Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#42. Promise

•|1692 Words|°

Sinar matahari yang masuk melewati sela-sela gorden jendela membuatku perlahan terbangun. Aku menghembuskan napas, seraya memeluk erat guling yang terasa hangat dan nyaman. Mataku masih memejam tapi aku dapat merasakan pergerakan seseorang yang seolah membalas pelukanku dengan sama eratnya.

Ini aneh, kenapa aku bisa sampai membayangkan sedang dipeluk Jimin? Padahal seingatku aku masih menginap di penginapan.

Tapi kenyamanan ini membuatku betah untuk terus memeluknya. Semakin erat hingga aku dapat merasakan hembusan napasnya di dadaku.

Menyadari ada sesuatu yang salah. Mataku langsung membola.

"Tidurmu nyenyak, Sayang?" suara serak Jimin terasa seperti menamparku.

Buru-buru aku berusaha melepaskan pelukannya, tapi alih-alih dilepaskan, Jimin malah semakin mempererat pelukannya, membuatku tidak bisa menjauh darinya.

"Aku masih mengantuk. Ingin seperti ini, kau jangan dulu bangun." Jimin masih belum membuka matanya, bahkan ia malah semakin membenamkan dirinya di dadaku yang-astaga! Aku tidak berbusana!

"Emmhh—lepas! Lepaskan aku! Kenapa kau bisa ada disini?!" aku berusaha melepaskan pelukannya lagi.

"Ahhh—Wae?! Aku tidak boleh menyentuh istriku sendiri begitu?"

"Tidak boleh! Aku sedang marah padamu!" Aku menarik selimut, melilitkan ke seluruh tubuhku supaya Jimin tidak bisa mengambil kesempatan untuk menyentuhku lagi. Aku sangat kesal padanya.

Jimin mendudukan dirinya, mulai-mengucek matanya yang belum sepenuhnya terbuka sembari menggaruk-garuk rambutnya. "Aku tahu aku salah. Maafkan aku."

Hah? Apa-apaan dia? Apa dia baru saja meminta maaf? Semudah itu? aku menggeleng tak percaya.

Bagaimana bisa ia bersikap secuek itu setelah melakukan kesalahatan fatal?

Aku berusaha mengabaikannya, tapi begitu menyadari wajah Jimin yang penuh lebam terutama dibagian pelipis, rahang dan pipinya, membuatku tak tahan untuk bertanya, "Ada apa dengan wajahmu?"

"Ah—ini?" Jimin malah menyentuh lebam yang ada di pipi kirinya lalu meringis setelahnya. Itu pasti sakit.

"Tidak ada apa-apa, hanya ada sedikit kesalahpahaman. Setelah diberi salep juga lukanya akan menghilang." Jimin malah tersenyum.

Bukannya lega, aku malah semakin curiga. Jimin pasti menyembunyikan sesuatu dariku. Dan aku paling membenci ini, Jimin seperti menutup dirinya dariku.

"Apa sebenarnya yang kau pikirkan? Kau pikir dengan tidak memberitahuku aku akan senang?" Jimin terlihat terkejut mendengarku berkata seperti itu. aku membuang muka. "Kalau kau akan terus bersikap seperti itu, kurasa aku tidak harus ada disisimu lagi. Kau bisa mengatasi masalahmu sendiri, kan? Lalu untuk apa aku ada?" Tenggorokanku terasa tercekat.

Jimin menggeleng beberapa kali, ia terlihat panik. "Tidak! Aku membutuhkanmu! Aku tidak bermaksud seperti itu, sungguh!"

"Lalu bagaimana dengan Mina?" Aku menatapnya tajam. "Kau pikir aku tidak terluka saat melihatmu berciuman dengannya?" Aku sudah tidak bisa menahan air mataku lagi.

"Lalu saat di kantor, apa maksudmu dengan aku adalah pacar Hasung? Kau sudah tidak menganggapku istri, begitu?"

"Tidak! Tidak! Itu tidak benar!"

"Lalu apa yang benar?!" Aku berteriak kesal. Air mataku sudah membanjiri wajahku. "Bagaimana aku bisa tahu kalau kau sendiri tidak mau menjelaskannya!"

"Bukannya aku tidak mau tapi—"

"Tapi apa? Kau tidak bisa menyakiti Mina yang kau cintai jadi kau memilih untuk menyakitiku saja begitu?!" Aku sudah tidak dapat mengontrol emosiku lagi.

"Aku tidak mencintai Mina!"

"Bohong! Aku mendengar sendiri saat kau mengatakan bahwa kau hanya miliknya! Lalu selama ini aku ap—mmmh"

Sialan, Jimin malah membungkam mulutku dengan bibirnya. Lidahnya dengan lihai melumat bibirku, membuatku terus memberontak karena tidak ingin terbuai.

"Yak!mmpphh—lepass!" Aku mendorong wajah Jimin hingga ciumannya terlepas.

Aku mengusap bekas salivanya di bibirku dengan kasar. "Apa maksudmu menciumku, hah?!"

Kepalaku terasa sangat pening saat aku berteriak. Aku sudah benar-benar kehilangan kontrol diri tanpa alasan. Aku menangis hebat, mood-ku langsung kacau.

Jimin mendekat untuk menenangkanku, tapi alih-alih berhenti, tangisanku malah semakin kencang. Jimin terus saja mengelus punggungku, sementara aku terus menangis di bahunya. Tanganku juga terus memukul-mukul dadanya dan Jimin terus mengatakan maaf berkali-kali di telingaku.

Tubuhku terasa lemas, kepalaku semakin terasa berat dan saat Jimin menyadari kalau ada sesuatu yang salah denganku. Ia semakin memelukku erat.

"Jangan melihat ke bawah."

Bersamaan dengan itu, aku juga merasakan sesuatu yang kental mengalir melewati betisku. Aku menengok ke bawah, bersamaan dengan teriakan Jimin yang melarangku untuk melihatnya.

Seluruh tenagaku terasa habis, aku sangat syok begitu melihat permukaan selimut putih yang berubah warna menjadi merah darah hingga pada akhitnya, pandanganku perlahan memudar.

#

Aku membuka mataku karena suara air hujan yang terdengar cukup deras itu mengangguku. Ketika membuka mata, aku menyadari kalau ini bukan kamar biasa, melainkan sebuah kamar rawat yang terlihat sangat asing.

Memoriku kembali memutar kejadian yang aku alami pagi tadi, buru-buru aku meraba perutku sambil menoleh ke bawah, lalu menghela napas lega saat menyadari bahwa bentuknya masih utuh seperti sebelumnya.

Aku melihat sekeliling dan menyadari kalau saat ini sudah malam dan aku sendirian di sini. Ya, sendiri. Si Jimin sialan itu mungkin sudah kembali bersama Mina. Astaga, aku tidak bisa berhenti untuk tidak berpikiran buruk tentang hubungan mereka.

Padahal saat ini aku sedang membutuhkan seseorang yang setidaknya bisa kutanyai mengenai apa yang terjadi.

Aku menghela napas untuk kesekian kali lalu memejamkan mata untuk meredam kekesalanku. Padahal baru tadi pagi Jimin meminta maaf padaku, tapi ia sudah melakukan kesalahan yang sama.

Belum lama aku memejam, aku mendengar suara pintu yang dibuka. Dan entah mengapa, aku tetap ingin menutup mataku.

Apalagi dari sini, aku sudah mengetahu siapa yang datang. Dari bau parfumnya. Dari hembusan napasnya dan dari cara kakinya melangkah. Aku sudah tahu kalau orang itu adalah Jimin.

Aku semakin enggan untuk membuka mata. Tidak untuk saat ini, aku masih belum siap untuk menemuinya. Tapi sialnya, jantungku malah berdegup kencang.

Apalagi saat Jimin mendekat lalu menyentuh pergelangan tanganku yang diinfus. "Maafkan aku," lirihnya sembari ibu jarinya mengelus punggung tanganku. Ia menghela napas. "Seharusnya aku tidak membuatmu marah—tidak, seharusnya aku sudah menceritakan padamu sejak awal."

Benarkan apa kataku? Ia pasti menyembunyikan sesuatu dariku.
Lama menjeda, kupikir Jimin akan pergi atau setidaknya menjauh untuk mencari sandaran lain.

Namun ternyata, ia malah naik ke bangkar ini juga. Meskipun luas, bangkar ini hanya ditujukan untuk satu orang. Aku nyaris tidak bisa bernapas saat Jimin membaringkan tubuhnya di sisi kananku. Berbaring menyamping lalu menariku masuk ke pelukannya.

Otomatis, aku berusaha mengelak walau masih dengan mata memejam. Tapi Jimin malah mendesis di telingaku. "Sssh—jangan bergerak. Kau baru saja mengalami pendarahan ringan."

Mendengarnya, aku seketika berhenti. "Aku tahu kau mendengarku, meski kau tidak mau melihatku."

Jimin memperbaiki pelukannya, ia memposisikan tangannya untuk berada di atas perutku. "Maafkan aku, ini semua salahku karena tidak memperhatikan kondisimu." Ia terdengar sedih.

"Maafkan aku karena tidak menceritakan semuanya padamu dan berusaha melaluinya seorang diri. Sungguh, aku tidak ingin menyakitimu tapi kau malah semakin terluka."

"Maafkan aku karena sudah mengecewakanmu dengan menjalin hubungan dengan Mina. Sungguh, aku terpaksa melakukannya. aku hanya mencintaimu."

Aku semakin mengeratkan pejaman mataku, Jimin mendekatkan tubuhnya, memposisikan kepalanya di bahuku hingga aku dapat merasakan sapuan napasnya yang mengalirkan sengatan yang paling aku benci.

"Dahyun, dengar. Semua yang aku lakukan itu bukan atas keinginanku. Aku terpaksa melakukannya untuk melindungi sesuatu yang sangat berharga bagiku. Aku masih belum bisa menceritakannya karena semuanya terasa rumit. Beri aku waktu untuk menyelesaikan semuanya. Aku janji, setelah itu aku akan fokus untuk menjaga kau dan bayi kita."

Aku dapat merasakan tangannya yang mengelus perutkku dengan sayang. Aku bahkan bisa merasakan ia sedang tersenyum di dekat leherku. "Aku membayangkan, akan selucu apa anak kita nanti? Kau tahu, aku sangat ingin anak kembar dan dokter tadi mengatakan kalau kau memang sedang mengandung anak kembar, hanya jenis kelaminya saja yang masih belum terlihat."

Apa? Kembar?!

"Aku akan melindunginya dan akan belajar menjadi ayah yang baik untuknya."

Aku terenyuh mendengarnya, tanpa sadar mengucap syukur dalam hati. Aku jadi ikut membayangkan akan seperti apa kehidupan kami nanti? Membayangkan akan dua makhluk kecil diantara kami. Yang satu di gendonganku dan yang satunya lagi digendongan Jimin. Saat menangis, Jimin akan mengendongnya sembari menenangkannya dengan melayangkan kecupan-kecupan manis, memandikannya dan membacakan buku cerita setiap malam.

Apa semua itu bisa menjadi kenyataan?

"Mungkin kau masih berpikir kalau aku tidak mempercayaimu karena seolah menutupi semua masalahku. Tapi sungguh, tidak ada lagi wanita lain yang mengertiku sebagaimana kau memperlakukanku. Dan aku hanya ingin ada kau disisiku."

Jimin kini bergerak, menyangga kepalanya dengan tangan. Aku dapat merasakan posisinya karena tangannya bergerak untuk menyingkirkan beberapa helai rabut yang menutupi wajahku.

"Saat aku melihatmu, aku merasa telah melihat harapan baru dalam takdiri hidupku. Mengingat bagaimana kau menyelamatkanku, kupikir aku tidak bisa merasakan semua kenikmatan ini jika kau tidak datang pada saat itu. kau adalah satu-satunya alasan untukku hidup dan memikirkan masa depan disaat aku sendiri ingin mengakhiri hidupku."

Hatiku mendadak merasa begitu ngilu. Sepenting itu kah aku dihidupnya? Aku sampai tak sanggup lagi untuk menahan pejaman ini karena air mataku terus mendesak ingin keluar.

"Dahyun-ah, kau masih tidak ingin melihatku, hem? Kau tidak merasa kasihan padaku yang terus berbicara seorang diri seperti orang gila? Aku bahkan membutuhkan waktu untuk dapat memasuki rumah sakit lagi, karena traumaku."

Perlahan, aku membuka mataku dan mendapati wajah Jimin yang masih menatapku dengan penuh penyesalan. Ibu jarinya bergerak untuk menghapus air mata yang tiba-tiba saja keluar dari mataku.

"Kenapa menangis? Apa permintaan maafku masih kurang? Kau masih tidak mempercayaiku?"

Aku menggeleng, lalu memegang tangannya yang berada di pipiku. "Berjanjilah satu hal padaku."

Jimin mengangkat sebelah alisnya. Aku menarik napas menahan isakan. "Kalau kau masih tidak bisa menceritakan masalahmu. Jauhi Mina, jangan pernah kau menemuinya lagi."

Jimin terdiam, rautnya seolah menjelaskan kalau ia tidak bisa melakukan itu. "Kenapa? kau tidak bisa?"

"Aku akan menceritakannya." Jimin tersenyum tipis, menenangkanku. "Tapi kau harus berjanji tidak akan meninggalkanku begitu aku selesai menceritakannya."

"Memangnya ada apa? Kenapa kau mengatakannya seolah aku akan benar-benar pergi dari hidupmu?"

Jimin tersenyum tipis, bibirnya berlaih mengecup bagian bawah mataku yang lembab. "Sudahlah, kau harus istirahat."

"Tapi Jim—"

Cup!

"Yak! Kau—"

Cup! Cup!

"Ishh! Jangan mengecupku terus!"

"Kalau cium?"

"Tidak—mmmpphh."

Pada akhirnya, bukan mataku saja yang bengkak. Tapi bibirku juga karena habis dibantai oleh si lelaki mesum—sekaligus calon ayah dari bayi kembar yang sedang dikandungku.

#

Duh, nulis apalagi ini.

Maaf ya, kalo masih blm memuaskan hasrat kalian yang minta ada adegan anu🌚 (kepalaku masih ruwet gegara bsk bakal ada ulangan fisika :v)

And-masalah Jimin juga masih blm ke ungkap disini. Ini cuma buat ngilangin rindu aja sama momen mereka.

Gimana? Nge-feel gk?

Udh segitu dulu ya, soalnya masih harus lanjut tempur melawan rasa malas buat belajar fisika.

Jangan lupa komennya

See you💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro