Bab 2 : Keluarga Baru Harapan Baru
Pagi itu, Krisan terbangun dengan mata yang masih setengah terpejam. Saat ia duduk di tempat tidur dan mengusap matanya, pikirannya langsung melayang ke kejadian kemarin di kafe. Ia tidak bisa menghilangkan bayangan wajah pria yang ia temui di toilet—wajah lucu dan terkejut pria itu saat tertangkap basah. Ekspresi gugup dan canggung pria itu ternyata begitu menghibur dan mengesankan bagi Krisan.
Krisan tersenyum sendiri saat membayangkan momen itu, saking asyiknya ia tak menyadari bahwa papanya sudah berdiri di pintu kamar. Sang papa, yang memperhatikan Krisan dengan senyum penuh arti, akhirnya memecah keheningan pagi.
"Lagi mikirin siapa kok senyum-senyum sendiri?" tanya papanya dengan nada bercanda.
Krisan tersentak, baru sadar bahwa dia sedang dikepung oleh tatapan penasaran sang papa. "Eh, papa! Enggak, cuma pikirin kerjaan aja."
Sang papa tersenyum dan mengatakan, "Yakin? Kalau begitu, atur jadwal ya. Papa mau kenalkan kamu sama seseorang—seorang wanita yang akan menjadi ibu baru kamu, dan juga saudara laki-laki kamu."
Krisan tertegun sejenak, meresapi informasi baru itu. "Ibu baru dan saudara laki-laki?"
Papanya mengangguk. "Iya, benar. Pastikan kamu atur jadwal dengan baik. Kita harus siap untuk pertemuan penting ini."
Krisan merasa campur aduk antara rasa penasaran dan kegugupan. Dengan rasa ingin tahu yang tinggi, dia mulai memikirkan bagaimana pertemuan tersebut akan berlangsung dan bagaimana perasaannya beradaptasi dengan perubahan ini.
Krisan terkejut, penasaran dan sedikit cemas. "Siapa, pa?"
Sang papa hanya tersenyum misterius. "Nanti aja, sabar sedikit. Yang penting, atur jadwal dan atur tempat ya."
Krisan merasa campur aduk antara antusias dan gugup, memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi. Pagi itu, dia kembali tersenyum sendiri, menunggu dengan penuh rasa ingin tahu tentang pertemuan berikutnya.
Setelah mendengar berita mengejutkan dari papanya, Krisan merasa pikirannya dipenuhi dengan berbagai hal. Informasi bahwa papanya akan memperkenalkan seorang wanita yang akan menjadi ibu barunya, serta saudara laki-laki yang baru, benar-benar membuatnya terdiam sejenak. Ini adalah perubahan besar dalam hidupnya, dan dia belum sepenuhnya tahu bagaimana harus meresponsnya.
Namun, di sela-sela kebingungannya, pikiran Krisan terus kembali pada sosok pria lucu yang ditemuinya di kafe kemarin. Wajah terkejut dan gugup pria itu tak henti-hentinya muncul di benaknya, membuatnya tersenyum lagi, meski dalam situasi yang begitu rumit. Krisan merasa ada sesuatu yang mengundang dari pria itu—sesuatu yang membuatnya ingin lebih dekat, mengenal lebih jauh.
Ketika papanya sudah pergi meninggalkan kamar, Krisan duduk di tepi tempat tidurnya, merenung. Di satu sisi, dia tahu bahwa ia harus mempersiapkan diri untuk pertemuan penting yang akan datang dengan ibu dan saudara baru. Tapi di sisi lain, ada keinginan yang tak terbantahkan dalam dirinya untuk kembali ke kafe itu, berharap bisa bertemu lagi dengan pria yang terus mengisi pikirannya.
Krisan tahu bahwa ia harus fokus pada keluarga barunya, tetapi rasa penasaran dan ketertarikannya pada pria di kafe itu sulit diabaikan. Ia berpikir untuk menyusun rencana, mungkin kembali ke kafe itu pada waktu yang sama, dengan harapan bisa bertemu lagi dengan pria tersebut. Perasaan ini membuatnya semakin tidak sabar, bukan hanya untuk apa yang akan terjadi dengan keluarganya, tetapi juga untuk kemungkinan pertemuan kedua yang bisa jadi tak terduga.
Krisan memutuskan untuk kembali ke kafe yang sama, berharap bisa bertemu pria lucu itu lagi. Pada hari pertama, ia datang dengan perasaan berdebar. Ia memilih meja di sudut yang sama seperti terakhir kali, duduk sambil menatap pintu masuk dengan penuh harapan. Namun, hari itu, tidak muncul.
Keesokan harinya, Krisan kembali lagi, kali ini lebih awal, berharap bisa menemui pria lucu itu sebelum dia mungkin pergi. Namun, lagi-lagi, tidak ada tanda-tanda kehadiran. Hari-hari berlalu, dan Krisan semakin khawatir bahwa mungkin dia tidak akan pernah kembali ke kafe itu.
Setelah seminggu penuh mencoba dan gagal bertemu dengan pria lucu itu, Krisan akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan dari penjaga kafe yang merupakan teman akrabnya.
"Halo, Dim," Krisan memulai dengan sedikit ragu, padahal dia sudah akrab dengan baristanya bernama Dimas. "Aku punya permintaan yang sedikit aneh. Ada kemungkinan kamu bisa membantuku?"
Dimas tersenyum ramah. "Tentu, apa yang bisa aku bantu?"
Krisan menarik napas dalam-dalam. "Jadi, beberapa hari lalu, ada cowok yang nggak sengaja masuk ke toilet waktu aku di dalam. Setelah kejadian itu, aku nggak bisa berhenti mikirin dia. Aku tahu ini terdengar konyol, tapi aku ingin tahu kalau dia datang lagi ke sini."
Dimas tertawa kecil. "Aku ingat kejadian itu. Dia kelihatan sangat malu. Dia duduk di dekat bar. Aku bisa mengerti kenapa kamu ingin bertemu dia lagi. Kamu mau aku beri tahu kalau dia datang lagi? Jujur kehadiranmu menguntungkan bagi kafe ini tapi aku bosan lihat wajahmu."
Krisan tersenyum lega. "Iya, tolong. Aku akan sangat berterima kasih kalau kamu bisa memberitahuku."
Dimas mengangguk setuju. "Aku akan lakukan yang terbaik. Tapi aku nggak yakin dia akan datang lagi ke sini."
Krisan tertawa kecil, meskipun ada sedikit kekecewaan di dalam hatinya. "Iya, aku juga merasa begitu. Tapi siapa tahu? Mungkin dia akan muncul lagi."
Setiap hari, Krisan terus datang ke kafe, duduk di tempat yang sama, memesan kopi yang sama, dan menunggu dengan harapan yang hampir putus asa. Meskipun tidak ada tanda-tanda, dia tidak menyerah. Setiap kali pintu kafe terbuka, Krisan menoleh dengan cepat, berharap melihat wajah yang dia ingat begitu jelas.
Namun, setelah tujuh hari, kenyataan mulai menyusup ke dalam pikirannya. Mungkin pria lucu itu benar-benar tidak akan pernah datang lagi. Mungkin kejadian memalukan itu membuatnya terlalu enggan untuk kembali ke kafe itu lagi. Tapi meski demikian, Krisan tidak bisa berhenti berharap, bahwa suatu hari nanti, mungkin mereka akan bertemu lagi, entah di kafe itu atau di tempat lain yang tak terduga.
Setelah seminggu penuh mencoba tanpa hasil, Krisan memutuskan untuk fokus pada hal lain yang tidak kalah pentingnya: pertemuan dengan calon ibu tiri dan saudara tirinya. Meskipun pertemuan ini membuatnya gugup, Krisan berpikir bahwa memilih tempat yang nyaman dan familiar akan membantu mengurangi rasa canggung. Tanpa berpikir panjang, ia mengusulkan untuk bertemu di kafe yang sudah seminggu ini dikunjungi Krisan. Untungnya, papanya setuju, menganggap ide itu bagus untuk suasana yang lebih santai.
Pada hari yang ditentukan, Krisan berusaha tenang. Ia tahu betapa pentingnya pertemuan ini, tapi bagian dari dirinya juga tidak bisa mengabaikan rasa kecewa karena tidak bertemu pria lucu yang didambakannya selama seminggu penuh di kafe itu. Namun, hari ini fokusnya harus pada keluarganya.
Pada hari pertemuan dengan calon keluarga barunya, Krisan sebenarnya sudah merencanakan untuk datang tepat waktu. Namun, di tengah persiapan, sebuah masalah mendesak muncul di tempat kerjanya. Salah satu kampanye iklan yang sedang berjalan tiba-tiba mengalami kendala teknis, dan ini bisa berdampak pada seluruh strategi pemasaran yang telah dirancang.
Sebagai seorang marketing dan content creator di bidang bisnis kosmetik, pekerjaan Krisan sering kali menuntutnya untuk selalu aktif dan siap kapan saja. Setiap hari, ia harus mengelola berbagai kampanye pemasaran, merancang konten menarik untuk media sosial, dan memastikan bahwa produk yang ia promosikan mendapat perhatian yang cukup dari pasar. Jadwalnya sering kali padat, dengan tenggat waktu yang ketat dan permintaan yang terus berubah.
Krisan, sebagai salah satu orang yang paling berpengalaman dan pemimpin dalam timnya, langsung diminta untuk menangani masalah ini. Meski ia tahu betapa pentingnya pertemuan dengan keluarga barunya, tanggung jawab profesionalnya juga tidak bisa diabaikan. Dengan cepat, Krisan kembali ke kantor untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Ia bekerja dengan fokus penuh, memastikan kampanye kembali berjalan lancar dan konten yang telah disiapkan tidak terganggu. Namun, waktu terus berjalan, dan ketika Krisan selesai, ia menyadari bahwa ia sudah terlambat untuk pertemuan keluarga itu. Dengan rasa panik dan sedikit rasa bersalah, ia segera meninggalkan kantor dan menuju kafe tempat mereka akan bertemu.
Selama perjalanan, Krisan tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana reaksi ayahnya nanti. Dia tahu bahwa pertemuan ini sangat penting bagi keluarga mereka, terutama karena ini adalah momen pertama kalinya ia akan bertemu dengan calon ibu tiri dan saudara tirinya. Namun, sebagai seorang profesional yang berdedikasi, Krisan merasa bahwa ia tidak bisa mengabaikan tanggung jawabnya di tempat kerja.
Ketika Krisan akhirnya tiba di kafe, ia sedikit terengah-engah. Papanya dan calon ibu tiri tiba lebih dulu di kafe, memesan tempat di pojok ruangan yang tenang. Krisan merasa sedikit gugup tetapi berusaha menyembunyikannya dengan senyuman. Begitu ia melangkah ke dalam kafe, jantungnya berdebar lebih cepat, bukan hanya karena pertemuan keluarga ini, tetapi juga karena kenangan tentang Ortiz di tempat ini.
Saat Krisan mendekati meja yang sudah dipesan, ia melihat sosok pria yang duduk membelakanginya. Rambut hitamnya terlihat familiar, begitu pula postur tubuhnya. Tapi Krisan tidak berani berharap terlalu banyak—itu bisa saja hanya kebetulan.
Namun, ketika pria itu berbalik untuk menyapa, Krisan merasa dunia seakan berhenti sejenak. Mata mereka bertemu, dan Krisan nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di depan matanya, duduk di samping calon ibu tirinya, adalah Ortiz—cowok lucu yang telah ia cari-cari selama seminggu terakhir.
Ortiz terlihat sama terkejutnya ketika melihat Krisan. Wajahnya berubah dari keterkejutan menjadi campuran perasaan yang sulit diungkapkan, mulai dari canggung, tak percaya, hingga akhirnya senyum malu-malu.
"Krisan, akhirnya kamu datang," ucap Papanya sambil berdiri dan menyambut Krisan dengan pelukan hangat. Setelah pelukan itu, ayahnya beralih memperkenalkan wanita yang duduk di sebelahnya. "Ini Belinda, calon ibu barumu."
Belinda tersenyum lembut, menyapa Krisan dengan hangat. "Senang sekali akhirnya bisa bertemu denganmu, Krisan. Papa kamu sering bercerita tentang kamu."
Krisan membalas senyum itu dengan tulus, merasa sedikit lebih tenang. "Senang bertemu dengan Anda juga, Bu Belinda."
Kemudian, Belinda memperkenalkan remaja yang duduk di sampingnya. "Dan ini Ortiz, anakku. Dia masih SMA, sekarang kelas 12."
Krisan terkejut, namun berusaha untuk tetap tenang. Ortiz, cowok lucu yang terus-menerus menghantui pikirannya selama seminggu terakhir, ternyata akan menjadi saudara tirinya. Krisan mencoba menyembunyikan keterkejutannya, tetapi matanya sedikit melebar saat menyadari situasi yang tidak terduga ini.
"Senang bertemu denganmu, Ortiz," Krisan berkata, berusaha untuk tetap ramah meskipun perasaan campur aduk bergejolak di dalam dirinya.
Ortiz, yang juga tampak kaget, tersenyum sedikit kikuk. "Iya, senang bertemu lagi, Kak Krisan," jawabnya, kali ini dengan sedikit lebih santai.
Krisan hampir kehilangan kata-kata. Skenario yang sama sekali tidak terduga ini membuatnya terdiam sesaat, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Namun, dengan cepat ia memaksa dirinya untuk tersenyum dan menyapa. "Hai, kita sudah pernah bertemu sebelumnya," katanya dengan senyum canggung.
Ortiz juga tersenyum, masih sedikit kebingungan. "Iya, sepertinya dunia ini benar-benar kecil."
Percakapan itu dimulai dengan rasa canggung, tapi perlahan-lahan suasana mulai mencair. Papa Krisan dan calon ibu tirinya berbicara dengan hangat, mencoba memastikan bahwa Krisan merasa nyaman dengan pertemuan ini. Sementara itu, Krisan dan Ortiz sesekali saling melirik, masih merasa aneh dengan kebetulan ini.
Di tengah percakapan santai itu, Krisan menyadari bahwa mungkin ini adalah takdir yang aneh, mempertemukan mereka di bawah situasi yang tidak terduga. Meski mereka berdua pernah merasa canggung dan malu karena pertemuan pertama mereka, hari ini mereka diberi kesempatan untuk mengenal satu sama lain dalam konteks yang berbeda—sebagai keluarga.
Setelah pertemuan itu, Krisan dan Ortiz saling bertukar senyum penuh pengertian. Meskipun banyak yang masih harus mereka bicarakan dan jelajahi, satu hal pasti: pertemuan ini, yang awalnya Krisan bayangkan akan sulit, justru membawa sebuah awal yang baru dan mungkin, sesuatu yang lebih berarti.
Setelah Krisan bergabung dengan keluarganya di meja, mereka mulai berbicara santai tentang banyak hal. Suasana pertemuan itu lebih nyaman dari yang Krisan bayangkan, dengan tawa dan cerita yang mengalir di antara mereka. Ayah Krisan, Zaini, berbicara dengan antusias tentang rencana masa depan mereka sebagai keluarga baru, sementara Belinda sesekali menambahkan cerita tentang Ortiz dan bagaimana dia tumbuh besar.
Di tengah perbincangan, Krisan merasa perlu sesuatu untuk menyegarkan diri, jadi dia meminta izin untuk pergi ke bar dan memesan kopi. Saat dia mendekati bar, Galuh, barista yang sudah mengenalnya karena sering datang ke kafe itu selama seminggu terakhir, menyambutnya dengan senyum lebar.
"Hei, Krisan!" sapanya dengan nada riang. "Akhirnya, kamu menemukan cowok lucu yang kamu cari-cari itu? Aku baru mau meneleponmu sepuluh menit yang lalu."
Krisan tersenyum sedikit malu sambil mengangguk. "Ya, akhirnya ketemu. Tapi ternyata dia lebih dari sekadar cowok lucu yang aku cari-cari, Dim," jawabnya, dengan sedikit nada misterius.
Dimas menaikkan alisnya, penasaran. "Oh ya? Apa maksudmu?"
Krisan menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Ternyata, cowok yang aku cari itu adalah Ortiz, dan dia akan jadi adik tiriku."
Dimas terkejut, matanya melebar. "Wah, itu kejutan besar! Jadi, sekarang kalian bakal jadi saudara tiri? Dunia memang kecil, ya."
Krisan tertawa kecil. "Iya, aku sendiri masih nggak percaya. Tapi ya, hidup kadang penuh kejutan seperti ini."
Dimas tersenyum penuh pengertian. "Yang penting, kamu tenang saja. Aku yakin kalian bisa menjalin hubungan baik sebagai kakak-adik."
Setelah memesan kopinya, Krisan kembali ke meja di mana ayahnya, Belinda, dan Ortiz masih melanjutkan perbincangan mereka. Krisan duduk dan bergabung lagi dalam obrolan, sambil menyesap kopinya yang hangat.
Di tengah perbincangan, Zaini menyampaikan sebuah ide yang sudah lama ada di benaknya. "Krisan, aku berpikir, mungkin akan baik jika kamu yang mengantar-jemput Ortiz ke sekolah setiap hari. Ini bisa jadi kesempatan yang bagus untuk kalian berdua lebih mengenal satu sama lain dan merekatkan persaudaraan."
Ortiz terlihat sedikit tidak nyaman dengan usulan itu, merasa khawatir akan merepotkan Krisan. "Aku nggak mau ngerepotin Kak Krisan, Pak. Aku biasa lo berangkat sendiri, kok," katanya dengan nada ragu.
Krisan, yang selalu mencoba untuk tetap tenang dan suportif, tersenyum kepada Ortiz. "Nggak masalah buat aku, Ortiz. Kalau kamu merasa nyaman, aku dengan senang hati akan mengantar-jemput kamu. Tapi kalau kamu lebih suka sendiri, itu juga nggak apa-apa. Aku terserah kamu saja."
Ortiz melihat ke arah Krisan dan tersenyum kecil. Meski masih merasa sedikit canggung dengan situasi ini, dia tahu bahwa Krisan tulus dan berusaha membuatnya nyaman. "Kalau begitu, kita coba dulu, ya, Kak. Kalau aku merasa nggak nyaman, nanti aku bilang."
Zaini dan Belinda tersenyum, merasa lega dan senang melihat Krisan dan Ortiz mencoba untuk saling mendekatkan diri. Meskipun hubungan baru ini masih dalam tahap awal, ada harapan besar bahwa mereka bisa membangun ikatan yang kuat sebagai keluarga.
Obrolan di meja itu berlanjut dengan lebih santai dan hangat. Krisan merasa lega bahwa semua berjalan lancar sejauh ini. Walaupun situasinya tidak terduga, ia tahu bahwa mereka semua sedang berusaha yang terbaik untuk menjadikan ini sebagai awal yang baru dan positif dalam kehidupan mereka.
Setelah pertemuan keluarga yang cukup hangat di kafe, Krisan ditugaskan untuk mengantar Belinda dan Ortiz pulang ke rumah mereka. Ayahnya, Zaini, harus segera berangkat ke Semarang untuk perjalanan bisnis, dan seorang sopir sudah siap menjemputnya di depan kafe. Dengan begitu, Krisan mengambil alih kemudi mobil HRV milik ayahnya.
Saat mereka meninggalkan kafe, suasana di dalam mobil terasa sedikit canggung. Krisan duduk di kursi pengemudi, sementara Belinda duduk di sampingnya di kursi penumpang depan. Ortiz, di sisi lain, memilih duduk di kursi tengah belakang, memandang keluar jendela dengan pikiran yang terlihat melayang-layang.
Untuk mengurangi kekakuan, Belinda mulai membuka percakapan dengan Krisan. "Krisan, aku ingin tahu lebih banyak tentang pekerjaanmu. Papa kamu bilang kamu bekerja di bidang kosmetik, itu pasti menarik sekali, ya?"
Krisan tersenyum, mencoba mengalihkan fokusnya dari jalanan yang padat ke percakapan itu. "Iya, Bu. Aku bekerja sebagai marketing dan content creator di perusahaan kosmetik. Sebenarnya, aku suka dengan pekerjaanku karena aku bisa menggabungkan kreativitas dengan strategi pemasaran. Menyenangkan melihat produk yang kita promosikan mendapatkan perhatian dari banyak orang."
Belinda mengangguk dengan penuh minat. "Itu kedengarannya luar biasa. Kamu pasti punya banyak ide kreatif untuk menarik perhatian orang, ya?"
Krisan tersenyum lagi, merasa senang bahwa Belinda tampaknya tertarik pada pekerjaannya. "Ya, harus begitu, Bu. Dunia pemasaran kosmetik sangat kompetitif, jadi kita harus selalu berpikir di luar kotak. Tapi itu juga yang membuatnya menantang dan menyenangkan."
Sementara itu, Ortiz tetap diam di kursi belakang. Meskipun Krisan dan Belinda berusaha menjaga suasana tetap hangat, Ortiz tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mungkin dia masih merasa canggung dengan kenyataan bahwa Krisan, orang yang selama seminggu ini mencarinya di kafe, sekarang akan menjadi saudara tirinya. Atau mungkin dia hanya butuh waktu untuk menerima perubahan besar ini dalam hidupnya.
Sesekali, Krisan melirik ke kaca spion, melihat Ortiz yang masih terdiam di belakang. Krisan bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu Ortiz, tapi ia memilih untuk memberi ruang kepada Ortiz tanpa memaksanya untuk berbicara.
Perjalanan pun berlanjut dengan Belinda yang terus mencoba mengenal Krisan lebih dekat. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari minat Krisan di luar pekerjaan hingga rencana masa depan mereka sebagai keluarga baru. Meskipun Krisan tidak terlalu banyak bercerita, ia merasa senang karena Belinda tampak tulus dan berusaha untuk membuatnya merasa diterima.
Ketika mereka hampir tiba di rumah, Belinda beralih ke topik yang lebih pribadi. "Aku tahu, Krisan, bahwa perubahan ini mungkin tidak mudah untukmu, dan mungkin juga untuk Ortiz. Tapi aku ingin kamu tahu, aku berharap kita bisa menjadi keluarga yang saling mendukung dan memahami satu sama lain."
Krisan mengangguk, merasa tersentuh dengan kata-kata Belinda. "Aku juga berharap begitu, Bu. Aku akan berusaha semaksimal mungkin."
Akhirnya, mereka tiba di rumah Belinda dan Ortiz. Krisan berhenti di depan rumah, mematikan mesin, langsung turun demi membukakan pintu Belinda. Sementara itu, Ortiz masih terlihat diam, tetapi saat turun dari mobil, ia menatap Krisan sejenak dan mengangguk pelan, seolah memberikan isyarat bahwa meskipun masih canggung, ia menghargai upaya Krisan.
"Terima kasih sudah mengantar kami, Krisan," kata Belinda sambil tersenyum hangat.
Krisan membalas senyum itu. "Sama-sama, Bu. Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk menghubungi saya."
Setelah berpamitan, Krisan kembali ke mobil dan meninggalkan rumah mereka. Perjalanan pulang terasa lebih tenang, tetapi Krisan tahu bahwa banyak hal yang masih harus ia pelajari tentang keluarga barunya ini. Ia hanya bisa berharap bahwa waktu akan membantu mereka semua untuk lebih memahami dan menerima satu sama lain.
BERSAMBUNG
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro