Chapter 16
SEMINGGU sudah berlalu sejak acara maaf-maafan Alvan dan Tara, sejak itu mereka berdua kembali akrab. Namun jelas sekali Alvan menghindari segala bentuk tindakan yang mengarah ke arah pdkt, berbeda dari sebelumnya dimana Alvan yang sering memberikan kode-kode kecil, kini Alvan murni memposisikan dirinya di depan Tara sebagai teman.
Bel pulang sudah berbunyi sejak tadi. Parkiran yang tadinya penuh diisi kendaraan murid-murid sampai guru-guru kini sudah berkurang hanya menyisakan beberapa kendaraan murid dan guru yang mungkin masih memiliki aktivitas seusai jam sekolah.
Alvan sedang berjalan bersama Nino dari arah perpustakaan menuju parkiran ketika tidak sengaja berpapasan dengan Alea saat mereka melintasi ruang musik. Sepertinya Alea ingin masuk ke ruangan tersebut.
"Lho, Le? Kenapa lo buru-buru amat?" tanya Nino begitu melihat Alea yang setengah berlari untuk mencapai ruang musik.
Alea mengatur nafasnya sambil melepas sepatu yang dikenakan dan meletakannya di rak sepatu yang tersedia di depan ruang musik. "Ada rapat buat penjurian lomba nyanyi buat acara BakSis CUP nanti, nah gue kan tahun kemaren tim inti padus jadi gue entah bagaimana caranya dipilih buat jadi juri," jelas Alea sambil mengibas rambut panjangnya. Mungkin Alea kegerahan.
"Emang rapatnya udah mulai? Kok lo sampe lari-lari begitu?"
Pertanyaan Alvan tanpa sadar berhasil membuat pipi Alea merona memikirkan jawabannya. Karena gue ngeliat lo Van dan gue pengen disapa sama lo. "Enggak sih, hehe, pengen olahraga aja, siapa tau bisa kurus."
"Yaelah, Le, kurus apa sih emangnya lo gendut?" tanya Alvan yang jelas membuat Alea berbunga. Apalagi Alvan mengatakannya tidak menggunakan nada gombal yang menunjukkan kejujuran. Cewek mana yang tidak senang ketika dinilai tidak gendut oleh cowok yang disukainya?
"Lea mah gak gendut Van, tapi gembrot," canda Nino membuat Alea melotot dan melayangkan pukulan di lengannya.
Tidak aneh melihat Alea dan Nino terlihat cukup dekat, mereka dulu sama-sama anggota OSIS, tentu saja mereka sering berinteraksi.
"Kalian baru mau balik?" tanya Alea, mengingat bel sudah sejak tadi berbunyi.
Alvan mengangguk, "iya, Le, kalo gitu kita duluan ya," katanya sambil tersenyum membuat hati Alea rasanya lumer.
Alvan selalu lupa efek dari senyumannya kepada hati para kaum hawa.
Alea mengangguk lalu melambai. "Bye, Van, No, hati-hati ya!"
Alea menatap punggung kedua cowok itu, ralat, lebih tepatnya menatap punggung Alvan sampai cowok itu berbelok ke arah parkiran motor. Rasa rindu yang Alea rasakan beberapa hari belakangan ini karena Alvan yang mulai menjaga jarak darinya sepertinya sama sekali tidak berkurang karena percakapan mereka hari ini. Yang ada, Alea semakin merindukan moment kedekatan mereka. Alea tersenyum miris.
***
"Van, lo masih deket sama Lea?" tanya Nino saat mereka sedang sama-sama memasang jaket di parkiran.
Sebenarnya Nino daritadi sudah melihat ada jarak tak kasat mata antara Alea dan Alvan. Tapi jelas, jarak itu dibentang oleh Alvan bukan Alea. Maka Nino melepaskan rasa penasarannya dengan bertanya.
"Ya kadang masih suka chat, tapi udah gak sering," jawab Alvan sambil menggulung lengan jaket levisnya yang kepanjangan.
"Lo jadi udah menetapkan pilihan, Van?" tanya Nino kepo. Mengingat akhir-akhir ini Alvan lagi galau menentukan mau pdkt dengan Tara tapi merasa tidak enak dengan Alea yang sudah pernah ia dekati sebelum Alvan mengenal Tara.
Alvan terdiam sejenak lalu akhirnya memilih untuk memasang helmnya sebelum menjawab pertanyaan Nino, "Tara udah punya pacar," katanya berusaha terlihat biasa saja.
Nino terperangah. "Hah? Serius? Tara punya cowok?" tanya Nino.
Alvan mendengus. Nino ini tidak peka sekali. Alvan saja malas menjawabnya, Nino justru meminta penjelasan lebih, segala diulang pula kalau Tara punya pacar.
"Ya. Gue ketemu cowoknya waktu mau ngapelin Tara. Lo tau gak sih No gimana perasaan gua waktu itu. Malu sama kecewa campur aduk." Alvan lalu naik ke atas motornya, namun dia tidak langsung menyalakan mesin motor, hanya ingin duduk saja disana. "Gue dengan pedenya sepanjang jalan ngebayangin mau ngapelin cewek yang ternyata punya orang, bahkan gue sempet minta doa restu sama nyokap gue waktu mau jalan. Coba lu bayangin, No."
Nino mengikuti jejak Alvan untuk naik ke motornya sendiri. Nino terdiam mencerna. Nino sebenarnya ingin tertawa, baru kali ini dia melihat Alvan sedesperate ini soal urusan cinta.
Selama mereka bersahabat, Nino mengenal Alvan adalah orang yang paling santai soal urusan cinta-cintaan. Ya kalau ada gadis yang dia suka, Alvan tentu langsung mengambil move. Kalau dapat ya syukur kalau tidak ya Alvan santai-santai aja. Toh Alvan mikir hidupnya gak cuma diisi cinta-cintaan.
Bahkan waktu kemarin Alvan jadian dengan Ify dan putus dalam waktu yang singkat, Alvan hanya galau beberapa hari. Kalau itu perlu dimaklumi, karena Alvan memang sudah suka dan pdkt cukup lama dengannya.
Nino menepuk bahu Alvan yang memang parkir persis di sebelah motornya. "Van, nyantai aja sih, kalo jodoh kan gak kemana. Mending lo nyari yang baru," kata Nino mencoba menghibur.
Alvan mendelik. "Berhenti suka sama orang itu gak segampang kayak suka sama orang, No."
Nino terbahak, "woilah udah macam lagunya... Aduh siapa tuh, yang liriknya cinta tak mungkin berhenti, secepat saat aku jatuh hati..owuo."
Alvan berdecak kagum. Iya, kagum sama suara sahabatnya yang saking bagusnya bikin sakit kuping. Alvan lalu menggeleng sambil menyalakan mesin motornya. "Gua duluan, No!"
"Van, tapi balikin perasaan suka itu gak susah lho!" seru Nino agak mengencangkan suaranya karena bunyi mesin motor Alvan.
Alvan mengernyit di balik kaca helmnya. "Maksud lo?" tanya Alvan bingung.
Nino mengedikkan bahu. "Balikin perasaan suka lo ke Alea, misalnya," kata Nino asal.
Alvan mendengus. "Ngaco, lo." Lalu tanpa menunggu jawaban Nino, Alvan langsung memutar gasnya meninggalkan Nino sendirian.
Alea?
***
Tara sedang berdiri di trotoar tidak jauh dari sekolah. Sejak tadi belum ada driver gojek yang mengambil orderannya. Sekalinya ada, beberapa menit kemudian samg driver menelfon Tara dan meminta Tara untuk mencancel orderannya karena ada keperluan pribadi yang mendesak.
"Ih, ini si Dimas kampret banget lagi chat gue cuma diread doang. Dasar adek durhaka," gerutu Tara sambil menekan tombol lock pada ponselnya.
Ingin rasanya Tara mengadukan perihal Dimas yang melanggar aturan Mama dengan membawa motor milik Tara ke sekolah, padahal sesuai perjanjian Dimas baru boleh membawa motor jika sudah berusia 17 dan punya SIM. Tapi karena Tara yang memang tidak pernah tega dengan adiknya itu, maka Tara rela saja ketika Dimas membawa motornya demi usaha pdktnya dengan cewek yang sudah dia taksir sejak SD. Bahkan Tara membantu Dimas menutupinya dari Mama. Tapi kadang Dimas masih saja suka kurang ajar dengan Tara.
Tara mundur selangkah saat sebuah motor mendadak berhenti di depan tempatnya berdiri. Tara mengernyit, dia mengenal motor sport putih tersebut karena sudah beberapa kali menaikinya.
"Alvan?"
Alvan menaikkan kaca helmnya. "Hai, Ra, ngapain lo disini?"
"Nyuci baju," jawab Tara ketus, "ya menurut lo aja, Van, gue lagi ngapain."
Bukannya marah atau tersinggung Alvan justru terkekeh. Dia jadi teringat pertemuan pertamanya dengan Tara. Saat itu Tara juga bersikap ketus terhadapnya. Itu sebelum Alvan mengenal Tara.
"Woilah, galak amat, mbak. Serius, Ra, lo lagi ngapain? Nunggu jemputan?" tanya Alvan.
Tara mengangguk. Dia sudah terlanjur badmood karena tidak ada driver gojek yang mengambil orderannya ditambah lagi Dimas yang hanya menread pesannya. Salah Alvan kenapa muncul saat Tara sedang bete, jadilah dia terkena imbasnya.
Ingin rasanya Alvan bertanya 'nunggu cowok lo ya, Ra?' Tapi rasanya Alvan belum siap kalau jawaban Tara adalah 'iya'. Tuh kan, Alvan jadi lebay. "Emang yang jemput kemana?"
"Yang jemput gak ada, Van, masalahnya."
Alvan mengernyit, "lah? Maksudnya?" tanyanya bingung.
"Iya, gue nunggu ada gojek yang mau ambil orderan gue tapi daritadi gak ada, sekalinya ada malah minta cancel!"
Tiba-tiba Alvan merasa senang. Oh, gojek ternyata.
"Yaudah bareng gue aja, yuk Ra," ajak Alvan.
Tara mengernyit. "Hah? Gak usah ah Van, rumah kita kan gak searah."
Alvan terdiam. Kalau dia bilang dia rela kemana saja mengantar Tara bahkan jika harus memutar-mutar pun dia rela, pasti kedengarannya berlebihan dan terkesan modus. Alvan tidak mau Tara curiga terhadap perasaannya dan ujung-ujungnya jadi menjauh. Cukup Alvan kehilangan kesempatan untuk menjadi pacar Tara saja karena Alvan tidak mau kehilangan Tara sebagai temannya.
"Gue ada urusan ke rumah Opa gue kok, Ra, yuk sekalian aja," ajak Alvan lagi.
Tara terlihat berpikir. "Emang lo bawa helm dua?"
Ohiya, helm. Alvan lalu berpikir sejenak. "Pinjem punya satpam lagi aja kali ya?" tanya Alvan.
Tara mengangguk. "Yaudah, deh," katanya.
Alvan tersenyum, "yaudah yuk," ajaknya sambil sedikit memiringkan motornya agar Tara bisa dengan mudah naik.
"Yaelah Van, dari sini ke gerbang sekolah masih deket, gue jalan aja."
Alvan menggeleng, "nanti kalo lo tiba-tiba kesandung terus lecet kan bahaya, Ra," kata Alvan sok serius. Tentu saja dia cuma bercanda.
Meskipun candaan Alvan cukup receh, Tara mau tidak mau terkekeh juga. Entah kenapa tawa Alvan seolah menular padanya. "Apaansih lo, receh banget!" Meskipun berkata demikian, namun Tara akhirnya tetap naik ke motor Alvan.
Tara menunggu di samping motor Alvan yang terparkir di depan gerbang saat Alvan masuk ke pos satpam untuk meminjam helm.
Tidak menunggu terlalu lama Alvan sudah kembali ke hadapan Tara membawa sebuah helm hitam lalu ia sodorkan pada Tara. "Nih," ucapnya.
Tara meraih helm yang disodorkan Alvan. "Thanks." Tara langsung melepas pengait helm tersebut namun sepertinya dia tampak kesusahan sehingga membuat Alvan terkekeh gemas.
"Yaampun Ra, apa salahnya coba minta tolong," kata Alvan sambil meraih helm di tangan Tara dan mengambil alih tugas Tara membuka pengaitnya.
Setelah terbuka Alvan mengembalikan helm itu ke Tara yang hanya memesangan cengiran. "Thanks lagi, Van," katanya dengan nada malu.
Alvan hanya tertawa lalu naik ke atas motornya, "yuk, Ra!" serunya sambil memiringkan sedikit motornya agar Tara mudah naik.
Tara lalu memegang bahu Alvan sebagai penopangnya ketika menaiki motor tersebut. Ketika Tara sudah duduk dan selesai membereskan posisi roknya agar tidak terlalu tersingkap ia berucap, "udah, Van!"
Dan Alvan mulai melajukan motornya untuk menembus jalanan sore Jakarta.
***
Perjalanan dari sekolah ke rumah Tara memakan waktu sekitar tiga puluh menit karena macet, itupun sudah dengan usaha selip sana-sini.
Motor Alvan berhenti dengan mulus tepat di depan rumah Tara yang berpagar hitam.
Tara melompat turun dari motor Alvan. "Mampir dulu, gak, Van?" tanya Tara yang lebih kepada tawaran.
Alvan terlihat menimang ajakan Tara, baru saja Alvan ingin menjawab 'iya' Tara langsung memutus, "eh gue lupa kan lo ada urusan ya sama Opa lo," katanya polos.
Alvan ingin menepuk dahinya. Dia kan terlanjur beralasan ke Tara kalau ada urusan dengan Opa. Ah, gagal deh modus--ah, Alvan lupa, dia kan sekarang sedang menjabat sebagai teman. Dan teman dilarang memodusi temannya sendiri.
Entah aturan aneh darimana itu akhirnya Alvan menggeleng, "lain kali aja, Ra," katanya sambil tersenyum.
Tara mengangguk, "yaudah, kalo gitu sekali lagi makasih ya,Van," ucapnya sambil tersenyum manis. Sepertinya Tara lupa kalau tadi dia sedang badmood. Betapa manjurnya efek seorang Alvan Septian Permana terhadapnya.
Alvan terkekeh, "makasih sih makasih Ra, tapi helmnya lepas kali." Ucapan Alvan berhasil membuat Tara langsung memegangi kepalanya yang masih terbalut helm.
Ya ampun! Malu-maluin aja sih lo, Ra.
Tara melepas pengait helmnya sambil meringis malu. "Hehehe, lupq, Van," tangan Tara berusaha menekan-nekan tombol pengait namun sepertinya pengait itu kembali macet. "Ih, susah ba--"
Ucapan Tara terputus saat tangan Alvan sudah mengambil alih tugasnya untuk melepaskan pengait helm. Tara refleks menahan nafas dan mengalihkan tatapan saat disadarinya wajah Alvan hanya berjarak lima jengkal dari wajahnya. Bahkan samar-samar Tara bisa mencium bau cologne yang dipakai Alvan.
Rasanya Tara ingin pingsan saja. Jantungnya benar-benar berdegup menggila.
Tara bisa kembali bernafas normal saat Alvan sudah melepaskan helm yang Tara kenakan dan memberi jarak normal di antara keduanya.
"Ma--makasih, Van!"
Alvan menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum miring, "sekali lagi ngomong makasih gue kasih piring lo, Ra," kata Alvan bercanda.
Tara terkekeh. "Bodo amat, Van."
Alvan baru akan membuka mulut untuk membalas Tara saat tiba-tiba sebuah motor berhenti di samping motornya.
Semula Alvan mengira cowok berseragam SMA tersebut adalah Dimas, tapi Alvan harus kecewa saat Tara menyebut nama cowok itu.
"Gio?"
Alvan tiba-tiba merasa tidak enak, dia khawatir akan menyebabkan masalah dan kesalahpahaman antara Tara dan Gio.
"Ngapain lo di sini?"
Gio melepas helmnya, menatap datar Alvan dan Tara bergantian. "Gue dari sekolah lo. Ternyata lo udah ada yang nganter."
Tara memutar bola matanya. "Gue gak minta dijemput sama lo."
"Iya emang. Gue sendiri yang inisiatif jemput lo pas Dimas bilang dia hari ini mau jalan sama Vira yang ototmatis gak bisa jemput lo."
Alvan menatap tidak enak ke arah dua orang, yang ia kira memiliki hubungan tersebut. Sepertinya Gio sedang cemburu, tapi anehnya Tara justru terlihat badmood bukannya berusaha menjelaskan.
"Yo, gak usah salah paham gue kok yang nawarin Tara bareng soalnya gue mau ada urus--"
"Gak usah banyak bacot, lo, mending pergi lo dari sini!" Usir Gio pada Alvan yang membuat Alvan seketika diam.
Tara menatap Gio kesal. "Apa-apaan sih lo, Yo? Ini rumah gue, kali! Dan Alvan tuh temen gue, yang ada lo yang harusnya pergi!" seru Tara.
Gio mengangguk. "Fine!" Matanya memandang Alvan dengan tatapan meremehkan, lalu Gio kembali menaiki motornya dan menggas motor tersebut untuk pergi menjauh dari sana.
Selepas kepergian Gio, Alvan merasa tidak enak. Gara-gara dia Tara dan Gio bertengkar. Well, meskipun kalau boleh jujur, Alvan tidak sepenuhnya sih merasa tidak enak.
"Sori ya Ra, lo jadi ribut sama Gio," ucap Alvan.
Tara mengernyit. "Kok lo kenal sama Gio?"
Alvan menggaruk tengkuknya. "Sabtu kemaren gue ketemu dia," jawab Alvan.
Tara semakin mengernyit. "Sabtu? Dimana?"
"Di rumah lo, malem Minggu waktu gue janji buat dateng, actually gue dateng Ra, tapi emang cuma mampir sebentar doang dan gue nitipin frappenya ke cowok lo, Gio."
Tunggu. Apa Tara tidak salah dengar? Gio? Cowoknya? Sejak kapan?
"Siapa? Gio? Enggak Van, dia bukan cowok gue."
Alvan tidak bisa menutupi keinginannya untuk berkata, "Hah?"
"Lo tuh ya cepet banget ngambil kesimpulan sih, si Gio itu cuma temennya adek gue doang bukan cowok gue."
Tau rasanya bisa kentut setelah nahan kentut selama seminggu? Iya lega. Rasanya sama seperti itu. Oh, bukan hanya lega dan plong, bahkan rasanya Alvan bahagia mendengar fakta tersebut.
"Jadi Gio bukan cowok lo?"
Tara menggeleng.
"Dan lo berarti lagi gak punya pacar?"
Lagi-lagi Tara menggeleng.
Alvan menahan senyumnya untuk tidak terbit namun gagal.
Kalo gitu jadi cewek gue yuk, Ra.
Oh, rasanya Alvan ingin melontarkan kalimat itu saat ini juga.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro