Chapter 28
Alvan menatap Tara yang sejak tadi hanya diam saja di sebelahnya. Alvan tau semua ini pasti ada sangkut pautnya dengan keputusan Alvan untuk menerima tawaran Papanya untuk kuliah di Amerika. Tara mendadak jadi diam setelah Alvan memberi taunya perihal tersebut.
"Ra," panggil Alvan membuat Tara menoleh ke arahnya.
"hm?"
Alvan merasakan perasaan sedih ketika melihat Tara yang jadi diam saja begitu. Bahkan Tara menolak menatap lurus ke mata Alvan. "Lo gak apa-apa?" tanya Alvan ragu.
Tara berusaha mengulas senyuman, tetapi Alvan tau senyuman itu tidak dari hati. "Enggak kok," jawabnya.
Alvan menatap Tara, mencoba membuat Tara jujur padanya.
Ditatap sedemikian seriusnya membuat Tara risih, "apasih Van, ngeliatinnya kok gitu?" tanyanya sambil berusaha menutupi pandangan Alvan dengan kedua tangannya.
Alvan lalu memegang tangan Tara yang sedang berusaha menutupi pandangannya, tetapi Tara bersikeras untuk tetap menutupi penglihatan Alvan. Dengan sedikit mengerahkan tenaga akhirnya Alvan bisa membuat tangan itu terlepas dari matanya. Tetapi belum sempat Alvan melihat wajah Tara, cewek itu buru-buru menjatuhkan kepalanya di bahu Alvan dengan posisi menunduk. Alvan ingin menegakkan tubuh pacarnya itu tetapi urung ketika merasakan tubuh Tara bergetar di bahunya.
Tara menangis. Taranya menangis.
Yang Alvan rasakan saat itu adalah perasaan bersalah. Alvan merasa bersalah sudah membuat pacarnya itu sedih. Dan tidak ada yang bisa membelah hati Alvan selain melihat orang-orang yang disayanginya bersedih.
Alvan akhirnya memutuskan memberikan waktu bagi Tara untuk menangis di bahunya. Alvan tidak perduli jika kausnya akan basah oleh air mata Tara. Toh Tara menangis juga karenanya.
Cukup lama mereka bertahan dalam keadaan seperti itu, perlahan Alvan merasakan getaran di tubuh Tara berhenti. Tetapi Tara tidak juga kunjung mengangkat wajahnya membuat Alvan akhirnya berinisiatif menegakkan tubuh pacarnya.
Alvan memegangi kedua bahu Tara sambil menatap wajah pacarnya yang sudah basah oleh air mata dengan tatapan sendu. Diusapnya air mata yang masih sesekali menitik dari mata indah pacarnya itu dengan ibu jari.
"Jangan nangis dong, gue gak punya balon buat ngehibur lo," kata Alvan berusaha bercanda.
Tara akhirnya terkekeh kecil meskipun masih ada air mata menggenang di matanya. Dia menyeka sendiri air mata itu sebelum jatuh mengenai pipinya. "Apaandeh, receh banget candaan lo."
"Yang penting lo senyum," kata Alvan sambil mencubit kecil pipi Tara. "Gue gak sanggup liat lo nangis, Ra."
"Does it hurt you?" tanya Tara.
Alvan menggeleng, "lo jelek banget abisan kalo mewek."
"ALVAN IH!" omel Tara sambil melayangkan sebuah cubitan di pinggang Alvan.
Alvan meringis kesakitan sambil tertawa pelan. Tapi tiba-tiba Alvan menghentikan tawanya dan menggenggam tangan Tara. "Gue berangkat dua minggu lagi, Ra."
Tara nampak terkejut. Dia tidak menyangka jika Alvan akan meninggalkannya secepat ini. Bahkan Tara masih belum bisa sepenuhnya menerima jika Alvan akan kuliah di Amerika. Ini lagi perginya hanya tinggal dua minggu. Dua minggu!
"Gue kesana untuk ikut test. Terus gue harus nunggu sampe pengunguman. Kalo gue lulus, gue harus stay di sana untuk ngurusin berkas-berkas dan segala macemnya sekitar satu bulan. Kuliahnya sih mulai awal musim gugur, karena sekarang masih masuk summer breaks, mungkin gue akan balik ke sini dulu sebelum kuliahnya mulai nanti sekalian packing barang gue selama di sana."
"Kalo lo gak lulus?" tanya Tara.
Alvan mengedikkan bahunya, "I don't know. Mungkin gue bakal ikut ujian mandiri di sini atau yah entahlah, mungkin bokap gue udah punya planning cadangan."
Tara tidak ingin bersikap egois. Sungguh. Dia sama sekali tidak ingin menahan Alvan. Lagipula Alvan pergi ke Amerika untuk menuntut ilmu, bukan untuk meninggalkan Tara. Tetapi rasa sedih dan tidak ikhlas itu juga tidak bisa Tara tahan. Dia sudah terlalu terbiasa dengan kehadiran Alvan secara nyata, bukan hanya sekedar di layar telepon genggam. Tara pasti, pasti akan menerima keputusan Alvan itu. Tetapi dia butuh waktu untuk benar-benar menerimanya.
Tapi waktu yang tersisa untuknya bersama Alvan bahkan hanya tinggal dua minggu!
Melihat wajah Tara yang kembali sendu, Alvan langsung menggenggam tangan pacarnya. "Gue tau ini bakal susah, tapi...gue harap lo masih mau jalanin ini sama gue, Ra."
Tara mengerjapkan matanya, menatap balik Alvan tepat di bola mata. Tara tau bukan hanya dirinya yang bersedih, Alvan juga terlihat sedih. Maka Tara berusaha memasang senyuman dan mengangguk, membuat Alvan menghela nafas lega.
***
Rumah kediaman keluarga Ruliano Permana nampak sudah ramai sejak tadi pagi. Sebuah mobil box pengantar katering kini sedang terparkir rapi di halamannya. Beberapa orang berseragam putih hitam nampak lalu lalang membawa kuali-kuali besar berisi makanan ke ruangan yang sudah di siapkan untuk meletakkannya.
Di ruang tengah rumah yang besar, kini sudah digelar karpet hampir menutupi semua lantai ruang tengah. Seorang wanita yang memang bekerja di rumah itu sebagai asisten rumah tangga nampak sedang merapikan ujung-ujung karpet yang terlipat, sedangkan seorang lagi sedang membersihkan karpet tersebut dengan vacuum cleaner.
Si nyonya pemilik rumah nampak sedang mondar-mandir sambil berbicara dengan seseorang di telfon. "Iya Pak, bisa gak kalau anak-anaknya ditambah sepuluh orang lagi? Iya... maaf banget Pak karena saya mendadak ngasih taunya, memang rencana awalnya kami minta lima belas saja, tapi ternyata suami saya tadi pagi baru ngasih tau kalau dia terlanjur memesan bingkisan untuk dua puluh lima orang. Iya, Pak."
"Oke, terima kasih ya Pak. Kami tunggu." Setelah panggilan terputus, Adri lalu meletakkan telepon rumah wireless itu di atas meja. Kemudian dia berjalan ke arah ruangan sebelah dapur yang kini dijadikan tempat meletakkan panci-panci besar berisi makanan katering.
"Mas," panggil Adri kepada salah seorang petugas katering yang ada di sana.
"Iya, bu?"
"Meja prasmanannya siapin aja sekarang, buat nanti sarapannya teman-teman anak saya."
Mas-mas itu pun mengangguk dan langsung memerintahkan rekannya untuk membantunya menyiapkan meja prasmanan.
Saat Adri berjalan kembali ke ruang tengah, dia menemukan Alvan yang baru saja turun dari lantai atas, sudah mengenakan kemeja putih. Bukan tipe kemeja formal, tapi lebih mirip baju koko berlengan pendek.
"Mama kok belum dandan?" tanya Alvan melihat Mamanya masih dengan rambut penuh roll. Wajah Mamanya juga nampak masih polos belum bermake up. Hanya saja Mamanya itu sudah terbalut baju kaftan berwarna putih gading.
Adri menepuk jidat, "yaampun mama lupa, abis mama sibuk ngecekin persiapannya sih."
"Lagian mama, kemaren 'kan tante Natasha sama om Arkan nawarin bantuan tapi Mama malah nolak katanya bisa nyiapin semua sendiri. Lagipula acaranya kenapa harus segede ini sih?"
"Tante kamu itu 'kan juga lagi repot, Ayahnya abis masuk rumah sakit. Gak lucu Mama nambah ngerepotin dia. Lagian Mama seneng kok, 'kan acara ini untuk kamu."
Alvan menghela nafas. Dia tidak akan pernah bisa membantah wanita yang sudah melahirkannya tersebut. Dan memang Alvan tidak berniat untuk membantahnya.
"Papa sama Mou belum balik ngambil bingkisan. Ma?" tanya Alvan karena melihat tidak ada tanda-tanda dari adik dan Papanya itu.
Adri mengangguk. "Iya. Eh anak yatimnya nambah sepuluh orang Van, jadi semuanya dua puluh lima."
Alvan mengernyit, "kok?"
"Papa kamu kemaren mesen bingkisannya buat dua puluh lima ternyata. Yaudahlah gak apa-apa, makin banyak yang doain makin bagus. Nanti kalau misalnya sempit, temen-temen kamu ajak ke atas atau halaman belakang aja. Nanti juga 'kan keluarga dari Papa kamu bakal banyak yang dateng, belum lagi tetangga sini, guru-guru sekolah kamu..."
"Mama lagian bikin syukuran apa pesta nikahan coba, ngundangnya banyak amat!" komentar Alvan.
"Ih kamu tuh ya, ini 'kan sebagai rasa bersyukur aja kamu udah keterima di Whorton. Sekalian minta doa untuk keselamatan, kesehatan dan kesuksesan kamu di sana. Amerika-Indonesia itu gak deket loh, Van. Kamu hidup di negara yang kulturnya jauh beda dari negara kita. Negara dan orang-orangnya asing buat kamu. Apa salahnya minta sama Allah 'kan?"
"Iya Mama ku sayang... udah gih Mama dandan, nanti tamunya keburu dateng loh."
Mendengar ucapan Alvan, Adri pun langsung buru-buru naik ke lantai atas.
Alvan lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah. Tiga hari lagi adalah hari keberangkatannya kembali ke Amerika dan Alvan tidak akan kembali ke Indonesia sampai libur musim dingin nanti. Dia akan meninggalkan orang-orang terdekatnya untuk pertama kalinya dalam waktu yang cukup lama dan jarak yang sangat jauh.
Alvan sudah resmi menjadi mahasiswa Whorton Business School. Dan Alvan akan mengambil program sarjana di sana. Yang itu berarti kurang lebih 4 tahun Alvan akan menetap di sana.
Alvan sih sudah membuat planning untuk selalu pulang ke Indonesia setiap holiday season. Tapi entahlah, manusia 'kan hanya bisa berencana sedangkan keputusan tetap berada di tangan Tuhan.
Sekali lagi Alvan memandangi rumahnya. Alvan lalu menghela nafas sambil berucap dalam hati. Gue bakal kangen banget sama suasana rumah ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro