Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 20

Ariano Devandra: Lo dimana nyet?

Alvan S Permana: Warung babeh

Haryo, Putra dan Fadhil memperhatikan Nino yang memasukkan ponselnya ke kantung dengan wajah penasaran. "Dia bales, No? Apa katanya? Dia di mana?" tanya Haryo memberondong.

Nino hanya mengangguk. "Di warung babeh."

Putra berdecak. "Busetdeh, gue kira dia lagi galau gitu sambil ngebut naik motornya trus tau-tau ngasih tau kita dia lagi ada di Puncak atau mana kek gitu yang jauh. Lah, ini Cuma di warung babeh." Ucapan ngaco Putra diangguki Nino dan Haryo dengan semangat.

"Emang, gue kan udah siap padahal kayak tokoh-tokoh di film gitu, yang kalau sahabatnya lagi galau gue dateng buat ngasih support," kata Nino.

Fadhil menggeleng melihat kelakuan tiga temannya. "Udah woy, mending sekarang kita nyamperin Alvan," kata Fadhil yang membuat ketiga temannya itu menatapnya secara bersamaan. Namun tanpa perduli sedang dijadikan bahan tatapan oleh ketiga temannya, Fadhil justru berlalu pergi menuju warung babeh lebih dulu.

Nino berdecak. "Kalo ngeliat Fadhil gue suka kasian deh, cuy."

Haryo mengernyit. "Kasihan gimana?"

Putra ikut menatap Nino bingung. "Iya, kasian gimana maksud lo?"

Nino lalu menghela nafas. "Kasian aja, dia harus jadi orang normal sendirian di antara kita."

Haryo dan Putra mengangguk setuju. "Iya juga ya. Tapi mending sih, seenggaknya dia masih ada Alvan yang setengah normal. Lah kita, udah bertiga, error semua lagi!"

Dan ketiga cowok itu lagi-lagi mengangguk bersamaan. Lalu mereka beriringan menyusul Fadhil dan Alvan di warung babeh.

***

Ketika Fadhil sampai di warung babeh, dia melihat Alvan dan Alea sedang duduk berbincang. Fadhil diam menunggu di pintu masuk warung sampai akhirnya Alea pamit dan meninggalkan Alvan yang belum menyadari kehadiran Fadhil.

Alea bahkan terkejut saat bersitatap dengan Fadhil. "Hai, Dhil." Sapa Alea canggung. Yah, berbeda dengan Nino yang Alea kenal karena mereka dulu pernah terlibat di OSIS, Alea hanya mengenal Fadhil karena dia teman dekatnya Alvan. Apalagi sifat Fadhil yang agak dingin dan pendiam, maka Alea tidak pernah berkomunikasi dengannya. Ok, bukan tidak pernah, mungkin pernah tapi hanya sekedar say hi, seperti sekarang.

Fadhil hanya mengangguk kecil sebagai respon. Lalu Alea bergegas pergi.

Fadhil langsung menghampiri Alvan dan duduk di sebelahnya setelah sebelumnya memesan kopi hitam yang akhir-akhir ini menjadi kesukaannya.

"Mana yang lain, Dhil?" tanya Alvan karena tidak melihat tiga temannya yang lain.

Fadhil mengedikkan bahu, "bentar lagi juga muncul."

Dan benar saja, sedetik setelah Fadhil mengatakannya, Alvan bisa mendengar suara Nino, Putra dan Haryo yang menjadi satu membentuk harmoni yang amat sangat tidak enak untuk di dengar.

Oh, angel sent from up above

You know you make my world light up

When I was down, when I was hurt

You came to lift me up

Life is a drink, and love's a drug

Oh, now I think I must be miles up

When I was a river, dried up

You came to rain a flood

"Woy, woy! Bacot lo pada!" omel Alvan ketika ketiga temannya itu masuk ke warung babeh sambil berangkulan dan bernyanyi, membuat warung yang tidak terlalu besar itu dipenuhi suara mereka bertiga.

"Van! Cemen lo, Van, masa futsal kalah sih gak masuk babak final?" tanya Nino sambil mengambil posisi duduk di sebelah kanan Alvan, karena di sebelah kiri sudah ada Fadhil.

Haryo dan Putra pun mengekori gerakan Nino dengan mengambil posisi duduk berjejer di sebelah Fadhil. Kursi panjang di warung babeh itu seperti diciptakan pas untuk mereka berlima

Alvan merengut. "Lah, anjing, lo aja pada kaga ngasih gue semangat ya malah asyik-asyikan modusin anak sekolah lain di lapangan indoor!"

"Gue enggak, Van! Gue kan latihan basket!" kilah Haryo yang langsung mendapatkan keplakan gratis dari Putra yang duduk di sebelahnya.

"Sama aja, semprul."

"Alaah, lagian juga semangat dari kita kan ga guna, Van, yang berguna mah Cuma semangat dari neng Tar—" Nino menghentikan ucapannya ketika melihat Putra dan Haryo yang sudah memelototinya sambil mengibaskan tangan mereka di depan leher, lalu Nino menangkap perubahan Alvan yang tiba-tiba diam.

Nino lalu langsung menggaruk tengkuknya sambil tertawa canggung. "Eh, beh...pesen es teh manis beh!" ucap Nino mengalihkan pembicaraannya.

Putra dan Haryo juga langsung pura-pura sibuk dengan piring gorengan yang selalu tersedia di meja warung babeh. Dan Fadhil hanya bisa menggeleng melihat ketiga temannya tersebut.

Fadhil kemudian menepuk bahu Alvan. "Tara lagi jadi bahan omongan satu sekolah," katanya pada Alvan.

Alvan mengangguk.

"Lo gak nyari dia? Kali aja dia butuh lo."

Alvan mengedikan bahunya acuh. "Enggak, emang gue siapa?"

Nino ingin menjawab pertanyaan Alvan, tetapi Nino mengurungkan niatnya karena takut jika dia lagi-lagi salah bicara. Disaat seperti ini, Alvan butuh teman bicara normalnya, yaitu Fadhil. Maka Nino memilih bungkam dan hanya menyimak. Begitupun Haryo dan Putra.

"Lo tanya sama diri lo sendiri. Lo siapa buat Tara?"

Alvan terhenyak. Dia siapa untuk Tara?

Jawabannya adalah bukan siapa-siapa.

"Jawaban itu Cuma bakal berubah kalau lo mau bertindak." Melihat Alvan hanya diam saja, Fadhil lalu menambahkan, "ada yang bilang, cinta itu gak butuh dengan kata-kata tapi tindakan. Padahal berkata-kata juga merupakan suatu tindakan. Orang akan tau kalau seseorang nunjukin perasaan cintanya Cuma pake tindakan, tapi orang itu gak akan yakin seratus persen kalau gak ada kata-kata yang diucapin, begitupun sebaliknya. Contohnya orang sakit perut. Lo megang-megang perut lo, orang pasti tau kalau lo lagi sakit perut. Tapi orang gak akan tau harus bertindak gimana kalau lo gak ngomong. Mereka bisa aja mikir banyak kemungkinan kalau lo gak negasin sendiri kalau lo emang sakit perut."

Alvan bergeming. Dicernanya kalimat Fadhil baik-baik. Dan hasilnya, dia benar-benar bingung harus bagaimana saat ini.

***

Dua hari berlalu sejak aksi pernyataan cinta Gio. Dan dua hari juga Alvan dan Tara belum berkomunikasi lagi. Bahkan tidak sekalipun lewat chat. Karena rangkaian acara Bakti Siswa Cup yang masih berlangsung dan tidak adanya proses kbm berjalan, banyak siswa yang memang tidak berpartisipasi dalam lomba dan tidak tertarik untuk sekedar menonton memilih tidak masuk sekolah.Namun beberapa ada yang memilih berkeliaran di sekolah dan nongkrong dengan teman-teman walaupun tidak terlibat dalam lomba ataupun tertarik untuk menonton.

Termasuk Alea.

Cewek itu kini sedang duduk bersama seorang temannya di bangku kantin menikmati makanan mereka. Hari ini adalah hari terakhir rangkaian lomba Bakti Siswa Cup. Dan besok merupakan hari pengunguman pemenang sekaligus pemberian hadiah yang akan disambut pensi dan bazar pada malam harinya yang menjadi puncak acara dalam rangkaian Bakti Siswa Cup. Dipastikan besok akan banyak sekali yang hadir. Bahkan tiket pensi yang dijual secara pre-order sudah ludes.

Bianca menatap Alea yang sejak tadi diam merenung. "Woy! Kesambet aja lo! Kenapa sih bengong terus?" tanya Bianca membuat Alea terkejut.

Alea cemberut. "Apa sih, gue gak bengong!"

Bianca mencibir. "Kenapa? Gara-gara Alvan lagi? Yaelah, lo belom move on juga dari doi?" tanya Bianca sambil mengaduk minumannya dengan sedotan.

Alea menggeleng. "Sama sekali."

Bianca berdecak, namun tak pelak dia mengelus lengan sahabatnya itu dengan lembut. "Sabar ya, gue tau move on itu Cuma gampang diucapin, tapi dilakuinnya susah."

"hm," gumam Alea.

Bianca lalu teringat rencana Alea untuk bicara dengan Alvan beberapa hari yang lalu. "Eh, waktu itu lo jadi ngomong sama Alvan?"

Alea lalu tersenyum kecil ketika ingat hari itu kemudian mengangguk.

Bianca mengernyit penasaran. "Terus? Lo ngomong apa sama dia?"

Alea masih tersenyum namun tidak kunjung menjawab membuat Bianca gemas karena penasaran. "Ihhhh, Le, cerita dong!" pinta Bianca sambil mengguncang lengan Alea.

Alea terkekeh. "Kepo, ya?"

Bianca memanyunkan bibirnya. "Menurut lo aja, nyet!"

Alea lalu terbahak, kemudian dia memilih untuk bertopang dagu sambil mengaduk minuman di gelasnya. "Well, itu adalah cara dan rencana terakhir yang bisa gue lakuin untuk mertahanin Alvan."

Bianca melotot. "Wait, what? Maksud lo?!"

Alea menyedot minumannya dengan sedotan sebelum akhirnya berkata, "kalau gue gak bisa sama Alvan, berarti cewek itu juga gak bisa."

Bianca menatap ngeri ke arah Alea yang sudah seperti tokoh-tokoh psikopat di dalam film. "Le, lo gak ngelakuin hal-hal aneh, kan?"

Alea menggeleng, masih dengan senyumannya. "Lo tau gak sih, Bi, kalau kata-kata tuh bisa jadi senjata yang lebih ampuh daripada pedang sekalipun."

Bianca bergidik. Kadang, cinta memang bisa merubah seekor anjing kecil menjadi srigala dan seekor macan menjadi kucing. Dan Bianca hanya berharap, kalau Alea tidak melakukan sesuatu yang berbahaya.

***

"Tara, ada Gio tuh nyariin kamu," kata Arinda kepada Tara ketika melihat anak perempuannya itu turun dari lantai atas.

Tara yang sejak kemarin tidak ke sekolah terkejut dan bersiap untuk kabur lagi ke lantai atas sebelum orang yang disebut Mamanya itu melihatnya.

"Lho, Tar, kok kamu malah naik, sih? Itu Gionya ada di depan."

Tara menghentikan langkah sambil menggigit bibir bawahnya. "Gak mau ah, mah! Bilang aja aku tidur. Lagian dia 'kan temennya Dimas, ngapain coba nyariin aku."

"Ih kamu masa nyuruh Mama bohong, sih?" tanya Mama.

Tara mengedikan bahu. "Ah tau deh, pokoknya aku gak mau ketemu sama dia." Setelah mengatakannya Tara buru-buru berlari naik ke lantai atas kembali ke kamarnya meninggalkan Arinda yang kebingungan melihat tingkah anak gadisnya tersebut.

Dimas yang berpapasan dengan Tara di tangga juga menatap kakaknya itu heran. Dimas lalu menoleh ke arah mamanya yang berdiri di ujung tangga. "Kenapa, Ma?" tanya Dimas.

Arinda mengedikan bahu. "Gak tau tuh kakak kamu. Eh, dek, Gio ngapain kok nyariin Tara, tumben? Biasanya juga dia kesini nyari kamu," tanya Arinda kepo.

Dimas mengernyitkan dahi. "Hah, Gio? Emang mana Gio, mah?"

Arinda mengedikan dagunya ke arah pintu depan. "Tuh di teras. Beda banget, biasanya juga nyelonong-nyelonong sekarang malah kayak baru pertama kali bertamu gitu. Ada apa, sih?"

Dimas tertawa melihat kekepoan Mamanya tersebut. "Apasih ih, Mama, kepo amat. Urusan anak muda, kali!"

Arinda mencubit perut Dimas. "Dasar bandel, orang ditanya orang tua juga malah ngatain kepo."

Dimas terkekeh sambil berkelit dari cubitan Mamanya dan berlari ke teras untuk menghampiri Gio.

"Woy, nyet! Ngapain dah lo diem di sini?" tanya Dimas setelah menepuk punggung sahabatnya tersebut.

Gio meringis merasakan tepukan Dimas yang tidak woles sama sekali. "Sakit, bego!"

Dimas terkekeh, "bodo amat! Gue tanya, lo ngapain di sini?"

"Jemput kakak lo."

Dimas mengernyit. "Hah? Jemput? Stres ya, lo? Ngomong sama lo aja ogah, ini lagi mau jemput. Lagian mau kemana coba lo?"

Gio menatap Dimas datar. "Ya terus? Kalau gak mau gue harus langsung nyerah, gitu? Gue usaha lah sampe kakak lo mau."

Dimas menggelengkan kepalanya. "Sarap, dasar," cibirnya. Lalu Dimas kembali bertanya, "tapi serius, lo mau ngajak Tara kemana emang?"

"Pensi."

"Maksud lo pensinya Bakti Siswa?" tanya Dimas memastikan.

Gio mengangguk.

Dimas mendesah pelan. "Buset deh, Yo, lo mau sampai kapan begini?" tanya Dimas prihatin. Dimas yang paling tau seberapa lama Gio mengejar-ngejar kakaknya. Dan Dimas juga yang paling tau seberapa kakaknya tidak pernah memiliki rasa terhadap sahabatnya itu.

"Sampai Tara ngasih gue kesempatan."

Dimas menghela nafas. "Yakin? Lo yakin gak akan berharap lebih lagi nanti setelah Tara ngasih lo kesempatan?"

Gio terdiam. Lalu dia tersenyum masam, "seenggaknya gue udah nyoba. Yakali gue masih maksa-maksa dia terus? Gue tuh begini karena—"

"Karena Tara gak pernah ngasih lo kesempatan buat gak nganggep lo Cuma sebagai adeknya, iya?"

Gio mengangguk. "Tuh, lo tau."

Dimas mendengus. "Oke, gue bantu lo dapetin kesempatan itu. Tapi janji, kalau Tara emang gak bisa juga bales perasaan lo walaupun dia udah gak anggep lo adek lagi, lo berhenti ganggu kakak gue."

"Gue janji."

"Apa jaminannya kalau lo langgar janji lo?"

Gio terdiam sejenak lalu akhirnya menjawab dengan serius, "persahabatan kita."

Dimas mengangguk, "deal."

***

Ra, gue mau ngomong sama lo. Malem ini ada waktu?

Nino melirik ke arah ponsel Alvan yang sejak tadi dipegangnya. Nino berdecak saat mendapati Alvan belum juga mengirimkan pesan yang sudah dia ketik sejak tiga puluh menit yang lalu.

"Sumpah ya Van, kalo jempol lo gak neken tombol send, sampe Eyangtinya Haryo bisa nari balet juga gak akan kekirim itu chat!"

Alvan sontak menutupi layar ponselnya dari pandangan sahabat bermulut bacotnya itu. "Bacot," katanya ketus.

Nino berdecih. "Biarin bacot, yang penting bukan pengecut." Dan setelah mengatakannya Nino berlalu meninggalkan Alvan untuk bergabung bersama Putra dan Haryo yang sedang bertanding PES.

Fadhil yang juga duduk di sebelah Alvan sejak tadi dalam diam menepuk pelan bahu Alvan. "Gue tau lo butuh keberanian buat ngomong sama Tara. Lo takut tindakan yang lo ambil itu salah dan bikin hubungan lo sama Tara justru rusak. Tapi waktu terus berjalan, Van," kata Fadhil mengingatkan.

Putra dan Haryo lantas mempause permainannya. Mereka yang semula posisinya memunggungi Alvan dan Fadhil karena duduk di karpet mengarah ke televisi langsung berputar serentak, begitupun Nino.

"Bener Van apa kata Fadhil. Waktu terus berjalan. Selagi lo sibuk nyiapin keberanian, lo gak tau 'kan kalau ada orang lain yang lagi berusaha ngambil kesempatan yang sebenernya lebih deket sama lo?" ucap Putra.

Haryo yang duduk di sebelahnya mengangguk. "Iya, Van, memang katanya orang beruntung itu lebih sukses daripada orang yang berusaha. Tapi kata Eyangtiku, orang beruntung gak akan selamanya beruntung, sedangkan orang yang berusaha akan selalu mendapatkan hasil terbaik selama dia jadi orang yang selalu berusaha."

Nino lalu melanjutkan maksud kata-kata Haryo. "Sekarang lo ibaratin diri lo sendiri jadi orang yang beruntung itu. Lo beruntung bisa deket sama Tara, bahkan gue yakin kalau Tara sebenernya punya perasaan yang sama kayak lo. Tapi kalau lo Cuma beruntung karena kebetulan itu doang tanpa berusaha pertahanin, gue yakin lama-lama lo yang akan kehilangan. Cewek juga bakal ngeliat kali Van, mana yang berjuang buat dia mana yang enggak."

Alvan menatap teman-temannya tercenung. Dia tidak menyangka akan berada di posisi dimana dia harus mendapat advice soal cinta dari teman-temannya tersebut. Padahal sepertinya beberapa bulan yang lalu, Alvan lah yang duduk santai sambil memberikan advicenya kepada Putra yang baru saja putus dengan pacarnya, Nino yang tidak kunjung juga mendapat pacar, Haryo yang bingung dengan perasaannya terhadap Nanda bahkan Fadhil yang bertengkar hebat dengan pacarnya yang sudah dipacarinya hampir lima tahun. Selama ini Alvan adalah orang yang selalu bisa mengendalikan situasi. Alvan tidak pernah labil dalam memilih pilihannya. Alvan selalu berpikir rasional dan tidak mudah terpengaruh. Bahkan saat dulu Alvan memutuskan menyatakan cintanya kepada Ify di depan umum, Alvan memutuskannya tanpa neko-neko atau khawatir ditolak. Kenapa saat ini Alvan jadi labil, baperan, penuh perhitungan dan mudah khawatir?

"Van, masa pemikiran lo bisa kalah dari tiga orang itu?" tanya Fadhil sambil mengedikan dagunya ke arah Nino, Haryo dan Putra lalu tersenyum geli. Andai Alvan adalah seorang cewek, sudah pasti Alvan mimisan melihatnya dari jarak sedekat itu.

"Iya, Van, masa lo—eh tunggu, Dhil! Maksud lo apa tiga orang itu, emang kita bertiga kenapa?!" protes Nino tidak terima.

Putra mengangguk setuju. "Lah iya, emang kita bertiga kenapa coba! Songong lu, Dhil."

Haryo berkedip bingung. "Kan tadi lo toh No yang bilang kalau Cuma kita bertiga yang gak normal."

Nino dan Putra sama-sama menatap Haryo gemas. "BODO AMAT!"

Melihat itu Alvan akhirnya bisa ikut tertawa. Ditambah kini dia sudah bisa menjernihkan pikirannya. "Thanks, guys, ada gunanya juga gue mungut lo semua jadi temen!" kata Alvan sambil tertawa.

Sontak Alvan mendapat serangan bantal dari ketiga kawannya tersebut. Iya, hanya tiga, karena Fadhil yang duduk di sebelah Alvan memilih menghadiahi sahabatnya itu sebuah jitakan. Dan mereka berlima pun tertawa bersama-sama.

Kadang, pelajaran terbaik bukan di dapatkan di sekolah ataupun buku, melainkan dari pengalaman, lingkungan dan orang lain lah kita bisa mendapatkan pelajaran yang tidak ada di sekolah, buku bahkan google sekalipun.

Nino adalah yang pertama menghentikan tawanya. "Woy, woy, buruan sana ke rumah Tara! Keburu Tara disamber sama si Giografi!"

"Giovani, bego!" sahut Putra.

"Iya, itu maksud gue!"

Alvan langsung bangkit berdiri dan menyambar jaket levisnya yang tersampir di atas kursi meja belajarnya, tidak lupa juga mengambil kunci motornya yang tergeletak di atas meja. "Thanks, guys, ketemuan di pensi sekolah?" tanyanya kepada empat temannya.

"Temuin kita kalo lo udah gandeng Tara. Oke?"

Alvan tersenyum lebar, "sip!" dan tanpa menoleh lagi dia langsung melesat pergi keluar dari kamarnya meninggalkan keempat sahabatnya tersebut.

"Cuy, kita bogan dulu yuk biar nanti fresh pas dateng ke pensi!" ajak Nino sambil merebahkan tubuhnya di atas karpet.

Haryo mengernyit. "Hah, bogan?" tanyanya bingung.

"Bobo ganteng, Yo," kata Fadhil kalem.

Putra terbahak. "Fresh biar apa gitu, No?"

"Biar dilirik sama cewek-cewek lah! Eh, kan katanya guest starnya Raisa, siapa tau malah dilirik Raisa!"

"Yabuset, Raisa! Lo mah di mata Raisa Cuma butiran daki yang digosok ilang pas lagi mandi, No!" ledek Putra membuat Nino menendang kaki temannya itu.

Fadhil hanya bisa menggeleng melihat Nino dan Putra yang sibuk berdebat sedangkan Haryo yang memilih untuk merebahkan tubuhnya dan tidur. Siapa bilang Fadhil adalah satu-satunya orang normal di antara mereka. Kalau Fadhil orang normal, jelas dia sudah daridulu kabur dan tidak menjadi salah satu bagian dari mereka.

***

Setelah memencet bel rumah Tara, Alvan menunggu dengan jantung berdebar. Pesan chat yang dia kirim kepada Tara belum juga dibuka gadis itu sejak dua puluh menit yang lalu. Bahkan sampai akhirnya Alvan sampai di depan rumah gadis itu, Alvan belum juga mendapat balasan dari Tara. Jangankan balasan, diread aja enggak.

Suara pintu yang dibuka membuat Alvan melongok ke balik pagar. Rupanya sosok Dimas yang muncul, bukan Tara.

Dimas nampak agak terkejut menemukan Alvan lah yang baru saja memencet bel rumahnya.

"Alvan?"

Alvan tersenyum, "hai, Dim!" sapa Alvan ceria. "Tara ada?" tanyanya saat Dimas sudah membuka pagar.

Dimas menggaruk kepala belakangnya kikuk. "Eh, itu... Tara baru aja pergi, Van."

Alvan mengernyit. "Pergi? Pergi ke mana?" Alvan lalu melirik jam tangannya. Baru jam dua siang. Open gate acara pensi dibuka jam 4 sore. Masa iya Tara pergi se siang ini?

"Ke mall kayaknya,"

Alvan kembali mengernyit. "Terus Tara gak ke pensi?"

Dimas kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. " Ke pensi sih, nanti abis dari mall kayaknya."

Alvan mengangguk. "Oh, ke jalannya sama siapa? Nyokap?"

Dimas menggeleng. "Gio."

Alvan mematung. "Gio?" tanyanya memastikan.

Dimas mengangguk.

Alvan menggeram pelan. Lagi-lagi dia kalah start oleh Gio. Semua ini karena keragu-raguannya. Sial! Dia harus mencari Tara sekarang.

Alvan lalu mengangguk mengerti. "Oh, oke, thanks informasinya. Gue cabut dulu ya, Dim!" ucap Alvan sambil bergegas menaiki motornya untuk pergi. Namun gerakan Alvan untuk melajukan motornya terhenti ketika mendengar seruan Dimas.

"Tolong Van, jangan temuin Tara dulu hari ini. Jangan bikin dia bingung lagi."

Alvan menatap Dimas tidak mengerti. "Maksud lo?"

"Harusnya lo muncul di hari Tara ditembak sama Gio di sekolah lo. Lo bahkan gak muncul berhari-hari setelahnya. Dan sekarang lo tiba-tiba muncul lagi buat deketin Tara lagi? Kakak gue bukan tempat hiburan yang bisa lo datengin semau lo. Gue gak bilang kalau kesempatan lo dapetin kakak gue udah ilang, enggak, lo masih punya kesempatan—karena kesempatan gak pernah bener-bener habis. Tapi gak hari ini. Hari ini, biarin Gio yang ngambil kesempatan yang udah lo sia-siain kemarin."

Dan setelah mengatakannya, Dimas menghampiri Alvan dan menepuk bahunya. "Gue tau lo orang baik. Dan karena gue tau lo baik, lo boleh ambil kesempatan itu lagi besok." Setelah itu Dimas berlalu masuk kembali ke rumahnya meninggalkan Alvan seorang diri.

Kenapa kisah cintanya harus jadi serumit ini, sih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro