Chapter 22
Jam menunjukkan pukul delapan malam, sedangkan Dimas berjanji akan menjemput Tara pukul setengah sembilan nanti karena kini dia masih bercokol di rumah Savira.
Tara memutuskan pergi ke UKS untuk merebahkan dirinya sambil menunggu Dimas datang menjemput. Begitu Tara memasuki ruang UKS yang nampak kosong itu, tiba-tiba bayangan pertemuan pertama kalinya dengan Alvan kembali terbayang di kepalanya.
Tara mendengus. Dengan kasar disibaknya salah satu tirai yang menutupi bangsal lalu Tara melompat ke atas kasurnya. Bersyukur karena kasur UKS yang ada di sekolahnya merupakan kasur dengan kualitas yang cukup baik sehingga tidak membuat badannya sakit ketika menidurinya.
Tara memejamkan matanya. Hidupnya memang tidak berubah banyak. Tara masih tetap Tara yang sama, Tara yang cuek dengan hal-hal yang bukan menjadi urusannya, Tara yang jutek jika orang belum mengenalnya cukup lama, Tara yang lebih suka duduk mendengarkan musik sendirian daripada mejeng tidak jelas di balkon. Mungkin yang berubah hanya satu, Tara kini punya seseorang yang bisa mendengarkan cerita dan pendapatnya, Tara mempunyai seseorang untuk berbagi bekal makanannya, Tara mempunyai seseorang yang melintas dalam pikirannya sebelum gadis itu tidur, Tara mempunyai seseorang yang sudah membawa pergi hatinya.
Ah, terdengar melankolis memang. Tapi cinta bukankah bisa membuat orang yang sangat ceria sekalipun mendadak melankolis dan sebaliknya? Jadi kenapa cinta tidak bisa membuat Tara berubah? Justru akan aneh jika seseorang tidak berubah saat sedang jatuh cinta.
Tara mendengar suara derap kaki memasuki UKS meskipun dia memejamkan matanya. Tara juga bisa mendengar ketika orang itu menyibak tirai persis di sebelah bangsal yang Tara tempati dan suara orang yang menaiki tempat tidur. Sepertinya orang itu melakukan hal yang sama seperti Tara, merebahkan diri.
Keheningan melanda, hanya suara desing air conditioner yang sesekali terdengar dan gema suara musik serta teriakan dari luar ruangan yang samar-samar. Terima kasih karena ruang UKS Bakti Siswa yang dilengkapi peredam suara sehingga kebisingan dari luar tidak dapat mengganggu penghuninya.
Picture perfect memories scattered all around the floor.
Reaching for the phone 'cause I can't fight it anymore.
Tara terhenyak. Dia tau lagu ini. Ini merupakan salah satu lagu favoritnya. Juga lagu yang mengingatkannya pada Alvan karena lagu ini adalah topik perbincangan pertamanya dengan Alvan sampai akhirnya mereka jadi dekat.
Dan Tara tau suara ini. Ini suara...Alvan.
And I wonder if I ever cross your mind?
For me it happens all the time.
Tara meremas sendiri tangannya, ingin membuktikan apakah yang didengarnya ini nyata atau hanya halusinasinya saja karena sudah terlalu lelah?
Tapi semua terasa nyata.
Dan itu terbukti ketika seseorang menyibak tirai yang menjadi sekat penghalang antara bangsalnya dan bangsal sebelah. Dan orang itu memang Alvan.
Tara terbelalak. "Al...van?"
Alvan tersenyum kecil. "hai," sapanya diiringi senyuman.
Sungguh lucu keadaan mereka saat ini. Mereka sama-sama dalam posisi tiduran, saling berhadapan di atas kasur yang berbeda.
Anehnya, Alvan terlihat agak pucat.
"Are you okay?" tanya Tara khawatir.
Alvan tersenyum kecil, "kurang baik, kayaknya," katanya sambil terkekeh.
Tara refleks bangun dari posisi rebahannya. "Maag lo kambuh? Iya?!" tanya Tara panik.
Melihat Alvan hanya diam saja Tara tau kalau maag cowok itu memang kambuh. Tara langsung bergegas turun dari tempat tidur dan berjalan menuju lemari obat, tetapi tangan Alvan menahannya.
"Jangan pergi, Ra," pinta Alvan.
Tara menggeleng, "Enggak Van gue gak pergi, gue Cuma mau ambilin lo obat," kata Tara sambil berusaha melepaskan tangan Alvan yang memegangi lengannya tetapi Alvan menahannya sambil menggeleng.
"I mean, don't leave with another man."
Tara mengernyit, "hah?"
Alvan lalu mengumpulkan sisa tenaganya untuk menarik Tara sehingga bagian atas tubuh gadis itu jatuh menindihnya.
"ALVAN!" pekik Tara kaget. Tara ingin berontak tetapi pelukan Alvan di punggungnya seolah melemaskan seluruh saraf yang ada di tubuh Tara.
Tubuh Tara menerima pelukan Alvan dengan sangat baik.
Tubuh Tara seolah tercipta dengan sangat pas untuk berada di sana, di dalam pelukan Alvan.
"Gue tau Ra, perkenalan kita itu baru sebentar. Kedeketan kita juga Cuma gitu-gitu aja, tapi Ra, gue gak bisa bohong...semakin hari gue ngenal lo, semakin gue tertarik sama lo. Gue tau gue emang bego, gue udah berkali-kali nyia-nyiain kesempatan gue buat nyatain ini ke elo. Gue bahkan berkali-kali keduluan sama orang lain. Itu semua karena gue yang terlalu banyak perhitunga, terlalu banyak mikir." Alvan menghentikan ucapannya, tetapi Alvan tetap masih mempertahankan posisinya memeluk Tara, lalu Alvan melanjutkan, "Gue tau, gue tau sekarang lo udah sama Gio, gue tau kalau gue ngomong ini gue bakal jadi cowok egois, tapi Ra, I can't help falling in love with you. Gue gak bisa nahan itu Ra, gue...gue sayang sama lo."
Alvan merasakan sebuah beban berat baru saja terangkat dari punggungnya. Alvan bisa merasakan kelegaan melandanya.
Tara menarik tubuhnya untuk lepas dari pelukan Alvan dan kali ini Alvan tidak menolak untuk melepaskannya.
Tara berhasil berdiri tegak dengan pipi yang merah padam. Begitupun Alvan.
Tara tidak bicara apa-apa, gadis itu justru berbalik untuk pergi namun Alvan berhasil kembali menariknya. "Ra! Ma—maafin gue Ra, ja—jangan salah paham, gue Cuma...Cuma mau ngomong jujur doang, gue gak berharap apapun Ra, gue tau lo sekarang udah sam—"
Tara membekap mulut Alvan dan memasang wajah jengkel. "Shut up! Diem di sini!" perintahnya dengan nada galak. Lalu buru-buru Tara berbalik pergi meninggalkan Alvan.
Alvan sudah bersiap untuk bangun mengejar Tara tetapi rasa sakit di perutnya menahan Alvan untuk bergerak. "arrh."
Tidak lama Tara kembali dengan obat maag cair di tangannya dan segelas air putih. "Gue bilang diem, Alvan Septian Permana! Sakit 'kan jadinya?" tanya Tara galak.
Alvan kembali merasa lega. Jadi Tara tidak kabur darinya, Tara hanya ingin mengambilkannya obat.
Tara lalu membantu Alvan meminum obatnya setelah itu Tara menarik kursi untuk duduk di samping ranjang Alvan. "Lo gak makan siang?" tanyanya mengintrogasi.
Alvan terkekeh, "iya, lupa."
"Sarapan?"
"Gak sempet."
"ARE YOU KIDDING ME, VAN?" Alvan terkekeh melihat Tara yang berteriak heboh. Dan di saat seperti ini, Tara jadi mirip Adri, mamanya.
"Bodo ya, besok kalau lo sampe gak makan lagi seharian gue sumpahin lo langsung mati."
"Wey, nauzubillah Ra, serem amat, jangan kek dosa gue masih banyak."
"Makanya, jangan cari penyakit kenapa."
"Ra..." panggil Alvan.
"Apa?" tanya Tara agak ketus.
Alvan terlihat memutar matanya kesana kemari seolah mencari kata-kata yang tepat. "Uhm, lo gak takut dicariin Gio?"
Tara mendengus. "Ngapain coba Gio nyariin gue emang dia nyokap gue?"
Alvan baru akan buka mulut tetapi Tara langsung memutusnya membuat Alvan bungkam. "Udah gue bilang berapa kali sih Van, jangan langsung cepet ngambil kesimpulan! Ngambil kesimpulan itu juga ada tata caranya, gak asal mutusin karena hasilnya bisa sesat!"
Alvan berkedip. "Jadi... lo sama Gio gak pacaran?"
"Ya menurut lo aja."
"Menurut gue?"
Tara menghela nafas, "Iya, menurut lo aja apa gue adalah tipe cewek yang bakalan mau dipeluk cowok lain ketika gue punya pacar atau enggak."
Alvan menggeleng.
Tara lalu bangkit berdiri dari posisi duduknya, membuat Alvan kembali menahan lengannya, "mau kemana, Ra?"
Tara tersenyum kecil, "takut amat gue tinggal sih, Van?" ledeknya membuat kuping Alvan memerah karena malu.
Tara terkekeh, "gue mau nyari Dimas, ponsel gue mati takutnya dia nyariin gue di luar. Nanti gue ke sini lagi."
Alvan mengangguk, tapi sebelum Tara melangkah lagi-lagi Alvan menahannya.
Tara menatap Alvan dengan tatapan 'kenapa?'
Alvan menghela nafas, "jawaban lo?"
Tara mengernyitkan dahinya. "Jawaban? Emang lo nanya apaan?" tanyanya polos.
Alvan sweetdrop. Masa iya Tara tidak mengerti maksudnya tadi?
Tapi ketika Tara mendaratkan sentilan di dahi Alvan sambil tersenyum lembut, Alvan tau kalau perasaannya juga terbalas.
Dan andai Alvan tau, kalau perasaannya memang sudah terbalas sejak lama.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro