Chapter 23
MINGGU pagi, Alvan sudah direpotkan oleh Adri yang memintanya pergi belanja ke supermarket. Katanya persediaan bahan makanan di apartemen kosong dan keluarga mereka terancam tidak bisa makan. Tentu saja Alvan tau kalau keluarganya tidak mungkin tidak bisa makan, karena sang Mama hanya melebih-lebihkan saja hanya agar Alvan mau menurutinya. Well, Adri memang sudah cukup dikenal sebagai orang yang agak hiperbolis.
Ohiya, saat ini Alvan dan keluarga sedang mengungsi sementara di apartement karena rumah mereka sedang mengalami proses renovasi. Entah kenapa juga mereka sampai harus mengungsi padahal bagian rumah yang di renovasi hanya di bagian ruang kerja milik Rully saja yang sama sekali tidak mengganggu aktifitas mereka di rumah. Tapi mau apa lagi? Kan kendali terbesar adanya di tangan Adri. Jika Adri bilang A, otomatis semua harus bilang A.
"Van, beneran ya kamu kalo gak mau bantuin Mama nanti gak Mama masakin ya kamu cari makan sendiri!" ancam Adri karena melihat Alvan yang masih sibuk berleha-leha di atas sofa sambil sesekali mengisengi Maura yang sedang sibuk bermain play doh.
"Alvan!"
"Iya, Mama, iya!" sahut Alvan akhirnya sambil dengan tidak ikhlasnya bangkit dari posisi rebahannya.
Alvan berjalan menuju kamarnya dengan bibir ditekuk. Tega sekali Mamanya itu menyuruh anak laki-lakinya untuk belanja. Membedakan yang mana gula dan mecin saja Alvan tidak bisa.
Alvan memasang jaketnya dengan ogah-ogahan lalu berjalan keluar dari kamar.
"Ehh, kamu mau ngapain?" tanya Adri saat melihat Alvan sedang menarik laci bupet untuk mengambil kunci motornya.
Alvan mengernyit, "hah? Mau ke supermarket lah Ma!" sahut Alvan bingung.
Adri mendengus, "iya, tapi kamu ngapain pake motor? Nih, pake mobil Mama sana!" kata Adri sambil menunjuk kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja.
Alvan semakin cemberut, "males ah Ma, macet nanti!" protesnya.
"Enggak macet lah Van, ini 'kan hari Minggu. Kalo kamu naik motor nanti bawa belanjaannya susah."
Alvan sudah akan membuka mulut untuk protes tetapi Adri langsung menyambarnya. "Udah sana cepet gak usah banyak ngeluh!"
Dan Alvan hanya bisa mengangguk pasrah sambil meraih kunci mobil milik Mamanya.
***
Tara sedang duduk tenang membaca novel yang baru dibelinya beberapa hari lalu di atas ranjang ketika ponselnya yang tergeletak di pangkuannya bergetar.
Tanpa mengalihkan tatapan dari novelnya Tara meraih benda persegi tersebut dan mengangkat panggilan yang masuk. "Iya, halo?"
"Ra?" sapa seseorang di sana membuat Tara refleks menegakkan tubuhnya yang semula bersandar pada kepala ranjang. Tidak lupa dia lirik sekilas layar ponselnya yang kini tengah menampilkan nama Alvan.
"Van? Iya kenapa? Tumben nelfon."
Tara bisa mendengar Alvan terkekeh canggung di seberang sebelum menjawab, "Iya nih hehe, ganggu gak gue?"
Tara mengernyit, "enggak sih, kenapa?" tanya Tara lagi.
"Temenin gue belanja, yuk?"
"Hah? Belanja?"
"Iya, gue disuruh nyokap belanja nih dan gue gak mau pulang ke rumah bawa barang belanjaan yang salah. Jadi, mau nemenin gue gak?"
Tara terdiam sejenak berfikir. Dia juga sedang tidak ada kerjaan di rumah, orang tuanya sedang pergi sejak kemarin dan di rumah hanya ada dia dan Dimas serta Teh Ulan asisten rumah tangganya. "Yaudah deh, jam berapa?"
"yes! Eh, hehehe, sebenernya sih gue lagi otw rumah lo Ra, ini udah daerah pancoran."
"WHAT? Ih, Alvaaaaan, yaudah gue ganti baju sekarang ya untung aja gue udah mandi, huh!" kata Tara panik sambil melompat berdiri dari tempat tidur masih dengan ponsel yang menempel di telinganya.
Tara bergegas berjalan menuju lemari dan dia bisa mendengar Alvan terkekeh di sebrang sana.
"Pasti sekarang muka lo lagi panik-panik lucu," kekehnya.
Tara mendengus, "bodo amat ya Van. Udah ah matiin telfonnya, nanti gue cubit ya lo kebiasaan deh nyetir sambil mainan hp!"
Alvan kini tertawa. Tepatnya tertawa karena rasa gemasnya terhadap sikap Tara yang terkesan galak tapi perhatian.
"Ditunggu ya mbak, cubitannya."
"ALVAN!"
"Hehe, dadah! See you there."
Tara menggeleng sambil menjauhkan ponselnya dari telingan ketika sambungan sudah terputus. Tara kemudian berfokus kepada jejeran bajunya yang tergantung, meneliti mana pakaian yang setidaknya akan pas dikenakannya hari ini.
Wajar 'kan kalau seorang cewek perduli pada penampilannya jika dia akan pergi dengan seorang cowok? Apalagi cowok yang dia suka. Secuek-cueknya Tara, tetap saja Tara seorang cewek. Dan Tara perduli akan penilaian Alvan terhadapnya, maka Tara tidak ingin salah berpakaian. Tidak mau terlalu berlebihan dan juga tidak mau terlalu santai dan cuek juga.
Akhirnya Tara memilih sebuah blouse putih tanpa lengan dan rok pendek selutut berwarna hijau jamrud. Dengan terburu-buru Tara mengganti bajunya.
Tara tidak memakai make up, dia hanya memoles bibirnya dengan lip cream matte NYX warna san paulo kesukaannya. Rambutnya yang sejak tadi dia cepol asal kini sudah ia gerai dan tidak lupa Tara menyemprotkan parfum wangi vanilla favoritnya keluaran the body shop.
Tara sedang berjongkok untuk memasang sepatunya ketika Dimas melintasi kamarnya sambil menenteng mangkuk yang tinggal berisi kuah indomie dan menatapnya bingung. "Woy, mau ke mana lo, kak?" tanya Dimas kepo. Pasalnya kakaknya ini 'kan jarang sekali keluar rumah kalau hari libur.
"Pergi!" sahut Tara tanpa menatap Dimas karena masih sibuk mengikat tali sepatunya.
Dimas memutar bola matanya, "gue juga tau oon, maksud gue mau perginya ke mana?"
Tara selesai memasang sepatunya lalu berdiri tegak sambil menatap Dimas. "Kepo."
Dimas mendengus, "najis lo! Gak gue izinin lo pergi kalo gak jelas kemana dulu!" kata Dimas sambil melangkah ke ambang pintu lalu memposisikan dirinya untuk menjadi penghalang di pintu.
Tara tidak menanggapi kata-kata Dimas dan memilih meraih sling bagnya yang sudah ia siapkan di atas tempat tidur tadi. Dan hal tersebut membuat Dimas semakin kesal dibuatnya.
"Ih, kak, woy!"
Tara menoleh ke arah Dimas sambil berdecak, "gue mau jalan sama Alvan. Oke, gak jalan sih tapi mau nemenin dia belanja."
Dimas lalu bergeser dari pintu, "oh, udah resmi nih jadinya?" tanya Dimas yang kini lebih tertarik dengan hubungan kakaknya daripada kemana tujuan kakaknya pergi.
Tara mengernyit, "resmi? Apanya yang resmi?"
Dimas menghela napas, menolak untuk berkata-kata kasar karena dia sedang lapar. "Auk amat dah ah," katanya malas lalu berlalu begitu saja meninggalkan Tara yang menatapnya heran menuju dapur untuk mengambil nasi dan melanjutkan makannya yang tertunda.
"Apaansih gak jelas amat."
Ponsel Tara lalu berbunyi menandakan sebuah pesan masuk via Line. Dan Tara sudah menduga kalau itu pasti dari Alvan.
Alvan S Permana: Udah nyampe nih gue
Dengan cepat Tara mengetikkan balasan.
Tara Andini: Ok.
Ketika Tara membuka pintu depan ternyata Alvan sedang berdiri di teras sambil berbincang dengan Teh Ulan yang sedang menyiram tanaman di taman kecil depan teras.
Begitu melihat Tara, Alvan langsung tersenyum. "Hei Ra, tadinya gue mau izin ke nyokap lo tapi kata Teh Ulan, orang tua lo lagi gak ada ya?"
Tara mengangguk. "Iya Van, nyokap bokap gue pergi ke luar kota dari kemarin. Cuma ada gue, Dimas sama Teh Ulan."
Alvan mengangguk. "Apa gue harus izin lewat telfon, Ra?" tanyanya.
Tara menggeleng, "gak usah izin ke Teh Ulan aja cukup kok, ya Teh?" tanya Tara kepada asisten rumah tangganya yang sudah senyum-senyum jahil sambil menyirami tanaman.
"Iya atuh mbak Tara, asal nanti mbak Tara pulangnya masih utuh aja."
"Wush mbak, ngaco amat kalo ngomong. Lagian orang aku Cuma mau ke..." Tara menatap Alvan, "ke mana kita, Van?"
"Pelaminan!" seloroh Alvan membuat Tara melotot ke arahnya dan Alvan pun tertawa jadinya, begitupun Teh Ulan.
"Waduh, kalau mau bawa mbak Tara ke pelaminan mah harus bikin proposal dulu ke Bapak sama Ibunya mbak Tara!" kata Teh Ulan meladeni candaan Alvan.
Tara memutar matanya, "tau-tauan proposal nih Teteh! Udah ah, yuk Van?"
Alvan terkekeh, "jangankan proposal Teh, bangun candi juga saya lakuin nanti buat Tara!" katanya semakin ngaco membuat Tara memukul punggungnya, salah tingkah.
"Ih, apaansih lo jijik ah. Dikata Roro Jonggrang kali gue!"
Alvan hanya tertawa lalu dia pamit kepada Teh Ulan begitupun Tara dan mereka langsung berjalan menuju mobil Alvan yang terparkir di depan pagar.
***
"Van, susunya yang low fat atau yang biasa?" tanya Tara membuat Alvan mengalihkan tatapannya dari daftar belanjaan di ponselnya. Alvan lalu mengantongi ponselnya dan berjalan mendekati Tara yang sedang berdiri di depan rak susu.
Alvan menggaruk kepalanya sambil memandangi jajaran susu yang ada, "yang biasa...eh, emang kalau yang low fat sama biasa apa bedanya?"
Tara mengernyit. "Ya kandungan lemaknya. Keluarga lo biasanya konsumsi yang mana?"
Alvan menggaruk lagi kepalanya yang sama sekali tidak gatal. "Gak tau, yang mana ya? Kayaknya yang ini, deh...eh apa yang ini ya?" tanyanya tidak yakin.
Tara menepuk jidatnya. "Ampun deh, gimana jadinya coba kalo lo belanjanya sendirian. Makanya daftar belanjaannya tuh jangan asal," komentar Tara sambil menggeleng-geleng.
Akhirnya Tara memutuskan untuk meraih susu kotak UHT biasa. "Semoga aja emang yang ini," katanya sambil memasukkannya ke troli yang sudah hampir terisi setengahnya.
"Susu udah terus apalagi, Van? Ih kok malah bengong, sih?" protes Tara saat mendapati Alvan malah sedang asyik memperhatikannya membuat Tara jadi salah tingkah sendiri.
Alvan tidak bisa untuk tidak tersenyum. Lalu Alvan menggeleng pelan sambil mendorong trolinya. "Abisan lo manis banget, minta dibungkus bawa pulang," ucapnya ngaco.
"Yee dikata gue nasi uduk kali dibungkus! Udah ah, sini mana daftarnya?"
Alvan akhirnya menyerahkan ponselnya dimana dia menuliskan notes daftar belanjaan yang harus dibeli.
Selai roti coklat strawberry kacang,susu kotak cair vanilla&coklat,susu kalsium coklat, sereal jagung, roti tawar, mie instan goreng rebus, cream soup instan, detergen, pewangi lantai, pewangi baju, pemutih, snack (terserah Alvan tp jangan lupa snack kesukaannya Mou)...
Tara berdecak. "Bener-bener deh Van, cuek banget sih jadi manusia. Ini yang ditulis cuma jenisnya doang tapi merknya enggak, udah tau lo gak pernah belanja."
Alvan meringis, "iya abisan nyokap gue ngomongnya cepet banget gue gak ngerti."
Tara menggeleng. "Yaudah kita ambil susu kalsiumnya dulu," kata Tara sambil menunjuk deretan susu yang memang dikhususkan untuk menjaga kalsium tulang. Tara lalu meraih dua kotak susu. "Yang actifit apa yang gold nih, Van?" tanyanya sambil menimang dua buah kotak itu di tangan kanan dan kirinya.
Alvan menyipitkan mata. Lalu memasang ekspresi seolah bertanya, Apa bedanya?
Tara berdecak, mengerti kebingungan Alvan. "Masya Allah, nih," kata Tara sambil mengacungkan kotak bertuliskan actifit "Kalau ini buat usia 19-50 tahun. Nah kalo ini," kemudian Tara mengacungkan yang bertuliskan gold. "Ini buat usia 50 keatas. Pertanyaannya, ini susu buat Mama sama Papa lo atau buat Opa sama Oma lo?"
Alvan mengangguk-angguk mengerti. Dia baru tau ada sebegitu banyaknya jenis susu. Sampai ada batasan usianya segala pula. Alvan pikir susu Cuma ada coklat, vanilla, stroberi, udah.
"Van?" panggil Tara.
"Beli dua-duanya aja kali, ya? In case nanti salah beli terus malah suruh balik lagi," kata Alvan sambil nyengir dan Tara hanya bisa menghela nafas.
"Telfon nyokap deh mending, 'kan sayang buang-buang duit," saran Tara. Yah, walaupun Tara tau kalau duit segitu tidak akan ada artinya buat keluarga Alvan, apa salahnya kalau menghemat sedikit, 'kan uangnya bisa digunakan untuk keperluan lain. Amal misalnya.
"Yaudah gue Line deh," kata Alvan sambil mengetikkan pesan di ponselnya.
Tara mengangguk. "Sambil ambil detergen dulu, yuk?"
"Yuk."
Sampai di tempat detergen, kali ini Alvan tidak lagi ingin kelihatan bodoh di depan Tara, maka Alvan dengan sangat percaya dirinya mengambil salah satu merk deterjen.
"Yakin?" tanya Tara memastikan.
Alvan mengangguk pede. "yakin, kok, gak mungkin salah."
Tara mengangguk-angguk. "Mesin cuci lo yang top load beneran?"
Alvan mengernyit. "Hah? Apaan?"
"Yang tutupnya di atas."
"Enggak, kalo yang di apartement sih mesin cucinya yang di depan, pintunya."
Tara terkekeh lalu tanpa berkata-kata dia mengambil kotak detergen berwarna merah yang tadi Alvan taruh di troli dan menggantinya dengan yang berwarna biru.
"Apa bedanya, Ra?" tanya Alvan bingung.
"Itu beda Van, yang lo ambil itu buat yang bukaannya di atas. Kalau yang biru itu baru buat bukaan depan."
Di saat seperti ini terlihat jelas perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang cukup mencolok. Bagi cowok, jenis detergen ya hanya detergen cair dan bubuk, malah tidak sedikit yang tau detergen itu hanya berbentuk bubuk saja. Lagipula apa bedanya? 'kan sama-sama digunakan untuk mencuci. Yang penting berbusa dan wangi. Mana tau ada untuk bukaan depan atau atas segala.
Sambil mendorong troli dan mengikuti Tara berjalan menuju rak makanan ringan, Alvan menyempatkan diri mengetikkan pesan untuk dikirim di chat grup.
Alvan S Permana: Hot new guys, detergen sekarang gak Cuma bubuk sama cair doang. Tapi ada front load sama top load. Dunia makin canggih.
M. Fadhilah Akbar: itu merk baru?
Haryo Adji P: Sounds strange
Ariano Devandra: emang detergen ada yg cair? Baru tau gue
Putrandi Wijaya: salfok anjir si Nino. Lu mah mana tau begituan No, lu aja nyuci baju pake sampo dikocokin air
Ariano Devandra: Kan lo yg ngajarin jing :)
M. Fadhilah Akbar: lo lagi dimana dah Van tbtb ngomongin detergen?
Alvan S Permana: Biasa, lagi jalanin tugas negara
Alvan S Permana: Disuruh nyokap belanja
Ariano Devandra: Ngibul. Orang kyk lu mana mau disuruh belanja.
Putrandi Wijaya: Ama siapa lo?
Alvan S Permana: Sama Tara
Ariano Devandra: No pap = hoax
Alvan S Permana:
Alvan S Permana: Toko kita gak main tipu-tipu sis
Alvan S Permana: Foto jg asli sis gak nyolong dari OLshop orang:)
Ariano Devandra: NJIR WOY!
Ariano Devandra: IS THAT TARA?
Ariano Devandra: WAH
Putrandi Wijaya: Njir. Udah jadian diem-diem ae lu
Putrandi Wijaya: Diem-diem berak ae ntar
M. Fadhilah Akbar: Udah resmi?
Haryo Adji P: Pj Van
Alvan S Permana: .........................
Alvan S Permana: Belom jadian
Putrandi Wijaya: Hah?
Ariano Devandra: Hah?(2)
Haryo Adji P: Hah?(3)
M. Fadhilah Akbar: ga beres. ntar sore kumpul di rumah gue.
Alvan menghela nafas. Pasti dia akan diceramahi lagi oleh teman-temannya itu. Iya, pasti.
***
Alvan langsung menuju rumah Fadhil sesudah mengantar Tara pulang dan mengantar belanjaan ke apartemen. Ketika sampai di rumah Fadhil, ketiga temannya yang lain rupanya sudah lebih dulu ada di sana.
Alvan melempar sekantung plastik penuh berisi aneka snack dan minuman yang tadi ia beli di supermarket sengaja untuk dibawa ke rumah Fadhil.
Alvan langsung duduk bersimpuh di karpet di depan teman-temannya yang sudah menghujaninya tatapan siap untuk berceramah.
Dan Alvan juga sudah siap menerima semua ceramah mereka.
"Jadi, lo belom nembak Tara?" tanya Nino menyelidik.
"Gue udah bilang sama dia soal perasaan gue!" sangkal Alvan.
"But you didn't ask her to be your girlfriend, did you?" tanya Haryo sengaja menekankan kata to be your girlfriend membuat Alvan menciut seketika.
"Enggak sih, tapi-"
"Kenapa lagi sih, Van? Emang Tara bilang dia gak suka sama lo?" tanya Putra gemas.
Alvan menggeleng, "enggak sih, tapi-"
"Tapi lo takut kalau lo nembak dia terus kalian jadian terus entar berantem dan akhirnya putus terus musuhan, iya?" potong Nino tepat sasaran membuat Alvan lagi-lagi bungkam.
"Jadi kalian mutusin buat 'temenan' aja, atau gimana?" tanya Fadhil yang sejak tadi hanya diam pada akhirnya.
Alvan mengangguk.
"Oh ceritanya lo mau friendzonean gitu?" tanya Haryo polos.
"Eh, gak friendzonean juga sih kan udah jujur saling sayang," bantah Alvan.Yakali dia dan Tara ada di zona berbahaya itu.
"Van, sadar gak sih? Itu friendzone bego namanya." Kini Nino tidak bisa lagi menahan umpatannya. Bahkan dia terang-terangan mengatai Alvan dengan sebutan 'bego'. Habis Alvan emang bego betulan.
"Dibilang itu bukan friendzone!" bantah Alvan keras kepala.
"Apa dong? Gebetan? Bah! Mana ada gebetan jujuran saling sayang tapi kaga jadian! Gebetan itu 'kan sebutan untuk orang pdkt. Dan apa tujuan orang pdkt? JA-DI-AN!" cibir Nino jengkel akan kedablekan sahabatnya itu.
Alvan kemudian merenung, meresapi kata-kata teman-temannya.
"Gini deh," ucap Putra memancing perhatian Alvan. "Tara itu cewek. Dan jelas, tipe kayak Tara itu adalah tipe cewek yang gak bakalan ngasih kode duluan, bukannya sok tau tapi selama pengamatan gue dari progres hubungan lo dan Tara selama ini tuh ya emang Tara itu begitu, keliatan dari sifatnya dia yang emang harus dideketin duluan. Jadi jelas dong Van, lo yang harus ngambil move. Tembak!"
Alvan berdecak frustasi. "Andai lo tau, waktu gue nyatain perasaan gue aja tuh dia Cuma senyum doang sambil nyentil jidat gue, woy! Gue bingung. Yaudah jadi gue pikir, Tara emang suka juga sama gue, tapi dia maunya hubungan kita tuh ya ttman doang!"
Mendengar kata-kata Alvan barusan, Nino mendesah keras. "Haduuuh, yang satu gak mau nembak karena takut, yang satu gak mau ngode sebelum yang satunya ngodein duluan. Yaudah, gini aja terus sampe Maleficent pake hijab!"
"Heh, Van, jaman sekarang mana ada sih cewek maunya cuman TTM? Yakali, semua cewek pasti mau ada kejelasan lah!" ucap Putra.
"Mungkin Tara maunya emang kayak gitu, kali. Kalau dia adalah tipe cewek yang mengatasnamakan status di atas segala-galanya, gue rasa dia udah pasti jadian sama cowok yang nembak dia di panggung itu." Kalau ini adalah kata-kata Haryo.
Nino dan Putra sama-sama menatap Haryo takjub. "I-iya juga sih."
"Tapi, apa salahnya lo mencoba, Van? Ya enggak harus langsung nembak, tanya aja. 'Kan kata lo kalian udah jujur-jujuran."
Alvan pun hanya bisa menghela nafas frustasi. Enggak lagi-lagi deh dia berurusan sama yang namanya cinta-cintaan. Cukup dengan Tara saja deh.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro