Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 21

SEPANJANG perjalanan menuju mall, Tara tidak mengeluarkan sepatah katapun membuat Gio beberapa kali melirik kaca spion motornya untuk melihat wajah Tara.

"Tar, kamu kenapa sih kok diem aja?" tanya Gio dengan suara yang agak keras untuk melawan desingan angin karena motornya yang sedang melaju kencang.

Tara mengernyit jijik. "Apaansih kamu-kamuan, alay lo!" jawab Tara ketus. Lalu Tara kembali diam.

Gio akhirnya memilih diam selama sisa perjalanan.

Mereka sampai di salah satu pusat perbelanjaan tidak jauh dari daerah sekolah, agar nanti mereka tidak terlalu sore dan ketinggalan rangkaian acara pensi.

Tara berjalan cepat meninggalkan Gio yang baru selesai memarkir motornya, Gio bahkan harus berlari mengejar Tara dan menarik lengan gadis itu. "Tara!"

Tara menoleh dengan wajah jutek. "Apaansih?!" teriak Tara kesal.

Gio memghela nafasnya berusaha sabar. "Tar, please dong. Lo cuma ngasih gue kesempatan beberapa jam, bisa gak lo bener-bener ngasih kesempatan itu dengan ikhlas? Kalau begini sama aja."

Tara berdecak. "Gue harus gimana? Lo aja maksa gue, gimana bisa gue bersikap sesuai ekspetasi lo?"

Gio lalu menggenggam tangan Tara. "Gue gak masalah kok kalau lo masih bersikap judes ke gue, tapi please izinin gue gandeng tangan lo, ya?"

"Emang harus banget gandengan?" tanya Tara sambil menatap tangannya yang digandeng Gio risih.

Gio mengangguk kecil. Gue takut gak bisa genggam tangan lo lagi kayak gini, Tar. "Iya, gue takut lo ilang, Tar," kata Gio cengengesan sambil mencubit pelan pipi Tara membuat Tara menatapnya horor. Tara sudah akan protes tapi akhirnya dia memilih bungkam dan membiarkan Gio menggandeng tangannya.

Gio lalu membawa Tara menuju bioskop. Sesuai rencananya, dia ingin mengajak Tara nonton film.

"Eum, kalau kita nonton sekarang kita keluar bioskop sekitar jam 5, terus kita makan dulu kan ya pasti bisa setengah jam, kira-kira setengah tujuh kita baru bisa ada di sekolah lo, gimana?" tanya Gio pada Tara.

Tara mengedikkan bahunya acuh, "terserah," katanya cuek. Lagipula Tara sudah tidak bersemangat lagi untuk datang ke acara pensi sama sekali.

Gio mengabaikan nada bicara Tara yang ogah-ogahan dan tetap memamerkan senyumnya. "Oke, yaudah lo tunggu sini ya gue pesenin tiketnya," katanya sambil berjalan menuju konter pemesanan tiket.

Tara menatap Gio miris. Sebenarnya Tara kasihan dan tidak tega memperlakukan Gio seperti itu, tetapi apa daya? Tara tidak ingin memberikan harapan semu pada Gio, andai saja Gio tau jika Tara sudah mencoba untuk menganggap Gio sebagai laki-laki bukan sekedar adik, rasa itu tetap tidak ada. Tidak pernah ada karena sudah ada satu nama yang mengisi relung hatinya.

Mungkin, Tara memang terlalu mudah jatuh hati kepada Alvan. Bahkan tidak butuh waktu lama untuknya menyadari kalau dia menyukai Alvan. Tapi menghilangkan perasaan itu yang tersulit. Menghilangkan perasaannya pada Alvan tidak semudah ketika Tara menjatuhkan hatinya pada cowok itu.

Gio. Cowok itu jelas cowok baik-baik, mungkin jika hati Tara belum terisi sudah pasti mudah bagi Tara untuk jatuh hati padanya. Tapi mau dikatakan apa? Tuhan lebih dulu menjatuhkan hati Tara kepada Alvan, bukan Gio. Maka Tara tidak ingin membuat cowok sebaik Gio berharap harapan yang semu. Dia ingin Gio menerima fakta bahwa Tara memang tidak memiliki rasa untuknya. Setidaknya untuk saat ini.

Gio kembali ke hadapan Tara membawa dua buah tiket. "Untung banget barisan strategis masih sisa dua kursi yang kosong," katanya riang.

Tara mengangguk kecil lalu berjalan meninggalkan Gio menuju sebuah kursi untuk duduk menunggu. Giopun mengekori langkah Tara.

"Daripada nunggu setengah jam bengong mending main yuk!" ajak Gio semangat. Gio bahkan sudah membayangkan bagaimana nanti dia membantu Tara bermain permainan--seperti basket atau tembak-tembakan sambil memeluknya dari belakang. Gio jadi terkekeh sendiri membayangkannya.

Tapi sayang jawaban Tara justru berupa gelengan. "Gue mau ke gramedia aja," katanya datar.

Gio terdiam, "oh,uh... Yaudah yuk!" ajaknya semangat.

Tara tidak habis pikir dengan kegigihan Gio dan sikap pantang menyerahnya. Tarapun akhirnya hanya memilih diam tanpa banyak komentar dan berjalan di samping Gio. Tapi Gio dengan cekatan langsung menggandeng tangan Tara dan tersenyum riang membuat Tara akhirnya hanya bisa menghela nafas pasrah.

***
Ekspetasi Gio dengan mengajak Tara menonton film horor adalah dirinya yang akan menjadi pelindung bagi Tara di kala gadis itu ketakutan nanti. Tapi ekspetasi memang tidak selalu sejalan dengan realita. Faktanya adalah Gio lah yang kini sedang ketakutan setengah mati setiap layar menampilkan adegan menyeramkan.

Gio bahkan sudah melepas cap yang dikenakannya untuk menutupi pandangannya dari layar.

Tara melirik Gio geli. Bagaimana dia bisa menganggap cowok ini lebih dari sekedar adik? Sekarang saja rasanya Tara ingin memeluk Gio sambil mengusap-usap rambutnya, seperti hal yang selalu Tara lakukan ketika Dimas ketakutan akibat suara petit sewaktu masih SD.

"Yo," bisik Tara sambil mencolek lengan cowok yang masih sibuk menutup wajahnya dengan topi. Karena tidak mendapat respon Tara menarik topi yang sejak tadi menutupi wajah Gio. "What are you doing, huh?" tanyanya geli.

Gio mendengus, merasa malu tapi dia tentu saja tidak bisa mengelak, toh sejak tadi sudah kelihatan sangat jelas bagaimana ketakutannya Gio sepanjang film diputar.

"Katanya lo mau lindungin gue? Masa lo yang takut, sih?"

Gio membuka mulut ingin protes, tapi Gio jelas tidak menemukan jawaban yang tepat, maka Gio mengatupkan kembali mulutnya.

Tara terkekeh. "Should we go out?" tanya Tara.

Gio melirik layar sekilas kemudian menggeleng, "enggak, filmnya bahkan belum ada setengahnya," ucapnya.

Tara mencibir. "Tau darimana? Lo bahkan gak nonton filmnya karena sibuk ngumpet."

Gio melotot merasa terhina, tetapi karena tau kata-kata Tara sepenuhnya benar, maka Gio memilih terkekeh, "iyasih..."

Tara memutar bola matanya. "Yaudah, keluar aja yuk?" ajaknya lagi. Sepertinya Tara tidak tega melihat Gio ketakutan sepanjang film berputar. Lagipula Tara tidak terlalu tertarik dengan filmnya kok.

Gio berdecak, "oke, kita keluar."

Lalu akhirnya mereka pun keluar dari bioskop.

Gio akhirnya memutuskan mengajak Tara makan dan Tara memilih untuk makan di foodcourt. Karena Tara yang tidak merasa terlalu lapar dia memilih hanya memesan sebuah kebab dan ice lemon tea, sedangkan Gio dengan nasi dan sop iga bakar.

"Tar, selama di bioskop lo gak takut atau apa gitu?" tanya Gio sambil memeraskan jeruk nipis ke mangkuk sopnya.

Tara yang sedang membuka bungkusan kebabnya mengernyit, mengingat-ingat apakah selama dia di bioskop merasakan takut atau tidak tapi jelas Tara tidak merasakan apa-apa.

Tara kemudian menggigit kebabnya dan menggeleng sambil mengunyah. Setelah Tara menelan kebabnya dia baru berkata, "paling cuma kaget doang tapi gak sampe takut."

Gio memutar bola matanya. "Bukan takut karena film!" katanya jengkel.

"Hah? Terus apaan?" tanya Tara bingung.

Gio mencopot daging iga dari tulangnya, berpura-pura terlihat fokus ke arah makanan itu tanpa mau menatap Tara saat menjawab, "yah you know, lo berduaan sama cowok di tempat gelap, apalagi posisi kita ada di pojok, lo gak takut gitu gue apa-apain?"

Tara berhenti mengunyah kebabnya untuk sejenak, lalu menelannya. "What the fu--" Tara menghentikan kata-katanya dan buru-buru mengkoreksi karena sadar posisinya yang sedang berada di tempat umum. "Fuff. Yakali, Yo, ngapain gue harus takut, kita 'kan gak bakal ngapa-ngapain! Ngaco deh, lo!"

Gio memutar bola matanya, "tapi gue bisa ngapa-ngapain lo, Tar, gini-gini gue itu cowok! Kapan sih lo bisa sadar?" kini nada Gio nyaris membentak membuat Tara terperanjat kaget.

Tara mengerjapkan matanya. Ternyata benar, Tara gagal sepenuhnya memandang Gio sebagai cowok tanpa embel-embel adik. Bagaimana Tara bisa membuka hatinya untuk Gio kalau merubah pandangannya terhadap cowok itu saja dia tidak bisa.

"Sori." Dan hanya itu yang bisa Tara ucapkan.

***

"Lo dimana sih, Van? Aduh buset berisik banget sumpah di sini, Van? Van lo denger kan?"

Alvan menjauhkan ponselnya dari telinga ketika Nino berteriak-teriak di sebrang sana. Mungkin karena di tempat Nino sekarang sangat ramai yang sangat kontras dengan tempat Alvan berada.

"Gue nyusul nanti, gue lagi ada urusan dulu bentar."

"Hah?! Kurusan?! APASIH VAN WOY GAK KEDENGERAN!"

Alvan kembali menjauhkan ponselnya. Lalu Alvan memilih untuk memutuskan panggilan karena percuma saja, percakapan mereka lebih mirip percakapan dua arah yang salah sasaran. Gak nyambung.

Alvan lalu mengetikkan pesan chat dan mengirimkannya ke grup.

Alvan S Permana: Gue nyusul nanti.

Tanpa menunggu jawaban dari teman-temannya Alvan memilih untuk mengunci layar ponselnya dan memasukkannya ke dalam kantung celana jeansnya.

Tatapan Alvan lalu tertuju pada minuman berwarna coklat muda di depannya. Ice thai tea. Alvan terkekeh sendiri, tidak tau kenapa tiba-tiba saja memesan minuman yang bahkan tidak pernah dia cicipi sebelumnya. Minuman yang mengingatkan dirinya pada satu orang. Tara.

Ah, bahkan bukan hanya minuman saja yang mengingatkannya pada Tara. Dan sebenarnya Alvan tidak butuh sesuatu untuk mengingatkannya pada Tara, karena Tara selalu ada di pikirannya.

Alvan lalu menarik gelas yang isinya masih utuh tersebut, mengaduknya sebentar sebelum akhirnya menyedotnya menggunakan sedotan. Dan reaksi Alvan begitu cairan tersebut menyentuh lidahnya adalah Alvan mengernyit.

Lagi-lagi dia berbeda dengan Tara.

Alvan tidak terlalu suka teh. Dia tidak suka rasa pahit yang teh miliki, berbeda dengan rasa pahit dari kopi yang membuat Alvan ketagihan.

Meski teh dan kopi jelas dua minuman dengan warna dan rasa yang berbeda, namun bukan berarti mereka tidak memiliki kesamaan. Mereka sama-sama kafein. Sama-sama minuman yang dinikmati pagi hari. Sama-sama ditanam di dataran tinggi.

Sama seperti Tara dan Alvan.

Sejak awal Alvan mengenal Tara, perbedaanlah yang lebih banyak mencolok di antara mereka. Mulai dari sifat, selera musik, pendapat. Tetapi bukan berarti karena berbagai perbedaan tersebut mereka jadi tidak cocok. Bahkan Alvan terkejut ketika dia justru sangat merasa nyaman bertukar pikiran dengan Tara. Mulai dari membahas topik yang nonsense hingga soal yang cukup serius. Alvan tidak pernah menyangka jika sebuah perbedaan justru bisa menjadi jembatan penghubung yang begitu kokoh.

Karena tidak semua yang berbeda belum tentu tidak sama.

Alvan mengusap wajahnya. "Najisin banget sih gue, kenapa jadi menye-menye gini, dih!"

Alvan akhirnya memilih untuk pergi dari kafe tempatnya sejak siang tadi merenung. Daripada dia harus galau sendirian, lebih baik dia bertemu teman-temannya dan melupakan masalah cinta-cintaan ini. Toh hidup Alvan bukan hanya melulu tentang cinta-cintaan.

Kadang ada benarnya juga kata Bob Marley, no women no cry. Ya walaupun Alvan tidak sampai menangis sih, tapi Alvan sudah merasakan bagaimana rasanya menghadapi makhluk yang katanya diciptakan Tuhan ciptakan paling istimewa itu. Andai menangis tidak dianggap sebelah mata bagi kaum laki-laki, sudah pasti hampir seluruh populasi laki-laki di dunia ini menangis saat menghadapi para wanitanya.

***

Tara dan Gio sampai di sekolah ketika salah satu band indie yang juga menjadi guest star di acara pensi Bakti Siswa selesai menyanyikan lagu mereka.

Kini orang-orang sedang berteriak-teriak memanggil nama Raisa yang dijadwalkan akan tampil setelahnya. Dan ya, kebanyakan yang berteriak adalah para kaum adam yang sudah tidak sabar melihat kecantikan seorang Raisa secara langsung.

"Yo, gue mau nyari temen gue dulu!" kata Tara sedikit berteriak ke arah Gio karena keadaan di sekitar mereka yang bising. "Lo tunggu aja sini, nonton Raisa!"

Gio menggeleng. "Enggak, ah, gue ikut lo aja!" balas Gio juga sedikit berteriak.

Tara memutar matanya. "Gue mau ke toilet, mau minta temenin sama temen gue, lo di sini aja!"

Gio ingin protes tapi akhirnya dia mengangguk. "Tapi gue nemenin lo nyari temen lo dulu!"

Tara mendengus, "terserah!"

Gio lalu kembali menggandeng tangan Tara, padahal jelas sekali hal itu tidak diperlukan tapi Tara tidak menolak, toh dalam hitungan jam waktu Gio akan habis. Iya, Tara memberikan batas Gio mengambil kesempatannya hanya sampai jam sembilan malam, malam ini.

***

Alvan sudah berkali-kali menghubungi ponsel Nino, Putra dan Haryo tetapi tidak satupun dari ketiga temannya yang mengangkat. Fadhil sendiri sudah pulang lebih dulu karena harus menghadiri acara keluarga.

Alvan akhirnya memutuskan untuk mengunjungi stand takoyaki karena perutnya yang sejak tadi berontak minta diisi. Ahiya Alvan jadi ingat, sejak pagi dia sama sekali belum makan. Pantas saja perutnya sudah mulai berontak. Pasti sebentar lagi maagnya akan kambuh. Alvan buru-buru berjalan ke arah stand yang menjual takoyaki tetapi langkahnya terhenti ketika melihat sosok yang siang tadi dicarinya melintas.

Alvan mematung saat dia melihat Tara yang sedang berjalan sambil bergandengan tangan dengan Gio.

Apa Tara sudah memberikan kesempatan itu untuk Gio?

"Alvan?"

Alvan menoleh dan menemukan Alea berdiri tidak jauh darinya. "Van? Lo ngapain bengong sendirian di situ?" tanyanya bingung.

Alvan mengerjap terlihat linglung. "Gue..." Alvan lalu menggeleng pelan, "gak ngapa-ngapain."

Alea mengangguk lalu melangkah mendekati Alvan. "Lo gak sama temen-temen lo?" tanya Alea ketika sudah ada di hadapan Alvan.

"Lo liat temen-temen gue?"

Alea mengangguk, "iya tadi gue liat Nino, Putra sama yang bule itu diri di barisan paling depan."

Ah, dasar para jones kurang belaian, pasti sekarang mereka bertiga lagi jadi fanboy dadakannya Raisa.

"Oh gitu, yaudah gue nyamperin mereka dulu ya, Le?" kata Alvan sambil bergegas berlalu meninggalkan Alea.

Tetapi dengan cepat Alea menahan lengan Alvan, "Van?!"

Alvan menatap Alea dengan dahi mengernyit. "Ya, Le? Kenapa?"

"Gu—gue sendirian, Bianca entah kemana, boleh gak gue bareng sama lo?"

Alvan terlihat ragu tapi akhirnya dia mengangguk, lagipula Alea 'kan temannya sekaligus mantan gebetannya. Masa iya hanya menikmati pensi bersama saja Alvan menolak?

"Yaudah," kata Alvan sambil tersenyum lembut membuat jantung Alea terasa lemas.

***

Tara sedang berjalan menuju area panggung bersama Gio ketika mendengar namanya dipanggil. Sontak Tara menghentikan langkahnya dan menoleh dan seketika itu juga tubuh Tara menegang.

Alea bersama Alvan.

Jadi inikah alasan Alvan yang tidak kunjung menghubunginya selama dua hari bahkan saat tau Tara ditembak cowok lain? Apakah sikap Alvan selama ini kepadanya memang tidak lain hanyalah rasa ingin berteman semata?

Kenapa Tara merasa kecewa? Bukankah Tara sudah mengantisipasinya sejak dulu dengan tidak berharap? Tapi, kenapa tetap rasanya sakit?

Alea melambaikan tangannya ke arah Tara, lalu gadis itu menarik tangan Alvan mengajak Alvan untuk menghampiri Tara dan Gio.

Tara melirik ke arah tangannya yang masih berada di genggaman Gio. Entah kenapa rasanya Tara tidak ingin Alvan melihatnya, tetapi memangnya kenapa? Memangnya Alvan perduli?

"Hai, Tar, eh ini yang waktu itu nembak lo di panggung bukan sih? Cie, jadi kalian jadian nih?"

Tara membuka mulut untuk membantah pertanyaan Alea yang lebih seperti pernyataan tetapi Gio langsung merangkulnya seolah menegaskan jika pernyataan Alea barusan benar adanya. "Menuru lo?"

Tara ingin kembali mengelak tetapi ucapan Alvan berhasil membuatnya bungkam.

"Congrats, Tar," ucap Alvan sambil tersenyum.

Tara menatap Alvan tidak percaya dan kecewa lalu akhirnya Tara memilih untuk berbalik dan pergi tanpa perduli dengan reaksi Gio, Alea bahkan Alvan sekalipun yang menatapnya kebingungan.

Tara tidak pernah perduli dengan tanggapan orang lain terhadapnya, sejak dulu, iya dulu sebelum dia mengenal Alvan. Alvan adalah satu-satunya orang yang Tara perdulikan tanggapannya. Tara tidak mau terlihat buruk di depan Alvan, Tara tidak pernah mau Alvan salah paham kepadanya.

Dan Tara tidak mau melihat Alvan bersama Alea.

Tara bisa mendengar suara derap kaki yang mendekat ke arahnya, jauh di dalam hatinya Tara sangat berharap, sangat-sangat berharap jika pemilik langkah kaki itu adalah Alvan.

"Tar!"

Gio.

Tara mengulum bibirnya, mencoba menahan perasaannya yang tiba-tiba saja seolah akan meledak. Tahan Tar, gak lucu lo nangis di sini.

"Lo mau ke mana?"

"Yo, please, leave me alone!" pinta Tara dengan nada sedih.

Gio menggeleng, "Enggak, Tar, lo butuh sandaran!"

"Iya, tapi bukan lo orangnya! Can we just stop this? Gue gak bisa pura-pura Yo, gue udah nyoba tapi rasa itu emang gak ada, please jangan maksa gue lagi. I just can't, you deserve someone better than me. Gue bukan orang yang lo cari, Yo."

Perlahan pegangan tangan Gio di lengan Tara mengendur dan akhirnya terlepas.

"Gue gak bisa Tar, gue gak bisa kalo bukan lo."

"Karena lo yang belum nyoba, Yo," ucap Tara lembut. Tara lalu mengulurkan tangannya untuk mengusap pelan kepala Gio, persis seperti yang sering dia lakukan kepada Dimas. "Gue udah mencoba buat buka hati gue untuk lo, seperti yang lo bilang, tapi jawabannya tetep sama. Jadi sekarang, waktunya lo buat nyoba untuk merelakan."

Gio mengeraskan rahangnya, dia menatap Tara dengan tatapan terluka. Lalu ditepisnya tangan Tara yang bersarang di kepalanya tersebut. "Fine. Gue akan coba buat move on dari lo. Dan saat itu terjadi, lo akan nyesel karena gak milih gue." Setelah mengatakannya, Gio langsung berbalik pergi meninggalkan Tara.

Tara hanya bisa melihat punggung Gio yang semakin menjauh.

"Sorry." Dan lagi-lagi, hanya itu yang bisa Tara ucapkan.

Di tempat Alvan, Alea berusaha menahan senyumnya ketika melihat Alvan hanya diam saja memandangi langkah Tara dan Gio.

"Van, lo gak mau ngejar Tara?" tanyanya basa-basi.

Dan Alea berharap Alvan menggeleng.

Dan benar, Alvan memang menggeleng membuat Alea menerbitkan senyumnya. "Oh, kenapa? Lo...udah nyerah soal Tara?"

Alvan lalu menatap Alea. "Nyerah? Gue bahkan belum mulai apa-apa."

Alea mengernyit. "Hah? Ma—maksudnya?"

Dan sebagai jawaban, Alvan memilih tersenyum.

Maka saat itu juga Alea tau, rencananya sudah gagal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro