Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4 : Langkah Pertama Menuju Kehangatan

Di tengah keramaian kantin sekolah, Ortiz duduk di meja bersama dua sahabatnya, Bella dan Azmi. Kantin dipenuhi dengan siswa yang sedang menikmati waktu istirahat mereka, suara obrolan dan tawa bercampur dengan suara denting piring dan gelas. Meski suasana ramai, Bella dan Azmi tampak sangat fokus pada Ortiz, menunggu cerita yang sudah mereka nantikan sejak pagi.

"Jadi, gimana kemarin pertemuan dengan calon keluarga baru?" tanya Bella sambil menyuap makanannya. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

Azmi juga ikut menambahkan, "Iya, kami penasaran banget, Ortiz. Kamu pasti punya banyak cerita seru!"

Ortiz, yang masih merasa canggung dengan semua yang terjadi, mencoba menyusun kata-katanya dengan hati-hati. "Hmm, ya... jadi kemarin aku ketemu mereka di kafe, yang udah Papa rencanain. Awalnya sih biasa aja, ngobrol-ngobrol. Tapi... yang bikin kaget itu, cowok yang dulu pernah aku ceritain ke kalian—saat aku nggak sengaja buka saat ini cowok kencing di toilet kafe—ternyata namanya Krisan, dan dia sekarang jadi calon kakak tiriku."

Bella dan Azmi terdiam sejenak, lalu keduanya tertawa terbahak-bahak. "Astaga, serius? Cowok yang kamu maksud itu calon kakak tiri kamu? Dunia ini beneran sempit!" Bella berkata sambil menepuk meja, masih tak percaya dengan kebetulan yang terjadi.

Azmi mengangguk, berusaha menahan tawa. "Gila sih, ini kayak plot drama. Terus gimana rasanya ketemu dia lagi, dan tahu dia akan jadi kakak tiri kamu?"

Ortiz menghela napas panjang, masih mencoba memproses semuanya. "Jujur aja, aku masih canggung banget. Kemarin setelah pertemuan itu, Kak Krisan yang nganterin aku dan Mama pulang. Terus, tadi pagi dia juga yang nganterin aku ke sekolah, dan nanti katanya dia juga bakal jemput aku."

Bella menatap Ortiz dengan pandangan penasaran. "Dia baik nggak sih? Maksudku, kesan pertamanya gimana?"

Ortiz mengangkat bahu, terlihat bingung. "Dia kelihatannya baik sih, dia bilang dia nggak masalah nganter jemput aku, tapi aku masih belum tahu harus merasa gimana. Rasanya aneh aja, tiba-tiba ada orang baru dalam hidup aku yang harus aku panggil Kak."

Azmi mengangguk mengerti. "Ya, pasti butuh waktu untuk terbiasa. Tapi lihat sisi positifnya, sekarang kamu punya kakak yang bisa diajak curhat atau minta bantuan kalau butuh. Sedangkan kamu selama ini apa-apa sendiri Nenek kamu juga nggak selalu bisa kamu andalkan saat Mama kamu nggak ada di rumah."

Bella tersenyum dan menambahkan, "Dan siapa tahu, kalian malah jadi akrab nanti. Lagipula, dia kelihatannya perhatian sama kamu, kan? Itu tanda bagus."

Ortiz mengangguk pelan, meski masih ada rasa canggung yang sulit ia jelaskan. "Iya, mungkin aja. Tapi ya, aku masih butuh waktu. Semuanya terjadi begitu cepat."

Percakapan mereka berlanjut, dengan Bella dan Azmi memberikan dukungan dan bercanda untuk meringankan suasana. Meski masih canggung, Ortiz merasa sedikit lebih tenang setelah berbagi cerita dengan sahabat-sahabatnya. Ia tahu bahwa perjalanan untuk menerima situasi baru ini mungkin tidak mudah, tetapi dengan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, ia mungkin bisa menyesuaikan diri perlahan-lahan.

Ketika bel sekolah berbunyi menandakan waktu pulang, Ortiz berjalan menuju gerbang sekolah bersama Azmi dan Bella yang tak sabar untuk melihat sosok Krisan, kakak tirinya yang baru saja diceritakan oleh Ortiz di kantin. Rasa penasaran mereka semakin besar setelah mendengar cerita Ortiz tentang Krisan yang, meski masih canggung, berhasil menarik perhatian mereka.

Di depan gerbang, Ortiz sudah melihat mobil HRV yang dikemudikan oleh Krisan semalam. Mobil itu berhenti perlahan, dan saat Krisan turun dari mobil, Azmi yang berdiri di samping Ortiz langsung melompat kegirangan. Matanya membulat, penuh kekaguman.

"Astaga, Ortiz! Kakak tirimu keren banget!" seru Azmi dengan antusias, suaranya nyaris melompat karena terkesima. "Dia bukan cuma cocok jadi kakak, tapi kayaknya lebih cocok jadi pacarmu!"

Bella yang berdiri di sampingnya, hanya bisa tersenyum kecil melihat reaksi Azmi yang berlebihan. Tapi dia juga tak bisa menyembunyikan rasa terkesannya. "Ortiz, kamu beruntung banget punya kakak tiri sekeren ini."

Ortiz, yang tadinya merasa canggung, sekarang merasa makin bingung dengan reaksi sahabat-sahabatnya. Dia melirik Krisan yang sedang berjalan menghampiri mereka dengan senyum ramah, tanpa tahu bahwa dia telah membuat kehebohan di antara sahabat-sahabat Ortiz.

Krisan menghampiri mereka dengan santai, memperhatikan Azmi yang terlihat sangat bersemangat. "Hai, kalian pasti teman-temannya Ortiz, ya?"

Azmi mengangguk cepat, hampir tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. "Iya! Aku Azmi, dan ini Bella. Senang banget bisa ketemu Kak Krisan."

Bella ikut menyapa dengan senyum ramah. "Senang bertemu denganmu, Kak Krisan."

Krisan membalas dengan senyuman hangat, meski sedikit bingung dengan sikap Azmi yang terlalu antusias. "Senang bertemu kalian juga. Sudah siap pulang, Ortiz?"

Ortiz mengangguk pelan, masih merasa canggung dengan situasi ini. "Iya, Kak."

Azmi yang belum puas melihat Krisan, tiba-tiba berkata, "Kak Krisan, kamu beneran keren banget. Aku nggak nyangka kalau kamu kakaknya Ortiz. Aku pikir kamu lebih cocok jadi pacarnya."

Krisan tersenyum kaku, terkejut dengan komentar Azmi yang blak-blakan, sementara Ortiz hanya bisa menghela napas panjang, merasa situasinya makin tidak nyaman.

"Azmi!" Bella mencolek Azmi pelan, mencoba menghentikan komentar yang mungkin membuat Ortiz makin canggung.

Krisan tertawa kecil, mencoba meredakan situasi. "Wah, terima kasih, Azmi. Tapi aku rasa lebih baik aku jadi kakaknya Ortiz saja."

Ortiz akhirnya tersenyum tipis, meski canggung, merasa lega Krisan bisa menanggapi dengan baik. Mereka pun berpamitan dengan Azmi dan Bella sebelum Krisan dan Ortiz masuk ke dalam mobil.

Saat mereka melaju pergi, Ortiz hanya bisa berharap bahwa situasi di rumah nanti tidak akan lebih canggung dari ini. Tapi satu hal yang pasti, Krisan memang berhasil meninggalkan kesan kuat, baik pada dirinya maupun sahabat-sahabatnya.

Atas saran dari teman-temannya semalam, Krisan memutuskan untuk mengajak Ortiz jalan-jalan demi mempererat hubungan sebagai kakak-adik. Namun, sebelum memulai rencana jalan-jalan mereka, Krisan harus menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda di tempat kerjanya. Ia pun mengajak Ortiz untuk ikut ke kantornya.

Setibanya di kantor, Krisan mengenalkan Ortiz kepada beberapa rekannya, yang semua tampak ramah dan menyambut Ortiz dengan senyuman. Sementara Krisan menyelesaikan tugas-tugasnya, Ortiz duduk di salah satu sudut ruangan, mengamati lingkungan baru ini dengan diam-diam. Meski sedikit canggung, Ortiz mencoba menikmati waktu yang dihabiskannya bersama Krisan di tempat kerja.

Setelah pekerjaan Krisan selesai, mereka berdua akhirnya bersiap untuk melanjutkan rencana jalan-jalan mereka. Namun sebelum keluar dari kantor, Krisan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang menurutnya penting sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai kakak.

"Ortiz, sebelum kita pergi, aku ada satu ide," kata Krisan sambil mengambil sepasang AirPods dari dalam tasnya.

Ortiz menatap Krisan dengan rasa penasaran. "Apa itu, Kak?"

Krisan tersenyum, mencoba membuat suasana lebih santai. "Kita tukar AirPods. Bukan untuk apa-apa, tapi aku pikir ini bisa jadi cara kita untuk saling melacak posisi satu sama lain, terutama saat kita jalan-jalan. Jadi, kalau kamu butuh bantuan atau ada apa-apa, aku bisa langsung tahu di mana kamu berada."

Ortiz terkejut dengan ide itu, tapi ia mengerti maksud Krisan. "Oh, jadi ini kayak untuk berjaga-jaga, ya?"

Krisan mengangguk. "Iya, benar. Ini hanya sebagai langkah preventif, apalagi kita baru mulai kenal dan ini cara aku sebagai kakak untuk memastikan kamu aman. Dan kalau-kalau kita terpisah atau ada situasi darurat, kita bisa saling menemukan dengan mudah."

Ortiz mempertimbangkan sejenak, tetapi melihat niat baik Krisan, ia akhirnya setuju. "Oke, Kak. Aku setuju."

Mereka pun saling menukar AirPods, sambil Krisan menunjukkan cara mengatur fitur pelacakan di aplikasi mereka. Ortiz merasa sedikit lebih tenang dengan sikap tanggung jawab yang ditunjukkan oleh Krisan. Meski masih ada perasaan canggung, ia mulai merasa bahwa Krisan benar-benar peduli padanya.

Setelah semuanya diatur, mereka meninggalkan kantor dan melanjutkan rencana jalan-jalan mereka. Sambil berjalan bersama di tengah hiruk-pikuk kota, Ortiz mulai merasa bahwa mungkin, meskipun mereka baru saja menjadi keluarga, Krisan bisa menjadi kakak yang baik dan bisa diandalkan. Krisan, di sisi lain, merasa lega bahwa Ortiz mau menerima niat baiknya, dan berharap hubungan mereka bisa terus berkembang ke arah yang lebih baik.

Ortiz dan Krisan memutuskan untuk memulai jalan-jalan mereka dengan menjelajahi beberapa tempat favorit di kota. Dari awal, Krisan sudah memastikan untuk membuat suasana se-santai mungkin, dengan tujuan agar Ortiz merasa nyaman.

Mereka memulai hari dengan mengunjungi sebuah taman kota yang terkenal dengan danau kecilnya yang indah. Sambil berjalan di sepanjang jalur setapak yang dipenuhi pepohonan rindang, Krisan dengan tenang bercerita tentang masa kecilnya, dan bagaimana ia sering datang ke taman ini bersama teman-temannya.

Ortiz, yang biasanya pendiam di hadapan Krisan, kali ini merasa lebih rileks. Cara Krisan berbicara yang santai dan penuh perhatian membuat Ortiz merasa diperhatikan. Mereka bahkan berhenti sejenak di sebuah kios es krim, di mana Krisan dengan ceria memesan dua cone es krim rasa cokelat dan vanilla, lalu menyerahkan salah satunya kepada Ortiz.

"Ini, aku dulu sama Jaka sering ke sini cuma buat beli es krim ini. Rasa cokelatnya yang paling enak," kata Krisan sambil tersenyum, menunjukkan gigi putihnya yang rapi. "Ngomong-ngomong Jaka itu sepupuku. Kapan-kapan aku kenalkan kamu sama dia."

Ortiz mengangguk lalu mengambil es krim itu dengan hati-hati, menatap Krisan dengan mata yang sedikit lebih berbinar dari biasanya. "Terima kasih, Kak," jawabnya singkat, tapi dalam hatinya ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda.

Setelah menikmati es krim, Krisan dan Ortiz memutuskan untuk melanjutkan ke tempat lain. Namun, sebelum mereka berangkat ke tujuan berikutnya, Krisan memperhatikan bahwa Ortiz masih mengenakan seragam sekolahnya.

"Ortiz," kata Krisan dengan nada lembut, "aku rasa kita perlu mampir ke toko baju dulu deh."

Ortiz menatap Krisan dengan bingung. "Kenapa, Kak?"

Krisan tersenyum. "Kamu masih pakai seragam sekolah, dan kita kan mau jalan-jalan lagi. Aku nggak mau kamu merasa kurang nyaman atau terlalu mencolok karena pakai seragam. Bagaimana kalau kita mampir ke toko baju dulu dan kamu beli sesuatu yang lebih santai?"

Ortiz terlihat sedikit ragu. "Tapi aku nggak bawa baju ganti..."

Krisan mengangguk, sudah menduga jawaban itu. "Nggak apa-apa, makanya kita beli aja. Nggak usah khawatir, aku bantu kamu pilih baju yang cocok."

Dengan sedikit dorongan dari Krisan, Ortiz akhirnya setuju. Mereka pun pergi ke sebuah toko baju yang berada tak jauh dari tempat mereka berada. Toko itu menawarkan berbagai macam pakaian kasual yang trendi dan nyaman, cocok untuk suasana jalan-jalan santai.

Di dalam toko, Krisan membantu Ortiz memilih beberapa pakaian yang menurutnya cocok, seperti kaos simpel dengan warna netral dan celana jeans yang nyaman. Krisan sangat telaten dalam membantu Ortiz, bahkan memberikan saran tentang warna dan gaya yang cocok dengan kepribadian Ortiz.

Ortiz merasa sedikit canggung saat mencoba pakaian yang dipilihkan oleh Krisan, tetapi ia juga merasa senang karena Krisan begitu perhatian. Setelah mencoba beberapa setelan, Ortiz akhirnya menemukan satu yang ia suka—kaos putih polos dan celana jeans biru tua.

Krisan tersenyum puas melihat Ortiz keluar dari ruang ganti dengan pakaian barunya. "Nah, ini baru keren! Kamu terlihat lebih santai dan siap untuk lanjut jalan-jalan."

Ortiz sedikit tersipu, tapi senang melihat antusiasme Krisan. "Makasih, Kak."

Krisan menepuk pundak Ortiz dengan ringan. "Senang bisa bantu. Yuk, kita lanjutkan jalan-jalannya."

Dengan pakaian barunya, Ortiz merasa lebih percaya diri dan siap untuk melanjutkan petualangan mereka. Ia semakin merasakan bahwa Krisan tidak hanya peduli padanya sebagai kakak tiri, tetapi juga sebagai teman yang bisa diandalkan. Perjalanan mereka hari itu semakin mempererat hubungan mereka, dan perasaan hangat yang tumbuh dalam hati Ortiz semakin kuat.

mereka melanjutkan perjalanan ke sebuah toko buku kecil di pinggir jalan. Krisan tampak bersemangat melihat deretan buku yang dipajang di etalase, dan mengajak Ortiz masuk. Di dalam, Krisan dengan antusias menunjukkan beberapa buku favoritnya, mulai dari novel fiksi hingga buku-buku self-help yang menurutnya menarik. Ortiz, yang awalnya tidak terlalu tertarik pada buku, malah terpikat dengan cara Krisan berbicara dengan penuh semangat tentang setiap buku yang dipegangnya.

Salah satu momen yang membuat hati Ortiz meleleh adalah ketika mereka berdua duduk di sudut toko, Krisan tiba-tiba tertarik pada sebuah buku puisi. Ia mengambil buku itu dan mulai membacakan satu puisi pendek dengan suara lembut, tanpa sadar menarik perhatian Ortiz.

"Puisi ini indah, kan? Kadang-kadang kata-kata bisa menyampaikan perasaan yang bahkan kita sendiri sulit mengungkapkan," kata Krisan setelah selesai membaca.

Ortiz hanya bisa mengangguk, merasa tersentuh oleh cara Krisan melihat dunia. Dalam hatinya, Ortiz merasakan kehangatan yang berbeda, perasaan yang tidak biasa ketika berada di dekat seseorang. Krisan tidak hanya ramah dan perhatian, tetapi juga memiliki kedalaman dalam caranya melihat sesuatu, dan itu membuat Ortiz semakin terpesona.

Setelah keluar dari toko buku, mereka melanjutkan jalan-jalan ke sebuah kafe kecil yang terletak di atas bukit. Kafe ini terkenal dengan pemandangan kota yang indah, terutama saat senja tiba. Krisan, yang sudah beberapa kali ke tempat ini, memilih tempat duduk di luar, di mana mereka bisa menikmati pemandangan matahari yang mulai tenggelam di balik cakrawala.

Sambil menikmati minuman hangat, Krisan dan Ortiz berbincang tentang banyak hal—mulai dari cita-cita mereka hingga hal-hal kecil yang mereka sukai. Krisan dengan bijak mendengarkan setiap kata yang diucapkan Ortiz, membuat Ortiz merasa nyaman untuk membuka diri.

Ketika malam mulai menjelang, dengan langit yang dihiasi bintang-bintang pertama, Krisan menoleh ke arah Ortiz dan berkata, "Aku senang kita bisa habiskan waktu bersama hari ini. Semoga kita bisa lebih sering jalan bareng kayak gini, ya."

Ortiz, yang biasanya canggung, kali ini merasa lebih berani. Ia menatap Krisan dan tersenyum kecil, "Aku juga, Kak. Ini hari yang menyenangkan. Terima kasih."

Saat itu, Ortiz menyadari bahwa perasaan yang tumbuh di hatinya bukan hanya sekadar kagum atau terkesan. Ia benar-benar jatuh hati pada sosok Krisan—bukan sebagai kakak, tapi sebagai seseorang yang mampu membuatnya merasa istimewa. Namun, rasa suka ini juga membuatnya bingung, karena ia tak yakin apakah Krisan merasakan hal yang sama. Atau semua ini hanya karena Krisan bersikap sopan sebagai sosok Kakak yang baru di keluarga baru.

Meski demikian, Ortiz menikmati setiap momen bersama Krisan, dan ia tahu bahwa hari ini adalah awal dari perasaan yang lebih dalam, yang mungkin akan mengubah banyak hal dalam hidupnya.

Sepulang dari jalan-jalan dengan Krisan, Ortiz merasa campur aduk. Perasaan aneh yang terus menghantui pikirannya membuatnya ingin segera curhat dengan dua sahabatnya, Bella dan Azmi. Ia pun langsung membuka FaceTime dan menghubungi mereka berdua. Tak butuh waktu lama, wajah Bella dan Azmi muncul di layar, terlihat antusias untuk mendengar kabar dari Ortiz.

"Hey, Ortiz! Gimana jalan-jalannya? Seru, nggak?" tanya Bella sambil tersenyum lebar.

Ortiz tersenyum kecut, bingung bagaimana harus memulai. "Ya, jalan-jalannya sih seru, tapi... aku bingung, nih."

Azmi yang selalu peka langsung menangkap ada yang mengganjal. "Kenapa, Ortiz? Ada apa? Cerita aja, kita di sini buat dengerin kamu."

Ortiz menghela napas, lalu mulai bercerita. "Aku nggak tahu gimana harus ngomongnya, tapi... aku rasa ada yang aneh. Bukannya merasa Krisan kayak kakak, aku malah merasa... ya, suka sama dia. Tapi bukan suka kayak ke kakak. Kalian paham ga sih?"

Bella dan Azmi terdiam sejenak, mencerna kata-kata Ortiz. Lalu Bella yang pertama kali merespons. "Ortiz, perasaan itu wajar kok. Kamu nggak bisa mengontrol siapa yang kamu suka. Tapi kamu merasa aneh karena dia sekarang jadi kakak tirimu, ya?"

Ortiz mengangguk pelan, terlihat masih ragu. "Iya, aku takut ini malah bikin semuanya lebih canggung. Aku nggak tahu apakah Krisan juga punya perasaan yang sama, atau malah sebaliknya, dia mungkin bakal merasa aneh dan menjauh kalau tahu."

Azmi yang biasanya ceria, kini tampak serius. "Kamu sendiri gimana, Ortiz? Kamu suka Krisan, tapi apakah kamu nyaman dengan perasaan itu? Maksudku, kalau Krisan nggak merasa hal yang sama, kamu bakal gimana?"

Ortiz terlihat semakin bingung. "Itu dia... aku nggak tahu harus gimana. Aku juga nggak tahu apakah Krisan... ya, kamu tahu maksudku."

Bella berpikir sejenak sebelum memberi saran. "Ortiz, kalau kamu memang nggak nyaman atau ragu, mungkin kamu bisa tunggu dulu. Lihat aja gimana hubungan kalian berkembang. Kamu nggak perlu buru-buru ambil langkah, apalagi kalau kamu merasa itu bakal bikin situasi jadi lebih rumit."

Azmi yang biasanya ceria tiba-tiba angkat bicara dengan nada yang lebih bersemangat. "Tapi, Ortiz, coba deh kamu ingat-ingat lagi. Apa Krisan pernah ngasih sinyal kalau dia juga tertarik sama cowok? Maksudku, nggak menutup kemungkinan dia juga suka sesama jenis, kan? Bisa jadi, lho, dia juga punya perasaan yang sama."

Ortiz mencoba mencerna kata-kata Azmi. "Aku nggak tahu, dia nggak pernah ngomongin hal kayak gitu. Dan teman-teman kerjanya yang cewek juga nggak ada indikasi kalau Krisan itu tertarik pada salah satunya."

Bella menambahkan, "Mungkin kamu bisa mulai perhatikan aja dulu. Lihat bagaimana dia bersikap atau bicara. Tapi yang jelas, jangan terburu-buru ngambil kesimpulan. Kamu harus tetap menjaga hubungan yang baik, apapun yang terjadi."

Ortiz mengangguk, meski masih bingung, merasa sedikit lega bisa membicarakan perasaannya dengan sahabat-sahabatnya. "Iya, kalian benar. Aku akan coba jalani aja dulu dan lihat bagaimana nanti."

Percakapan mereka berlanjut dengan candaan dan tawa, mencoba mengembalikan suasana yang sempat tegang. Meski masih ada banyak pertanyaan yang mengganjal di benak Ortiz, ia tahu bahwa ia tidak sendirian dalam menghadapi situasi ini. Bella dan Azmi akan selalu ada untuk mendukungnya, apapun yang terjadi.

BERSAMBUNG

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro