Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 7

RULLY sedang sibuk mengukur sebuah meja kerja dengan alat ukur saat istrinya menghampiri dia dengan ponsel menempel di telinga kirinya. "Pah... ini kok si Alvan gak bisa ditelfon, sih?" tanya Adri, alias istrinya dengan gusar.

Rully menghentikan pekerjaannya mengukur ukuran meja demi menatap sang istri yang masih sibuk dengan ponselnya untuk menghubungi anak sulung mereka, Alvan. "Kenapa emang, Ma?" tanya Rully tenang, sama sekali tidak terpengaruh dengan kegusaran Adri sama sekali.

Adri menggigit bibir bawahnya. "Ini, bentar lagi kan waktunya Mou main di Smaland abis. Mama mau nyuruh Alvan jemput Mou," jawab Adri sambil masih berusaha menghubungi anak sulungnya.

Rully nampak berpikir sejenak, mengingat-ingat kemana terakhir kali Alvan pamit padanya tadi. "Oh Ma, tadi Alvan katanya mau liat-liat displayroom apartemen. Katanya kali aja ada desain bagus buat ngere-design kamar dia yang di apartemen."

Adri merengut. "Ih tuh anak, kurang apalagi coba kamarnya yang di apartemen kan udah di design sesuai kemauan dia! Di sebelah mana emang Pah?" tanya Adri bersungut-sungut.

Rully memutar pandangannya ke sekeliling dan kebetulan matanya langsung menangkap sosok Alvan yang sedang mencoba sebuah sofa berwarna merah marun tidak jauh dari tempatnya dan Adri berada. "Tuh Ma, anaknya lagi nyobain sofa udah kayak ibu-ibu mau beli perabotan aja," ucap Rully meledek anaknya sendiri. Memang sih, ngapain juga Alvan nyobain sofa seolah dia mau membelinya saja.

Adri mengikuti arah pandang suaminya dan berdecak saat menemukan anak sulungnya itu sedang bergoyang-goyang di atas sofa seolah mengetes seberapa empuknya sofa tersebut. Benar-benar kurang kerjaan Alvan itu. Kadang Adri mikir sendiri darimana Alvan menuruni sifat kurang kerjaan dan tidak jelasnya itu. Sepertinya kalau dari Rully tidak mungkin deh, mengingat seberapa seriusnya seorang Rully saat belum berpacaran dengan Adri. Ini sih tujuh puluh persen kemungkinannya menurun dari Adri.

"Yaudah Pa, Mama mau nyamperin si Alvan dulu, ya!" ucap Adri sambil meninggalkan suaminya dan berjalan ke arah anak sulungnya yang masih asyik mengguncang-guncang sofa. Ini antara kurang kerjaan dan norak beda tipis.

Rully sendiri hanya bisa menggeleng sambil dalam hati berdoa semoga Alvan dilindungi Allah SWT dari ocehan dan omelan Adri sebelum akhirnya Rully kembali berkutat untuk mengukur ukuran meja dan menyamakannya dengan ruangan kerja di rumahnya.

Oiya, jadi Rully sekeluarga ini sedang berada di IKEA Alam Sutera dalam rangka Rully yang ingin mendekorasi ulang ruang kerja di rumahnya. Karena kebetulan hari ini hari Sabtu, baik Rully, Alvan dan Maura sama-sama libur maka Rully sengaja mengajak istri beserta anak-anaknya untuk ikut, sekalian jalan-jalan keluarga di hari weekend.

Memang meskipun Rully ini sibuk sekali di kantor dengan jabatannya sebagai direktur utama merangkap juga sebagai owner PT. Royal Cendana tidak membuat Rully kehilangan waktu bersama keluarganya. Sebisa mungkin seminggu sekali Rully akan mengajak istri dan anak-anaknya untuk pergi, entah itu belanja, ke tempat wisata atau hanya sekedar makan di luar. Dan maka itu, di sinilah mereka sekarang.

Maura, anak bungsu Adri dan Rully yang baru duduk di kelas dua SD saat mereka semua baru sampai di IKEA langsung merengek ingin main di Smaland, semacam tempat bermain atau penitipan khusus untuk anak-anak yang disediakan IKEA dan setiap anak mendapatkan jatah waktu satu jam untuk bermain di sana. Dan sebentar lagi waktu Maura akan segera habis, maka Adri akan memerintahkan Alvan untuk menjemput adiknya itu.

"Van!" panggil Adri saat dia sudah cukup dekat dengan posisi Alvan.

Alvan refleks menoleh saat mendengar suara ibunya memanggil. "Kenapa, Ma?" tanya Alvan sambil bangkit dari sofa menghampiri ibunya tersebut. Firasat Alvan sih ibunya itu mau mulai mengoceh, entah apa yang sudah Alvan lakukan sampai-sampai ibunya itu menghampriinya.

"Van kamu jemput Mou, gih!" perintah Adri saat dia sudah berhadapan dengan anak sulungnya yang kini tingginya sudah melebihi tinggi Adri dan sebentar lagi tinggi Alvan akan menyusul tinggi Rully.

Alvan mengernyit. "Lah? Emang Papa udahan belanjanya?" tanya Alvan bingung. Secara belanja barang-barang untuk dekorasi ruangan gak mungkin banget sebentar.

"Belom, tapi waktunya Mou main tuh bentar lagi abis. Kamu jemput gih, sana!" perintah Adri lagi.

Alvan menghela nafas. "Iya, iya! Tapi Ma, lapeeer!" keluhnya sambil mengelus perut datarnya.

"Yaampun Van, tadi sebelum kesini kan kamu udah makan. Ini belum jam makan siang masa kamu udah laper sih?" tanya Adri sambil melirik jam tangannya yang baru menunjukkan pukul sebelas.

Alvan merengut. "Yatapi Ma udah laper lagi. Lagian makan siang kan bentar lagi, aku duluan makan deh sama Mou, ya?" pinta Alvan memelas.

Adri menggeleng-geleng tidak percaya sambil merogoh dompet di dalam tas tentengnya. Alvan ini memang di rumah juga kerjaannya laper terus. Tapi Adri tidak lagi heran sih soal kebiasaan Alvan yang mudah lapar itu, soalnya Adri juga seperti itu, bahkan sampai sekarang usianya sudah mencapai empat puluh lima tahun pun wanita itu kadang masih memiliki kebiasaan cepat lapar dan doyan makan.

Adri lalu memberikan dua lembar uang seratus ribuan kepada Alvan. "Awas kamu adeknya gak dikasih makan, makanan Mou jangan kamu embat kecuali kalau dia emang udah kenyang. Ok?"

Alvan mengerucutkan bibirnya. "Ma, yakali masa Alvan setega itu sama Mou!" ucapnya tidak terima tapi dengan cepat Alvan menambahkan, "btw makasih mamaku sayang!" katanya sambil mengecup kilat pipi Adri dan segera berlari pergi menuju eskalator untuk menjemput Maura.

***

"Mou... mainan hapenya nanti dong, makannya abisin dulu nanti kalau udah dingin pastanya jadi gak enak, lho!" ujar Alvan sambil mencolek-colek kepala adiknya yang sedang fokus bermain games piano tiles di ponsel Alvan.

"Mou-mou, mas Al ambil ya hapenya!" ancam Alvan karena Maura masih saja fokus dengan gadget tersebut.

"bentar mas Alvaaan, nanggung satu lagu lagi selesai!"

Alvan menghela nafas, akhirnya dia hanya bertopang dagu sambil memperhatikan adiknya itu menekan-nekan layar ponselnya dengan jemari mungil miliknya. Pergerakan jemari Maura sampai ekspresi gadis cilik itu ketika fokus bermain games membuat Alvan mau tidak mau gemas. Karena tidak tahan dengan rasa gemasnya terhadap Maura akhirnya Alvan melayangkan tangannya untuk mencubit pipi tembam adiknya membuat Maura berteriak karena cubitan Alvan menyebabkan Maura kehilangan fokus dan menyebabkannya kalah dalam permainan.

"ihhh, mas Alvan!!!"

Maura cemberut saat melihat dirinya telah kalah dalam permainan karena gangguan kakaknya yang malah tertawa girang melihatnya cemberut.

Bukannya merasa bersalah karena membuat bete adiknya, Alvan malah semakin gemas dan menangkup pipi tembam adiknya lalu ia cium hidung mungilnya membuat Maura semakin kesal dibuatnya.

"Mamaaa!" Maura sudah akan menangis dan dengan buru-buru Alvan mengusap-usap kepala adiknya.

"Ehh Mou, jangan nangis! Nih mas Alvan pinjemin hape lagi," ucap Alvan sambil menyodorkan ponselnya membuat Maura yang sudah berkaca-kaca langsung menatapnya berbinar. Namun sebelum ponsel itu berpindah tangan Alvan kembali menjauhkannya dan berucap, "tapi abisin makannya dulu, abis itu baru boleh main lagi, ok?"

Maura nampak berfikir sejenak sambil melirik ponsel Alvan yang sudah dijauhkan. "Oke," putusnya.

Alvan tersenyum senang karena berhasil membujuk adik kecilnya itu lalu dia menarik piring berisi kids pasta milik Maura lebih dekat ke arahnya. "Nih," ucap Alvan sambil memberikan garpu kepada Maura yang langsung mulai makan sesuai perintah kakaknya.

"Misi mas...boleh numpang duduk di sini gak? Soalnya kursinya udah pada pen—Alvan?"

Alvan terkejut mendapati sosok Ify yang sedang menggandeng seorang anak kecil dengan sebelah tangan dan sebelah tangan lagi membawa nampan. Hari itu Ify mengenakan t-shirt fit body, skinny jeans, sneakers lengkap dengan rambut yang di tata ponytail asal. Sumpah, Alvan baru tau penampilan sekasual ini bisa jadi terlihat sangat menarik. Apa karena dasarnya Ify memang menarik?

Alvan berdehem, mencoba membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba saja terasa kering. "Ify? Lo ngapain? Eh maksud gue, duduk sini Fy!"

Ify awalnya terlihat ragu namun akhirnya ia tetap mendudukan diri di kursi yang ada di hadapan Alvan setelah dia mendudukan terlebih dahulu anak kecil yang sejak tadi ia genggam tangannya.

Maura menatap kakaknya dan perempuan yang sepertinya teman kakaknya itu bergantian dengan tatapan penasaran.

Alvan mengusap tengkuknya canggung. Dia tidak menyangka akan berada di situasi semacam ini bersama Ify. Iya sih memang Alvan ingin memperbaiki hubungannya dengan cewek itu, tapi tidak tanpa persiapan apa-apa begini.

Ify sendiri diam saja dan memilih untuk menyuapi anak kecil di sampingnya. Kalau dilihat dari bagaimana miripnya mereka, Alvan yakin kalau bocah itu adalah adiknya Ify.

"Fy."

"Van."

Awkward.

Sumpah, dari banyaknya detik yang tersedia kenapa Alvan dan Ify memilih detik yang sama untuk memanggil satu sama lain? Hal ini jadi menimbulkan suasana canggung di antara mereka, seolah semesta sengaja membuat hubungan mereka semakin rumit.

"Lo duluan!"

"Lo duluan!"

Dan dari sekian banyaknya padanan kata, kenapa lagi-lagi mereka harus mengeluarkan kata yang sama di waktu yang sama pula?

Alvan dan Ify sama-sama mengalihkan tatapan mereka ke manapun asalkan bukan ke satu sama lain.

Alvan tidak habis pikir pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia yang cerewet, easy going dan tidak pernah kehabisan cara untuk menghidupkan suasana tiba-tiba jadi canggung dan gugup di depan satu orang cewek?

Alvan berani bersumpah kok kalau dia sudah sepenuhnya move on dari Ify. Tidak ada perasaan ingin memiliki lagi yang Alvan miliki terhadap Ify, hanya saja perasaan ingin kembali dekat itu jelas adanya. Ify adalah teman mengobrol yang cukup baik untuk Alvan, cara pikir Ify yang hampir selalu sama dengan Alvan membuat mereka selalu menyetujui banyak hal yang sama. Intinya, Alvan sangat klop dengan Ify.

"Dateng sama keluarga, Van?"

Sepertinya karena Alvan telah cukup lama diam, Ify berinisiatif untuk membuka obrolan. Persetan dengan canggung, mereka akan jauh lebih canggung kalau hanya duduk berhadap-hadapan dalam diam.

Alvan tersadar dari keterdiamannya. "Eh? Iya nih, lo juga?" tanya Alvan balik.

Ify mengangguk. "Iya tapi sama keluarga kakak gue dan gue jadi babysitternya dia," ucap Ify sambil menyentuh lembut kepala bocah laki-laki kecil di sampingnya yang sedang serius makan. "Adam, ayo kenalan sama omnya!" ucap Ify sambil menepuki pelan kepala bocah bernama Adam itu.

Alvan mendadak ingat keponakannya—anaknya Mas Randy alias kakak sepupunya, namanya Evan. Alvan juga sering jadi babysitternya Evan kalau dia ikut jalan-jalan dengan keluarga Mas Randy. Jangankan Evan, bahkan sekarang saja Alvan sedang membabysitter Maura. Ya meskipun usia Maura sudah menuju tujuh tahun sekarang.

"Halo, Adam?" sapa Alvan yang hanya dibalas oleh Adam dengan tatapan sekilas. Juteknya Adam entah kenapa mirip sekali dengan Ify.

Alvan lalu ikut menyuruh Maura memperkenalkan diri. "Mou, kamu juga kenalin diri sama kakaknya."

Maura yang sejak tadi diam malu-malu melirik ke arah Ify yang sedang menantinya memperkenalkan diri dengan antusias. "Maura..." ucapnya malu-malu dan sangat pelan.

Alvan terkekeh gemas. Maura ini entah kenapa kalau sama orang asing memang agak pemalu. Gak tau keturunan sifat darimana, mengingat Papa dan Mamanya orangnya santai abis dan agak gak kenal malu. Terutama Mama-nya. "Yeee apaansi Mou kok malu-malu gitu, hahaha!"

"Akhirnya ketemu juga ya sama Mou," ucap Ify sambil tersenyum.

Alvan jadi teringat bagaimana dulu waktu pdkt dia selalu membahas soal Maura kepada Ify membuat Ify seringkali bilang ingin bertemu dengan Maura. Sampai akhirnya mereka jadian, keinginan Ify itu belum terealisasikan dan baru sekarang di saat mereka sudah hampir dua bulan putus.

"Iya ya, baru kesampean sekarang malahan secara gak sengaja."

Tepat di hari itu, Ify dan Alvan memulai komunikasi lagi di antara mereka. Memang masih ada sisa-sisa kecanggungan yang amat terasa, Alvan juga tidak berharap terlalu berlebihan soal hubungan mereka ini akan kembali dekat seperti dulu, tapi setidaknya Alvan sudah bisa mengobrol lagi dengan Ify. Iya, setidaknya.

Sepertinya ada hikmahnya juga Alvan minta untuk makan siang lebih dulu kepada Mamanya, buktinya dia jadi bisa bertemu Ify dan kembali berkomunikasi dengannya.

Memang semua ini hanya kebetulan semata, tetapi Alvan selalu percaya, Tuhan selalu punya rencana di balik sebuah 'kebetulan'.

a/n: HAHAHAHAHHAHA bingung ya, ini Alvan jadinya sama Tara, Ify apa Alea? Sengaja! Wkwkwk. Tenang ini belum seutuhnya masuk ke plot cerita. Disini gue memang sengaja mau memperlihatkan hubungan Alvan dengan ketiga cewek-cewek ini dulu sebelum konflik utamanya masuk. Terima kasih untuk ya selalu ninggalin vote maupun commentnya. I'm nothing without you, guys! Ohiya btw noh gue nyelipin Adri-Rully yang udah jadi Mama & Papa hahahha. Kedepannya mereka juga bakal sering muncul kok untuk mengisi cerita si Alvan putra sulung mereka. Eaeaea. Yaudah sekian dulu, see you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro