#43. Kiss and Kiss
•|1280 Words|°
Seminggu setelah kejadian itu, aku kembali menjalani rutinitasku. Aku baru dibolehkan pulang sejak tiga hari yang lalu, dan selama itu, aku sibuk memikirkan hal yang sama.
Tentang Jimin, dan perjanjian konyolnya—umm, tidak, setelah mengetahuinya, aku mulai berpikir kalau ini masalah yang sangat serius.
Percakapan kami saat aku baru sadarkan diri pasca pendarahan ringan itu masih aku ingat dengan jelas.
"Saat itu, aku sedang dirawat di salah satu rumah sakit besar yang ada di Tokyo. Aku sempat koma selama beberapa bulan dan saat aku bangun, aku melihat Mina. Awalnya, kami hanya bercengkrama layaknya anak kecil biasa. Mina tidak begitu pandai bahasa Korea, tapi setidaknya ia mengerti ucapanku, jadi—sejak itu kami muali dekat."
"Bisa langsung mulai keinti permasalahannya saja? Aku tidak mau mendengar kedekatanmu dengan wanita itu!"
"Aigoo—kau cemburu, hem?"
"Tentu saja! Ah—tidak! Tidak! Kau lanjutkan saja cerita mu lagi!" Jimin terkekeh, ia mengeratkan dekapannya pada tubuhku. Benar-benar menenggelamkanku dalam kenyamanan di antara lengan berototnya.
"Kejadiannya bermula saat aku mencoba mengakhiri hidupku dengan terjun dari atap rumah sakit. Sebenarnya aku tidak sungguh-sungguh akan melakukannya, tapi ibu Mina yang melihatku langsung sigap menarikku menjauh dari sana."
"Lalu?" Aku memainkan kancing kemejanya. Entah kenapa, aku suka saja melakukannya.
"Dia terpeleset, hingga akhirnya jatuh dan—meninggal di tempat." Aku terdiam. Membayangkannya saja sudah mulai membuatku ngeri. Aku jadi berpikir, bagaimana syoknya Mina pada saat itu yang harus kehilangan ibunya di usia belia? Ah—itu bukan urusanku.
Jimin mulai mengelus rambutku, sembari meletakan dagunya di kepalaku. "Saat itu, Mina langsung menangis histeris sampai pingsan. Dan aku malah menatap jasad ibu Mina itu tanpa ekspresi. Merasa hal itu adalah hal yang wajar saja terjadi. Saat itulah aku mulai merasa bahwa aku berbeda. Secara tidak langsung, kejadian saat aku diculik itu membuatku seperti bukan manusia kebanyakan."
Aku menggenggam tangannya, berusaha memberi kekuatan. "Kalau kau masih belum sanggup, jangan dilanjutkan."
Jimin menggeleng. "Tidak, kau harus tahu kejadian yang sebenarnya."
Jimin menarik napas panjang, dan melanjutkan. "Karena kondisi Mina yang tidak memungkinkan, aku menjadi satu-satunya saksi. Tapi mereka malah menuduhku sebagai pelaku karena rekaman cctv yang menunjukan ibu Mina yang jatuh saat berusaha menolongku. Aku sempat diintrogasi. Mereka menanyakan banyak hal tapi aku tidak bisa menjawab satupun. Saat itu aku masih belum mahir bahasa Jepang."
"Tiga hari pasca kejadian, ayah dan ibuku baru datang menemuiku. Mereka—terutama ayahku—berusaha membujuk ayah Mina supaya melepaskan tuntutannya. Ayah Mina tentu saja tidak terima, dan entah bagaimana jadinya, kesepakatan itu tiba-tiba muncul."
Jimin sempat menjeda lama. Tangannya berkeringat, tingkahnya seperti tidak ingin kehilangan sesuatu yang berharga. "Kesepakatan yang menyatakan kalau aku harus membahagiakan Mina sepanjang sisa hidupnya."
Aku memejamkan mataku, berusaha mengontrol diri untuk dapat menerima semua tamparan kejadian yang baru ku ketahui ini.
"Kami semua tahu betul, kalau Mina tidak akan bisa hidup selayaknya gadis biasa. Mina masih hidup sampai sekarang, itu sudah merupakan keajaiban. Aku sempat melupakan kesepakatan ini, apalagi saat aku kembali pulang ke korea dan menemukanmu, aku semakin melupakannya."
"Lalu disaat pendapatan perusahaanku turun drastis, aku menyadari kalau ada sesuatu yang tidak beres. Aku sudah berusaha mencari tahu kebenarannya, tapi nihil. Ayah Mina terlalu pintar dan licik untuk melancarkan semua rencananya supaya aku goyah."
"Perusahaanku saat ini sudah diujung tanduk, dan aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain menuruti keinginan ayah Mina supaya perusahaanku kembali stabil karena ia telah mengambil kendali perusahaan. Perusahaanku sangat bergantung padanya karena hampir tujuh puluh persen saham perusahaanku adalah miliknya."
"Aku tidak semata-mata mengambil resiko ini karena perusahaan. Ada yang lebih penting dari itu, sesuatu yang tidak bisa dan tidak mau aku serahkan pada siapapun."
"Apa itu?" tanyaku.
Jimin mulai menurunkan dagunya. Menatapku yang ada di dadanya dengan tatapan bersalah. "Kau. Ia telah menjadikanmu target jika aku tidak memenuhi keinginannya."
Aku menaikan sebelah alis bingung. "Aku? Tapi kenapa?"
"Ia sudah tahu kalau kau adalah istriku. Padahal seharusnya, aku tidak menikahi siapapun sebelum perjanjian itu berakhir."
"Lalu kenapa ibumu menyuruh kau untuk segera menikah? Bukannya ia juga tahu perjanjian itu?"
"Itu sebabnya aku tidak menyukainya. Sebenarnya, ia juga yang membuatku diam di rumah sakit selama bertahun-tahun. Sepertinya ia memang sengaja melakukannya supaya aku terkena masalah."
"Ya! Bagaimana bisa kau berprasangka buruk seperti itu pada ibumu?"
"Dia bukan ibuku."
Satu fakta lagi terungkap, membuatku tercengang. "Apa?"
"Dia ibu tiriku."
"Ya! Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?"
"Kau tidak bertanya."
Aku memukul dadanya kesal. Jimin malah terkekeh.
Ia melanjutkan lagi. "Dan soal ciuman dan percakapan di kantor, itu juga aku terpaksa melakukannya. Mina tidak tahu apapun soal ini jadi kau jangan menyalahkannya."
"Apa? Jadi kau membelanya, begitu? Apa kau tidak memimikir—mppphhh."
Lagi, Jimin membungkamku dengan ciumannya. "Sudah, ah. Sudah malam. Kau harus tidur."
"Tapi aku baru saja bangun." Aku merengek. "Lagian, apa kau tidak memikirkan perasaanku saat kau bermesraan dengannya? Aku sedang mengandung anakmu loh." Entah kenapa, sikap manja ini muncul begitu saja.
"Iya—iya—Sayangku. Aku tidak akan melakukan hal seperti itu lagi." Jimin mengecup-ngecup bibirku lagi. Berkali-kali.
Rasanya, kami langsung kembali dekat. Jimin memang sangat pandai mengambil alih pikiranku supaya mempercayainya.
Jimin menghentikan ciumannya. Tapi ia tidak menjauhkan wajahnya, hidung kami bahkan masih bersentuhan.
Ia tersenyum sembari menatapku dalam.
"Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu?" aku mulai risih dengan tatapannya.
"Aku hanya berpikir, apa anak kita tidak merindukan ayahnya? Sepertinya aku ingin mengunjunginya. Boleh, kan?" Jimin mengatakannya tepat di depan bibirku, bahkan sesekali bibir tebalnya itu menggesek permukaan bibirku yang masih lembab.
Menyadari arah pembicaraannya, aku menyomot bibir tebalnya dengan tanganku gemas. "Kau ini, ya. Tidak pernah berubah. Aku baru saja mengalami pendarahan. Mana boleh melakukan ‘itu’? lagipula ini sedang di rumah sakit!"
Aku melepaskan comotanku, Jimin mengerucutkan bibirnya. Ia terlihat merajuk. "Arraseo. Kau semakin hari semakin galak saja."
"Kenapa? tidak suka?!"
Jimin menggeleng cepat. "Aniya, justru kau terlihat semakin seksi saat memarahiku."
Aku menampar bibirnya. "Berhenti menggodaku!"
Jimin memegangi bibirnya. "Kau ini kenapa terus-terusan menyerang bibirku?"
"Dasar tak tahu diri. Kau juga terus mencium bibirku tadi!"
"Kalau begitu, ayo kita sembuhkan bersama-sama."
"Ap---mmpppphhhh—Jim!"
"Hey! Mau sampai kapan kau memegang bibirmu seperti itu?"
Aku mulai tersadar, menyadari Jimin yang perlahan berjalan mendekat dari arah dapur. Ia masih mengenakan kemeja putihnya yang telah terbuka tiga kancing teratasnya.
"Sejak kapan kau pulang?" tanyaku. Aku memang tidak mendengar kedatangannya.
"Sejak tadi. Kau malah terus memegangi bibirmu sampai tidak sadar saat aku panggil. Kau sedang memikirkan apa, sih?"
Aku sedang memikirkanmu!
"Ah, tidak. Bibirku hanya sedikit kering saja. Sepertinya aku harus banyak minum."
Jimin mendudukan dirinya di sebelahku. Menarik tubuhku untuk merapat ke pangkuannya. "Mau kuberi tahu caranya supaya bibirmu tidak kering lagi?"
Sebenarnya, aku sudah tahu apa jawabannya, tapi aku lebih memilih mengikuti permainannya saja. "Apa?"
"Tutup matamu dulu."
Aku memejamkan mataku. Membiarkan Jimin melakukan apapun yang diinginkannya.
Kupikir, ia kan menciumku, tapi ia malah mengusapkan sesuatu seperti pelembab bibir di bibirku. Aku merasa bodoh karena mengharapkan hal itu.
"Kenapa kau terlihat tidak senang?" Jimin kebingungan saat aku tiba-tiba memberengut.
"Tidak. Aku hanya sempat memikirkan hal lain. Padahal kalau pelembab saja aku bisa memakainya sendiri!"
"Siapa bilang aku sudah selesai? Aku baru akan melakukan treathment."
"Ha—mmpphhhh."
Jimin langsung menciumku. Lidahnya bahkan sesekali melumat permukaan bibirku, membuatku dengan cepat terbuai mengikuti permainannya.
Aku dapat merasakan cokelat yang sangat manis. Rupanya, pelembab yang Jimin pakaikan padaku itu berasa cokelat.
"Jim—mmpphh—hhh."
Tangan Jimin mulai bergerak untuk membuka kancing kemeja yang kugunakan sementara aku semakin mengeratkan peganganku pada lehernya.
Saat aku hampir kehabisan napas, Jimin langsung menyudahi ciumannya. Tapi aku dapat melihat tatapannya yang penuh gairah. Ia mengusap lelehan salivanya di bibirku dengan jarinya.
"Kalau sekarang, aku sudah boleh ‘mengunjungi’ anak kita, kan? Mereka pasti merindukanku juga. aku janji akan ‘melakukannya’ perlahan."
Aku tidak menjawab, hanya melayangkan sebuah kecupan singkat pertanda boleh. Aku juga menginginkannya.
Jimin langsung menyambutku dengan antusias. Matahari belum sepenuhnya tenggelam, sinar jingganya yang memasuki jendela menjadi saksi penyatuan kami.
#
Udh ah sampe segitu aja🌚
Aku gk tau yg aku tulis ini apaan, kalo aneh harap maklum ya.
Sebenernya dari kemarin malem ini udh selesai di ketik, tapi belum di edit. Jadinya ketiduran deh :v
Maaf ya, kalo chap ini jelek. Tapi boleh minta reviewnya? Biar aku bisa memperbaiki untuk ke depannya.
Jangan nunggu ini up :"
See you💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro