Bab 17 : Beranda Percakapan dalam Alunan Angin dan Kesejukan
Krisan dan Jaka duduk di teras kafe, menunggu Dimas yang masih bekerja pada shift-nya. Angin malam yang sejuk menyapu lembut di sekitar mereka, sementara lampu-lampu kota menyala dengan gemerlap yang tenang. Jaka, dengan gitar akustiknya, memetik beberapa akord, mencari-cari melodi yang tepat untuk penampilannya berikutnya. Krisan, yang tampak memikirkan sesuatu, duduk di seberangnya dengan wajah yang tampak berat.
"Jadi, bagaimana kabarnya?" tanya Jaka, menyesuaikan posisi duduknya untuk lebih nyaman. "Kamu terlihat agak cemas."
Krisan menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan kegelisahannya. "Sebenarnya, aku baru saja bicara dengan Ortiz siang tadi. Aku bilang ke dia kalau aku mendukung dia, terutama setelah dia mengungkapkan bahwa dia gay."
Jaka berhenti memetik gitarnya sejenak dan menatap Krisan dengan penasaran. "Bagaimana reaksinya?"
Krisan mengangkat bahu, tampak kecewa. "Ortiz terlihat lebih tenang dan penuh harapan. Tapi, jujur saja, aku merasa seperti pendusta. Dia sangat berani, dan aku hanya... merasa tidak setangguh dia. Aku khawatir kalau dia bakal bertemu seseorang yang lebih cocok untuk dia daripada aku."
Jaka melanjutkan memetik gitarnya dengan lembut, berpikir sejenak. "Kamu tidak perlu merasa seperti pendusta. Setiap orang punya cara dan waktu mereka sendiri untuk menghadapi kenyataan. Tapi, kamu harus ingat bahwa kamu juga punya hak untuk merasa nyaman dengan keputusanmu."
Krisan mengangguk, tampak sedikit terhibur oleh kata-kata Jaka. "Aku tahu. Tapi aku juga takut kalau Ortiz akan bertemu dengan seseorang yang membuatku merasa tersingkir. Dan ada satu hal lagi yang mengganggu pikiranku. Dengan Ortiz menjadi saudara tiriku, fakta itu seharusnya membuat hubungan kita tidak mungkin terjadi. Aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kami adalah keluarga."
Jaka berhenti memetik gitarnya, dan menatap Krisan dengan serius. "Krisan, fakta bahwa Ortiz adalah saudara tirimu membuat situasi ini rumit, tapi itu tidak mengubah perasaanmu yang sebenarnya. Kamu harus memutuskan apa yang benar-benar penting untukmu. Kamu tidak bisa membiarkan kenyataan itu menghalangi apa yang kamu rasakan."
Krisan memandang Jaka dengan tatapan tegas. "Aku tahu ini tidak mudah. Namun, jika hubungan kami sebagai saudara tiri memang membuat segalanya jadi lebih rumit, aku harus bisa menerima kenyataan itu. Ini tentang menghormati batasan dan memikirkan dampak dari keputusan kita."
Jaka mengangguk setuju. "Benar. Kadang-kadang, kita harus memikirkan bukan hanya perasaan kita sendiri, tapi juga perasaan orang lain dan dampak dari tindakan kita. Apa pun keputusanmu, kamu harus membuatnya dengan penuh pertimbangan dan kejelasan."
Krisan mengangguk, merasa lebih mantap setelah berbicara dengan Jaka. "Aku belum bisa memutuskan. Ortiz tidak berpikir kalau aku sama dengannya. Aku sedang memastikan apakah kita sama-sama tertarik atau tidak."
Jaka meletakkan gitarnya sejenak, tatapannya serius saat menatap Krisan. "Krisan, aku tahu situasinya rumit. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, apapun yang kamu rasakan, kamu harus jujur pada diri sendiri dan pada Ortiz. Kamu nggak bisa terus berada di zona abu-abu, itu hanya akan membingungkan kalian berdua."
Krisan menghela napas panjang, merasa beban di dadanya semakin berat. "Kamu benar, Jaka. Tapi masalahnya, Ortiz nggak berpikir kalau aku sama dengannya. Dia sudah berani jujur, sedangkan aku... aku bahkan nggak tahu harus mulai dari mana."
Jaka menatap Krisan dengan penuh pengertian sambil mengambil gitarnya kembali. "Itu justru yang bikin semuanya jadi lebih penting untuk dibicarakan. Ortiz sudah jujur sama kamu, dan dia pantas tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan. Apapun itu, Krisan, jangan biarkan ketidakpastian ini menghancurkan hubungan kalian."
Krisan termenung, lalu mengangguk perlahan. Suasana malam semakin santai dengan melodi gitar Jaka yang lembut. Tak lama kemudian, Dimas bergabung dengan mereka di meja. Wajahnya cerah setelah shift kerjanya selesai, dan dia membawa segelas kopi hangat.
"Maaf telat, teman-teman," ucap Dimas sambil duduk di kursi kosong di dekat Krisan. "Kerja baru saja selesai."
Krisan tersenyum. "Tidak apa-apa, Dimas. Senang kamu bisa bergabung. Aku butuh saran dari kalian berdua."
Dimas mengangkat alis, penasaran. "Saran tentang apa?"
Krisan menghela napas, tampak sedikit cemas. "Jadi, aku baru-baru ini berbicara dengan Ortiz tentang orientasinya. Dia cukup berani dan terbuka, tapi aku merasa seperti pendusta dibandingkan dengan keberaniannya. Aku juga khawatir kalau ada seseorang yang akan membuatku merasa tersisih."
Dimas, yang mendengarkan dengan seksama, ikut angkat bicara. "Ortiz berani mengakui perasaannya, itu langkah besar. Kalau kamu merasa ada sesuatu di antara kalian, atau bahkan jika tidak ada, Ortiz layak tahu kebenarannya. Jangan biarkan ketidakpastian ini merusak hubungan kalian."
Krisan menghela napas panjang, merasa beban di dadanya semakin berat. "Kalian benar. Aku tahu, aku harus segera menentukan sikap. Tapi ada banyak hal yang membuatku ragu. Ortiz adalah saudara tiriku, dan meskipun kita tidak tumbuh besar bersama, fakta bahwa kita keluarga membuat segalanya jadi lebih rumit."
Jaka menatap Krisan dengan penuh pengertian. "Ya, Krisan, aku paham. Tapi coba pikirkan juga, apakah kamu siap menghadapi segala konsekuensinya jika kamu memilih untuk diam? Ortiz mungkin akan terus berharap, atau bahkan merasa tersakiti kalau kamu tidak terbuka dengannya."
Krisan termenung sejenak, lalu mengangguk. "Aku akan berbicara dengan Ortiz, mungkin bukan sekarang, tapi segera. Aku perlu memastikan perasaanku dulu."
Dimas memandang Krisan dengan serius sejenak sebelum mengangguk. "Aku mengerti perasaanmu. Tapi, ada satu hal yang mungkin bisa membantu. Aku ingat kamu pernah bilang bahwa Radit ingin balikan denganmu. Kenapa tidak mempertimbangkan untuk memberi kesempatan kedua pada hubungan kalian? Mungkin dia bisa jadi seseorang yang bisa kamu pertimbangkan kembali."
Krisan terkejut dan sedikit tersentak mendengar saran itu. "Radit? Aku memang sempat berpikir tentang itu, terutama karena dia menunjukkan ketertarikan untuk kembali. Tapi aku juga merasa bahwa hubungan kami sudah berakhir karena alasan yang mendasar."
Dimas mengerutkan kening, berusaha menyeimbangkan kata-katanya. "Aku hanya berpikir mungkin Radit bisa memberi dukungan atau perspektif yang berbeda dalam situasi ini. Jika kamu merasa ada potensi untuk memperbaiki hubungan, mungkin ini bisa jadi kesempatan untuk mempertimbangkan kembali."
Krisan mengangguk perlahan, tampak merenungkan saran Dimas. "Aku akan memikirkan saranmu. Aku hanya ingin memastikan bahwa keputusan yang kuambil tidak hanya berdasarkan perasaan saat ini, tapi juga pertimbangan yang lebih mendalam."
Jaka, yang masih memainkan gitarnya, menambahkan dengan nada ringan. "Dengar, Krisan, kadang kita harus menghadapi perasaan yang kompleks. Dan kadang, orang dari masa lalu kita bisa memberikan perspektif yang berharga."
Krisan tersenyum tipis, merasa lebih terbuka dengan berbagai kemungkinan setelah berbicara dengan Dimas dan Jaka. "Terima kasih, kalian. Aku akan memikirkan semuanya dengan seksama."
Krisan termenung sejenak, menatap kosong ke arah teras kafe yang semakin sepi. Hatinya bergejolak dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk—keraguan, ketakutan, dan keinginan untuk jujur. Namun, saat ia melihat ke arah Jaka yang menatapnya dengan sorot mata penuh dukungan, Krisan akhirnya menemukan keberanian dalam dirinya.
"Aku nggak bisa terus seperti ini," ucap Krisan dengan nada yang lebih tegas. "Aku harus bicara dengan Ortiz, dan kali ini aku akan jujur. Tentang semuanya."
Jaka mengangguk pelan, tersenyum tipis. "Itu keputusan yang tepat."
Krisan menghirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Dengan tekad yang baru, ia tahu apa yang harus dilakukan. Besok, ia akan menemui Ortiz dan mengungkapkan perasaannya—tidak peduli seberapa sulit atau rumitnya itu.
Krisan akhirnya berdiri dari kursinya, merasa lebih ringan dari sebelumnya. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa langkah yang akan diambil setah ini adalah langkah pertama menuju kejujuran, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk Ortiz.
***
Malam itu, Krisan duduk di dalam mobilnya yang diparkir di depan rumah Ortiz. Suasana di sekitar begitu hening, hanya ditemani suara serangga malam dan angin yang berbisik pelan melalui pepohonan. Krisan menggenggam setir mobil erat-erat, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan, kekhawatiran, dan rasa bersalah yang tak kunjung hilang sejak siang tadi.
Lampu jalan yang temaram memantulkan bayangan Krisan di kaca depan mobil, membuatnya merenung lebih dalam. "Apa yang aku harapkan dari semua ini?" pikirnya dalam hati. "Ortiz sudah begitu terbuka, sementara aku... aku masih bersembunyi."
Perasaan bersalah itu semakin berat dirasakannya. Krisan tahu bahwa malam ini, dia harus mengungkapkan kebenaran, bahkan jika itu berarti menghadapi rasa takut yang selama ini dia hindari. Krisan tidak ingin terus berbohong, terutama pada Ortiz—adiknya yang selalu dia lindungi, tetapi kali ini justru menjadi pelindung bagi Krisan.
Akhirnya, lampu depan dari sebuah motor menerobos kegelapan, memotong pikirannya. Krisan melihat sosok Ortiz yang baru saja turun dari motor ojek. Krisan menghela napas panjang, bersiap menyambut adiknya.
Ketika Ortiz melihat mobil Krisan, dia sedikit terkejut. "Kak, kenapa di sini? Kenapa tidak masuk?" tanyanya, nada suaranya bercampur antara heran dan kekhawatiran.
Krisan keluar dari mobil, mencoba tersenyum meski ada kegelisahan di hatinya. "Aku harus berbicara denganmu, Ortiz. Ada sesuatu yang perlu aku sampaikan."
Ortiz berhenti sejenak, menatap Krisan dengan rasa ingin tahu yang meningkat. "Ada apa, Kak? Kamu kelihatan serius."
Mereka berdiri di bawah lampu jalan, yang memberikan cahaya lembut ke wajah mereka. Krisan merasa sedikit gemetar, namun dia tahu ini adalah saat yang tepat. Dia menatap mata Ortiz, berusaha menenangkan hatinya sebelum berbicara.
"Ortiz... Aku ingin berterima kasih karena kamu sudah berani jujur padaku tentang siapa dirimu sebenarnya," Krisan memulai, suaranya agak serak. "Tapi, aku merasa bersalah. Aku belum sepenuhnya jujur denganmu."
Ortiz mengerutkan kening, tampak bingung. "Maksud Kakak?"
Krisan menghela napas dalam, merasa beban berat di dadanya. "Radit... Dia bukan hanya teman lama. Dia adalah mantan pacarku. Dan aku belum siap untuk terbuka tentang itu, bahkan padamu."
Mata Ortiz melebar, jelas terkejut dengan pengakuan itu. Ada jeda hening di antara mereka, hanya diisi dengan suara angin yang menggoyang dedaunan di atas kepala.
"Kamu... kamu pacaran dengan Radit?" suara Ortiz nyaris berbisik, penuh ketidakpercayaan.
Krisan mengangguk, merasa sedikit lega meskipun rasa takut masih menggelayuti hatinya. "Ya, tapi itu sudah lama. Yang penting sekarang adalah kamu. Kamu sudah berani menunjukkan siapa dirimu, sedangkan aku masih bersembunyi."
Ortiz melangkah mendekat, memandang Krisan dengan sorot mata yang penuh simpati. "Kak, kamu tidak perlu merasa terburu-buru. Setiap orang punya waktunya sendiri. Aku juga butuh waktu lama untuk bisa mengatakan ini semua."
Namun, di balik kata-kata tersebut, Ortiz merasakan kekecewaan yang mendalam. Ia selalu berharap Krisan bisa menjadi sosok yang sama dengannya, tetapi kenyataan bahwa Krisan tampak ragu-ragu membuatnya berpikir ulang. Apa Kak Krisan hanya mengimbangi jati diriku atau memang dia sama samapertiku. Tapi, kenapa dia baru bilang sekarang. Kenapa Kak Krisan terlihat ragu? batin Ortiz bertanya-tanya.
Krisan menatap adiknya, merasakan campuran emosi yang begitu kompleks. Dia tahu Ortiz mengharapkan sesuatu darinya—sesuatu yang lebih dari sekadar pengakuan. Ada perasaan takut kehilangan yang semakin menguat, terutama dengan keberadaan pria lain yang mungkin menarik perhatian Ortiz.
Dengan dorongan emosional, Krisan melangkah maju dan memberikan ciuman di pipi Ortiz. Sebuah ciuman yang penuh dengan rasa syukur, tetapi juga dengan kesedihan. "Terima kasih, Ortiz, karena sudah menjadi dirimu. Aku... aku hanya berharap kita bisa melalui ini bersama."
Ortiz, yang awalnya terkejut dengan tindakan itu, akhirnya tersenyum kecil, meskipun ada perasaan campur aduk di dalam dirinya. "Aku akan selalu ada untukmu, Kak. Kita hadapi ini bersama, apapun yang terjadi."
Keduanya berdiri di sana dalam diam, di bawah cahaya bulan yang samar, merasakan ikatan yang lebih kuat dari sebelumnya. Ortiz tahu bahwa perjalanan untuk memahami dirinya sendiri belum selesai, tapi setidaknya dia tidak sendirian. Sementara Krisan, di dalam hatinya, merasa semakin tertekan dengan kenyataan yang dihadapinya—kenyataan bahwa perasaannya kepada Ortiz mungkin lebih dari sekadar kakak adik, tetapi juga terhalang oleh garis batas yang tak terhindarkan.
Malam itu, meskipun terasa berat, ada secercah harapan yang mulai tumbuh di hati Krisan atau Ortiz. Mungkin, suatu hari nanti, dia juga bisa berani seperti Ortiz, atau setidaknya, dia bisa menemukan cara untuk berdamai dengan perasaannya. Sementara Ortiz merasa bahwa mungkin ada harapan jika terus bersama Kakak tirinya itu. Bagi Ortiz, yang terpenting adalah bisa selamanya dengan Krisan terlepas bagaimana orientasinya. Demikian Ortiz juga ingin cintanya terbalas dengan jelas, dan Krisan sejauh ini tidak menunjukan arti saudara dan yang lain, hanya udara yang tahu.
BERSAMBUNG
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro