Chapter 25
Alvan mempercepat laju motornya ketika hujan mulai mengguyur. Alvan tidak khawatir sama sekali kalau dia harus kehujanan, masalahnya adalah pada cewek yang sedang diboncengnya. Cowok itu khawatir cewek itu sakit jika kehujanan.
"Ra, neduh dulu ya?" teriak Alvan melawan desingan angin dan bunyi hujan.
"Gak usah, Van, nanggung!" teriak Tara balik.
Memang benar sih, sebentar lagi mereka akan sampai di rumah Tara. Maka akhirnya Alvan memutuskan untuk terus melajukan motornya. Tidak sampai tiga menit akhirnya mereka pun sampai.
Tara buru-buru melompat turun dari motor Alvan dan membuka pagar agar motor Alvan bisa masuk.
Keduanya lalu sama-sama tertawa melihat kondisi masing-masing yang basah kuyup.
"Gila ujannya gaje banget, di mampang tadi sama sekali cerah padahal."
Alvan tertawa sambil melepas jaketnya yang agak basah. "Untung kita pake jaket, Ra."
Tara mengangguk. "Yaudah yuk masuk," ajaknya pada Alvan sambil berjalan masuk.
Alvan pun mengikuti Tara. Dan sudah tidak canggung lagi masuk dan duduk di kursi ruang tamu.
Teh Ulan muncul dari belakang saat Tara sedang melepas jaketnya. "Ehh, mbak Tara keujanan?" tanyanya heboh.
Tara terkekeh, "kecebur Teh, bukan keujanan." Katanya bercanda.
Teh Ulan tertawa, "bisa aja si mbak. Ehh, aya mas Alvan."
"Kumaha damang, teh?" tanya Alvan dengan logat sunda yang dibuat-buat.
"Pangestu, mas."
Alvan mengernyit mendengar jawaban Teh Ulan. "Apa? Pangestu? Nama artis?"
Tara terbahak, "ngaco lo. Makanya jangan suka sok tau hahaha. Teh, bikinin minuman anget ya."
Teh Ulan mengangguk lalu segera berlalu ke dapur.
"Van, gue ganti baju dulu ya? Sekalian ngambilin baju Dimas buat lo," kata Tara pada Alvan.
Alvan tersenyum, "gak usah Ra, gue gak apa-apa kok."
Tara menggeleng tidak setuju. "Enggak Van, nanti masuk angin. Dua minggu lagi tuh kita udah mulai try out, harus jaga kesehatan."
Alvan akhirnya mengangguk pasrah. Toh sebenarnya dia juga risih pakai pakaian basah.
Tara kembali ke hadapan Alvan setelah berganti baju mengenakan pakaian rumah. Lalu Tara menyerahkan sebuah kaus polos berwarna abu-abu milik Dimas beserta celana training dan handuk. "Nih," katanya yang langsung diterima Alvan.
"Celananya gak usah kali ya, celana gue gak basah-basah banget."
"Eum terserah aja."
Alvan mengangguk lalu membawa pakian itu ke kamar mandi untuk ganti.
Ketika Alvan selesai berganti baju, Alvan menemukan Tara sedang duduk di sofa di ruang tv. Di depannya sudah ada dua gelas berisi coklat yang terlihat masih mengepulkan asap menandakan minuman itu masih panas. "Sini aja Van, sambil nonton," ajak Tara ketika menyadari Alvan sudah selesai berganti baju.
Lantas Alvan langsung menghampiri Tara dan mengambil posisi duduk di sebelahnya. "Pada kemana Ra, kok sepi amat?"
Tara sedang berkutat dengan remote tv saat menjawab, "Mama lagi arisan kayaknya, terus kalo Dimas lagi tidur soalnya dia lagi gak enak badan dari pagi, kayaknya sih dia tadi pulang cepet juga."
Alvan mengangguk-anggukan kepalanya. "Terus si Dimas udah ke dokter?"
Tara menggeleng, "udah kayaknya gue liat bungkusan obat di kamarnya tadi."
"Mungkin dia tidur karena efek obat juga, kali."
"Mungkin."
Kemudian hening. Baik Alvan dan Tara tidak tau lagi harus membahas apa. Maka mereka memutuskan untuk memfokuskan diri ke tv.
Hujan di luar sangat lebat, sesekali suara petir terdengar.
Mereka berdua tidak biasanya begini. Biasanya selalu saja ada topik untuk dibahas, tetapi tidak hari ini. Mereka berdua memilih diam berkutat dengan pemikiran masing-masing.
Hening melanda sampai akhirnya Alvan bersuara. "Ra, kemarin Fadhil beneran ke rumah lo?"
Tara menoleh ke arah Alvan dengan bingung, "iya, kenapa?"
Alvan tidak menatap Tara balik, dia masih menatap layar televisi meskipun pikirannya tidak benar-benar ke sana.
"Ngapain aja?"
Tara semakin mengernyit, "ngerjain tugas. Kenapa emangnya?"
"Kok lo gak bilang?"
"Hah? Gue bilang kok sama lo."
"Iya, itu karena gue yang nanya. Maksud gue kenapa lo gak bilang saat itu juga pas Fadhil mau ke rumah lo?"
Tara mengerjapkan matanya, entah kenapa dia jadi merasa dituduh. Tiba-tiba dia teringat pesan dari Fara yang mengatakan melihat Alvan dan Ify berduaan di kedai kopi.
"Lo juga, lo gak bilang-bilang kalau lo jalan sama Ify."
Alvan mengernyi. "Jalan? Gue gak—Oh! Itu bukan jalan, Ra, tunggu deh, kok lo ngalihin pembicaraan? Kita 'kan lagi bahas lo sama Ify."
Tara terbelalak. Bahkan Alvan sampai salah menyebut nama Ify. "Ify?"
Alvan mengerjap, "eh kok Ify, maksud gue Fadhil!"
"Kok lo jadi ngegas gitu sih?" tanya Tara terlanjur kesal.
"Gue gak ngegas! Lonya aja kali yang sensitif."
"Gue gak sensi. Emang lo ngegas kok, kenapa? Karena gak mau gue bawa-bawa Ify, ya?"
"Kok jadi Ify, sih? Kita 'kan lagi bahas lo sama Fadhil!"
"Gue gak ngapa-ngapain sama Fadhil. Lo kali tuh yang sama Ify ngapain di starbucks."
"Di starbucks minum kopi lah, lo tuh yang ngapain berduaan di rumah sama Fadhil."
"Gue ngerjain tugas. Tanya aja nyokap gue, Dimas sama Teh Ulan! Lagian kenapa sih lo marah emang lo siapa?"
Pertanyaan Tara lantas menikam Alvan tepat di jantung. Tetapi ternyata bukan hanya Alvan yang merasa ditikam karena Tara sebagai orang yang mengataknnya juga merasakan hal yang sama.
Keduanya saling bertatapam dalam diam. Tidak tau sejak kapan mereka mulai berdebat seperti itu dan sepertinya sejauh hubungan mereka ini adalah pertama kalinya mereka berdebat. Dan sekarang mereka tidak tau harus apa.
Saat Tara ingin memulai bicara tiba-tiba saja ia dikejutkan dengan gerakan Alvan yang tau-tau sudah memeluk pinggangnya dan menarik tengkuknya. Dalam hitungan detik bibir Tara sudah bertemu dengan bibir Alvan. Dan Tara melotot karenanya.
Alvan tidak melakukan hal yang macam-macam. Bahkan ciuman itu hanya sekedar menempelkan bibirnya saja. Tidak ada pikiran kotor atau macam-macam dalam benak Alvan saat melakukannya.
Melihat Alvan memejamkan matanya, Tara akhirnya ikut memejamkan mata. Tubuhnya yang semula menegang meluluh begitu saja dalam pelukan Alvan. Dan mereka bertahan dalam posisi tersebut untuk beberapa menit kedepan.
Alvan yang pertama kali memulai, dia pula lah yang mengakhiri. Alvan perlahan-lahan menjauhkan bibirnya dari bibir Tara. Mata mereka bertatapan, tidak ada yang mau memutuskan kontak mata tersebut sampai akhirnya Tara tiba-tiba pergi berlari ke lantai atas meninggalkan Alvan yang kebingungan dibuatnya.
Tanpa berfikir panjang Alvan langsung mengejar Tara namun gagal karena ketika Alvan sampai di depan kamar Tara, cewek itu sudah lebih dulu menutup pintu kamarnya dan menguncinya.
Alvan menggedor pintu kamar Tara. "Ra, ma—maafin gue Ra, gue..."
"Van, kita tuh apa sebenernya?" sahut Tara dari dalam kamar membuat Alvan menghentikan gedorannya dan mendengarkan.
"Kita kayak orang pacaran tapi kita gak pacaran. Gue ngerasa lo itu punya gue tapi sebenernya bukan. Gue ngerasa gue dimilikin sama lo, tapi sebenernya enggak."
Alvan terhenyak. Dia menyandarkan punggungnya di pintu kamar Tara yang tanpa diketahui olehnya tengah Tara lakukan juga.
"Gue tau Van, kita udah jujur saling sayang tapi...gak ada kejelasan. Kita belum beranjak kemana-mana dari status temen. Apa temen nyium temennya sendiri di bibir? Apa temen cemburu ngeliat temennya jalan sama cewek lain?" Tara mengambil jeda sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, "gue bahagia bisa kayak gini sama lo Van, tapi... gak tau kenapa akhir-akhir ini gue benci sama fakta kalau kita itu Cuma temen."
"Mana ada temen nyium temennya sendiri, Ra, lo itu lebih dari sekedar temen buat gue." Alvan lalu menegakkan tubuhnya dan mengetuk pelan kamar Tara. "Buka pintunya Ra, gue mau ngomong sambil natap mata lo."
"Kalian ngapain sih berisik amat?!" bentak seseorang dari pintu kamar sebelah Tara.
Dimas muncul dengan wajah merah dan rambut acak-acakan bekas tidur. Bahkan mata cowok itu masih menyipit karena kantuk. Dimas kemudian menguap sambil mengucek matanya, "bacot banget sumpah, lo lagi ngapain sih?" tanya Dimas kesal karena tidurnya jadi terganggu karena suara gedoran Alvan beberapa saat yang lalu dan percakapan keduanya.
Dimas lalu melirik pintu kamar kakaknya yang tertutup rapat bergantian dengan Alvan yang masih berdiri kaku di depan kamar Tara menatapnya.
Dimas kemudian melangkah mendekati pintu kamar Tara dan menggedornya. "WOY BUKA KAK PINTUNYA, TEMUIN NIH COWOK LU JANGAN KABUR-KABURAN, EMANG LO LAGI SYUTING FTV APA?"
"BUKA GAK PINTUNYA? GUE DOBRAK NIH?" ancam Dimas dan akhirnya pintu bercat putih itu terbuka menampilkan sosok Tara yang tampak siap menerkam Dimas kapanpun.
Dimas berdecak lalu menarik Alvan untuk berdiri di hadapan Tara. "Noh kelarin urusan lo berdua, tapi jangan berisik. Gak usah ngedrama, emang lo kira lagi syuting acara 'katakan putus' apa?" dan setelah mengatakan hal tersebut Dimas langsung kembali ke kamarnya dan membanting pintu hingga tertutup.
Tara dan Alvan sama-sama menatap aneh ke arah kamar Dimas.
"Beneran sakit, kayaknya," komentar Alvan yang disetujui oleh Tara dengan anggukan. "udah waktunya minum obat, mungkin," sahut Tara.
Detik kemudian mereka berdua saling bertatapan dengan canggung.
Tara sudah akan kembali kabur masuk ke kamarnya tetapi Alvan langsung menahannya. "Ketemu dan kenal sama lo emang sebuah kebetulan, Ra, tapi mengenal lo lebih jauh sampai akhirnya gue jatuh cinta sama lo itu adalah kebetulan yang disengaja. Gue tau, rasa sayang dan cinta gak hanya dinilai dari sebuah status, tapi gue sadar, Ra, tanpa status gue bisa kehilangan lo kapan aja."
"Mau gak lo ngerubah status lo jadi pacar gue, Ra? Dan status disini bakal gue usahain bukan Cuma sekedar status buat dipasang di socmed, tapi status ini yang selalu ngingetin gue akan tanggung jawab gue sebagai pacar lo, ngingetin gue buat selalu jagain lo. Status ini juga yang bakal bikin orang lain tau, kalau lo punya gue."
Tara menatap Alvan dengan pipi memerah. Ingin sekali Tara menutupi wajahnya tetapi Alvan memegangi kedua tangannya membuatnya tidak bisa melakukan hal tersebut.
Tara lalu mengangguk malu-malu membuat Alvan senang sekaligus gemas setengah mati. Tetapi namanya juga Alvan dia memilih menggoda Tara sebagai bentuk selebrasinya.
"Apa, Ra? Gak denger gue," kata Alvan menggoda.
"Heeh," jawab Tara masih malu-malu kucing membuat Alvan semakin ingin menggodanya.
"Heeh iya atau heeh enggak, nih?"
"Ih tau, ah!"
"Ih Tara kalo lagi salting lucu, deh," goda Alvan sambil mencolek dagu Tara membuat cewek itu menjerit.
"Ih apaansih, Van, ganjen lo!" serunya galak.
"Biarin ganjen sama pacar sendiri ini!" kata Alvan dengan bangganya menyebut kata pacar.
"Apasih a—"
"WOY BERISIK! MAU PACARAN DI LUAR AJA SANA!"
Dan ya, teriakan Dimas dari dalam kamar dengan sukses merusak momen jadian malu-malu kucing ala Tara dan Alvan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro