Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 27

Pekan UN sudah berlalu. Anak-anak kelas dua belas kini sedang menikmati kebebasan mereka sebelum nanti kembali dibuat pusing oleh seleksi ujian masuk universitas.

Hubungan Tara dan Alvan masih berjalan dengan baik. Mereka juga masih datang ke tempat bimbel untuk persiapan SBMPTN kalau-kalau nanti mereka tidak lulus SNMPTN.

"Besok pengunguman SNM nih, Ra, lo deg-degan ga?" tanya Alvan saat mereka sedang duduk menunggu sate padang pesanan mereka jadi.

Tara menggeleng, "gak tau ya perasaan gue biasa aja. Bukannya karena yakin bakal lolos tapi gatau deh, biasa aja. Lo?"

Alvan mengangguk, "sama, gue juga kok biasa aja. Tapi kayaknya gue biasa aja karena tau gak bakalan lolos sih. Saingan gue Fadhil."

Tara tertawa. "Jangan pesimis, orang beruntung kadang bisa ngalahin orang pinter loh, Van."

Alvan mengangguk membetulkan, "iyasih, tapi gue gak ngarep-ngarep amat juga sih. Gue aja kayak masih labil gitu Ra mau masuk mana terus ngambil apa."

Tara terdiam. Dia sudah sering membahas ini dengan Alvan. Alvan yang masih labil tentang pilihan jurusan dan universitas mana yang akan dia ambil.

"Apa gue ambil IPB aja kali, ya?"

Tara terbahak. "Ngaco lo, ya, lo kan IPS, mau ambil apaan coba di IPB? Emang lo sanggup lintas jurusan?"

"Ya enggak sih, tapi gue tertarik sama kedokteran hewan deh."

"Ih jangan Van, jangan jadi dokter hewan," kata Tara tidak setuju membuat Alvan bingung.

"Emang kenapa?"

"Takut nanti lo jatuh cinta sama pasien lo, Van," ucap Tara sambil memasang wajah pura-pura sedih. Sedetik kemudian Alvan baru sadar apa maksud Tara.

"Hehh, maksud lo gue jatuh cinta sama hewan?!"

Tara terbahak. Apalagi ketika Alvan langsung memegang tengkuknya membuat Tara menggelinjang kegelian, tetapi aksi lovey-dovey mereka terhenti ketika abang tukang sate menyajikan sate pesanan mereka berdua.

Alvan sedang asyik menikmati satenya ketika ponsel di kantung celananya bergetar. Alvan melirik Tara yang juga sedang serius menikmati satenya sebelum akhirnya mengeluarkan ponselnya untuk mengecek notifikasi. Dan ternyata dari grup.

Ariano Devandra:

Ariano Devandra: Manis banget ya esnya

Ariano Devandra: Jadi pengen bungkus yang punya :)

Putrandi Wijaya: Subhanallah

Haryo Adji P: Subhanallah (2)

M. Fadhil Akbar: inalillahi

Putrandi Wijaya: Kok inalillahi sih Dhil?

Ariano Devandra: Tau lo Dhil parah, emangnya Tara musibah apa

M. Fadhil Akbar: Itu inalillahi buat lo, No.

M. Fadhil Akbar: bentar lg lu palingan tewas ama Alvan

Alvan S Permana: WEY NGAPAIN LU NGESHARE FOTO CEWE GUE

Ariano Devandra: Norak lu van

Ariano Devandra: Tara jg khilaf kali jadi cewe lu

Ariano Devandra: entar gue bikin Tara eling biar dia sadar

Ariano Devandra: Kalo I'm the one for her

Alvan S Permana: :)

Putrandi Wijaya: Besok kalo ada mayat tanpa identitas hanyut di got itu berarti Nino

Putrandi Wijaya: Dan pelakunya si Alvan

Haryo Adji P: Guys, lusa acara pertunangan gue

Haryo Adji P: Pada dateng ya

Alvan S Permana: Anjrit YOOOO

Alvan S Permana: Kamu sudah dewasa ya nak

Alvan S Permana: Gak kerasa mama udah membesarkanmu

Alvan S Permana: Kamu udah bisa menyematkan cincin di jari manis cewe toh ndok

Putrandi Wijaya: ANJAY TEMEN GUE ADA YG MAU KAWIN

Putrandi Wijaya: Ngapa gua yg excited yak

M. Fadhil Akbar: tunangan tra

Putrandi Wijaya: Abis tunangan kan kawin Dhil

Alvan S Permana: Kawin emangnya kucing

Ariano Devandra: Tra kita harus siap2 Tra

Putrandi Wijaya: hah?

Ariano Devandra: beli tuxedo, kemeja, celana, gatsby,parfum

Ariano Devandra: deodoran jgn lupa

Ariano Devandra: mouth spray jg

Ariano Devandra: waktunya kita berburu cewe Tra

Ariano Devandra: masa kita mau masuk kuliah masih aja jomblo

Haryo Adji P: gue ngundang lo pada buat support gue edan

Haryo Adji P: malah nyari pacar

Haryo Adji P: gendeng

Alvan S Permana: believe me, selama lu berdua masih pake 1 otak bareng-bareng

Alvan S Permana: gabakal ada yg mau ama kalian

Ariano Devandra: emang dasar TRA lu van

Haryo Adji P: TRA?

M. Fadhil Akbar: TRA? (2)

Alvan S Permana: TRA? (3)

Putrandi Wijaya: TRA?(999ampejebol)

Ariano Devandra: Teman Rasa Anjing :)

Alvan S Permana: IH sama dong kyk kamu No

Alvan S Permana: tapi kalo kamu MRT

Ariano Devandra: Apatuh MRT?

Alvan S Permana: Monyet Rasa Teman

Putrandi Wijaya: Bazing lu van wkwkwkwkw

Haryo Adji P: wkwkwkwkwk

M. Fadhil Akbar: wkwk

Ariano Devandra: senang sekali kalian kalo menghina orang

Ariano Devandra: semoga Tuhan membalas

Ariano Devandra: tolong Nino ya Allah :(

Ariano Devandra: Nino teraniaya oleh teman2 bangsat Nino:(

***

Alvan menatap Adri dan Rully bergantian dengan sebuah kertas di tangannya.

University of Pennsylvania: Wharton Business School

"Ini apaan, Pa, Ma?" tanya Alvan bingung.

Adri dan Rully saling pandang. Lalu Adri memberi kode kepada Rully agar suaminya itu mau menjelaskan kepada anak sulung mereka.

"Biar Papa aja yang ngomong, Ma," ucap Rully lembut kepada Adri.

Adri mengangguk lalu memilih keluar dari ruang kerja suaminya itu meninggalkan dua laki-laki paling dicintainya itu berbicara empat mata.

"Gimana kalo kamu masuk ke sana aja?" tanya Rully hati-hati selepas kepergian Adri.

Alvan tidak bereaksi. Dia hanya diam sambil memandang kertas di tangannya tersebut sekali lagi. "Ini di Amerika, Pa."

"Iya, tapi itu salah satu universitas dengan jurusan bisnis terbaik di dunia, Van. Katanya kamu mau lanjutin perusahaan keluarga kita?"

Alvan terlihat ragu. Iya sih, Alvan memang sejak dulu selalu bilang kalau dia kelak ingin membantu perusahaan keluarganya. Bahkan Alvan bercita-cita bisa jadi CEO yang sukses seperti Papanya sejak usia muda. Tapi...Alvan tidak menyangka jika dia harus meninggalkan Indonesia untuk meraih keinginannya tersebut.

"Kamu masih lebih beruntung daripada Papa, Van. Waktu itu Papa sekolah bisnis karena dipaksa sama keadaan. Memang Papa kuliahnya di Indonesia, tapi setiap hari Papa harus di didik sama guru kepercayaannya Opa kamu untuk mempelajari seluk beluk perusahaan dalam waktu singkat. Bahkan sebelum Papa lulus, Papa udah harus kerja di perusahaan. Padahal waktu itu Papa sama sekali gak punya passion di dunia bisnis." Rully lalu menepuk lembut bahu Alvan.

"Beda sama kamu yang dari awal memang tertarik sama dunia bisnis. Makanya Papa suka ajak kamu ke kantor, ngenalin kamu sedikit-sedikit sama perusahaan kita supaya kamu gak kaget nanti. Papa sih gak akan maksa kamu buat nerusin perusahaan kalau memang kamu gak ada ketertarikan di sana. Tapi ternyata kamu sendiri yang punya mimpi untuk nerusin bisnis kita. Papa bangga sama kamu, Van."

Alvan menatap Papanya gamang. "Tapi apa harus ke Amerika, Pa?"

"Kamu emang gak mau? Bukannya daridulu kamu kepengen banget kuliah di luar negeri?" tanya Rully mengernyit. Lalu Rully tersenyum paham. Dia mengerti apa yang menjadi sumber kekalutan anaknya. "Tara, ya?" tanya Rully sambil memainkan sebelah alisnya, menggoda.

Alvan menghela nafas. "Gak Cuma Tara sih Pa. Alvan kayaknya takut gak siap aja jauh dari Mama, Papa, Mou, Opa Her, Oma Vani, temen-temen Alvan."

"Dan Tara, iya?"

"Iyalah. Papa kayak gak pernah pacaran aja. Papa sih enak, dulu Mama 'kan sekretaris Papa, kemana-mana pasti ikut."

Rully terbahak. "Kamu tuh ya. Kuliah aja belum jelas kemana udah mikirin cewek," ucap Rully bercanda.

Untung Rully bukan merupakan tipe orang tua yang kolot yang membatasi anaknya soal percintaan. Bagi Rully sudah sewajarnya anak remaja seperti Alvan memiliki pengalaman soal cinta-cintaan. Perannya sebagai orang tua adalah untuk memantau agar anaknya tidak melanggar batas.

"Serius Pa. Gak kebayang Alvan kalau harus jauh dari keluarga juga. Papa tau sendiri 'kan Alvan belum bisa hidup mandiri."

"Kamu nanti tinggal di rumah tante Andara, Van. Rumahnya mereka gak begitu jauh dari kampus kamu, makanya Papa pilih kampus itu yang kebetulan juga emang akreditasnya bagus."

"Tante Andara 'kan tinggalnya Cuma berdua sama Om Steve, makanya mereka seneng banget waktu tau rencana Papa masukin kamu ke sana."

Alvan terdiam sambil berfikir. Tidak perlu ada yang Alvan khawatirkan soal tempat tinggal dan kehidupannya di sana. Tinggal bersama tantenya itu tidak akan jauh berbeda dengan tinggal bersama Mama atau Papa, mengingat betapa tante Andara sangat menyayangi Alvan dan selalu menganggap Alvan anaknya sendiri.

"Gini deh, kamu pikirin tawaran ini lagi setelah pengunguman SNMPTN aja gimana?"

"Tapi 'kan masih ada SBM...tapi Alvan pikir-pikir dulu, deh, Pa, menyangkut masa depan soalnya."

Rully mengangguk mengerti. Benar kata Alvan, ini menyangkut masa depannya. Rully memang orang tua Alvan, tetapi kewajiban Rully hanya sebatas merawat dan membimbing anaknya menjadi anak yang benar, bukan berarti Rully yang memutuskan kehidupan seperti apa yang harus Alvan jalankan.

"Yaudah, tapi secepatnya ya, Van. Pendaftarannya cuma dibuka sebentar karena yang berminat daftar itu banyk banget. Apalagi kamu juga harus ikut ujian saring untuk masuk ke sana."

"Sip, pak bos!"

***

Alvan menatap layar ponselnya yang menyatakan kalau dirinya tidak lolos SNMPTN. Itu berarti Alvan masih harus berjuang lewat ujian jalur SBM dan juga memikirkan tentang tawaran Papanya untuk kuliah di Amerika. Jujur saja, ada rasa kecewa dan sedih dalam diri Alvan begitu tau dia tidak lolos, tapi Alvan juga tau kok, kalau nilainya tidak cukup untuk bersaing dengan Fadhil. Tapi Alvan masih saja nekat untuk memilih jurusan di universitas yang sama dengan Fadhil.

Dan kekecewaan Alvan kini bertambah dengan kegalauannya untuk meneruskan kuliah. Apa dia harus tetap ikut seleksi PTN lewat jalur SBM, atau memilih menerima tawaran Papanya untuk kuliah bisnis di Amerika.

Dering ponselnya menarik Alvan secara paksa dari pikirannya. Dan Alvan menemukan nama Tara di layar ponselnya.

Tara Andini: Van gue lolossss

Tara Andini: Ya Allah seneng bgt masaan yaa<3

Tara Andini: Lo gimanaaa?

Alvan S Permana: Congrats sayang

Alvan S Permana: Belom beruntung gue, hehe

Tara Andini: yah...makasih btw

Tara Andini: Van, are u ok?

Alvan S Permana: I'm ok :)

Alvan S Permana: Cuma nyesek aja dikit wkwk

Alvan S Permana: Cie pacar gue calon ibu guru Tk<3

Alvan S Permana: Anak orang aja dididik apalagi anak kita nanti

Tara Andini: lo masih di kantor om Rully, Van?

Ohiya dan saat ini Alvan memang sedang bertandang ke kantor Papanya. Seperti yang Rully bilang, dia memang sering mengajak anak sulungnya itu ke kantor untuk sedikit-sedikit mengenalkan seputar perusahaan kepadanya. Meskipun di kantor Papanya itu Alvan hanya duduk diam di ruangan Rully menikmati jaringan wifi atau sekedar keliling kantor memperhatikan kesibukan yang terjadi di kantor pimpinan Papanya itu.

Alvan S Permana: Masih, kenapa?

Tara Andini: Di tempat umum apa dimana?

Alvan S Permana: Di ruangan bokap sih, sepi. Kenapa?

Tara Andini: calling you by video call

Alvan mengerjap kaget saat mendapatkan panggilan video dari Tara. Tanpa pikir panjang Alvan langsung menerima panggilan tersebut. Beberapa saat kemudian muncul wajah Tara dengan rambut tergerai. Posisi Tara seperti sedang dalam keadaan tiduran.

"Katanya gak apa-apa?" tanya Tara dari sebrang.

"Emang gak apa-apa kok, emang kenapa gue?"

"Muka lo suram... senyum coba kalo beneran gak apa-apa."

Alvan memaksakan sebuah senyuman. Tara lalu balas tersenyum meskipun dia tau senyuman Alvan tidak tulus.

"Banyak jalan menuju Roma. Masih ada SBM sama ujian mandiri, Van, gak usah putus asa."

"Tau kok. Cuma yaa gimana ya tetep aja kecewa."

Alvan bisa melihat Tara tersenyum lembut di sebrang sana mencoba menenangkan Alvan. "Boleh kecewa, asal gak boleh berlarut-larut!" katanya.

Alvan mengangguk. "Iya..." lalu Alvan tersenyum, "makasih ya, Ra."

Tara ikut tersenyum senang melihat senyuman Alvan kini sudah lebih tulus. "sama-sama, sayang."

Alvan terkejut mendengarnya, "apa Ra? Barusan lo bilang apa?" tanyanya memastikan.

Tara memasang wajah pura-pura polos, "sama-sama."

"Bukan-bukan, abis sama-sama!"

"Halusinasi kali lo, enggak ngomong apa-apa kok."

Alvan seketika cemberut. "Padahal udah seneng tuh gue denger lo ngomong gitu."

"Ngomong apa sih sayang?"

"IYA IYA ITU!"

Tara terkekeh, "Uuu sayangku, tayang-tayangku jangan cedih lagiii."

Alvan langsung memasang wajah datar. "Gak gitu juga, Ra," katanya dan berhasil membuat Tara tertawa.

Melihat tawa Tara, entah kenapa kekecewaan Alvan sedikit berkurang. Ya tentu saja tidak sepenuhnya hilang karena Tara dan soal universitas jelas dua hal yang berbeda. Tetapi yang Alvan tau, dia beruntung memiliki Tara sebagai pacarnya saat ini. Karena gadis itu ada untuk selalu menyupportnya.

"Gue sayang lo banget, Ra," kata Alvan dan dia bisa melihat Tara tersenyum sambil membalasnya.

"Me too, Van."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro