#12. It's Couse I've Love You
Senja,
dihari ke dua puluh dua.
°|445 words|•
Aku menatap pantulan diriku di air dengan tatapan menerawang. Sebisa mungkin aku mengosongkan pikiranku tapi selalu saja, otaku dipenuhi oleh Jimin, Jimin dan Jimin.
Entah sudah berapa ratus kali aku menyumpahinya.
"Kau bercanda, kan? yang kau ucapkan tadi pada ibumu itu semua tidak benar, kan?" tanyaku padanya begitu ia kembali setelah mengantar ibunya pulang.
Jim mengerutkan keningnya. "Apa aku terlihat sedang bercanda?"
Astaga, ingin sekali aku memenggal kepalanya sekarang juga. Bagaimana bisa ia membicarakan pernikahan dengan raut wajah seperti itu! dia pikir pernikahan itu main-main?
Tunggu, sepertinya aku pernah mendengar sesuatu tentang ini. Ayolah, kenapa ingatanku payah sekali.
"Kau tidak membaca pesanku? aku sudah memberitahumu kemarin," ucapnya santai.
"Kau memberiku pesan?"
"Iya, aku menyelipkan surat ke jendelamu kemarin."
"What the—hah ... kau berhasil membuat mood-ku hancur." Aku menggigit bibir bawahku dan membuang napas. "Bagaimana kalau seandainya aku menolakmu?"
"Kau tidak akan menolakku, aku tahu itu," ucapnya penuh percaya diri.
Aku teringat sesuatu, Jim pernah mengatakan sesuatu tentang ini; jika kau nanti diajak menikah oleh Jimin atau aku, jangan pernah diterima.
Ya, sekarang aku ingat, dia menyuruhku untuk menolaknya. Tapi, kenapa ia bertingkah seakan aku akan menerimanya? Bukannya ia yang menyuruhku untuk menolak?
"Aku tidak mau menikah denganmu."
Jim menatapku dingin. "Tidak. Kau harus."
Dia menarik tanganku, menyentuh tengkukku dan menyatukan bibir kami. Aku berusaha memberontak, aku tidak mau terbuai lagi olehnya tapi ia terus melumat bahkan menggigit bibirku hingga berdarah.
Begitu ia melepaskan ciuman sepihaknya, ia merengkuh pinggangku hingga kening kami saling bersentuhan dengan napas memburu.
Ini gila, tapi aku menyukainya.
Dia menyentuh pipiku, mengusap darah dibibirku dengan lembut. "Apa aku terlalu kasar?"
Aku menggeleng. Ia tersenyum, "Kau masih menolakku? Atau aku harus melakukan sesuatu yang lebih supaya kau mau menerimaku?"
Aku tidak menjawab. Aku hanya terus menatap matanya dengan perasaan campur aduk.
Kenapa ia jadi labil seperti ini, dia sendiri yang menyuruhku untuk menolak.
Takdir seolah mempermainkanku untuk selalu bertemu dengannya tapi disisi lain, aku begitu ingin terbebas darinya. Tak peduli seberapa keras aku menolak, aku tetap tidak bisa lepas darinya.
Aku menghembuskan napas pelan. Ini memang berat, tapi aku harus segera mengambil keputusan.
Ya, sepertinya Jim hanya bercanda saat bilang kalau aku harus menolaknya.
"Ya ... aku akan menikah denganmu."
"Thank you." Jim mengecup keningku lama. Dia tersenyum hangat. "Aku akan meminta pada ibuku untuk menyiapkan pernikahannya seminggu setelah kita lulus nanti."
Tanpa sadar, aku tersenyum saat ia memeluk tubuhku dengan begitu posesif. Aku dapat merasakan detak jantungnya yang abnormal sepertiku.
Ya, kurasa ini yang terbaik bagi kami.
Karena ya, kau tahu, aku sudah jatuh cinta padanya.
•🍒•
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro