harus, pada satu titik kamu perlu menumpahkannya sehingga itu dapat dibersihkan dan tidak bernanah. Untuk memperbaikinya," ucap Rave berharap bisa mengatakan sesuatu yang lebih baik. Namun, dengan semua kekacauan yang terjadi sekarang dia tidak berpikir itu adalah waktu yang tepat untuk mendorong gadisnya.
"Aku tidak rusak, Rave. Aku tidak butuh perbaikan. Aku butuh keluar dari resort terkutuk ini. Dari badai gila itu. Dari pembunuhan konyol dan pembunuh bodoh. Semua itu, dan kamu keluar dari hal ceroboh untuk mencoba mendapatkan pelaku yang bertanggung jawab."
"Dan aku perlu melakukan ini, Nan. Dari semua orang, aku pikir kamu akan mengerti. Aku perlu penebusan, kita berdua lakukan, biarkan aku melakukan ini dan kemudian kita bisa hidup dengan baik. Kita akan meninggalkan semua darah itu di belakang, oke?"
Nan menggelengkan kepalanya. "Tapi ketika kesempatan pertama muncul untuk meninggalkan tempat ini, kita akan mengambilnya! Tidak peduli badai, hujan, atau gempa bumi sialan, kita pergi bersama. Berjanji itu untukku?"
Mereka tidak bisa pergi sekarang karena badai terkutuk di luar menyebabkan longsor dan pohon tumbang yang memblokir jalur turun. Tetap saja, fakta itu tidak memadamkan keinginan Nan untuk keluar dan pergi saja.
Sayangnya Rave terlalu keras kepala dan terlalu baik hingga mungkin suatu saat itu akan membunuhnya.
"Nan ...," ucap Rave dengan lemah, menyeret suku katanya seolah itu adalah doa dan kutukan. Kepedulian memancar begitu kuat di matanya, itu yang membuat Nan Montague bersedia jatuh untuk Rave. Pada kasih sayang tulus dan kepedulian yang seharusnya tidak pantas ia dapatkan.
"Untukku Rave, tolong? Katakanlah ini adalah paranoia yang tidak masuk akal, tapi aku punya firasat buruk tentang semua ini."
Pria itu menyentuh pipinya dengan jarinya, sentuhan lembut sebelum bergeser ke belakang lehernya. Memiringkan kepalanya sehingga dia sedikit mendongak, membawa bibir mereka lebih dekat. Saat dia berbicara, napasnya menggelitik pipinya. "Aku janji, di antara semua orang yang tinggal di sini, aku cukup yakin kita adalah yang paling sulit dibunuh dan mematikan."
"Aku meragukannya, seseorang selain kita benar-benar tahu cara membunuh. Karena itu bukan kamu dan bukan aku, aku sungguh tidak membunuhnya," ucap Nan yang ditanggapi dengan anggukan sederhana dari Rave.
Nan tidak tahu apa yang pernah dia lakukan untuk mendapatkan kepercayaan seperti itu dari Rave, tapi dia bersyukur. Dia tidak ingin membayangkan betapa hancur hatinya jika Rave tidak lagi mempercayai kata-katanya.
Nollan, pemilik resort, sebelumnya telah memanggil dia dan Rave bersama seorang gadis remaja untuk berbicara. Pria pemilik resort itu telah mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak menyenangkan padanya, yang sejujurnya masuk akal karena dia berdiri di tempat kejadian pembunuhan dengan pisau di tangannya.
Meskipun dia tidak pernah menuduhnya secara langsung, dan dia bukan satu-satunya yang dicurigai. Karena jelas Nollan juga menanyai gadis remaja itu dan Rave sendiri, serta dia juga telah mendengar kalau pria itu menanyai Erika, gadis yang jelas-jelas hancur karena kematian pria malang itu. Tetap saja itu membuat Nan tidak senang. Itu terlalu dekat dengan masa lalunya, padahal jika itu benar-benar pekerjaannya, dia akan melakukannya dengan lebih rapi dan tidak akan gagal di percobaan pertama. Dia tidak akan perlu menyelinap ke kamar dan menyelesaikan pekerjaan untuk yang kedua kalinya.
"Aku tahu itu bukan kamu, kamu tidak pernah gagal di percobaan pertama, hal yang sangat ayahmu banggakan."
"Benar, bahkan saat dia yang berada di ujung pisau itu. Apakah kamu tahu apa kata-kata terakhirnya saat aku membawa pisau itu ke ususnya dan merobek perutnya? Saat aku membiarkan darah keluar bersama organ dalam yang tumpah ke atas pasir pantai. Saat aku mencium aroma asin angin laut dan anyir darah. Saat aku merasakan garam dari laut dan air mata. Kehangatan matahari memandikan kulit kami dan tanganku menggenggam pisau begitu erat. Apakah kamu tahu apa yang dia katakan?"
Rave mencengkeramnya lebih erat menyeretnya ke atas pangkuannya, Nan membiarkan kakinya terbuka memeluk pinggang Rave. Senang dengan perasaan kedua lengan kuat pria itu memeluknya.
"Apa yang dia katakan?"
Nan menghirup napas perlahan, menguatkan dirinya saat dia berjuang untuk menumpahkan sedikit dari hantu yang membayanginya.
"Dia bilang, dia telah mendidik putrinya dengan benar, bahwa dia—" Nan memejamkan matanya, dia tidak mau mengingatnya. Tidak ingin detik-detik pembunuhan terakhirnya membayangi sisa hidupnya dan bertanya-tanya apakah kata-kata terakhir dari ayahnya itu benar?
"Tumpahkan, itu tidak akan mengubah apa pun di antara kita, Nan."
"Bahwa dia telah menciptakan monster."
Mungkin ayahnya benar. Jika dia bukan monster, dia akan melakukan hal untuk membantu Rave, tapi dia tidak peduli dengan semua orang itu. Kenapa dia harus ketika mereka semua tidak pernah peduli padanya? Satu-satunya yang peduli adalah Rave, dan karena itu satu-satunya yang dia pedulikan adalah pria itu.
"Monster tidak bisa mencintai," ucap Rave sederhana, menyangkal kata-kata ayahnya.
"Aku ragu aku mampu," ucap Nan, tapi kata-katanya dibantah dengan mudah saat bibir Rave menutupi bibirnya.
Nan mengerang, menyeret suara serak dari tenggorokannya saat dia membelah bibirnya dan membiarkan lidahnya menjelajahi bibir bawah Rave sebelum menghisapnya. Rave mendorongnya ke punggungnya, melayang di atasnya dengan mata yang setengah terbakar.
"Apakah kamu sakit ketika membayangkan aku terluka? Mati?" ucap Rave perlahan diikuti ciuman ringan di sisi rahangnya, menarik lebih banyak suara serak dari tenggorokannya.
Nan melingkarkan lengannya di leher Rave, menariknya turun untuk lebih banyak ciuman. "Tentu saja."
"Kamu peduli padaku?" ucap Rave, giginya menggigit bibir bawahnya, sebelum melepaskan mereka dan turun ke lehernya, menghisap kulit lembut di tempat bahu bertemu lehernya.
"Ya," desah Nan, panas membangun di dasar perutnya membuatnya menyodorkan pinggulnya ke atas, haus untuk lebih banyak sentuhan.
"Kamu mencintaiku?" tanya Rave, ciumannya turun lebih rendah saat tangannya menjelajahi perut halus Nan. Menyelinap di balik kaus untuk merasakan kulit panas di bawahnya.
"Ya," desah Nan matanya berkibar tertutup, kakinya membungkus pinggul Rave lebih erat.
"Lihat? Kamu mampu mencintai. Kamu bukan monster, Nanette. Kamu gadis yang sangat cantik dan indah."
Nan mengerang lebih banyak suara kesenangan saat tangan Rave naik lebih jauh, jarinya terasa seperti merek panas di kulitnya. Panas mendidih di antara mereka, menghanguskan akal sehat. Melarutkan ketakutan dan membuat kekacauan yang mereka hadapi menguap untuk detik itu.
"Rave," ucap Nan dalam permohonan yang tidak terucap.
Semua panas itu menjadi es saat jeritan nyaring memecahkan suara badai yang stabil di luar. Saat teror merayap sekali lagi. Nan memejamkan mata, mencoba mengatur napas saat Rave mendorong dirinya menjauh. Sesuatu yang buruk jelas telah terjadi. Lagi.
"Kita perlu melihat apa yang terjadi," ucap Rave.
Nan mengedipkan matanya, ingin berpura-pura tidak pernah mendengar jeritan itu dan kembali ke beberapa detik yang lalu saat lengan kekasihnya memeluknya.
"Haruskah kita?"
Rave memelototinya dengan tidak sabar, sudah setengah jalan ke arah pintu. "Ayo Nan, kamu tidak harus memerankan gadis jalang itu untuk selamanya."
Nan memutar bola matanya dengan kekanakan. "Aku senang menjadi gadis jalang itu."
***
Setengah berlari dengan suasana hati yang masih buruk, Nan mengejar di belakang Rave saat pria itu berjalan dengan langkah lebar melalui lorong kamar mereka yang hanya dibantu dengan pencahayaan sebatang lilin di tangannya.
Mengikuti suara jeritan dan isak tangis yang datang dari sisi lain resort, Rave dan Nan tidak mengatakan apa-apa. Hingga mereka berakhir di anak tangga yang akan membawa mereka ke lantai atas.
Hampir seluruh penghuni resort berada di sana, beberapa terisak dan menutup mulut serta memalingkan wajah dari pemandangan berdarah di depan mereka. Nan sendiri tersandung kakinya, hampir jatuh jika lengan Rave tidak menangkapnya tepat waktu. Rasa bersalah yang jarang muncul, menikam perutnya saat dia menatap korban pembunuhan terbaru.
"Kenapa? Aku benar-benar tidak mengerti kenapa seseorang membunuh orang-orang ini," ucap Nan pelan sehingga hanya Rave yang dapat mendengarnya.
"Itulah tepatnya yang coba aku cari tahu," balas Rave, melepaskannya ketika dia yakin Nan tidak akan jatuh di kakinya.
"Dan itulah tepatnya kenapa aku ingin kamu berhenti, kamu memasang target di punggungmu," jawab Nan, yang tentu saja diabaikan oleh Rave saat pria itu menenun di antara kerumunan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Nan memindai seluruh ruangan mencoba menemukan sesuatu yang mencurigakan, menggambar prespektif. Apa yang akan dia lakukan jika dia adalah pembunuhnya? Nan akan berbaur dengan orang-orang ini jika dia adalah pembunuhnya. Mencoba terlihat sama takutnya dengan mereka.
Pandangannya jatuh pada tiap orang yang berdiri di ruang sempit itu. Pada gadis generator yang mencengkeram pisau berdarah. Seorang pria telah memojokkan gadis itu hingga terisak saat kepalanya menggeleng dalam penyangkalan. Nollan dan Vanya berdiri berdampingan, saling menguatkan saat wajah mereka diukir dengan stres. Teman wanita dari korban pembunuhan sebelumnya telah memilih untuk mundur di sudut bayang-bayang sementara seorang gadis muda memperhatikan semua kejadian itu dengan tenang di sudutnya sendiri.
Kerutan muncul di dahi Nan saat dia memperhatikan gadis itu dengan lebih baik. Dia tidak merasa pernah melihatnya sebelum ini, tapi cara santai gadis itu menarik perhatiannya. Untuk seseorang yang semuda itu, dia bertingkah terlalu tenang. Seolah dia tahu apa yang benar-benar terjadi. Seolah kematian ini tidak mengejutkannya sama sekali.
"Aku tidak harus melibatkan diriku," gerutu Nan kesal pada dirinya sendiri. Dia benar-benar tidak ingin ikut campur.
Meski begitu dia mendapati dirinya melangkah ke sudut gadis. Berdiri diam di sampingnya sampai gadis itu menoleh untuk melihatnya.
"Ada masalah?" ucap gadis itu dengan tidak sabar, jelas juga tidak ingin berurusan dengannya. Nah itu membuat mereka berdua.
Nan mengangkat alisnya, tidak terkesan dengan sikap kasar dan angkuh yang ditunjukkan. Bukannya dia bisa mengeluh, dia sendiri bersikap seperti itu hampir sepanjang waktu.
"Apakah itu benar-benar pertanyaan? Dua pembunuhan terdengar seperti masalah untukku. Bukankah begitu?" ucap Nan. Gadis itu segera menyipitkan mata ke arahnya.
"Kamu menuduhku?"
Nan mengedikkan bahunya dengan ringan, tidak terlalu peduli juga. "Aku tidak tahu, mungkin? Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Berlibur tentu saja, sama seperti orang lain yang berada di sini," jawabnya dengan nada yang semakin kesal.
"Entah mengapa aku tidak percaya itu. Terlalu muda. Terlalu tenang. Terlalu menyendiri. Bahkan pemilik resort juga memanggilmu." Gadis itu masih melihatnya dengan jengkel. "Tapi mari kita berharap kamu mengatakan yang sebenarnya, Rave terkenal tidak mudah menyerah, dan biasanya dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan."
Dengan itu Nan mengalihkan pandangannya dari gadis itu. Seseorang telah membunuh. Dua kali sekarang, dengan motif yang tidak masuk akal. Lebih banyak alasan untuk meninggalkan resort terkutuk ini. Lebih banyak alasan untuk membuat Rave melihat alasan dari paranoianya.
Part ini ditulis oleh aurumsulistyani dalam sudut pandang karakter Nanette Montague.
____________________________
Nanette Montague
Umur: 20 tahun
Profesi: Mahasiswa, mantan pembunuh bayaran
____________________________
Di dalam rumah penginapan yang dilingkupi badai dan kematian ini, siapakah yang akan bertahan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro