Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 15

                  

ALVAN meneguk minumannya dengan tidak bersemangat. Tidak biasanya Alvan terlihat murung dan pendiam saat tengah duduk di kantin kecuali saat sedang mengunyah makanan, karena biasanya Alvan adalah yang paling ceriwis dan banyak omong. Dan berdua dengan Nino, Alvan menjadi tim hore--alias yang doyan bikin rame di meja mereka.

Tapi sepertinya saat ini Nino harus ikhlas jadi tim hore sendirian karena Alvan yang mendadak diam saja sejak awal masuk ke kantin. Dan yang lebih aneh, Alvan bahkan menolak untuk memesan makanan apapun dan hanya memilih untuk memesan segelas jus alpukat. Bagaimana Nino,Haryo,Putra tidak heran?

Fadhil yang sejak kemarin sudah melihat gelagat aneh Alvan dan sudah bisa menebak apa penyebabnya memilih diam. Fadhil tidak berhak mengatakan apapun, itu privasi Alvan, ia hanya akan ikut campur jika Alvan memang memintanya.

"Hadeh, perasaan baru kemaren girang banget mau jalan sama Tara, kok sekarang udah suram lagi dah?" tanya Nino sambil mengaduk-aduk somay agar menyatu dengan bumbu kacangnya di piring.

Haryo yang sedang mengemil pangsit goreng jadi menatap wajah Alvan karena pertanyaan yang Nino lontarkan. Sejak tadi Haryo memang ngeh jika Alvan lebih banyak diam, tapi Haryo sama sekali tidak sadar jika wajah Alvan juga suram. "Kenapa lagi toh Van? Gagal kemaren kencanmu?"

Alvan menghela nafas berat. Gagal? Bahkan dia sama sekali tidak jadi kencan dengan Tara. Heck, bagaimana bisa Alvan bahkan berfikir dia akan berkencan dengan Tara? Tara bahkan sudah punya pacar! Rasa lega yang Alvan rasakan karena mengatahui bahwa Dimas bukanlah pacar Tara membuat Alvan lengah dan tidak berfikir kemungkinan bahwa ada laki-laki lain yang berstatus menjadi pacar Tara. Bagaimana bisa Alvan dengan naifnya berfikir bahwa gadis secantik dan semenarik Tara tidak ada yang memiliki?

Alvan menelan salivanya berusaha membasahi tenggorokannya yang entah sejak kapan terasa kering. "Gak usah bahas, gak mood."

Mendengar jawaban Alvan, semua hanya bisa diam dan memilih untuk fokus kepada makanan masing-masing. Jika Alvan bilang dia tidak mood dan tidak ingin membahas, maka mereka harus menghormati keinginannya. Itulah prinsip yang meski tidak tertulis namun tetap dipegang teguh oleh mereka berlima selama bersahabat. Karena mereka yakin, akan ada waktunya dimana mereka membutuhkan waktu sebelum siap berbagi cerita soal masalah mereka. Dan sebagai sahabat, mereka hanya berusaha untuk bisa ada disana saat sahabatnya yang lain membutuhkan.

Alvan lalu bangkit berdiri dan pamit kepada teman-temannya untuk kembali ke kelas lebih dulu. Dan yang lain tentu saja hanya bisa pasrah dan mengangguk ketika Alvan pamit. Tidak tega juga melihat Alvan bersikap tidak seperti dirinya.

"Alvan nyesel kali ya milih Tara terus ternyata dia baru sadar kalo dia lebih suka sama Alea?" tanya Putra asal yang langsung mendapat delikan dari Nino.

"Suara lo, nyet, kalo mau gosip tuh liat-liat kek!" Omel Nino kepada temannya itu.

Putra mendumel karena diomelin Nino. "Yaudah sih, gue kan bukan tukang gosip pro kayak lo ya maklumin," katanya sinis.

Nino baru saja akan membuka mulut untuk menimpali Putra namun gerakan Fadhil yang tiba-tiba berdiri membuat perhatiannya teralihkan, "lah lu mau kemana, Dhil?" tanya Nino.

"Kelas, gue belum ngerjain tugas fisika," dan setelah mengatakannya, Fadhil langsung bergegas pergi tanpa menunggu jawaban teman-temannya.

"Dasar bodoh, sejak kapan anak IPS punya tugas fisika? Emang anak alim kalo mau bohong tuh susah ya kayaknya," komentar Putra sambil geleng-geleng.

Nino ikut menggelengkan kepalanya, setuju dengan kata-kata Putra. Lagipula tidak ada sejarahnya seorang M.Fadhil Akbar itu mengerjakan tugas di sekolah, cowok itu terlalu alim dan rajin untuk melakukan hal itu.

"Paling Fadhil mau ngasih nasehat buat Alvan, tapi dia gak mau kita ikut campur soalnya yakin bakal rusuh dan nambahin badmoodnya Alvan," kata Nino sambil melanjutkan kembali kegitan menyanyap siomaynya.

Haryo yang sudah selesai memakan mie ayam pangsitnya kini ikut nimbrung. "Segitu rusuhnya apa ya kita?"

Putra menggeleng dengan gerakan sok diplomatis. "Lebih tepatnya, segitu gak bergunanya mulut dan saran-saran dari kita karena semuanya nonsense."

Sesuai dengan dugaan teman-temannya, Fadhil memang mengejar Alvan untuk memberikan cowok itu saran. Atau lebih tepatnya bertanya dulu dimana letak masalahnya dan baru bisa memberikan saran. Ya, Fadhil selalu seperti itu. Terlihat cuek namun sebenarnya pemerhati yang paling jeli. Terlihat acuh namun diam-diam Fadhil selalu menjadi orang pertama yang memberikan advice atau hanya menjadi pendengar. Tapi memang, Fadhil selalu bergerak sendiri. Bukan karena Fadhil egois dan tidak ingin berbagi rahasia, tapi Fadhil berfikir kalau dibicarakan langsung secara ramai-ramai dengan yang lain yang ada tidak akan menemukan titik temu karena sulit jika mereka bersikap serius saat sedang berkumpul.

Contohnya masalah Haryo kemarin. Bukannya mencari jalan keluar mereka malah sibuk membahas soal Nanda. Maka saat semua sudah pulang, Fadhil sengaja bertahan lebih lama untuk bicara empat mata dengan Haryo. Yah meskipun titik temu tetap belum kelihatan, namun setidaknya Haryo sedikit lebih plong dan bisa berfikir sedikit lebih jernih.

Kembali ke Alvan. Saat ini cowok itu memilih masuk ke perpustakaan bukannya kembali ke kelas. Iya, tapi tentu saja bukan karena Alvan mendadak berubah jadi murid rajin yang rela menghabiskan waktu istirahatnya dengan buku. Alvan hanya mencari tempat sepi untuk...berfikir? Mungkin.

Fadhil mengekori Alvan sampai sahabatnya itu memilih kursi yang terletak di pojok. Benar-benar tempat strategis untuk menyendiri bahkan tidur.

"Van," panggil Fadhil saat Alvan baru saja mendudukan tubuhnya di kursi.

Alvan nampak terkejut melihat kehadiran Fadhil, namun Alvan tau cepat atau lambat Fadhil pasti akan bertanya padanya secara empat mata. Dan sekarang waktunya. "Hm?" gumam Alvan sebagai respon atas panggilan Fadhil.

Fadhil menarik kursi yang ada di samping Alvan dan menjatuhkan bokongnya di sana lalu menarik lebih dekat kursinya ke arah Alvan. "We need to talk, oh no I mean, you need to talk," kata Fadhil to the point.

Alvan tersenyum miris. "Ngomong soal apa?" tanya Alvan masih berpura-pura bodoh padahal dia jelas tau kalau Fadhil tau. Bukan tau permasalahannya memang, tapi jelas Fadhil tau Alvan sedang ada masalah makanya dia ada di sini.

"Oke gue ganti," kata Fadhil sambil melipat tangannya di dada lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, "lo kenapa sama Tara?"

Skakmat.

Fadhil berhasil menembak Alvan tepat sasaran.

"We're fine," jawab Alvan datar. Bukan tipe nada datar karena tidak perduli tetapi lebih ke nada datar yang dibuat-buat untuk menyembunyikan sesuatu di baliknya.

"Gak Van, gue liat lo kayak lagi bangun benteng antara lo dan Tara," tandas Fadhil membuat Alvan kembali terdiam.

Lagi-lagi tepat sasaran, Fadhil.

Alvan membuka mulut untuk menjawab namun Fadhil tau yang akan keluar dari mulut Alvan hanya akan berupa sanggahan maka Fadhil buru-buru menambahkan, "lo tau gue gak pernah berniat buat ikut campur, tapi gue juga gak bisa bersikap gak perduli. Jadi, ada apa?" tanya Fadhil membuat Alvan akhirnya menghela nafas panjang. Dia tidak pernah bisa menutupi sesuatu dari Fadhil.

"Gue suka sama dia," kata Alvan akhirnya. Namun jelas saat mengatakannya kali ini, Alvan tidak seceria waktu mengatakannya di rumah Haryo. Bahkan Alvan mengatakan hal tersebut seolah hal itu merupakan sebuah kesalahan.

Fadhil diam, menunggu kelanjutan kata-kata Alvan.

"Gue sadar kalau gue bener-bener suka sama dia tapi ternyata dia udah punya pacar." Alvan terlihat lesu saat mengatakannya.

"Masalahnya?" tanya Fadhil mmebuat Alvan menatapnya bingung.

Ini Fadhil tuli atau apa? Sudah jelas kan masalahnya itu kalau Tara punya pacar saat Alvan menyukainya. Eh, atau kebalik? Alvan menyukainya saat Tara punya pacar? Ah, masa bodo. Keduanya sama-sama menyakitkan untuk Alvan.

"Ya masalahnya Tara punya pacar, Dhil, gue gak boleh suka sama pacar orang," jelas Alvan sedikit jengkel karena harus mengulang fakta yang menyakiti hatinya.

Fadhil bersedekap. "Itu gak akan jadi masalah selama lo gak mengganggu hubungan mereka, lo kan bisa tetep jadi temen dia, Van, gak ada larangannya."

Alvan mendengus lalu berkata, "masalahnya adalah gue gak mau Cuma jadi temennya Tara."

Fadhil perlahan menurunkan tangannya dan menepuk bahu Alvan secara kasual. "Gimana lo mau jadi lebih dari sekedar temennya Tara kalau lo bahkan gak mau berteman sama dia? Mungkin sekarang emang lo harus jadi temennya dia dulu,tapi masa depan gak ada yang tau."

Alvan merenung. Membenarkan kata-kata Fadhil. Tapi apa Alvan sanggup hanya menjadi teman untuk Tara tanpa bisa mengklaim gadis itu sebagai miliknya?

Alvan memang dibesarkan di lingkungan keluarga kaya yang siap memenuhi segala keinginannya, tetapi Mama dan Papa Alvan berhasil membesarkan Alvan untuk menjadi pribadi yang tidak egois dan harus selalu terpenuhi keinginannya. Alvan selalu diajarkan untuk menunggu dan bersabar. Dan sepertinya saat ini Alvan kembali harus menunggu dan bersabar.

Alvan menatap Fadhil dan tangannya yang masih memegang bahu Alvan. Kemudian tersenyum kecil. "Jadi, gue harus apa?"

Fadhil balas tersenyum kecil. "Minta maaf, ajak dia ngobrol. Treat her right as much as you can."

"Thanks, Dhil, gue gak ngerti lagi kalo gak ada lo hidup gue gimana!"

"Seperti biasa, saya siap mengatasi masalah, tanpa solusi!" seloroh Fadhil membuat keduanya lantas terbahak bersama, membuat para kaum hawa yang berada di perpustakaan dan tidak sengaja melihat pemandangan tersebut tidak bisa berhenti mengucap 'subhanallah, betapa indahnya ciptaanMu'

***

"Tar," panggil Fadhil sambil menepuk bahu Tara membuat gadis yang sedang mencepol rambutnya itu menoleh dan Fadhil langsung menambahkan, "nanti jadi kan kita ngomongin soal project film kita di rumah gue?" Tanyanya.

Tara terlihat berpikir sambil menyelesaikan cepolan pada rambutnya, dahinya mengerut dan bola matanya berputar ke atas seakan-akan dengan begitu ia bisa melihat bagaimana rambutnya tercepol. "Selesai!" serunya setelah menyelesaikan urusan dengan rambutnya.

Tara lalu menatap lurus ke arah Fadhil, "eh, tadi lo nanya apaan, Dhil?" tanya Tara dengan wajah polos membuat bibir Fadhil secara refleks berkedut, tersenyum. Ditatap dari dekat begini Fadhil baru sadar jika mata Tara berwarna coklat bening, cantik.

Fadhil menggeleng pelan mencoba menyadarkan dirinya yang entah sejak kapan terpesona dengan warna lensa mata Tara. "Nanti jadi ke rumah gue buat bahas project?" tanyanya lagi.

Tara terlihat berpikir, namun kali ini benar-benar berpikir soal pertanyaan Fadhil, lalu beberapa detik kemudian Tara mengangguk. "Okay, nanti kasih tau aja alamat lo ya buat gue mesen gojek," jawabnya.

Fadhil mengernyit, dia tau kalau Tara adalah salah satu siswi yang membawa motor ke sekolah. Fadhil pernah kok melihat Tara beberapa kali berangkat dan pulang sekolah dengan motor matic warna putihnya. Maka satu pertanyaan langsung terlontar begitu saja dari mulut Fadhil. "Motor lo emang kemana?" tanyanya.

Tara meringis. "Dibawa sama adek gue ke sekolahnya, biasa lah anak bocah tapi sok-sokan mau pdktin cewek, tapi karena belom modal jadilah mengorbankan kakaknya," jawab Tara.

Fadhil terkekeh mendengar penuturan Tara. "Hahaha lucu amat. Yaudah entar lo bareng Alvan aja," saran Fadhil—yang sebenarnya merupakan rencana Fadhil untuk Tara dan Alvan—membuat Tara yang tawanya juga sempat muncul perlahan-lahan hilang.

Fadhil ikut terdiam saat melihat Tara tidak nyaman ketika dirinya menyebut nama Alvan.

Tara sendiri mengutuk dalam hati, dia memang berharap Fadhil menawarkan tebengan untuknya tapi jelas bukan tawaran untuk bersama Alvan. Tara kan lagi puasa ngobrol dengan Alvan, masa Fadhil tidak peka sih?Bagaimana bisa cowok yang sudah pacaran selama lima tahun dengan satu gadis yang sama punya tingkat kepekaan yang rendah?

"Yaudah nanti lo bareng gue aja, tapi nanti lo gue drop di rumah gue terus gue harus jemput adik gue dulu di sekolahnya, gak apa-apa kan?"

Tara menghela nafas. Sepertinya Fadhil peka. Syukurlah. Tapi Tara jadi merasa tidak enak. Mungkin maksud Fadhil tadi jika Tara bersama Alvan, Fadhil bisa menjemput adiknya dan tidak perlu bolak-balik dulu.Tidak tahu saja Tara kalau ini merupakan salah satu rencana Fadhil lagi untuk membuatnya dan Alvan berbaikan.

"Gue naik gojek aja deh, Dhil, gak usah bolak-balik lonya," kata Tara tidak enak.

Fadhil menggeleng. "Jangan, Tar."

"Tara bareng gue aja."

Fadhil dan Tara sama-sama menoleh ke sumber suara yang ternyata berasal dari Alvan. Entah sejak kapan Alvan sudah berdiri tidak jauh dari mereka dan tiba-tiba ikut bergabung dalam pembicaraan.

"Lo bareng gue aja, Ra."

Tara berkedip menatap Alvan, sulit membedakan kata-kata Alvan apakah berbentuk perintah atau ajakan atau saran?

"Ini permintaan, gue mau ngomong sesuatu sama lo, Ra," ucap Alvan seolah bisa membaca pikiran Tara membuat gadis itu terkesiap karena pikirannya terbaca semudah itu.

Dengan ragu dan setengah bingung Tara akhirnya mengangguk. "Oke," katanya.

***

Perjalanan menuju rumah Fadhil terasa sangat canggung. Tara yang tidak tau harus bicara apa, sedangkan Alvan kehilangan suaranya secara tiba-tiba, ditambah lagi jalanan yang cukup macet membuat mereka berdua harus berada di satu motor dalam diam.

Tara memilih memandangi jalanan yang sedang dilewatinya untuk mengalihkan pikirannya yang berterbangan ke segala arah. Mulai dari kenapa hubungannya dan Alvan dengan sangat cepat berubah drastis sampai dengan kemungkinan-kemungkinan yang menjadi penyebab Alvan seolah menjaga jarak darinya dan sekarang tiba-tiba mengajak Tara untuk pergi bersamanya karena ingin membicarakan sesuatu namun justru sepanjang jalan Alvan habiskan untuk diam.

Tara merasakan motor yang dikendarai Alvan berhenti mendadak membuat tubuhnya yang tidak siap akhirnya menubruk punggung Alvan dengan kepala yang lebih dulu membentur kepala belakang Alvan. Helm yang digunakan keduanya membuat suara benturan itu terdengar keras dan dramatis serta menyebabkan pening sejenak. Untung saja di belakang mereka sedang kosong, kalau tidak sudah pasti mereka berhasil menyebabkan kecelakaan beruntun.

"Aduh!" seru Tara refleks sambil memegangi kepalanya yang baru saja terbentur. "Van, kenapa sih?" tanya Tara sambil menaikkan kaca helmnya dan mengintip lewat bahu Alvan. Tidak ada apa-apa.

Alvan sepertinya masih shock untuk menjawab. Cowok itu diam sebentar sebelum akhirnya berkata, "nyaris nabrak kucing, Ra."

Mendengar hal tersebut Tara berseru panik, "Hah? Kok bisa? Terus kucingnya gak apa-apa?" tanyanya sambil celangak-celinguk ke sekeliling mencoba menemukan kucing yang Alvan maksudkan dan matanya menangkap seekor kucing kecil berwarna oranye sedang duduk di trotoar. Tara tidak bisa membayangkan kalau saja Alvan telat mengerem motornya, kucing kecil itu pasti sudah jadi perkedel. Ugh.

Alvan menggeleng, lalu dia meminggirkan motornya untuk memastikan keadaan kucing tersebut yang diekori Tara.

Alvan berjongkok di trotoar untuk memastikan keadaan sang kucing. Sepertinya kucing tersebut baik-baik saja melihat bagaimana dia dengan santainya asyik menjilati tubuhnya seolah tidak baru saja hampir jadi korban tabrakan.

Alvan menghela nafas lega. "Kayaknya ini kucing sehat wal'afiat, Ra," ucap Alvan sambil mengelus kepala sang kucing membuat kucing itu berhenti dari aktivitasnya menjilati tubuh untuk memandang Alvan waspada.

Tara mengangguk setuju lalu dia ikut berjongkok di samping Alvan membuat si kucing beralih memandangnya. "Iya, bagus deh kalo gitu," katanya sambil tersenyum lega dan membelai kepala si kucing yang kini sudah kembali dengan aktivitasnya semula—menjilati tubuhnya.

Alvan lalu menggeleng tidak habis pikir, "kocak ya kita, nyawa kita yang Cuma satu padahal nyaris aja melayang tapi kita malah mikirin nasib ini kucing yang katanya punya sembilan nyawa," kata Alvan sambil terkekeh membuat Tara mau tidak mau ikut terkekeh dan akhirnya mereka tertawa bersama.

Tanpa disadari mereka sudah secepat itu kembali bicara dan tertawa bersama. Iya, secepat itu.Dan karena tidak ingin membuang kesempatan maka Alvan buru-buru bicara.

"Ra, maafin gue ya," katanya tanpa menatap secara langsung ke Tara.

Tara berhenti membelai kepala si kucing, tidak menyangka akan mendengar kata-kata tersebut dari Alvan.

"Maaf buat apa?" tanya Tara, bukannya dia berlagak bodoh, Tara tau Alvan memang sedang menjaga jarak darinya, tapi hal itu bukanlah suatu kesalahan, itu hak Alvan jika memang tidak ingin berteman lagi dengannya. Jadi, maaf untuk apa?

"Karena udah ngacangin lo tanpa alesan," kata Alvan yang terdengar di telinga Tara sedikit ragu entah karena apa.

Tara mengernyit. Jadi Alvan memang sengaja mendiaminya. Tara ingin bertanya kenapa tapi Tara takut mendengar Alvan akan membawa-bawa nama Alea, ya kan mungkin saja ini ada sangkut pautnya dengan Alea, atau mungkin saja Alvan memang sudah jadian dengan Alea dan tidak mau terlalu dekat dengannya karena takut memicu konflik. Iya, bisa jadi kan?

"Ra?" panggil Alvan karena Tara tidak meresponnya.

Tara berdehem sambil memaksakan senyuman. Ingin sekali Tara berkata 'oh, emang lo kemarin ngacangin gue ya? Kok gue gak nyadar,sih!' kepada Alvan, namun Tara tidak bisa berbohong soal apa yang dirasakannya sehingga kata-kata yang lolos dari mulutnya adalah, "gue kira lo yang marah sama gue."

Alvan menarik nafas. "Enggak, kenapa gue harus marah sama lo?" karena lo punya pacar? Kedengerannya gue terlalu menyedihkan kalau begitu. Alvan tersenyum kecil, kini dia memberanikan diri mengangkat wajahnya dan menatap Tara.

"Gue dimaafin, ga?" tanyanya.

Tara bisa merasakan Alvan menatapnya dan Tara pun memberanikan diri membalas tatapan Alvan. Dan Tara menyesali pilihannya. Jantungnya berdegup keras.

"Gak."

Melihat Alvan memasang wajah kecewa Tara buru-buru menambahkan, "kecuali lo traktir gue sate padang di tempat les," katanya sambil memasang cengiran.

Alvan tampak terkejut namun kemudian wajahnya kembali cerah. "Sama grobaknya juga gue beliin, Ra!" katanya ceria.

Tara berdecih namun tidak pelak dia tertawa juga. "Gak sekalian sama abangnya?" tanya Tara sambil tertawa.

Baik Tara maupun Alvan sama-sama tau kalau hubungan mereka sudah baik-baik saja.

Alvan lalu bangkit dari posisi jongkoknya dan mengulurkan tangan kepada Tara membuat Tara yang masih tertawa perlahan-lahan berhenti dan menatapnya bingung.

Alvan lalu menggoyangkan tangannya, mengisyaratkan Tara untuk meraihnya. Mau tidak mau Tara menerima uluran tangan Alvan yang berniat membantunya berdiri—meskipun sebenarnya tidak perlu. Ketika tangan mereka bersentuhan Tara bisa merasakan sengatan listrik statis yang kemudian mengalir sampai ke jantungnya, memompa darahnya lebih cepat, mengalirkan darah merah ke seluruh tubuh Tara membuat tubuhnya terasa panas, terutama di bagian pipi.

Tara khawatir pipinya bersemu dan Alvan bisa menangkapnya.

"So, kita temenan lagi, kan?" tanya Alvan sambil memasang cengiran.

Tara tiba-tiba tercekat ludahnya sendiri. Teman, ya?

"Iyalah, temen!" sahutnya seolah menegaskan sambil memasang seringai. Berharap Alvan tidak sempat menangkap raut kecewanya tadi saat Alvan hanya menagajaknya untuk berteman. Yaiyalah, Tar, emang lo maunya Alvan ngajakin lo apa? Pacaran?

Alvan mengangguk lalu mengedikkan dagu ke arah motornya. "Yuk ke rumah Fadhil, tu anak pasti udah dateng dan lagi nungguin kita."

Tara mengangguk lalu mengikuti Alvan berjalan ke arah motor cowok itu.

Tanpa keduanya ketahui, mereka tengah memendam luka di masing-masing hati mereka.

Jadi, Cuma temen?

***

a/n: whoops nyaris 3k words lebih so, I need to stop! Wkwk. Maafkan part ini yang kepanjangan dan kalian bosen bacanya. Saya emang bertele-tele mulu bingung juga, padahal intinya mah Cuma seuprit tapi selingannya malah kebanyakan-_-. Yaudin segitu dulu ya ntar insyaAllah nambah abis terawehan kwkw. Btw selamat buka puasa ya buat yang puasa! Aku juga lagi nunggu bedug nih wkwkw. Jangan lupa vommentsnya :*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro