Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#30. Strange

•|1111 word|°

Begitu pulang dari rumah sakit, Jimin tidak langsung ke kantor. Pemuda itu malah kembali mengambil cuti di minggu pertamanya bekerja hanya untuk mengurusku.

Aku sudah berkali-kali mengatakan kepadanya untuk jangan khawatir tapi ia tetap bersikukuh ingin menemaniku. Ia tidak ingin jika terjadi sesuatu kepadaku saat ia sedang di kantor.

"Oppa—aku ingin es krim," pintaku dengan suara manja. Aku tahu dan aku sadar kalau mungkin sikap manjaku ini yang menjadi faktor terbesar ia mengambil cuti.

Aku juga tidak tahu dengan pasti, darimana datangnya sifat manja ini. Mungkin ini efek dari si jabang bayi yang ada dikandunganku. Oh, astaga, rasanya aneh memikirkan aku akan menjadi seorang ibu nanti.

"Kau baru saja meminum minuman dingin dan sekarang ingin es krim? di musim dingin? kau ingin mencelakakan anak kita?"

Bibirku mengerucut. "Yasudah, kalau kau tidak mau membelikan. Aku pulang saja," ucapku sambil memberenggut.

Jimin menghela napas melihat tingkahku, akhirnya walaupun terlihat berat, ia mengabulkan keinginanku. "Baiklah—kau ingin es krim apa?"

Mataku berbinar. "Es krim Strawberry dengan choco chips dan oreo!" Aku menjawab dengan cepat dan semangat. Berbanding terbalik dengan saat Jimin menolak keinginanku barusan.

Jimin terdiam sebentar lalu ia terkekeh, mengacak rambutku gemas hingga rambutku awut-awutan. "Ini yang terakhir ya, setelah ini, kau harus memakan apa yang aku perintahkan."

"Siap bos!"

"Aigoo—apa ini benar istriku?" Jimin menyentuh pipiku dengan kedua tangannya. "Kenapa kau jadi menggemaskan sekali." Jimin menjawil-jawil pipiku ke kanan dan ke kiri, mirip seperti saat seseorang memainkan boneka karet.

"Ya!—wepasshh ... ini sakkiitt," ucapku dengan susah payah.

Jimin malah tertawa. Menyebalkan.

Saat aku ingin protes lagi, ia menarik wajahku, mengecup bibirku selama tiga detik lalu melesat pergi menuju toko es krim yang tidak jauh dari mobil kami berada.

Aku berteriak sebal, ia sungguh ahli membuat orang kesal.

Bagaimana bisa ia hanya mengecupku? kenapa ia tidak menciumku lalu melumat—argghh astaga, otakku.

Sepertinya, kemesuman Jimin memang menular.

*

Seharian ini, kami sudah menyusuri hampir semua jalanan di wilayah ini. Dan entah sudah berapa kali, Jimin menghentikan mobilnya hanya karena aku muntah-muntah.

Sejujurnya, ini bukan karena mabuk darat. Kau tahu, rasa mual itu selalu menyerangku saat aku merasa kesal ataupun resah. Intinya, rasa mual ini begitu bergantung dengan moodku.

Jadi—seharian ini, Jimin begitu memanjakanku. Dan sejujurnya aku suka melihatnya seperti itu, rasanya seperti memiliki seseorang yang begitu menjagaku bak seseorang yang begitu berharga baginya.

"Kau akan membawaku kemana? aku ingin pulang." Aku memangku dagu dengan tangan, melihat ke luar jendela yang menampilkan pepohonan tak berdaun. Aku mulai merasa bosan.

"Tunggu sebentar lagi, aku sudah menyiapkan kejutan untukmu." Jimin berusaha menenangkanku tapi aku sudah pernah mendengarkan perkataan itu sejak tiga puluh menit yang lalu.

"Kejutan apa? sejak tadi kau bilang kejutan-kejutan, memangnya aku berulang tahun?"

"Hey—kemana perginya Dahyun yang manis dan manja tadi? kenapa kau jadi tidak sabaran begini?" Jimin melerikku sekilas, aku memajukan bibir sebal. "Hanya dua menit—oh itu dia! kita sudah sampai!"

Di detik kelima Jimin mengatakan itu, aku yang penasaran dimana kami berada saat ini malah ditarik, membuat wajahku kini hanya berjarak setengah centi dengan wajahnya.

"Kau jangan melihatnya dulu, nanti aku akan memberi aba-aba, baru kau boleh membuka mata."

"Wae? kenapa aku tidak boleh?"

"Ini kejutan, sayang. Rasanya tidak seru kalau kau mengetahuinya lebih dulu. Turuti permintaanku, oke?"

Aku mencebik kesal, tapi tak pelak aku mengangguk. Jimin membukakan pintu untukku, menuntunku berjalan sambil menutup kedua mataku dengan tangannya.

Jujur saja, ini sungguh kekanakan. Dan aku akan memarahinya habis-habisan jika kejutannya tidak sesuai espektasiku.

Namun, begitu Jimin memintaku untuk membuka kedua mataku di detik ke sepuluh, mulutku menganga. Aku terkagum melihat hamparan laut yang berubah warna menjadi ungu dengan serabut awan yang berwarna merah muda. Ini sangat indah, sungguh.

Rasanya seperti sedang masuk ke dalam dunia fantasi, dimana hanya ada kami berdua dengan matahari yang turun dari singgahsananya dengan begitu anggun.

"Kau suka?" tanya Jimin lembut, mengalun di kedua telingaku. Ia mengalungkan lengannya di perutku, memelukku dari belakang dengan menempelkan dagunya di ceruk leherku.

Aku memegang tangannya yang ada di perutku. "Neomu joha. Dari mana kau tahu kalau aku sangat menyukai sunset?"

"Kalau kau lupa, aku ini dulu adalah penguntitmu. Jadi—apa yang tidak aku tahu tentangmu?" Jimin terkekeh lembut, membuatku merasa geli karena ia tidak menyingkirkan kepalanya yang ada di ceruk leherku.

"Jimin—ini geli. Bisa kau lepaskan?"

"Jimin?"

Aku mendesah lelah. "Oppa, bisa kau lepaskan pelukan ini? aku tidak nyaman."

"Aninan shiro!" Jimin malah mempererat pelukannya dan dengan sialannya, ia menghembuskan napasnya di leherku, membuatku merasakan getaran aneh yang semakin membuatku tidak nyaman.

Matahari sudah benar-benar menghilang, langit menggelap dengan desiran suara ombak yang mengalun. Kami masih seperti ini, di posisi yang sama dengan saling menautkan tangan.

"Dahyun-ah."

"Hm?"

"Dahyun-aaah."

"Hmm??"

"DAHYUN-AAHH!!"

"AhhhWaee??!! "

Jimin malah tertawa lalu mengecup-ngecup pipiku. Dia ini kenapa sih?

"Oppa-ya, neo wae irre jinjja? " Aku berusaha mengelak tapi ia terus mengecupi pipiku hingga leherku.

"Neomu haengbokhae, yeobo." Jimin menyelipkan anak rambut yang menutupi wajahku ke belakang telinga. "Kau tahu, aku sempat menyesal karena kita tidak permah menghabiskan banyak waktu diluar rumah saat awal-awal pernikahan."

"Jadi—kau ingin mengatakan apa?"

"Jadi—mari kita menghabiskan waktu disini, aku sudah memesan kamar di hotel yang ada disana." Jimin menunjuk sebuah hotel besar yang ada di ujung kiri laut.

Jimin melepaskan pelukannya, ia meraih bahuku, membuatku kini saling menghadap dengannya.

"Dahyun-ah, maukah kau berjanji satu hal padaku?"

Aku mengangkat sebelah alis, raut wajahnya sungguh sulit dibaca dan sampai sekarang—aku masih belum tahu kemana arah pembicaraan ini. Yang, jelas Jimin terlihat berbeda.

"Berjanjilah, apapun yang terjadi pada kita suatu saat nanti, jangan pernah saling membenci."

"—Apa yang akan kau lakukan?"

Jimin tersenyum. Bukannya menjawab, Jimin malah mengusap lembit pipiku dengan tangannya. Perasaanku mulai tidak tenang.

"Aku akan mengantarmu ke hotel dulu, lalu aku akan pergi."

"Kemana?"

Langkah Jimin terhenti, ia menoleh sesaat. "Ke tempat Juan, aku sudah tahu dimana dia sekarang."

Tidak ada percakapan lagi diantara kami, bahkan setelah kami sampai di hotel, dan Jimin memarkirkan mobil di basement. Kami tidak saling berbicara, hanya tautan tangan yang semakin mengerat yang mengisyaratkan kekhawatiranku kepadanya.

"Aku pergi, ya. Mungkin aku akan kembali saat dini hari, jangan menungguku." itu yang dikatakan Jimin saat kami telah sampai di kamar selama lima belas menit.

Aku menahan tangannya saat ia hendak keluar, ia menatapku dengan tanya. "Apapun yang akan kau lakukan nanti, pastikan kau tidak akan terluka dan—jangan sampai kau menyesali apa yang telah kau perbuat."

Jimin tersenyum menenangkan, menatapku seolah berkata 'percaya padaku' lalu ia mengecup keningku lama sebelum berkata, "Aku pergi, ya."

Dan entah kenapa, aku terus merasakan firasat buruk.

Aku hanya bisa berharap dengan doa, semoga Jimin tidak melakukan apapun yang membuatnya terluka nanti.


•🍒•

Maaf kalo aneh😣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro